Prof DR H Soedijarto, MA Guru Besar UNJ
A TREND PERKEMBANGAN PENDIDIKAN NASIONAL
C. KONDISI OBJEKTIF PENGELOLAAN PENDIDIKAN NASIONAL
1. Tidak Utuhnya Sistem Pengelolaan Nasional Pendidikan Indonesia
Dengan diberlakukannya UU N0 22/ 1999 tentang otonomi daerah berimplikasi terhadap pengelolaan pendidikan di seluruh wilayah NKRI secara disentralistik dengan otonomi diberikan penuh kepada
Pemerintah Kabupaten dan Kota untuk mengelola pendidikan diwilayah kewenangannya. Dalam pengelolaan yang disentralistik itu, sistem pengelolaan ternyata terputus menjadi tiga potongan sistem, yaitu: sistem ditingkat pusat, sistem ditingkat propinsi dan sistem ditingkat kabupaten/kota. Ketiga potongan sistem ini tidak memiliki hubungan hirarkis . Karena itu proses pengelolaan pendidikan tidak mengalir mulus dari tingkat pusat ketingkat propinsi dan dari tingkat propinsi ketingkat kabupaten /kota. Disdik propinsi bertanggung jawab kepada Gubernur, Disdik kabupaten dan Disdik kota masing‐masing beranggung jawab kepada Bupati dan Walikota. Dengan demikian yang disebut dengan menteri pendidikan sebagai top eksekuitv secara hirarkis organisatoris bukan atasan Disdik Propinsi dan Kepala Disdik propinsi bukanlah atasan Disdik kabupaten kota. Sistem pengelolaan nasional pendidikan seperti yang diamanatkan oleh konstitusi 1945 secara utuh tidak ada. Kalau sistem pengelolaan nasional tidak terbentuk secara utuh, maka pengelolaan pendidikan secara nasional tidak dapat dilakukan. Yang terjadi adalah pengelolaan pendidikan didaerah oleh pemernitah daerah kabupaten/kota. Pemerintah daerah pada tingkat propinsi secara praktis tidak memiliki kewenangan secara langsung untuk mengelola penidikan ditingkat propinsi. Kewenangan untuk mengelola pendidikan ditingkat propinsi itu didistribusikan seluruhnya kepada kabupaten/kota yang ada di setiap propinsi.
Pendidikan non formal yang jumlah dan jenisnya tidak terhitung banyaknya diletakkan dibawah tanggung jawab Kemendikbud, dan seharusnya dikelola secra disentralistik. Kenyataanya secara praktis Pemerintah daerah lebih memfokuskan kepada pengelolaan sekolah‐sekolah yang ada diwilayahnya. Madrasah dari jenjang RA hingga MA yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia dikelola oleh Kementrian Agama secara sentralistik. Memang terdapat koordinasi dalam hal tertentu seperti penerapan kurikulum nasional, pelaksanaan akreditasi yang diletakkan dalam tanggung jawab dan kewenangan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun secara praktis pengelolaan madrasah ini berada sepenuhnya dibawah tanggung jawab dan nkewenangan Kementrian Agama yang dikelola secara sentralistik. Karena pengelolaan yang terpisah ini pula, pemernitah kabupaten /kota tidak memiliki kewenangan untuk mengelola madrasah yang ada diwilayah kekuasaannya. Dengan demikian, amatlah sulit bagi madrasah ini untuk memperoleh bantuan pendanaan melalui APBD, karena secara legal bukan merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Kondisi seperti ini menciptakan dilema dikalangan masyarakat daerah dan juga secara nasional dalam pembangunan bangsa.
Berbagai Kementrian lain seperti Kementrian Pertahanan, Kementrian Pertanian, dan Kementrian Kesehatan, meneyelenggarakan berbagai jenis pendidikan sesuai dengan kebutuhan masing‐masing kementrian. Penyelenggaraan pendidikan ini terlepas dari koordinasi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, walaupun berdasarkan UU Sisdiknas seluruh pendidikan berada dibawah tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Secara praktris Kemendikbud hanya mengelola satuan pendidikan yang secara terbatas dan praktis berada didalam tanggung jawab dan kewenangannya.
