• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. Mekanisme HAM PBB

A. Sekilas tentang PBB

B.2 Mekanisme Berdasarkan Perjanjian (The Treaty Based

Mekanisme berdasarkan perjanjian adalah mekanisme yang dibentuk melalui perjanjian-perjanjian hak asasi manusia yang berada di bawah sistem PBB, terutama komite-komite dengan kewenangan untuk memeriksa dan

73

42

mengevaluasi praktik-praktik hak asasi manusia negara-negara anggota menurut tugas yang berasal dari konvensi-konvensi. Metode kerja mereka terkait erat dengan dokumen-dokumen pembentukannya yang membuat badan-badan ini bersifat legalistik sejak awal.74

Perjanjian-perjanjian hak asasi manusia internasional ini tidak hanya membentuk hak-hak spesifik untuk orang dan kewajiban-kewajiban bagi negara, melainkan juga membawakan mekanisme bagi pelaksanaannya di tingkat internasional. Bahasan ini akan membicarakan instrumen-instrumen pelaksanaan internasional yang disebut badan-badan perjanjian internasional menurut Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan KovenanInternasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB).75

Pada umumnya terdapat empat (4) mekanisme utama pengaduan dan monitoring terhadap penerapan hak asasi manusia, meskipun tidak setiap mekanisme itu terdapat dalam ketujuh perjanjian HAM internasional ini. Adapun keempat mekanisme tersebut adalah:76

a. Mekanisme Laporan

Semua negara yang mengesahkan satu atau lebih perjanjian internasional tersebut berkewajiban untuk menyampaikan laporan berkala mengenai tindakan-tindakan yang diambil negara tersebut untuk mengimplementasikan standar hak asasi manusia yang tercantum dalam konvensi-konvensi yang bersangkutan

74 Rhona, HAM, 170 75 Rhona, HAM, 187 76 Dara, HAM PBB, 9

43

menurut komite hak untuk ekonomi, sosial, dan budaya dalam komentar umum no. 1 tahun 1989.77

Mekanisme ini dibangun oleh badan/komite bersangkutan untuk memantau kemajuan penerapan kewajiban Negara sebagaimana tertera dalam perjanjian. Hal ini dilakukan melalui berbagai laporan yangwajib disampaikan oleh Negara dalam periode tertentu pada Komite bersangkutan. Komite mengadakan pertemuan secara periodik diantara mereka sendiri dan pertemuan delegasi Negara Pihak. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut Komite melakukan penilaian atas laporan yang dibuat oleh negara dan mengajukan sejumlah pertanyaan klarifikasi. Setelah itu Komite membuat kesimpulan dan rekomendasi. Biasanya Komite mengidentifikasi hal-hal positif yang telah dicapai, persoalan yang masih krusial dan rekomendasi tertentu.78

b. Pengaduan Individu

Beberapa diantara konvensi ini yaitu ICCPR (Protokol Pilihan 1), CAT (pasal 22), CERD (pasal 14) dan MWC memberi wewenang pada Komite untuk menerima dan memeriksa pengaduan yang disampaikan secara individual. Mekanisme ini berhubungan dengan pengaduan dari individu atau kelompok yang percaya bahwa hak-hak asasinya telah terlanggar.79 Individu-individu dapat mengajukan petisi kepada Komite Hak Asai Manusia yang memantau KIHSP, Komite Tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial, Komite tentang Penghapusan

77 Rhona, HAM, 187 78 Dara, HAM PBB, 9-10 79 Rhona, HAM, 189

44

Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan Komite Menentang Penyiksaan.80

c. Pengaduan Antar-Negara

Pengaduan dilakukan oleh Negara pihak terhadap Negara pihak lainnya yang dianggap melanggar kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Negara yang menerima komunikasi wajibh memberi tanggapan, jika tidak Negara pengadu dapat membawa masalah ini kepada badan perjanjan yang berwenang. Badan itu kemudian mencari pemecahan yang dapat diterima kedua belah pihak.81

