• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memulihkan Kesemrawutan dalam Praktik Pendidikan di Sekolah

Dalam dokumen 3.EVALUASI INTEGRASI SOFT SKILLS (Halaman 191-200)

Oleh

  1 

 

Memulihkan Kesemrawutan dalam Praktik Pendidikan di Sekolah

Abdullah Pandang1

Abstrak. Hasil berbagai survey internasional berkaitan kinerja dan kualitas sumberdaya manusia hampir selalu yang menempatkan Indonesia pada peringkat bawah. Buruknya kualitas sumberdaya manusia Indonesia tersebut diduga kuat berhubungan dengan kualitas penyelenggaraan pendidikan kita. Karena itu, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk membedah perosoalan pendidikan guna mengenali penyakit yang membelenggu penyelenggaraan pendidikan kita. Makalah ini mencoba menunjukkan beberapa bentuk kesemrawutan yang menjadi “penyakit kronis” dalam praktik pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Ada empat kesem- rawutan yang menjadi fokus pembahasan, yaitu diskontinu tujuan pendidikan nasional dalam tujuan pembelajaran di sekolah; diskontinu tujuan pendidikan dalam praktik pembelajaran di sekolah; disharmoni berbagai aktivitas dalam proses pendidikan dan pembelajaran; dan inkonsistensi tujuan pendidikan dengan fokus dalam evaluasi. Berbagai distorsi dalam penyelenggaraan pendidikan ini perlu dicermati dan dibenahi guna memulihkan pendidikan agar dapat berfungsi normal kembali dalam memproses dan menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas.

Kata-kata kunci: kualitas SDM, mutu pendidikan, kesemrawutan pendidikan.

PENDAHULUAN

Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusianya. Dengan sumberdaya manusia yang berkualitas, suatu bangsa akan dapat menghadapi, mengelola, dan menuntaskan permasalahan dan tantangan yang dihadapinya. Itu sebabnya, setiap bangsa selalu berupaya membangun dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya.

Pendidikan merupakan wahana utama untuk meningkatkan kualitas hidup sumberdaya manusia. Pendidikanlah yang diharapkan menjadi tumpuan dalam melahirkan sumberdaya manusia yang mampu mengatasi problem kehidupan yang makin kompleks, baik yang dihadapi oleh masing-masing individu, maupun yang

       1  

Abdullah Pandang adalah dosen pada Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP UNM,  sedang menempuh studi S3 pada program studi Ilmu Pendidikan di PPS UNM 

  2 

 

dihadapi oleh masyarakat, bangsa, dan komunitas global. Sebaliknya, pendidikan juga yang dijadikan kambing hitam bagi kegagalan suatu bangsa dalam memajukan sumberdaya manusianya.

Dalam kenyataan, berbagai data hasil survey internasional terkait dengan kinerja pembangunan dan kualitas sumberdaya manusia hampir selalu menempatkan Indonesia pada posisi peringkat terakhir. Data tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), misalnya menunjukkan, Indonesia masuk kelompok Medium Human Development, yaitu menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), ke-109 (1999) dan ke-111 (2007) dari 182 negara. Laporan United Nation Development Program (UNDP) tahun 2011 menunjukkan peringkat Indonesia ini adalah 0,617 atau sedikit naik dari IPM 2010 yaitu 0,6. Namun dari segi peringkat, kualitas hidup manusia Indonesia kini berada di posisi ke-124 dari 187 negara, melorot jauh dari urutan ke-108 pada tahun lalu. IPM Indonesia tersebut masih di bawah IPM negara-negara Asia Timur dan Pasifik yang berada di angka 0,671. Bahkan di Asia Tenggara, Indonesia hanya unggul dari negara-negara seperti Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Laos. Sekadar perbandingan, Malaysia memiliki IPM 0,761 dan membuat negeri jiran itu bertengger di peringkat ke-61 dunia dan peringkat kedua di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Indonesia bahkan masih kalah dari Filipina dengan IPM 0,644 atau peringkat ke-112 global.

Peringkat IPM tersebut sejalan pula dengan hasil penilaian terhadap kinerja di bidang pendidikan. Menurut hasil survei World Competitiveness Year Book dari tahun 1997 sampai tahun 2007 pendidikan Indonesia juga selalu berada dalam urutan-urutan terakhir. Pada tahun 1997, Indonesia berada di urutan 39 dari 49 negara yang diteliti, tahun 1999 di urutan 46 dari 47 negara, tahun 2002 diurutan dari 49 negara, dan tahun 2007 menempati urutan ke 53 dari 55 negara yang disurvei. Sementara itu, Pendidikan Balitbang Kemdiknas (2011) merilis hasil merilis hasil studi internasional tentang literasi membaca untuk siswa sekolah dasar (Progress in International Reading Literacy Study, PIRLS), tahun 2006 yang menunjukkan bahwa rata-rata skor prestasi literasi membaca siswa kelas IV Indonesia (405) berada signifikan di bawah rata-rata internasional (500). Indonesia berada pada posisi 41 dari 45 negara peserta.