2. Tidak Terwujudnya Satu Kesatuan Leadership
Secara konseptual, didalam sebuah sistem harus selalu terdapat satu kesatuan leadership walaupun secara sistemik leadership ini berjenjang dan bercabang secara hirarkis, namun terdapat top leadership yang memiliki kewenangan untuk memimpin sistem secara keseluruhan. Didalam pengelolaan
pendidikan nasional yang disentralisitk saat ini, tidak terwujud satu kesatuan leadership. Setiap potongan atau sub sistem memliki leadership yang terpisah dari sitem besarnya. Hubungan antar subsistem juga tidak terwujud sehingga masingh‐masing subsistem berjalan sendiri‐sendiri secara otonom. Kesatuan leadership hanya terdapat pada masing‐masing subsistem itu saja. Kesatuan leadership hanya terapat pada tingkat Kabupaten/Kota saja. Kesatuan leadership pada tingkat propinsi sulit diwujudkan karena secara hirarkis tidak terdapat hubungan vertikal antara propinsi dan Kabupaten/Kota. Komunikasi antar Kabupaten /Kota secara organisasi juga tiak mudah dilakukan. Kesatuan leadership antara Kemendikbud dengan berbagai kementerian lain yang menyelenggarakan berbagai jenis pendidikan juga sulit terwujud karena tidak berada didalam satu sitem hirarki. Kesatuan leadership hanya terwujud secara internal pada masing‐masing kementrian tersebut. Pengelolaan pendidikan yang cakupannya begitu besar dan kompleks dengan sistem yang tidak terintegrasi secara nasional, menyulitkan dalam pembangunan kualitas bangsa secara nasional.
3. Undang‐ Undang BHP: Suatu upaya mewujudkan sebuah Sistem Pengelolaan Nasional Pendidikan
Undang‐undang BHP yang telah lahir namun belum berpeluang untuk dilaksanakan, telah dihapuskan terlebih dahulu oleh MK dengan alasan sangat sederhana yaitu bertentangan atau melanggar Konstitusi 1945. Namun bila dikaji secara cermat dan sungguh‐sungguh dan ditinjau dari kacamata penyelenggaraan pendidikan nasional, Undang‐Undang BHP inilah yang secara rinci telah mampu melahirkan sebuah sistem pengelolaan nasional secara rinci mencakup seluruh satuan pendidikan, semua jenis dan jenjang pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi secaa nasional. Dan undang‐undang BHP inilah yang sesungguhnya telah mampu menjawab amanat konsitutsi 1945 untuk mewujudkan sebuah sistem penyelenggaraan pendidikan nasional untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penghentian atau penghapusan Undang‐Undang BHP ini bertumpu pada alasan‐alasan hukum dan tidak samasekali dikaji dari kacamata pendidikan bangsa khususnya kacamata penyelnggaraan pendidikan nasional dengn satu sistem pengelolaan nasional yang diamanatkan oleh Konstitusi 1945. Akibat dari keputusan MK ini 7 perguruan tinggi besar di Indonesia mengalamai setback yang amat serius karena harus menata ulang sistem organisasi dan manajemen kelembagaannya, kembali kepada sistem perguruan tinggi negeri biasa.
4. Distribusi Kewenangan antara Pemenrintah Pusat dan Daerah dalam Berbagai Aspek Strategik Pendidikan Nasional
Dalam pelaksanaan pengelolaan pendidikan secara disentralisitk ini memang terdapat distribusi kewenangan dan tanggung jawab secara parsial antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, namun tidak secara spesifik menyangkut substansi strategiknya. Aspek‐aspek strategik yang menyangkut pembangunan bangsa secara nasional adalah : guru, dosen, kurikulum dan pendanaan. Berikut ini uraian rinci tentang berbagai aspek strategik pendidikan nasional yang memiliki fungsi nasional yang seharusnya dikelola secara nasional dan tidak diletakkan dalam tanggung jawab dan kewenangan pemerintah daerah.
a. Guru
Guru memiliki fungsi srategik secara nasional untuk membangun warganegara yang cinta tanah air, cinta bangsa, cinta bahasa dan budaya nasional, cinta persatuan dan kesatuan dan cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena fungsi yang strategik inilah guru perlu dikelola secara nasional dalam hal rekruitmen, penetapan penerimaan, penggajian dan distribusi kepada setiap Kabupate. Pemerintah daerah berfungsi untuk mengindentifikasi kebutuhan, mengatur penempatan diwilayahnya dan pemanfaatannya. Hal‐hal yang berkaitan dengan penggajian dan berbagai tunjangan fungsional dan profesi harus dikelola secara nasional sehingga guru dapat dengan leluasa bertugas dimana saja dinegara ini. Mobilitas untuk bertugas tanpa hambatan birokrasi ini amat strategik sehingga distribusi guru dapat diseimbangkan antar berbagai akabupaten/kota didalam maupun antar propinsi sehingga fungsi strategik secara nasional dalam membangun bangsa dapat diwujudkan.