Pengaduan antarnegara dapat disampaikan kepada Komite Hak Asasi Manusia yang memantau KIHSP, Komite TentangPenghapusan Diskriminasi Rasial, dan Komite Menentang Penyiksaan. Mekanisme pengaduan antarnegara menurut Komite tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya dibentuk berdasarkan konvensi tetapi belum berlaku. Tidak seperti sistem pengaduan individual, mekanisme pemantauan ini tidak pernah digunakan dalam sistem PBB.82

d. Mekanisme Investigasi

Mekanisme yang hanya ada pada dua konvensi HAM yaitu CEDAW dan CAT memberi wewenang pada komite untuk melakukan investigasi atas dugaan pelanggaran hak asasi dengan syarat pelanggaran tersebut bersifat berat atau sistematis. mekanisme ini tidak mensyaratkan exhaustive remedies. Hasil dari penyelidikan bersifat rahasia sampai proses penyelidikan berakhir. Komite

80 Dara, HAM PBB, 10 81 Dara, HAM PBB, 10 82 Rhona, HAM, 190

45

kemudian menyerahkan laporan itu kepada negara yang bersangkutan melalui Sekretaris Jendral PBB. Enam bulan setelah itu, komite dapat melakukan langkah-langkah untuk menindaklanjuti hasil laporang itu bersama negara yang bersangkutan. Mekanisme-mekanisme ini sekaligus merupakan fungsi dari lembaga-lembaga hak asasi yang dibentuk oleh perjanjian tersebut. Disamping keempat fungsi tersebut beberapa lembaga ini memiliki kewenangan untuk membuat general comments yang menginterpertasikan aturan-aturan yang ada dalam perjanjian tersebut, seperti kewenangan dari Komite Hak EkonomiSosial Budaya.83

General comment ini berguna untuk mengelaborasi standar dari hak yang bersangkutan. Standar ini kelak dapat digunakan sebagai dasar untuk mengukur pemenuhan hak asai manusia di sebuah Negara. Ketidak seragaman dalam fungsi masing-masing komite HAM juga terjadi pada jumlah anggota yaitu antara 10 - 23 anggota pakar. Dan mereka umumnya bersidang 2-3 kali di Geneva atau New York.84

Mekanisme dan Tugas Badan-badan perjanjian internasional menurut KovenanInternasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) seperti dalam diagram diatas.

C. Prosedur Khusus PBB dan Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 83 Dara, HAM PBB, 10-11 84 Dara, HAM PBB, 10-11

46

Pelapor khusus merupakan para ahli independen yang diberikan mandat untuk isu HAM tertentu atau negara tertentu. Pelapor khusus kebebasan beragama dan berkeyakinan (PK-PBB) merupakan salah satu prosedur khusus yang dibentuk dan melaporkan kepada Dewan HAM PBB sesuai dengan Resolusi Dewan HAM No. 4/10 tanggal 30 Maret 2007. Pelapor ini bekerja sesuai dengan standar HAM, secara khusus yang berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Standar-standar ini dapat dijumpai dalam konvensi, perjanjian, komentar umum, deklarasi ataupun resolusi yang diadopsi oleh negara-negara ataupun badan PBB lainnya.85

Pada tahun 1986, Komisi HAM PBB (sekarang Dewan HAM PBB) telah memandatkan Pelapor Khusus (Special Rapporteur on Religious Intolerance, kini dikenal sebagai Special Reporteur on Freedom of Religion or Belief). Pelapor Khusus ini bekerja dengan mandat untuk menjalankan ketentuan hukum internasional, diantaranya adalah pasal 18 DUHAM tahun 1948, Pasal 18 konvensi ICCPR tahun 1966 dan juga Declaration on Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief tahun 1981 (selanjutnya disebut Declaration on Religion/DR 1981, 25 November 1981).86

Pada bulan Juni 2010, Dewan HAM PBB memperluas mandat dalam kurun tiga tahun sebagai bentuk kontribusi penting dalam proses kerja yang sedang dilaksanakan oleh Pelapor Khusus untuk perlindungan, pemajuan dan

85 Laporan PK-PBB, Asma Jahangir:

promotion and Protection of All Human Rights, Civil, Political, Economic, Sosial, Cultural Rights, including The Right to Development, (A/HR/6/5, 20 July 2007), h.5.