  3 

 

Di bidang politik dan ekonomi, Indonesia juga menunjukkan kinerja yang amat buruk. Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), yang dirilis pada bulan Maret 2010, masih menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia Pasifik. Jajak pendapat yang melibatkan 2.147 eksekutif bisnis internasional dari 16 negara itu memberikan skor 9,27 (angka paling buruk 10 ) untuk Indonesia. Di bidang ekonomi, data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), juga menunjukkan Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia.

Berbagai data tersebut, langsung atau tidak langsung, akan berkaitan dengan kualitas pendidikan. Semua kinerja yang rendah tersebut diduga kuat dikontribusi oleh kualitas penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Karena itu, menarik untuk membedah system dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia guan mengenai “penyakit kronis” yang mungkin menjangkiti praktik pendidikan kita. Makalah ini mencoa menyoroti beberapa persoalan dalam praktik pendidikan dan pembelajaran di Indonesia, dan beberapa tawaran upaya restorasi dan reorientasi yang dibutuhkan. PEMBAHASAN

Rendahnya kualitas sumberdaya manusia Indonesia bila dikomparasi dengan capaian bangsa-bangsa lain, seperti diindikasikan oleh sejumlah hasil survey sebagaimana dikemukakan pada bagian pendahuluan, adalah cerminan kualitas pendidikan kita. Bila pendekatan sistem digunakan dalam meneropong praktik pendidikan dan pembelajaran di sekolah, yang terlihat dalam teropong tersebut adalah rangkaian komponen pendidikan yang tidak beraturan, terpilah, dan cederung bekerja secara parsial. Kesemrawutan dan ketidakteraturan dalam praktik pendidikan dan pembelajaran, antara lain terlihat pada kasus-kasus berikut:

1. Diskuntinu tujuan pendidikan nasional dan tujuan pembelajaran di sekolah

Dalam Undang-undang Nomor Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

  4 

 

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Ditegaskan pula bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jika dicermati, tampak bahwa dalam rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut, tercakup semua dimensi kecerdasan yang dibutuhkan untuk menjadi pribadi yang unggul, baik spritual, emosional, sosial, maupun intelekstual.

Secara konseptual, rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut menjadi acuan dan arah dalam menjabarkan tujuan institusional (standar kompetensi lulusan) setiap satuan pendidikan. Selanjutnya, tujuan institusional ini menjadi acuan dan arah penjabaran tujuan kurikuler (standar kompotensi mata pelajaran), dan seterusnya dijabarkan lagi menjadi lebih spesifik sebagai tujuan instruksional (kompetensi dasar). Jika rangkaian penjabaran ini berjalan lurus dan konsisten, maka kompetensi- kompetensi perilaku yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional akan juga terefleksikan dalam rumusan tujuan instruksional dalam pembelajaran di sekolah.

Dalam praktik penyelenggaraan pendidikan, pola penjabaran rumusan tujuan pendidikan seperti yang disebutkan di atas ternyata “jauh panggang dari api”. Sejumlah kompetensi perilaku dan dimensi kecerdasan yang termaktub dalam rumusan tujuan pendidikan nasional, khususnya yang terkait dengan kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual, seperti “memiliki kekuatan spiritual keagamaan”, “pengendalian diri”, “kepribadian”, atau “akhlak mulia”, penjabarannya ke bawah, makin lama makin kabur dan kehilangan jejak. Kompetensi-kompetensi ini meskipun masih disebutkan kembali pada rumusan tujuan institusional, namun mulai kabur dalam rumusan tujuan kurikuler (standar kompetensi), dan hilang pada tataran tujuan instruksional (kompetensi dasar) pada berbagai mata pelajaran. Kondisi ini menjadi persoalan karena dalam merumuskan tujuan pembelajaran, guru umumnya hanya mengacu pada standar kompetensi dan kompetensi dasar. Akibatnya, kompetensi- kompetensi yang terkait dengan kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual tidak lagi menjadi target yang perlu dicapai dalam perumusan tujuan pembelajaran di sekolah.

