• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONTRA-PROFESIONAL DALAM PENGADAAN DAN PEMBERDAYAAN GURU

Dalam dokumen 3.EVALUASI INTEGRASI SOFT SKILLS (Halaman 179-191)

Dr Udik Budi Wibowo 

KONTRA-PROFESIONAL DALAM PENGADAAN DAN PEMBERDAYAAN GURU

Oleh: Udik Budi Wibowo1

ABSTRAK

Guru telah ditetapkan secara legal formal sebagai tenaga profesional. Namun pada kenyataannya berbagai kebijakan teknis operasional dan praktek manajemen guru di lapangan, khususnya yang terkait dengan pengadaan dan pemberdayaan guru mengindikasikan kecenderungan gejala kontra-profesional. Sementara itu para guru sendiri ditengarai melihat profesi lebih sebagai kesempatan untuk menambah penghasilan, bukan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas layanan pembelajaran kepada siswa. Pembiaran kontra- profesional itu menjadikan guru tetap sebagai profesi semu, bahkan menjadi langkah mundur yang menggerogoti kewibawaan dan kebanggaan profesi. Oleh karena itu, berbagai standar profesional harus ditegakkan secara konsisten agar profesi guru ini dapat bertumbuh semakin kuat dan bermartabat.

Kata kunci: pengadaan guru, pemberdayaan guru, kontra-profesional, standar profesi, dan kinerja profesional.

PENDAHULUAN

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Demikian ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Pasal 1 Butir 1), dan ditegaskan kembali pada Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (Pasal 1 Butir 1). Selanjutnya ditegaskan pula bahwa kedudukan guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis, dan bertanggungjawab.

       1 

Udik Budi Wibowo adalah tenaga pendidik pada Fakultas Ilmu Pendidikan dan Program Pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta. 

 

Profesionalitas guru, sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang- undangan di atas, ditunjukkan dengan kepemilikan kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik. Selanjutnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional (Pasal 38) ditetapkan bahwa kualifikasi akademik guru adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan; dalam hal ini minimum lulusan diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1). Adapun kompetensi yang dimaksud adalah kompetensi sebagai agen pembelajaran yang mencakup: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Dengan pemenuhan berbagai persyaratan di atas, akhirnya kinerja guru sebagai pendidik dihargai dengan tambahan penghasilan berupa tunjangan profesi.

Ketentuan peraturan perundang-undangan di atas menunjukkan bahwa guru telah mendapatkan status sebagai profesi secara legal formal. Pengakuan sebagai profesi tersebut tampak berbeda dari pertumbuhan profesi lain seperti dokter, pengacara, atau akuntan. Pengakuan dan pertumbuhan profesi guru itu jelas tidak bersifat mandiri sebagaimana profesi yang sudah mapan tadi; namun lebih banyak disokong oleh Pemerintah. Kondisi semacam itu sungguh menyulitkan bagi profesi guru untuk tumbuh menjadi profesi yang berwibawa dan bermartabat, karena seringkali harus lebih memprioritaskan kepentingan birokrasi yang dimungkinkan justru kontra-profesional atau bertentangan dengan prinsip-prinsip profesionalitas. Sehubungan dengan itu, tulisan ini berusaha melacak berbagai tindakan kontra- profesional dalam pengembangan profesi guru, dan mencoba mengajukan solusinya untuk membangun profesi guru yang berwibawa dan bermartabat, serta berdayaguna.

PEMBAHASAN

Kesulitan dalam memenuhi persyaratan profesi

Menurut deMarrais dan LeCompte (1995: 131), karakteristik “tipe ideal” dari suatu profesi sebagaimana pertama kali digagas oleh Weber (1947) antara lain: merupakan penyedia layanan yang berbasis kerja mandiri, memiliki komitmen

 

yang kuat, kualifikasi berdasarkan kepemilikan pengetahuan dan keahlian khusus yang diperoleh melalui pendidikan yang panjang dan ketat, layanan yang diberikan bersifat serius (bahkan seringkali menyangkut hidup-mati), mendapat pembayaran dari klien, untuk memasuki profesi dikendalikan oleh kelompok sejawat (yang menetapkan seperangkat persyaratan untuk memasuki profesi yang bersangkutan, pelatihan, dan sertifikasi). Dengan demikian tidak setiap orang atau sembarang orang dapat memasuki profesi yang sudah mapan seperti dokter, pengacara, atau kependetaan.

