• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

A. Kondisi Hak Asasi Manusia di Indonesia

Indonesia dikenal citra dalam kancah internasional sebagai negara yang demokratis dan menghormati HAM. Dalam aspek normatif Indonesia telah pula memiliki instrumen hukum yang menunjang untuk penegakkan HAM. Namun kenapa sampai sekarang di tataran domestik masih saja muncul pelanggaran HAM. Berikut Menurut Aminuddin Syarif, Peneliti HAM: 22

“Kondisi HAM di Indonesia dari semenjak kemerdekaan hingga sekarang era reformasi secara normatif sudah cukup baik dari aspek formal perundang-undangan kita. Semisal, UU HAM, pembentukan Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan komisi yang lain, hingga ratifikasi instrumen HAM internasional. Dalam aspek tersebut, dari rezim satu ke rerim yang lain menunjukkan grafik linier kemajuan kondisi HAM di Indonesia. Begitu pun dengan Perkembangan demokrasi kita Sudah cukup baik dibandingkan negara yang lain. Akan tetapi, dalam implementasi penegakkan hukum HAM sesuai UU yang sudah di ratifikasi, Pemerintah Indonesia belum maksimal dan belum sesuai yang diharapkan. Ternyata masih banyak peristiwa pelanggaran HAM dari setiap rezim kekuasaan. Hal tersebut dikarenakan kondisi politik domestik yang tidak memiliki

political will untuk menegakkan HAM.”

22 Wawancara Aminuddin Syarif, Peneliti Hak Asasi Manusia, di Kediaman beliau, Jakarta Selatan,

16

Wacana HAM di Indonesia, sendiri, telah berlangsung seiring dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM di Indonesia dapat dibagi ke dalam beberapa periode:

1. Periode 1945-195023

Pemikiran HAM pada periode awal pasca kemerdekaan masih menekankan pada wacana hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan, serta ha kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Sepanjang periode ini, wacana HAM dicirikan pada:

Pertama, Bidang Sipil dan politik, melalui: UUD 1945, maklumat Pemerintah 1 November 1945, 3 November 1945, 14 November 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) BAB V pasal 7-33, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 99. Kedua, Bidang ekonomi, sosial, dan budaya, melalui: UUD 1945, KRIS Pasal 36-40.

2. Periode 1950-195924

Periode ini dikenal dengan masa demorasi parlementer. Sejarah pemikiran HAM pada masa ini dicatat sebagai masa yang sangat kondusif bagi sejarah perjalanan HAM di Indonesia. Sejalan dengan prinsip demokrasi liberal di masa itu, suasana kebebasan mendapat tempat dalam kehidupan politik nasional.

23

A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), Jakarta, Cetakan ketiga, 2008, 125

24

17

Menurut catatan Bagir manan, masa gemilang sejarah HAM Indonesia pada masa ini tercermin pada lima indikator HAM: Pertama, Munculnya partai-partai politik dengan beragam ideologi. Kedua, Adanya kebebasan pers. Ketiga, Pelaksanaan pemilihan umum secara aman, bebas, dan demokratis. Keempat, Kontrol parlemen atas eksekutif. Kelima, Perdebatan HAM secara bebas dan demokratis.

Berbagai partai politik yang berbeda haluan dan ideologi sepakat tentang substansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD 1945. Bahkan di usulkan supaya keberadaan HAM mendahului bab-bab UUD.

3. Periode 1959-196625

Periode ini merupakan masa berakhirnya demokrasi liberal, digantikan oleh sistem Demokrasi Terpimpin yang terspusat pada kekuasaan Presiden Soekarno. Demokrasi Terpimpin tida lain sebagai bentuk penolakan Presiden Soekarno terhadap sistem Demokrasi Parlementer yang dinilainya sebagai prodeuk Barat. Menurut Soekarno, Demokrasi Parlementer tidak sesuai dengan karakter bangsa indonesia yang telah memiliki tradisinya sendiri dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Melalui sistem Demokrasi Terpimpin kekuasan terpusat pada satu tangan presiden. Presiden tidak dapat dikontrol oleh parlemen, sebaliknya parlemen dikendalikan oleh presiden. Kekuasaan Presiden Soekarno bersifat absolut, bahkan dinobatkan sebagai Presiden RI semumur hidup. Akibat langsung dari model pemerintahan yang sangat individual ini adalah pemasungan hak hak asasi

25

18

warga negara. Semua pandangan politik masyarakat diarahkan harus sejalan dengan kebijakan pemerintahan yang otoriter. Dalam dunia seni, misalnya, atas nama revolusi pemerintahan Presiden Soekarni menjadikan lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang berafiliasi kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai satu satunya lembaga seni yang diakui. Sebaliknya, leabaga selain LEKRA dianggap anti pemerintah atau kontra revolusi.