  5 

 

Kompetensi-kompetensi semacam itu, tampaknya hanya dibebankan pada beberapa mata pelajaran, seperti pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan. Ini tentu tidak cukup. Ini terutama setelah melihat dalam praktik, proses pembelajaran mata- mata pelajaran tersebut juga cenderung hanya mengembangkan aspek kognitif dari perilaku moral dan keberagaaman. Oleh karena itu, setiap mata pelajaran di sekolah perlu bertanggung jawab untuk ikut merealisisakan tujuan-tujuan pendidikan yang terkait dengan kecerdasan non-intelektual itu.

2. Diskontinu tujuan pendidikan ke dalam praktik pendidikan

Fokus utama pendidikan adalah terselenggaranya proses pembelajaran. Hakikat pembelajaran adalah terjadinya proses belajar pada diri peserta didik. Selanjutnya, esensi proses belajar adalah terjadinya perubahan (kognitif, afektif, dan psikomotorik) pada diri peserta didik. Jika tujuan pendidikan di arahkan kepada pencapain perilaku X, misalnya, maka seharusnya, semua upaya dan daya hendaknya difokuskan dan diprioritaskan pada pencapaian perilaku X tersebut.

Apakah penyelanggaraan pendidikan kita telah berjalan seperti skema tersebut? Tampaknya, tidak selalu demikian, bahkan mungkin kebanyakan tidak demikian. Banyak aktivitas utama yang dilakukan dalam penyelengaraan pendidikan dan pembelajaran di sekolah tidak berfokus langsung pada implementasi hakikat pendidikan dan pembelajaran seperti ini. Aktivitas dalam penyelenggaraan dan proses pendidikan, ternyata hanya berkutat pada sisi peripheral (tidak esensial, sekunder) dari pendidikan dan pembelajaran. Kesibukan kerja, pengadaan barang dan peralatan, pelaksanaan program atau proyek, dalam rangkian kegiatan atas nama pendidikan, dilaksanakan sekedar ada kegiatan dan kesibukan, terkadang bahkan sekedar menjadi alasan untuk memperoleh keuntungan ekonomis.

Pada tingkat sekolah, terdapat sejumlah kasus yang menunjukkan bagaimana energi guru terkuras untuk merampungkan tugas-tugas sekunder ketimbang mencurahkan perhatian pada tugas primernya, yaitu mengajar di kelas. Namun demikian, dalam berbagai diskusi penulis dengan sejumlah guru pada berbagai kesempatan, khususnya pada jenjang SD, terungkap bagaimana energi mereka terkuras untuk melaksanakan sejumlah tugas administratif sekaitan dengan tugas

  6 

 

pembelajaran mereka. Sebagai guru kelas, mereka harus menyusun silabus dan Rencana Pelkasanaan Pembelajaran (RPP) pada setidaknya lima mata pelajaran pokok. Di beberapa tempat di Sulawesi Selatan, penyusunan silabus dan RPP ini ternyata masih mengharuskan guru menuliskannya dengan tulisan tangan. Dan seperti yang diakui oleh sejumlah guru yang diteliti (Pandang, dkk, 2003), pekerjaan semacam ini sungguh menguras energi. Kesempatan guru untuk menyiapkan diri dengan informasi dan mengusai bahan terkait dengan mata pelajaran yang akan diajarkan menjadi semakin sempit. Pada hal, menurut mereka, silabus dan RPP yang dibuat itu umumnya tidak sungguh-sungguh menjadi acuan pelaksanaan pembelajaran di kelas. RPP dibuat sekedar sebagai bahan yang dipersiapakan untuk menghadapi supervisi dan pengawasan dari kepala sekolah dan pengawas.

Fokus dan alokasi pembiayaan dan penganggaran pendidikan, pada berbagai level pembangunan, juga seringkali menunjukkan fenomena yang timpang. Idealnya sebagian besar anggaran pendidikan dialokasikan untuk mendukung terciptanya proses pembelajaran yang bermutu di kelas. Tapi kenyataannya, seringkali terlalu banyak anggaran yang dihabiskan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang bersifat sampingan, seperti perjalanan dinas, perlatan dan fasilitas kantor, dan menomorduakan pengalokasian dana pada kegiatan yang primer dan esensial bagi peningkatan pembelajaran. Di beberapa sekolah, misalnya, seringkali kita memilihat pemandangan yang paradox. Di satu sisi, tampak kantor kepala sekolah yang dipenuhi sejumlah fasilitas yang relatif mewah, seperti AC, TV, ataupun perangkat lain yang dapat memberi rasa nyaman. Tetapi di sisi lain, terlihat ruang dan fasilitas untuk membelajarkan peserta didik justeru kondisinya kurang kondusif, karena banyaknya fasilitas pembelajaran (bangku, meja, papan tulis, dsb) yang rusak, ruang dan peralatan laboratotium yang tidak tersedia, ataupun media dan sumber pembelajaran yang minim.