Profesi guru di tanah air tampak tidak sepenuhnya dapat memenuhi karakteristik profesi seperti di atas. Pengelolalan guru sebagai sumberdaya manusia pendidikan, mulai dari penyiapan atau pendidikan, rekrutmen, pengangkatan dan penempatan, serta pemberdayaan dan pembinaannya hingga saat ini ditengarai belum dapat menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas secara komprehensif, sistemik, dan konsisten. Kondisi manajemen guru tersebut ditengarai sudah berlangsung lama sebelum ada pengakuan legal formal terhadap profesi guru, sebagaimana diungkapkan oleh Mohamad Surya (2003: 278) sebagai berikut.

“Dari sudut pandang manajemen SDM guru, guru masih berada dalam pengelolaan yang lebih bersifat birokratis-administratif yang kurang berlandaskan paradigma pendidikan (antara lain manajemen pemerintahan, kekuasaan, politik, dsb.). Dari aspek unsur dan prosesnya, masih dirasakan terdapat kekurangterpaduan antara sistem pendidikan, rekrutmen, pengangkatan, penempatan, supervisi, dan pembinaan guru”.

Suatu profesi memerlukan pengetahuan dan keahlian yang bersifat khas, yang diperoleh melalui pendidikan yang relatif panjang dan ketat. Kriteria ini semakin tegas dengan menerapkan linieritas bidang keilmuan, seperti dokter harus berasal dari sarjana kedokteran, pengacara dari sarjana hukum, dan akuntan memiliki basis pendidikan sarjana bidang ekonomi. Bagaimana dengan profesi guru? Pada kenyataannya siapapun dapat menjadi guru. Setiap orang yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah, dan pernah mengalami diajar oleh guru, maka orang tersebut dapat diangkat menjadi guru. Jadi latar belakang pendidikan bidang ilmu apapun dapat menjadi guru, apabila diperlukan dengan tambahan mengambil akta mengajar atau mengikuti pendidikan profesi guru (PPG) selama satu sampai dua semester. Atau dengan program kewenangan tambahan, seseorang dapat

 

diangkat menjadi guru untuk mengajar bidang ilmu yang diperoleh dari pendidikan atau pelatihan tambahan yang singkat tersebut.

Rasionalitas semu, bernuansa politis dan ekonomis tampak seringkali menjadi dasar dalam penyiapan dan pengadaan guru. Lebih-lebih dalam suasana otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan, daerah-daerah dengan kewenangan yang dimiliki seringkali mengambil kebijakan dan/atau melakukan praktek-praktek rekrutmen guru yang tidak hirau pada berbagai kriteria profesional. Seperti sudah menjadi rahasia umum bahwa pengangkatan guru dihargai dengan rupiah. Melalui praktek “percaloan”, calon guru yang berani membayar tunai langsung (cash) dengan nilai tertinggi menjadi prioritas untuk diangkat sebagai guru. Mekanisme pengadaan guru semacam itu jelas kontra-profesional, atau bahkan anti- profesional.

Layanan profesional diberikan berdasarkan keahlian khusus untuk kemaslahatan klien. Oleh karena itu karakteristik profesi selanjutnya adalah pemberian layanan ahli yang bersifat knowledge-based dan client-oriented (Darling-Hammond, 1997: 298; dan Darling-Hammond, Wise, dan Klein, 1999: 16). Hal demikian berarti bahwa para pemegang profesi ini harus berkomitmen untuk menjamin bahwa layanan ahli yang diberikan menempatkan kepentingan klien sebagai prioritas utama, dan layanan tersebut dilaksanakan berdasarkan ilmu pengetahuan yang terbaik, sehingga benar-benar bermanfaat secara optimal bagi klien yang dilayani.

Dalam bidang kependidikan-keguruan, meskipun sebagian pihak tetap meragukan, namun dapat dinyatakan bahwa sesungguhnya pengutamaan klien telah menjadi misi utama dari profesi guru. Hal ini dapat diidentifikasi dari berbagai proses pembelajaran yang berorientasi kepada murid (student oriented) atau pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student centered). Dengan demikian tolok ukur kinerja profesi guru adalah keberhasilan dalam menumbuh-kembangkan peserta didik secara optimal. Para pemegang profesi guru harus mampu memberikan layanan pendidikan yang berkualitas sehingga dapat mengembangkan seluruh potensi peserta didik menjadi manusia seutuhnya.