86 Alamsyah Djafar, dkk, Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Asia Tenggara: Kerangka

47

implementasi secara menyeluruh hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.87

Ada beberapa aktivitas yang dilakukan oleh pelapor khusus dalam konteks pemajuan dan perlindungan hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan, di antaranya adalah mengirimkan komunikasi kepada negara-negara terkait dengan kasus-kasus pelanggaran yang terjadi, melakukan kunjungan ke negara secara resmi (official visit), terlibat dalam pertemuan-pertemuan dengan perwakilan negara, kelompok agama, atau organisasi masyarakat sipil, serta mengirimkan pernyataan, pidato dan pernyataan publik.88

Pelapor Khusus, menyampaikan sejumlah laporan dan/atau klarifikasi terkait aspek khusus ha atas kebebasan beragama. Sebagaimana contoh Human Rights Council memperjelaskan bahwa:

....kebebasan berfikri, berkeyakinan dan beragama (atau dikenal sebagai forum internum), sebagai contoh, hak untuk memilih agama, adalah hak absolut dan sama sekali tidak bisa diintervensi atau dicampurtangani dalam bentuk apapun

Pelapor khusus kebebasan beragama dan berkeyakinan telah mencatat:

“special attention must be given to the forum internum component of

freedom of religion or belief, which enjoys the states of an absolute guarantee underinternational human rights law. With regard to the

freedom to manifest one‟s religion or belief, both the positive and negative

87

Alamsyah, Kebebasan beragama, 8

88 Bentuk-bentuk aktivitas ini yang selalu dilaporkan oleh pelapor secara berkala kepada Dewan

48

aspects of that freedom must be equally ensured, i.e. the freedom to

express one‟s conviction as well as the freedom not to be exposed to any

pressure, especially from the State authirities or in State institutions, to

practice religious or belief activities against one‟s will.”

Berdasarkan catatan Pelapor Khusus, pemaksaan agama tertentu merupakan bentu yang dilarang dalam hukum HAM, sebagaimana dijelaskan berikut:

“...any form of coercion by state and non-state actors aimed at religious conversion is prohibited under international human rights law, and any

such acts have to be dealt with within the remit of criminal and civil law.”

Disamping keterangan tersebut, salah satu tema penting dalam konteks Kebebasan Beragama dan HAM adalah terkait dengan dokumen yang dilangsir oleh Dewan HAM PBB tahun 2011.89 Dokumen ini kemudian diadopsi oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi No. A/RES/66/167 dengan judul

“Combating Intolerance, Negative Stereotyping, Stigmatization, Discrimination, Incitement to Violence and Violence Against Persons, Based on Religion or Belief, pada 27 Maret 2012. Di akhir dokumen, Resolusi ini menggarisbawahi bahwa hendaknya setiap negara mengambil peranannya di ranah domestik dalam pembangunan lingkungan toleransi beragama, kedamaian dan saling menghormati.90

89 Human Rights Council Resolution 16/18 of March 2011. 90

49

BAB IV

Upaya PBB dalam Mendorong Perlindungan Kebebasan

Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia tahun 2012

Isu kebebasan beragama tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB. Hak kebebasan beragama dinyatakan secara terinci dalam kovenan internasional internasional tentang sipil politik pasal 18 yang isinya sebagai berikut:91

“(1) setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamatan dan pengajaran. (2) tidak seorangpun boleh dipaksa sehingga menganggu

kebebasannya sesuai dengan pilihannya.”

Dari redaksi konsttitusional diatas PBB memiliki legitimasi dalam perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), menurut Muhammad Hafiz, peneliti HAM Internasional, Upaya PBB dalam Perlindungan KBB dapat dilihat dalam tanggungjawab PBB sebagai lembaga internasional. Dari segi sejarah memang isu kebebasan beragama sudah ada sejak DUHAM dibentuk

91

Musdah mulia, dala Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama disa paika pada a a a

konsultasi Publik untuk Advokasi terahdap RUU KUHP yang diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP tanggal 4 Juli 2007 Jakarta

50

dan itu semakin besar untuk bagaimana melindungi hak kebebasan beragama. Bahkan pada tahun 1970-1980an sempat akan diadakan konvensi khusus terkait KBB. Walaupun masih ada penolakan oleh beberapa Negara sehingga muncul deklarasi perlindungan minoritas dan intoleransi, jadi cikal bakal perhatian PBB terhadap isu KBB ada dalam momen tersebut.