4. Periode 1966-1998

Pada mulanya, lahirnya Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi penegakkan HAM di Indonesia. Berbagai seminar tentang HAM dilakukan Orde Baru. Namun pada kenyataannya, Orde Baru telah menorehkan sejarah Hitam pelanggaran HAM di Indonesia. Janji-janji Orde Baru tentang pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami kemunduran amat pesat awal 1970-an dan 1980-an. Setelah mendapatkan mandat kosntitusional dari sidang MPRS, pemerintah Orde Baru mulai menunjukkan watak asilnya sebagai kekuasaan yang militeristik fasis dan anti HAM. Sikap anti HAM Orde Baru sesungguhnya tidak berbeda dengan argumen yang dikemukakan Soekarno ketika menolak prinsip dan praktik demokrasi parlementer, yakni sikap apologis dengan mempertentangkan demokrasi dan prinsip HAM yang lahir di Barat dengan budaya lokal Indonesia. Sama halnya dengan Orde Lama, Orde Baru memandang HAM dan demokrasi sebagai produk barat yang individualistik dan bertentangan dengan prinsip gotong royong dan kekeluargaan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Di antara butir penolakan pemerintah Orde Baru terhadap konsep universal HAM adalah:26

26

19

a. HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam pancasila.

b. Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir dahulu dibandungkan dengan deklarasi Universal HAM.

c. Isu HAM seringkali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.

Apa yang dikemukakan oleh pemerintah Orde Baru tidak seluruhnya keliru, tetapi juga tidak pula semuanya benar. Sikap apriori Orde Baru terhadap HAM Barat ternyata sarat dengan pelanggaran HAM yang dilakukannya. Pelanggaran HAM Orde Baru dapat dilihat dari kebijkan politik Orde Baru yang bersifat sentralistik dan anti segala gerakan politik yang berbeda dengan pemerintah. Sepanjang pemerintahan Presiden Soeharto tidak dikenal partai oposisi, bahkan sejumlah gerakan yang berlawanan dengan kebijakan pemerintah dinilai sebagai anti pembangunan bahkan anti pancasila. Melalui pendekatan keamanan (security approach) dengan cara-cara kekerasan yang berlawanan dengan prinsip-prinsip HAM, pemerintah Orde Baru tidak segan-segan menumpas segala bentuk aspirasi masyarakat yang dinilai berlawanan dengan Orde Baru.27 Menurut KontraS (Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) terjadi banyak kejahatan HAM di masa Orde Baru yakni; Peristiwa pemenjaraan, penyiksaan, pembunuhan massal orang-orang yang dituduh komunis (!965-1968), orang-orang yang melawan pemerintah (Tanjung Priok 1984), orang-orang yang dituduh

27

20

Gerombolan Pengacau Keamanan (Talangsari 1989), Tragedi Kedung Ombo, peristuwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (TSS), kerusuhan Mei 1998, Penculikan sejumlah aktivis 97/98, Kasus Timor Leste, Kasus Aceh, dan lain lain.28

Di tengah kuatnya peran negara, suara perjuangan HAM dilakukan oleh kalangan organisasi non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Upaya penegakan HAM oleh kelompok-kelompok non pemerintah membuahkan hasil yang menggembirakan di awal tahun 90-an. Kuatnya tuntutan penegakan HAM dari kalangan masyarakat mengubah pendirian pemeritah Orde Baru untuk bersikap lebih akomodatif terhadap tuntutan HAM. Satu di antara siap akomodatif pemerintah tercermin dalam persetujuan pemerintah terhadap pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui keputusan presiden. Kehadiran Komnas HAM adalah untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM, memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM. Lembaga ini juga membantu pengembangan dan pelaksanaan HAM yang sesuai Pancasila dan UUD 1945. Sayangnya, sebagai lembaga bentukan Orde Baru penegaan HAM tidak berdaya dalam mengungkap pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara.29

5. Periode Pasca Orde Baru

Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di Indonesia. Lengsernya tampuk kekuasaan Orde Baru sekaligus menandai berakhirnya rezim militer di indonesia dan datangnya era baru demokrasi dan HAM, setelah tiga

28 Lihat: http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1710 29

21

puluh tahun lebih terpasung di bawah rezim otoriter. Pada tahun ini Presiden Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie yang kala itu menjabat sebagai wakil presiden. Menyusul berakhirnya pemerintah Orde Baru, pengkajian terhadap ebijakan pemerintah Orde Baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM mulai dilakukan kelompok reformis dengan membuat perundang-undangan baru yang menjunjung prinsip-prinsip HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan.30

Pada masa pemerintahan Habibie, perhatian pemerintah terhadap pelaksanaan HAM mengalami perkembangan signifikan. Lahirnya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan salah satu indikator keseriusan pemerintah menegakkan HAM.31 Sejumlah konvensi HAM juga diratifikasi di antaranya: konvensi HAM PBB untuk kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi; konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan kejam; konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial; konvensi tentang penghapusan kerja paksa; konvensi tentang diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan; serta konvensi tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja.32