Pelaksanaan tugas tersebut memerlukan kesadaran dan komitmen diri yang tinggi, kemauan dan keuletan untuk meningkatkan kemampuan profesional secara

 

berkelanjutan, dan kesediaan untuk memberikan layanan terbaik kepada peserta didik. Persyaratan mental seperti itu tampak sungguh sulit dipenuhi oleh para penyandang profesi guru karena pada umumnya profesi ini merupakan pilihan pekerjaan kedua atau ketiga dan seterusnya. Profesi guru, tak dapat dipungkiri, seringkali bukan merupakan pilihan utama, atau bukan panggilan jiwa. Pilihan menjadi guru didasarkan lebih kepada adanya keterbatasan intelektual, atau pertimbangan keterbatasan kemampuan ekonomi, sebagaimana dikemukakan oleh deMarrais dan LeCompte (1995: 141) sebagai berikut.

“Whether male or female, teachers are likely to have selected teaching as second choice. The decision to teach is often made relatively late in college as students find that they lack the ability or financial and familial support to pursue more desirable career”.

Keterbatasan intelektual dan finansial semacam itu pada dasarnya juga mewarnai pilihan menjadi guru di tanah air. Keterbatasan intelektual dan ekonomi seringkali memaksa seseorang untuk memilih kuliah di bidang pendidikan dengan harapan mendapatkan pekerjaan yang jelas sebagai guru segera setelah lulus. Dengan latar belakang kemampuan intelektual dan motif dasar para pemegang profesi guru semacam itu, jelas menjadikan profesi ini tidak dapat diandalkan karena ujung-ujungnya justru dapat mengarah kepada situasi kontra-profesional.

Karakteristik lain dari profesi ideal adalah layanan ahli yang diberikan berimplikasi pada perolehan pembayaran langsung dari penerima layanan tersebut. Bagi guru di tanah air, karakteristik ini diwujudkan dalam pemberian tunjangan profesi sebesar gaji pokok per bulan setelah yang bersangkutan mendapatkan sertifikat pendidik. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa tunjangan profesi tersebut tidak dapat diterimakan secara rutin per bulan. Lebih dari itu, pemberian tunjangan profesi tersebut memerlukan persyaratan tertentu di luar kemampuan guru, atau tidak selalu terkait dengan kemampuan profesional guru, seperti: beban kerja mengajar, dan rasio minimal jumlah peserta didik. Dengan kata lain, mekanisme pemberian tunjangan profesi guru sebenarnya bersifat kontra- profesional karena persyaratan yang ditentukan di luar jangkauan atau tidak ada hubungannya dengan kemampuan profesional guru.

 

Akar masalah: akuntabilitas ganda kerja guru

Lembaga pendidikan atau persekolahan merupakan bagian dari sistem politik lokal dan nasional (negara) yang menuntut akuntabilitas terhadap “apa yang diajarkan” dan “apa yang dipelajari” (Johnson, 1990: 145). Sementara itu deMarrais dan LeCompte (1995: 166) mengemukakan bahwa “How teaching is carried out and who is permitted to teach is more a function of external political, ideological, and economic pressures than of concerns over expertise and technical skill”. Adapun Mohamad Surya (2003: 355) mengemukakan bahwa “Secara profesional, guru sesungguhnya memiliki otonomi pedagogis dalam pelaksanaan pendidikan di tingkat instruksional (meskipun hal ini belum terwujud secara nyata, karena masih kuatnya dominasi birokrasi dan administratif)”. Ungkapan senada juga dikemukakan oleh Hoy dan Miskel (2008: 126) yang mendeskripsikan situasi konflik pada lingkungan tugas guru sebagai berikut:

“Given bureaucratization of schools and the growing professionalization of teachers, continued conflict seem likely. In teaching, the immediate issues of conflict revolve arround the amount of control teachers should have over the selection of texbooks, teaching procedures and methods, and curriculum reform and development; however, the underlying issue is peculiar neither to teaching nor to school organizations. The conflict is between professional expertise and autonomy and bureaucratic discipline and control”.