Dari perhatian itulah, PBB pada tahun 1950-an membentuk satu pelapor khusus atau satu prosedur khusus di bawah komisi HAM PBB yang diberi nama

„pelapor khusus untuk intoleransi dan diskriminasi‟ yang kemudian menjadi

„pelapor khusus untuk kebebasan beragama‟. Perhatiannya terhadap KBB sudah cukup tinggi, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Negara-negara lain.92

A. Peran PBB dalam menangani Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

Indonesia telah melalui dua putaran UPR Dewan HAM PBB. Pertama pada tahun 2008 dan kedua pada tahun 2012. Untuk sesi pertama, peninjauan oleh Working Group dilakukan pada 9 April 2008. Delegasi dari Pemerintah Indonesia adalah duta besar Rezlan Ishar Jenie. Pada 11 April 2008, Working Group mengadopsi laporan untuk Indonesia dan disahkan dalam paripurna Dewan HAM PBB pada 14 Mei 2008 melalui resolusi A/HRC/8/23.93

Peninjauan kedua UPR Indonesia dilakukan Working Group pada 23 Mei 2012 dan diadopsi pada 19 september 2012. Indonesia menerima 150

92

Wawancara Muhammad Hafiz, Program Manager UN –OIC Advocacy Human Rights Working Group (HRWG), di Kantor HRWG Cikini Jakarta Pusat, pada Tanggal 1 Juni 2015

93 Alamsyah Djafar, dkk., Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Asia Tenggara: Kerangka

51

rekomendasi, menolak 30 rekomendasi dan tidak satupun rekomendasi yang ditunda atau tanpa penjelasan.94

Kondisi kebebasan beragama di Indonesia menjadi perhatian Pelapor Khusus Dewan HAM PBB. Pada 2008, Pelapor khusus kebebasan beragama menyatakan bahwa pelarangan Ahmadiyah melalui Keputusan Bersama Menteri di Indonesia semakin meningkatkan resiko penyerangan terhadap mereka dari kelompok vigilante. Pada 2011, empat Pelapor khusus Pemerintah Indonesia juga terkait dengan meningkatnya penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah. Termasuk pula dalam hal ini komunikasi dari Komisi Tinggi HAM PBB, Navy Pillay.95 Adapun pernyataan Navy Pillay sebagai berikut:

“Dalam konstitusi Indonesia dikatakan bahwa setiap orang bebas memilih dan melaksanakan ibadah agama pilihan mereka. Indonesia adalah negara yang kaya budaya dan sejarah terkait keberagaman dan toleransi. Indonesia beresiko kehilangan ini semua jika tidak segera dilakukan tindakan tegas. Untuk itu, pemerintah Indonesia segera mengamandemenkan atau menghapuskan undang-undang Penodaan Agama tahun 1965, keputusan menteri tahun 1969 dan 2006 soal pendirian rumah ibadah, dan Surat Keputusan Bersama Menteri tahun

2008 soal Ahmadiyah.”

Dalam mekanisme Universal Periodec Review (UPR), Indonesia mendapatkan perhatian serius di bidang kebebasan beragama oleh Negara-negara

94 Alamsyah Djafar, Kebebasan Beragama 95

52

PBB. Tidak kurang dari 27 Negara menyampaikan perhatiannya, yaitu Austria, Qatar, Bangladesh, Brazil, dan seterusnya.96

Dari sejumlah rekomendasi yang muncul, ada beberapa isu kebebasan beragama yang dapat dapat disebutkan disini, diantaranya adalah: dorongan untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan perlindungan bagi kelompok minoritas dari ancaman kekerasan (rekomendasi paragraph 108.111, 108.112, 108.113, 108.115), mendorong upaya menghapuskan diskriminasi dan menghormati hak hak minoritas agama (paragraph 108.102, 108.107, 108.110), mendorong toleransi beragama dan kerukunan melalui FKUB (paragraph 108.97, 108.100., 108.109, 108.`139), melakukan review peraturan, kebijakan dan mengambil langkah legislasi agar sesuai dengan hak kebebasan beragama di dalam konstitusi dan instrument internasional, termasuk pula menegakkan hukum para pelaku pelanggaran (paragraph 108.98, 108.99, 108.103, 108.104, 108.105, 108.108, 108.109, 108.112), melakukan training dan kampanye untuk meningkatkan kesadaran petugas negara dalam isu kelompok agama (paragraph 108.101) dan pemenuhan hak-hak ekonomi dan sosial kelompok minoritas (108.144). 97