Penyelenggaraan pendidikan di sekolah juga tampaknya telah bergerak ke arah yang tidak menuju pada pencapaian tujuan esensial pendidikan. Peserta didik mengikuti pelajaran agar bisa memperoleh nilai tinggi, mengikuti ujian agar bisa lulus dan mendapatkan ijasah, meskipun tanpa harus mengerti dan mengusai betul apa yang dipelajari. Sejumlah sekolah pun menghabiskan sebagian besar energi untuk membantu peserta didik untuk sukses dan lulus ujian nasioal demi

  7 

 

memperbaiki citra sekolah, bukan agar peserta didik mampu mengusai standar kompetensi lulusan yang seharusnya mereka kuasai. Kegiatan ekstrakurikuler dirancang, bukan terutama sebagai kesempatan belajar mewujudkan potensi diri, melainkan sebagai upaya memperoleh gelar dan penghargaan dalam lomba-lomba antar sekolah. Masyarakat juga lebih cenderung memandang sekolah hanya sebagai batu loncatan untuk mendapatkan ijasah dan untuk memasuki dunia kerja.

Proses pedidikan di sekolah kini terjerumus ke proses simbolisasi, yaitu proses penyimbolan atau pemberian label kepada individu atas kehadirannya di sekolah. Anak mengikuti rangkaian kegiatan persekolahan hanya agar mendapatkan selembar ijazah, bukan untuk memiliki kompetensi yang diperlukan. Itu sebabnya, semakin banyak orang mencari ijazah pada berbagai jenjang pendidikan, tanpa harus belajar secara sungguh-sungguh. Semakin sulit kita memastikan apakah masih ada korelasi positif antara nilai yang diperoleh dan ditertuang pada buku rapor atau kartu tanda tamat belajar dengan takaran kompetensi yang sungguh-sungguh dimiliki oleh peserta didik. Juga semakin sulit kita menjamin, bahwa pemilik ijazah dari jenjang pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki tingkat penguasaan kompetensi yang lebih baik daripada para pemiliki ijasah pada jenjang di bawahnya.

3. Disharmoni aktivitas dalam rangkaian proses pendidikan dan pembelajaran

Problem lain yang teramati terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, adalah ketidakserasian di antara sejumlah program dan kegiatan pendidikan. Dalam pendekatan sistem, selain semua aktivitas dan kinerja komponen harus mengacu kepada pencapaian tujuan, juga semua aktivitas dan komponen yang terlibat harus dapat bekerja serasi dan bersinergi. Namun kenyataanya, sejumlah aktivitas dan komponen program yang tercakup dalam penyelenggaraan pendidikan, seringkali berjalan sendiri-sendiri secara parsial. Banyak contoh kasus yang bisa menunjukkan bentuk ketidakserasian seperti ini. Ini terjadi, baik pada level nasional, provinsi, kabupaten/kota, maupun pada level sekolah.

Dalam lingkup penyelenggaraan pendidikan di sekolah, misalnya, ada tiga komponen penting yang seharusnya berjalan dan bekerja secara terintegrasi, yaitu komponen administasi dan manajemen, komponen pembelajaran, serta komponen

  8 

 

pembinaan dan pengembangan diri peserta didik. Proses pendidikan di sekolah hanya dapat berjalan efektif jika ketiga komponen tersebut dapat berjalan serasi. Namun dalam praktik, ketiga komponen itu, ternyata tidak selalu berjalan dalam arah dan irama gerak yang sama. Proses manajemen dan administrasi yang dilakukan tidak selalu diarahkan untuk mengefektifkan fungsi pembelajaran dan pembimbingan. Proses administrasi tidak memberi dukungan dan fasilitasi yang diperlukan bagi pelaksanaan pembelajaran dan pembimbingan. Sebaliknya, proses pembelajaran juga seringkali berjalan sendiri menurut desain guru, tanpa memperhatikan tata administrasi sekolah ataupun pemenuhan keperluan peserta didik berkaitan dengan kebutuhan pengembamgan diri. Bergitu pula, pelaksanaan bimbingan dan kegiatan pengembangan diri peserta didik terkadang berjalan terseok-seok dan tidak dalam arah yang focus ke pencapaian tujuan pendidikan di sekolah.