Berbagai paparan pendapat tersebut menunjukkan bahwa pada umumnya para guru bekerja dalam situasi tekanan disiplin birokrasi dan tuntutan profesional yang tidak selalu sejalan. Dalam kondisi semacam itu, sekolah seringkali lebih memprioritaskan tuntutan birokrasi daripada kebutuhan akademis guru dan kepentingan pembelajaran peserta didik. Misal guru seringkali tunduk terhadap perintah untuk mengupayakan jumlah siswa yang lulus sebanyak mungkin, atau bahkan seratus persen, agar dinas pendidikan setempat dinilai berhasil, tanpa memperhatikan bahwa cara-cara yang dilakukan sesungguhnya bertentangan dengan prinsip akademik dan etika profesi; yang berarti pula kontra atau anti- profesional.

Akuntabilitas birokrasi selalu bersifat preskriptif imperatif, yakni mendasarkan kinerja guru kepada ketaatan kaku dalam melaksanakan perintah sesuai dengan prosedur operasional standar atau standard operating procedure (SOP). Sementara itu akuntabilitas profesional menuntut proses pembelajaran yang

 

efektif. Proses pembelajaran yang efektif tersebut memerlukan fleksibilitas, strategi yang beragam, dan penggunaan pertimbangan yang kompleks dalam situasi non-rutin dimana berbagai tujuan harus dicapai (Darling-Hammond, 1997: 66). Dengan demikian kondisi tersebut menempatkan guru pada struktur tugas yang kontradiktif antara tuntutan jabatan birokrasi dengan implementasi otonomi profesi. Konsekuensinya di satu pihak, para guru harus bekerja dengan berbagai target eksternal dengan mengikuti aturan-aturan administratif yang bersifat restriktif; dan di pihak lain, guru tersebut dituntut kemandirian dan kreativitasnya untuk melayani beragam kebutuhan peserta didik.

Membangun profesi yang bermartabat dan berwibawa

Johnson (1990: 144) mengemukakan bahwa “Teachers in all schools clearly believed that highly bureaucratic schools, whether in the public or private sector, made poor use of them as professionals”, artinya para guru di seluruh sekolah jelas percaya bahwa sekolah dengan sifat birokrasi tinggi, baik negeri maupun swasta, membuat lemah posisinya sebagai profesional. Sementara itu Darling-Hammond (1997: 65) berpendapat bahwa “Ironically, the major consequence of bureaucratic efforts to improve schools has been a set of accountability practices that often impede student learning”. Jadi sungguh ironis, konsekuensi pokok dari berbagai upaya birokratis untuk mengembangkan sekolah telah melahirkan seperangkat pelaksanaan akuntabilitas yang seringkali menghalangi belajar siswa. Adapun Mohamad Surya (2003: 18) mengungkapkan bahwa: “Selama ini penyelenggaraan pendidikan lebih banyak didominasi dengan paradigma birokrasi yang berakibat lembaga pendidikan dan lingkungannya kurang memiliki keberdayaan dalam mewujudkan kinerjanya”.

Berbagai ungkapan tersebut, dan juga paparan pada bagian sebelumnya, menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan praktek manajemen guru dengan menggunakan paradigma birokratis yang menjadikan profesi guru tidak dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal sebagaimana terjadi pada profesi yang sudah mapan seperti dokter, pengacara, dan akuntan. Sehubungan dengan itu untuk membangun profesi guru menjadi profesi yang berwibawa dan bermartabat, berbagai standar profesi yang ketat sudah selayaknya untuk diterapkan atau

 

ditegakkan dalam manajemen guru, sebagaimana pernyataan yang dikemukakan oleh Darling-Hammond, Wise, dan Klein (1999: 6) bahwa “… the establishment of rigorous professional standards for entry into the teaching profession will both improve the quality of teaching and help establish teaching as a respected and responsible profession”. Jadi penerapan standar profesional yang ketat untuk memasuki profesi guru, selain dapat meningkatkan martabat dan kewibawaan profesi guru tersebut, juga sekaligus dapat meningkatkan kualitas pembelajaran sebagai core business dari profesi guru. Artinya juga bahwa profesi ini menempatkan kepentingan dan kemaslahatan peserta didik dalam memberikan layanan ahli proses pembelajaran.