Kesungguhan pemerintahan B.J Habibie dalam perbaikan pelaksanaan HAM ditunjukan dengan pencanangan program HAM yang dikenal dengan istilah Rencana Aksi Nasional HAM, pada Agustus 1998. Komitmen pemerintah terhadap penegakan HAM juga ditunjukan dengan pengesahan UU tentang HAM, pembentukan Kantor Menteri Negara Urusan HAM yang kemudian digabung

30

Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 129

31Ubaedillah dan Rozak,

Pendidikan Kewarganegaraan, 129

32

22

dengan Departemen Hukum dan Perundang-undangan menjadi Departemen Kehakiman dan HAM. Penambahan pasal khusus tentang HAM dalam amandemen UUD 1945, penerbitan Inpres tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional , pengesahan UU tentang pengadilan HAM.33

Di masa K.H. Abdurrahman Wahid, penegakan HAM bisa terbilang radikal dengan mencopot Jenderal Wiranto dari jabatan Menteri Koordinasi Politik dan Keamanan untuk mengurangi pengaruh militer dalam bidang politik dan hukum. selanjutnya, Penghormatan hak-hak sipil politik mengalami perkembangan. Kemudian, Pengakuan agama Konghucu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia, penghapusan istilah Pribumi dan Non-Pribumi karena dianggap diskriminatif terhadap warga Tionghoa, pemisahan TNI dan Polri melalui TAP MPR No. VI/MPR/2000, serta pembentukan pengadilan HAM ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Keppres No. 53 Tahun 2001).34

Di masa Megawati, Di lain itu kasus HAM yang tak kalah penting yakni mandeknya proses pengadilan HAM Timor Timur dan pengadilan HAM Peristiwa Tanjung Priok. Penerapan darurat militer di Aceh pada wakti itu juga telah menyebabkan pelanggaran HAM dan krisis kemanusiaan. Selama enam bulan pertama penerapan darurat militer di Aceh terjadi 166 tindak kekerasan, 43 orang diculik, 54 orang hilang, dan 145 orang tewas terbunuh. Selama periode itu juga

33

Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 129

34Olle k D’Jea ta k ue dala tulisa Refo asi da Nasi Pela gga a HAM di

23

terjadi 22 kasus kekerasan terhadap jurnalis. 35 Kemudian, sebuah pelanggaran HAM yang menonjol ketika di akhir kepemimpinan beliau adalah peristiwa pembunuhan Munir (2004). Kasus pembunuhan Munir menjadi sorotan publik yang banyak menguras perhatian dunia internasional maupun nasional dan mencoreng upaya reformasi di indonesia.36

Dalam masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama dua periode, Penegakan HAM tidak menampakkan perkembangan apapun bahkan di nilai gagal. SBY tidak menindak lanjuti secara serius laporan hasil penyelidikan Komnas HAM yang sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung. hal ini dapat dilihat dari bolak baliknya berkas perkara pelanggaran HAM berat dari Komnas HAM ke Kejagung begitupun sebaliknya dengan alasan penyelidikan tidak lengkap atau pengadilan HAM ad Hoc yang belum terbentuk. Sikap diam SBY ini menyiratkan kuatnya praktek impunitas (Impunity) terhadap pelaku pelanggaran HAM berat (gros violation of human rights) dimasa lampau karena tidak ada yang bertanggungjawab. Semisal janji SBY menuntaskan kasus pembunuhan Munir, ternyata sampai saat ini hanya isapan jempol belaka.37

Di masa SBY, pula terhitung banyak terjadi peristiwa konflik sosial-horizontal sesama warga negara, baik berprespektif etnik (kerusuhan dayak vs madura), kelompok rentan (perempuan dan anak), dan agama (kasus Ahmadiyah,

35

Baca: http://www.tempo.co/read/news/2004/03/15/05540684/Selama-Pemerintahan-Megawati-Penegakan-HAM-Mandek diakses Senin 12 Mei 2015.

36

Wawancara Hilal Safary, Peneliti HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan, di Kantor SETARA Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Selatan, Senin 11 Mei 2015, pukul 16.20-17.00 WIB.

37Olle k D’Jea ta k ue dala tulisa Refo asi da Nasi Pela gga a HAM di

24

kasus Syiah, dan GKI Yasmin).38 Menurut Hasil Riset SETARA institute dari peristiwa konflik agama terjadi banyak pelanggaran HAM atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang menunjuk grafik linier menuju peningkatan dari tahun 2007-2012. Pada tahun 2007 terjadi 135 peristiwa dan 185 tindakan sedangkan pada tahun 2012 menanjak naik menjadi 264 peristiwa dan 371 tindakan.39

B. Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan era Pemerintahan

Dokumen terkait