Terkait Upaya PBB dalam menangani perlindungan KBB di Indonesia, HRWG (Human Rights Working Group) berpendapat bahwa ada perhatian khusus yang diberikan karena ada fenomena meningkatnya kasus-kasus intoleransi dan meningkatnya kekerasan berbasis agama terutama pasca reformasi. Sehingga

96 Report of working group on the Universal Periodec Review: Indonesia (A/HRC/21/7) 97

53

respon dari masyarakat sipil di Indonesia juga mendorong perhatian PBB untuk lebih serius memperhatikan Indonesia. Dalam konteks itu, sebenarnya perhatian PBB tidak bisa dilepaskan dari dorongan aktor di tingkat nasional yang selalu memberikan update dan informasi bahkan beberapa kali pertemuan dengan pelapor khusus, baik secara langsung ataupun tidak, agar Indonesia diperhatikan.98

Adapun tantangan bagi PBB dalam perlindungan KBB di Indonesia bahwa PBB merupakan lembaga internasional yang sangat terkait dengan dua hal. Pertama, bagaimana soal etika hubungan antar Negara itu dibangun Negara dengan warga negaranya. Kedua, soal peranan politisnya untuk mendesak Negara-negara, walaupun secara tidak langsung. 99

Dari segi politis, tentu, pelapor khusus atau PBB sendiri memiliki peran penting untuk menekan pemerintah Indonesia secara tidak langsung, baik secara vulgar melalui mekanisme-mekanisme yang ada di PBB. Misalnya, lewat sidang dewan HAM dimana didalamnya ada proses UPR atau melalui sarana-sarana diplomatik dengan mengirimkan surat kepada pemerintah Indonesia, entah itu dari OHCHR atau dari pelapor khususnya sendiri atau dari Komisi HAM nya sendiri. Jadi ada layer-layer yang digunakan PBB untuk memperhatikan kasus-kasus di Indonesia dan memunculkan peranan tersendiri bagaimana menekan pemerintah Indonesia.100

98

Wawancara Muhammad Hafiz, Program Manager UN –OIC Advocacy Human Rights Working Group (HRWG), di Kantor HRWG Cikini Jakarta Pusat, pada Tanggal 1 Juni 2015

99 Ibid. 100

54

B. Alasan PBB mengeluarkan Rekomendasi terkait Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia

Ada beberapa forum yang diangkat untuk mengangkat isu kebebasan beragama. Dalam catatan Human Rights Working Group (HRWG), setidaknya, ada dua momen yang begitu kuat ditingkat internasional dimana kasus Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama menjadi perhatian bagi Negara-negara anggota PBB atau bahkan pelapor khusus.101

Pertama, ketika UPR dilakukan pada tahun 2012. UPR adalah mekanisme review Negara terhadap situasi hak asasi manusia secara umum. Ditambah lagi masyarakat sipil ketika itu merasa penting mengangkat isu KBB yang memang sangat kritis. Intolerasi meningkat dibarengi dengan tindak kekerasan. ada kasus Cikesik dan Sampang yang terjadi beberapa kali, kemudian Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Philadelpia yang tidak kunjung selesai belum lagi kasus-kasus lain yang secara rutin dimonitor oleh masyarakat sipil. Sehingga merasa penting untuk mengangkat isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di forum UPR.102

Ada satu laporan khusus terkait Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang dibuat HRWG dan dijadikan modal untuk melobi, berdiplomasi dengan Negara-negara dewan HAM di forum UPR. Akibat dari itu, isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan menjadi sangat panas waktu itu bahkan menurut analisa HRWG, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang seharusnya tidak

101 Ibid.

102

55

dijadwalkan pergi, karena besarnya perhatian Negara-negara terhadap isu HAM, khususnya Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, Menteri Luar Negeri sendiri yang kemudian hadir di Forum UPR itu. Jika dilihat dari kasus per kasus, isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan memang paling tinggi perhatiannya dibandingkan dengan isu-isu lain. Dari 130 rekomendasi ada sekitar 30-35 rekomendasi yang spesifik membahas KBB103.