Pengembangkan profesi guru harus dilakukan secara sinergis pada tataran sistem manajemen guru dan pada tataran individu, dengan misi utama peningkatan layanan pembelajaran untuk mengembangkan keseluruhan potensi peserta didik secara optimal. Pada tataran sistem, penerapan standar profesional perlu dilakukan dari mulai pendidikan untuk menyiapkan calon guru, pengangkatan dan penempatan, pembinaan dan pengembangan, sampai pemberhentian penugasan guru. Standarisasi sistem management guru ini sangat penting, sebab sebagaimana pernyataan Darling-Hammond et al. (2006: 313) bahwa ”… governmental management or mismanagement of labor markets for teaching has strong effect on who can be recruited and how programs can be structured”. Jadi manajemen guru sangat menentukan siapa yang layak direkrut sebagai guru, dan bagaimana mempersiapkan calon guru. Dengan kata lain manajemen guru harus mampu menyeleksi guru yang memiliki kompetensi profesional, dan oleh karena itu dapat dijadikan rujukan untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan penyiapan calon guru yang memenuhi syarat kompetensi tersebut.

Sehubungan dengan sistem manajemen guru tersebut, Darling-Hammond dan Sykes (1999: 382) mengemukakan beberapa persoalan kunci yang perlu dikembangkan menjadi kebijakan dalam pengelolaan guru sebagai profesi, yaitu: (1) menarik, merekrut, dan mempertahankan orang-orang yang memiliki

kemampuan dan minat kuat untuk mengajar dengan baik;

(2) membantu para guru mengembangkan norma-norma, pengetahuan, dan keterampilan profesional; dan

10 

 

(3) menciptakan insentif dan kondisi organisasi yang mendukung guru dan pembelajaran peserta didik di sekolah.

Misi utama sekolah adalah membantu perkembangan belajar peserta didik. Untuk mewujudkan misi tersebut diperlukan guru-guru yang memiliki kompetensi profesional tingkat tinggi. Oleh karena itu profesionalisasi berkelanjutan bagi guru menjadi strategi kunci untuk mencapai keberhasilan sekolah, dan peningkatan kompetensi secara berkelanjutan tersebut harus dibangun sebagai rutinitas sekolah. Namun demikian, guru tidak boleh bergantung sepenuhnya pada upaya kelembagaan sekolah atau dinas pendidikan. Pada tataran individual, para guru harus mampu melakukan pengembangan diri secara berkelanjutan dengan atau tanpa fasilitasi dari lembaga tempat pengabdian tugasnya.

PerDalin, Rolff, dan Kleekamp (1993: 5) mengemukakan bahwa masyarakat berubah, demikian pula kita, peserta didik, para guru, dan para manager sekolah. Ekspektasi kita terhadap tempat kerja, peran, proses pembelajaran juga mengalami perubahan. Tantangan-tantangan perubahan eksternal dan internal tersebut menuntut lebih banyak sumberdaya, lebih banyak kompetensi, kepemimpinan, dan metode-metode pemecahan masalah yang sangat berbeda.

Demikian pula yang dinyatakan oleh Hughes (1991: 13-15), pengaruh perubahan terhadap guru, antara lain: pertama, perubahan struktur interelasi kelompok (seperti akibat perubahan teknologi, hubungan ekonomi dengan negara lain, perubahan hubungan sosial). Perubahan ini menuntut sekolah dan para guru untuk memberikan prinsip-prinsip fundamental agar siswa mampu menjalani kehidupan dalam situasi yang selalu berubah. Kedua, negara dan bangsa juga mempunyai ekspektasi baru terhadap sekolah, misal untuk pelaksanaan wajib belajar, peningkatan kualitas sumberdaya manusia atau terkait dengan upaya peningkatan daya saing bangsa. Ketiga, perubahan-perubahan penting dalam ilmu pengetahuan yang mendasari kehidupan profesional guru, seperti pendekatan belajar mengajar, dan pengakuan terhadap keutuhan potensi peserta didik. Keempat, tuntutan kepada para guru dan kepala sekolah, terkait dengan keterlibatan orang tua murid dan masyarakat di dalam pengambilan keputusan di sekolah. Pada akhirnya “all these pressures on schools require a new political

11 

 

wisdom from teachers”. Jadi berbagai perubahan dan tantangan tersebut menuntut kemampuan lebih dari para guru, dan secara individual memerlukan kearifan politis guru.