Pelaksanaan pembelajaran antar berbagai mata pelajaran juga seringkali tidak berjalan serasi dan bersinergi. Setiap guru sibuk merampungkan target kurikulumnya masing-masing. Yang satu bisa berjalan lebih cepat atau lebih maju dari yang lainnya. Padahal, banyak pengalaman belajar dalam rangka pencapaian kompetensi dasar pada mata pelajaran tertentu terkait erat dengan pemberian pengalaman belajar pada mata pelajaran lainnya. Guru mata pelajaran IPA di SMA, misalnya, seringkali mengeluh karena ketidaktuntasan pemahaman peserta didik dalam kompetensi dasar tertentu dalam mata pelajaran matematika yang menjadi prasyarat dalam memahami suatu kompetensi dasar dalam mata pelajaran IPA.

4. Inkonsistensi antara tujuan pendidikan dengan focus evaluasi pembelajaran

Salah satu masalah paling krusial dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan adalah persoalan dalam pelaksanaan evaluasi pembelajaran. Sejatinya, evaluasi pembelajaran dilakukan untuk mengukur dan menilai ketercapaian tujuan pendidikan. Melalui evaluasi, diharapkan dapat diketahui seberapa jauh peserta didik telah mampu menguasai semua kompetensi yang menjadi target pendidikan. Dan evaluasi yang baik dan valid adalah evaluasi yang mampu memberi gambaran nyata dan objektif mengenai tingkat kemajuan belajar dan penguasai peserta didik akan suatu kompetensi yang seharusnya mereka kuasai setelah mengikuti suatu unit

  9 

 

kegiatan pembelajaran dan/atau suatu jenjang pendidikan. Kenyataannya, praktik evaluasi banyak yang tidak sesuai dengan prinsip dan kaidah evaluasi seperti itu.

Banyak fakta yang menunjukkan buruknya proses evaluasi pendidikan di Indonesia. Angka-angka yang diperoleh peserta didik dan tercatat di rapor mereka terkadang tidak mewakli nilai kompetensi yang sesungguhnya dia miliki. Pada suatu FGD (Pandang, dkk, 2003), seorang guru SD, mengakui bahwa dirinya terkadang harus menambahkan angka pada penilaian rapor peserta didik agar peserta didik itu bisa naik kelas. Seorang guru SMP lainnya mengungkapkan bahwa di sekolahnya terkadang menerima peserta didik tamatan SD tertentu yang ternyata belum mampu membaca dengan lancer sehingga menyulitkan dalam pembelajaran.

Kesemrawutan evaluasi pendidikan juga terlihat dalam penyelenggaraan ujian nasional. Hampir setiap tahun kita terheran-heran melihat sekolah yang unggul dalam fasilitas dan kualitas ketenagaan ternyata harus menerima kenyataan buruk lebih banyak persentasi siswanya yang tidak lulus daripada sekolah dengan kualitas fasilitas dan kenegaan yang lebih rendah. Kesemrautan dalam pelaksanaan UN agaknya dipicu dan diperparah oleh perilaku tidak objektif dan tidak professional dari sejumlah oknum pendidik. Pada berbagai kesempatan, penulis mendengar beberapa guru mengakui diperintahkan oleh kepala sekolah untuk membantu peserta didik dalam menyelesaikan soal ujian nasional agar bisa lulus.

Proses evaluasi di sekolah kini dapat diibaratkan dengan usaha pengukuran dan penimbangan dengan menggunakan timbangan rusak. Kita menggunakan ‘timbangan rusak’ dalam mengukur capaian belajar peserta didik ataupun dalam menilai kompetensi lulusan. Akibatnya, kita tidak dapat mengetahui ukuran sebenarnya dari penguasaan kompetensi lulusan pendidikan kita. Parahnya, proses evaluasi dengan ‘timbangan rusak’ ini pelan-pelan telah menjadi bagian kebiasaan yang berterima dalam praktik pendidikan kita dan mendapat dukungan sejumlah pihak yang diuntungkan oleh praktik itu. Sejumlah siswa mulai menarik diri dari keseriusan belajar dan lebih suka menunggu dievaluasi dengan ‘timbangan rusak’ ini. Sebagian orangtua pun kasak-kusuk mencari peluang bahkan mencoba menggoda guru dan kepala sekolah untuk bersedia menggunakan ‘timbangan rusak’ dalam pengukuran hasil belajar anaknya: dalam seleksi masuk, dalam ujian semester dan kenaikan kelas, hingga ketika mengikuti ujian akhir sekolah dan ujian nasional.

Dalam dokumen 3.EVALUASI INTEGRASI SOFT SKILLS (Halaman 191-200)