b. Dosen
Dosen perguruan tinggi juga memiliki fungsi nasional dalam rangka mewujudkan pendidikan untuk cinta bangsa,persatuan dan kesatuan cinta tanah air dan cinta kebudayaan nasional. Mobilitas untuk membantu pergruan tinggi lain yang tersebar melalui berbagai program bantuan dosen harus dimungkinkan tanpa mengalami persoalan penggajian. Dosen seperti halnya guru, dapat bertugas di pergruan tinggi manapun dan dapat menerima gajinya dengan normal ditempat ia bertugas.
c. Kurikulum
Kurikulum yang bersifat nasional untuk setiap satuan pendidikan seperti yang berkaitan dengan standard, struktur, mata pelajaran inti, sistem pengembangan dan evaluasi secara nasional perlu diletakkan dalam kewenangan nasional. Hal‐hal yang berkaitan dengan implementasi teknis dan pengembangan strategi pembelajaran merupakan kewenangan satuan pendidikan.
d. Pendanaan
Pendanaan Pendidikan yang menyangkut distribusi dana yang bersumber dari APBN seperti penetapan pagu alokasi sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku perlu diletakkan dalam kewenangan nasional untuk menghindarkan penyalahgunaan dana yang telah ditetapkan. Hambatan yang sangat besar, adalah yang berkaitan dengan proses politik yang terjadi pada setiap pemerintah Kabupaten / Kota terutama yang berkaitan dengan proses politik dalam penetapan anggaran untuk pendidikan dalam APBD. Proses politik di DPRD inilah yang menyebabkan keterlambatan dalam implementasi anggaran dan merupakan permasalahan yang amat serius bagi penyelenggaraan pendidikan, sebab pendidikan tidak bisa ditunda dan harus berjalan terus, walaupun tanpa anggaran pendidikan.
5. Kendali yang Ketat Dalam Pengelolaan Perguruan Tinggi
Sistem pengelolaan perguruan tinggi yang berlaku saat ini amat sentralistik. Otonomi perguruan tinggi sulit berkembang. Kemajuan perguruan tinggi terhambat sebagai akibat kendali yang ketat dalam berbagai hal yang dialami perguruan tinggi. Pengembangan mutu mengalami banyak kendala karena aloksi dana yang diperlukan untuk mendorong innovasi dan kreativitas amat terbatas. Pendanaan untuk
biaya operasional saja bila dibandingkan dengan perguruan tinggi di berbagai negara tetangga, amat terbatas karena itu kemajauan yang pesat sulit diwujudkan. Dalam proses pemilihan Rektor umpamanya , suara menteri 35% dari jumlah suara dalam pemeilihan tersebut. Ini menunjukkan kuatnya kendali pemerintah untuk pergruan tinggi. Dengan dikendalikannya Rektor sedemikian rupa, maka kreativitas dan prakarsa sulit muncul karena khawatir akan tidak disetujui rektor. Aspek‐aspek strategis pengembangan mutu pergruan tinggi seperti dosen, research, peralatan laboratorium dan teknologi yang mendukung kemajuan pergruan tinggi masih terbatas.Kecenderungan pergruan tinggi pada setiap daerah untuk mengkerut dengan memunculkan “putera asli daerah” dalam setiap pergantian pimpinan menyulitkan perkembangn pergruruan tinggi secara nasional.
6. Pengelolaan Madrasah
Madrasah dari RA hingga MA dengan berbagai jenisnya dikelola secara sentralistik oleh Kementrian Agama RI. Struktur organisasi dari pusat hingga tingkat propinsi,Kabupaten/Kota dan bahkan satuan pendidikan disusun secara sentralistik. Lebih dari 90% madrasah ini berstatus swasta. Dengan keterbatasan sumber daya, terutama pendanaan yang terbatas, maka kondisi umum madrasah ini dari segala sisi amat memprihatinkan. Dengan alasan bahwa madrasah ini dibawah tanggung jawab Kementerian Agama dan dikelola secara sentralistik, dukungan pemerintah daerah, baik tingkat propinsi maupun daerah melalui APBD, tidak diberikan. Karena itu perkembangan madrasah ini amat lamabat dan amat tergantung pada dukungan masyarakat yang secara umum kemampuan ekonomi masyarakat lemah. Gerakan untuk mendorong kemajuan madrasah melalui bantuan dari sumber dana luar negeri,pada sepuluh tahun terakhir, memang gencar dilakukan namun hanya dapat mencakup jumlah madarsah secara terbatas.