KESIMPULAN

Profesi guru telah mendapatkan pengakuan legal formal yang berbeda dari perkembangan profesi lain yang sudah mapan seperti dokter, pengacara, dan akuntan. Pengakuan keprofesionalan tersebut tampaknya lebih bersifat politis dan ekonomis, sehingga banyak terjadi tindakan-tindakan manajemen guru yang justru bersifat kontra-profesional atau bahkan anti-profesional, seperti pendidikan dan/atau pelatihan penyiapan calon guru yang berjalan sesaat dan tanpa menjaga linieritas bidang keilmuan yang dimiliki calon guru, rekrutmen guru berdasarkan kesediaan membayar, dan pemberlakuan persyaratan pemberian tunjangan profesi di luar kompetensi profesional guru. Fenomena kontra-profesional atau anti- profesional semacam itu jelas menjadi penghambat profesi guru untuk tumbuh- kembang menjadi profesi yang berwibawa dan bermartabat.

Sementara terdapat berbagai tindakan kontra/anti-profesional, profesi guru berlangsung dalam kawasan tugas yang memiliki akuntabilitas ganda; yakni antara kewajiban untuk memenuhi target-target administratif birokrasi yang restriktif dan tuntutan kemandirian dan kreativitas yang fleksibel dalam menyelenggarakan layanan ahli proses pembelajaran untuk mengembangkan keseluruhan potensi peserta didik secara optimal. Sehubungan dengan itu diperlukan upaya sinergis pada tataran sistem manajemen guru dan pada tataran individual guru untuk secara konsisten menerapkan standar profesional mulai dari pendidikan penyiapan calon guru, pengangkatan dan penempatan, pembinaan dan pengembangan, sampai pada tahap pemberhentian guru. Selain itu pada tataran individual, para guru perlu membangun kesadaran dan komitmen yang kuat untuk mengembangkan diri secara berkelanjutan, sesuai dengan perubahan, perkembangan dan kemajuan lingkungan (termasuk IPTEKS) demi peningkatan kualitas layanan ahli proses pembelajaran kepada para peserta didik. Dengan demikian sinergitas dan komprehensivitas dalam penerapan standar profesional pada setiap tahap manajemen guru pada

12 

 

dasarnya dapat menjadi jaminan untuk menjadikan profesi guru sebagai profesi yang berwibawa dan bermartabat.

DAFTAR PUSTAKA

Darling-Hammond, L. (1997). The Right to Learn: A Blueprint for Creating Schools That Work. San Francisco: Jossey-Bass John Wiley & Son, Inc. Darling-Hammond, L. et al. (2006). Powerful Teacher Education: Lessons from

Exemplary Programs. San Francisco: Jossey-Bass John Wiley & Son, Inc. Darling-Hammond, L. and Bransford, J. (Eds) (2005). Preparing Teachers for A

Changing World. San Francisco: Jossey-Bass A Wiley Imprint.

Darling-Hammond, L. and Sykes, G. (Eds) (1999). Teaching as Learning Profession: Handbook of Policy and Practice. San Francisco: Jossey-Bass A Wiley Imprint.

Darling-Hammond, L., Wise, Arthur E. and Klein, Stephen P. (1999). A Licence to Teach: Rising Standards for Teaching. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.

deMarrais, Kathleen B, and LeCompte, Margaret D. (1995). The Way Schools Work: A Sociological Analysis of Education. 2nd Ed. New Yersey: Longman Publishers USA.

Hoy, Wayne K. dan Cecil G. Miskel. (2008). Educational Administration: Theory, Research, and Practice. New York: McGraw-Hill Higher Education. Hughes, Phillip. (Ed.). (1991). Teacher’s Professional Development.Victoria

Australia: The Australian Council for Education Research Ltd.

Johnson, Susan M. (1990). Teachers at Work: Achieving Success in Our Schools. USA: BasicBooks A Division of HarperCollins Publishers.

Mohamad Surya. (2003). Percikan Perjuangan Guru. Semarang: CV. Aneka Ilmu. Per Dalin, Hans-Günter Rolff, and Bab Kleekamp. (1993). Changing The School

Culture. London: Cassel – The IMTEC Foundation.

Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika.

Dalam dokumen 3.EVALUASI INTEGRASI SOFT SKILLS (Halaman 179-191)