Kedua, ketika ada review di bawah mekanisme kovenan hak sipil politik di depan komite HAM PBB. Dimana mekanisme HAM PBB yang seharusnya hanya ada yang tertutup tetapi juga disediakan akses masyarakat sipil yang tidak terlalu politis sebagaimana di dewan HAM. Forum tersebut juga dapat digunakan sebagai laporan alternatif. Forum itu pula yang biasa digunakan oleh masyarakat sipil ketika itu untuk membuat laporan alternatif tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Hampir seluruh perhatian Komite HAM PBB pada tahun 2012 diberikan untuk isu-isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Sehingga ada banyak rekomendasi spesifik yang berbicara tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Salah satu rekomendasinya adalah Indonesia harus meningkatkan dialog antar umat beragama, harus mencabut PNPS, mencabut Undang Undang penodaan agama, menjamin pendirian rumah ibadah, dan seterusnya.104

103 Ibid.

104

56

Dua momen itu yang cukup memberikan efek baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak terhadap pemerintahan untuk melakukan perlindungan di dalam negeri.105

C. Respon Indonesia terhadap Rekomendasi Mekanisme PBB

Peninjauan kedua UPR Indonesia dilakukan Working Group pada 23 Mei 2012 dan diadopsi pada 19 september 2012. Indonesia menerima 150 rekomendasi, menolak 30 rekomendasi dan tidak satupun rekomendasi yang ditunda atau tanpa penjelasan.106

Adapun rekomendasi-rekomendasi yang tidak diterima oleh Pemerintah Indonesia, di antaranya adalah mengundang Pelapor Khusus Kebebasan Beragama (Paragraf 109.17, 109.18 dan 109.19) dan dorongan untuk merevisi atau menghapuskan peraturan atau keputusan yang membatasi kebebasan beragama, termasuk pula UU no 1/PNPS/1965 dan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.107

Adapun respon Indonesia terhadap mekanisme HAM PBB, menurut HRWG, ada yang sisi positif ada juga yang sisi negatif. Positif maksudnya menjadikan rekomendasi itu sebagai bahan evaluasi walaupun sebetulnya sangat kecil yang merespon secara positif. Selebihnya, sebetulnya tidak merespon secara negatif tetapi ada semacam penolakan atau bersikap defensif terhadap serangan-serangan itu dengan mengatakan bahwa “yaa itu kan Cuma segelintir kasus, dari

105

Ibid.

106

Alamsyah Djafar, dkk., Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Asia Tenggara: Kerangka Hukum, Praktik, dan Perhatian Internasional (Jakarta: HRWG, 2012), 79

107

57

sebanyak itu kan cuma GKI Yasmin dan HKBP Philadelpia yang bermasalah, Ahmadiyah cuma di Cikesik saja, Sampang juga cuma ada satu”. Seakan menolak rekomendasi-rekomendasi tersebut dan menolak fakta yang ada. 108

Walaupun begitu ada keyakinan bahwa pemerintah pasti merasa harus memperbaiki diri dan mencoba jangan sampai kasus ini terulang kembali dan kembali memperburuk citra Indonesia di mata dunia hanya karena permasalahan-permasalahan kecil yang sebenarnya tidak terlalu sulit untuk diselesaikan.109

Menurut Wahid Institute Peran PBB dalam melindungi KBB di Indonesia dianggap efektif, karena isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dan isu-isu yang lain menjadi bagian dari pergaulan internasional. Kalau ada permasalahan dengan isu-isu ini maka dunia akan menyoroti Indonesia sebagai negara yang tidak menghormati HAM. Itu juga akan menjadi masalah dalam konteks hubungan internasional. 110

Hal tersebut secara tidak langsung menekan pemerintah untuk melakukan antisipasi dan dari kacamata aktivis NonGovermental Organization upaya tersebut cukup efektif. Misalnya, jika indonesia dianggap negara intoleran maka dimata internasional ada noda sehingga pemerintah mulai berfikir bagaimana merespon ini untuk mengembalikan citra indonesia dengan melakukan langkah-langkah yang telah ditetapkan. Meskipun langkah-langkahnya belum sesuai dengan apa

108 Wawancara Muhammad Hafiz, Program Manager UN –OIC Advocacy Human Rights Working Group (HRWG), di Kantor HRWG Cikini Jakarta Pusat, pada Tanggal 1 Juni 2015

109

Ibid.

110 Wawancara Alamsyah Djafar, Peneliti Wahid Institute, di Hotel House of Arsonia, Bendungan

Dokumen terkait