7. Pengawasan dan Pengendalian
Didalam sistem manajemen, kegiatan pengawasan dan pengendalian merupakan instrumen pimpinan untuk meyakinkan bahwa selruruh unsur strategik sitem berfungsi dengan efsien dan efektif. Apabila terjadi kesulitan, kesalahan, penyimpangan, maka tindakan yang bersifat pembinaan, pelurusan, dan koreksi dapat dilakukan sehingga sistem berfungsi normal kembali . Didalam pengelolaan Pendidikan nasional Indonesia, kegiatan pengawasan dan pengendalian berada pada pemerintah daerah terutama pemerintah Kabupaten/Kota. Pemerintah tingkat propinsi tidak memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota. demikian pula Pemerintah Pusat. Dengan demikian gambaran perkembangan dan kemajuan pengelolaan pendidikan baik pada tingkat propinsi maupun secara nasional sulit diperoleh karena pengelola pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota tidak memiliki tanggung jawab untuk memberikan laporan kepada pemerintah tingkat propinsi dan pemerintah pusat. Dengan demikian kemajuan, perkembangan, permaslahan aktual secara nasional sulit diperoleh kecuali dengan cara sendiri melalui program dan kegiatan tersendiri pemerintah pusat melakukan survey, penelitian, dan berbagai kegiatan lain yang langsung dikendalikan secara nasional untuk memperoleh gambaran umum perkembangan pendidikan nasional.
Berbagai kebijakan yang secara nasional ditetapkan dalam rangka pembangunan pendidikan nasional Indonesia merupakan tanggung jawab dan kewenangan pusat. Kebijakan tentang penuntasan wajar dikdas 9 tahun, BOS, sertifikasi guru dan dosen, penjaminan mutu, bantuan terhadap orang tua yang ekonominya lemah, bergantung kepada kemauan politik, dan kesungguhan daerah untuk melaksanakannya. Kecuali bila dijabarkan kedalam program pusat yang dikelola secara sentralisitik. Namun kaarena menyangkut kewenangan daerah, maka kerjasama dengan daerah diperlukan. Program seperti ini dapat terlaksana, namun dalam skala terbatas karena terbatasnya dukungan daerah. Kebijakan daerah acapkali tidak sesuai bahkan bertentangan dengan kebijakan pusat contohnya dalam rekrutmen ketenagaan, dalam penuntasan wajar dikdas 9 tahun, dan banyak lagi yang menyebabkan mandegnya pengelolaan pendidikan di daerah. Daerah memiliki prioritas sesui dengan kebutuhan pembangunan daerah. Prioritas ini dituangkan dalam kebijakan. Kebijakan inilah yang acapkali tidak konsisten bahkan bertentangan dengan kebijakan nasional.
9. Proses Politik dalam Pengelolaan Pendidikan
Proses politik dalam pengelolaan pendidikan di pusat dan di daerah harus terjadi dan tidak bisa dihindarkan karena menyangkut penetapan kebijakan baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah . Proses politik ini melahirkan keputusan legal yang mengikat semua pihak untuk melaksanakannya. Aspek penting dalam kaitannya dengan pengelolaan pendidikan adalah yang berkaitan dengn pendanaan dalam APBN untuk merelaisasikan amanat konstitusi 20% APBN pada tingkat pusat dan APBD pada tingkat daerah. Proses politik juga melahirkan berbagai keuputusan yang menetapkan prioritas program. Dalam proses politik inilah berbagai kepentingan muncul dan acapkali merupakan batu sandung dalam pembangunan pendidikan. Walaupun amanat konstitusi mentapkan 20% dari APBN seharusnya dialoksaikan untuk pendidikan , namun proses politik didaerah belum tentu menghasilkan 20% dari APBD, dialokasikan untuk pembanguan pendidikan didaerahnya . Hasil pemantuan secara nasional menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari Kabupaten/Kota yang memprioritaskan pembangunan pendidikan sesuai amanat konstitusi. Proses politik didaerah yang berlarut‐larut acapkali memperlambat pelaksanaan kegiatan pendidikan didaerah. Hasil pemantaun menunjukkan hampir semua daerah mengalami keterlambatan dalam pencairan aloksi dana untuk pendidikan.