• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Perlindungan Buruh Migran Indonesia di Era Orde Baru

Dalam dokumen NEGARA DAN BURUH MIGRAN PEREMPUAN (Halaman 68-71)

Bab IV Hambatan Kebijakan Perlindungan terhadap Buruh Migran Perempuan Indonesia di Malaysia Masa Pemerintahan SBY 2004-2010

POLITIK TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI

IV. Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (Oktober 2004 - 2010)

2.4. Kondisi Perlindungan Buruh Migran Indonesia di Era Orde Baru

yang tanggung jawab itu PT Indonesia atau agency Malaysia, ganti uang atau orang.39

2.3. Perlindungan bagi Buruh Migran Indonesia

Keseriusan perlindungan terhadap tenaga kerja/ buruh migran Indonesia dapat dilihat melalui kebijakan pemerintah yang dianut oleh masing-masing periode pemerintahan. Kebijakan pemerintah ini tercermin dalam UU, Instruksi Presiden (Inpres), Keputusan Presiden (Keppres) atau Peraturan Menteri (Permen). Ada beberapa elemen dalam berbagai strategi yang harus diperhatikan oleh negara pengirim buruh migran guna menghadirkan perlindungan yang baik:

a. Elemen pertama adalah untuk mengambil keuntungan dari sistem internasional untuk meyakinkan perlakuan setara dan mengatur hak perlindungan sosial. Hal ini berarti adalah meratifikasi konvensi ILO seperti yang telah di lakukan oleh negara maju sebagai kekuatan dalam bilateral atau multilateral.

b. Elemen strategi kedua adalah untuk melakukan usaha keras guna bernegosiasi mengenai kesepakatan perlindungan sosial bilateral. Tujuan dari negosiasi sebuah kesepakatan adalah untuk mengkoordinasikan legislasi perlindungan sosial dari negara-negara yang konsen dengan pandangan untuk meyakinkan kesetaraan perlakuan, menentukan legislasi yang aplikabel serta menggaransi pengelolaan dari hak yang dibutuhkan ketika pekerja-pekerja itu pindah dari satu negara ke negara lain.40

2.4. Kondisi Perlindungan Buruh Migran Indonesia di Era Orde Baru

Peran negara terhadap migrasi internasional adalah sangat penting. Potret peran negara sejauh ini hanya dapat dilihat dari bentuk peraturan dan perundangan yang dikeluarkan sebagai respon terhadap kebutuhan buruh migran Indonesia. Indikator atas kondisi perlindungan terhadap buruh migran Indonesia setidaknya dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu pra penempatan, penempatan dan purna penempatan. Ketiga aspek ini turut merefleksikan bagaimana perlindungan terhadap buruh migran Indonesia sejak orde baru. Penempatan dan perlindungan buruh migran Indonesia adalah hal yang saling terkait satu sama lain.Tidak ada penempatan jika tidak diiringi dengan perlindungan dan perlindungan adalah bagian dari penempatan. Informasi komprehensif mengenai perekrutan dan

39 Wawancara Agus Triyanto, Atase Tenaga Kerja di KBRI Kuala Lumpur Malaysia, 16 Mei 2011 pukul 11.00 waktu Malaysia.

40

  pelatihan sebagai bagian dari pra penempatan di zaman orde baru, lebih banyak mengakomodir keperluan bisnis PJTKI itu sendiri. Sebagai contoh adalah yang terjadi pada calon buruh migran Indonesia pada orde baru yang akan berangkat ke Malaysia dalam tabel di bawah ini:41

Tabel 2.3

Isi informasi yang sering diterima migran sebelum berangkat ke Malaysia

Isi Informasi N (%)

Banyak peluang pekerjaan 207 87.2

Jumlah gaji yang tinggi 190 80.3

Banyak hiburan 18 13.1

Adat dan budaya yang sama 101 42.7

Agama yang sama 107 45.0

Penderitaan pekerja Indonesia 28 11.9

Sumber: Hasil survei 1993 yang disadur dari tulisan M.Arif Nasution, Globalisasi, Migrasi Pekerja Antarnegara dan Prospeknya (Kasus TKI di Kuala Lumpur Malaysia).

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa informan atau agen hanya mendahulukan informasi yang bisa menarik minat calon buruh migran untuk pergi ke luar negeri (dalam hal ini Malaysia), tanpa mengedepankan aspek moral yaitu memberikan penjelasan terhadap informasi tersebut. Peningkatan jumlah buruh migran yang ada hanya bisa memasuki sektor pekerjaan kasar atau domestik karena rendahnya pendidikan dan kualitas buruh migran yang dikirimkan. Pendidikan dan kualitas yang belum memadai menunjukkan bahwa pemerintah dan PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) mempunyai tanggung jawab besar dalam menghadirkan kualitas yang baik untuk buruh migran Indonesia. Ketidakhadiran kualitas yang memadai menjadikan buruh migran Indonesia sulit untuk bersaing dengan buruh migran dari negara lainnya.42 Tindakan kekerasan oleh majikan yang sering terjadi pada buruh migran Indonesia merupakan integrasi dari kualitas buruh migran yang minim pendidikan berbasis keahlian dan

41 M.Arif Nasution, Globalisasi, Migrasi Pekerja Antarnegara dan Prospeknya (Kasus TKI di Kuala Lumpur Malaysia) dalam Ed Arif Nasution, Globalisasi dan Migrasi Antar Negara, kerjasama Yayasan Adikarya IKAPI dengan The Ford Foundation: Bandung, 1999, hal.90. 42

  perlindungan hukum yang lemah. Pada masa pemerintahan orde baru, peraturan yang mengatur pengiriman buruh migran hanya sebatas Peraturan Menteri

Selain poin pemberian informasi yang tidak lengkap terhadap calon buruh migran pada tahap pra penempatan, terdapat juga masalah pengenaan biaya yang tidak sedikit pada calon buruh migran. Contoh dari hal tersebut adalah yang terjadi dengan prosedur pengiriman buruh migran Indonesia ke Malaysia. Pada era orde baru, Kedutaan Besar Indonesia bekerja dengan 12 agent-agent rekrutmen di Malaysia (yang berkembang menjadi 20 agen) untuk membantu para buruh migran mendapatkan dokumen perjalanan mereka. Kedubes Indonesia mengenakan biaya 180 Ringgit Malaysia (RM) untuk biaya administrasi (yang kemudian berkurang menjadi 65 RM akibat protes keras buruh). Namun lebih dari itu, agen agen yang merekrut diperbolehkan untuk menuntut ekstra pembayaran dari buruh migran.43 Pengenaan biaya yang besar terhadap buruh migran serta banyaknya agen yang bermain, mengakibatkan calon buruh migran rela mencari pinjaman uang atau bahkan berhutang demi dapat berangkat ke luar negeri atas dasar informasi yang mereka terima dari informan, bahwa banyak pekerjaan yang bisa mereka dapat di luar negeri.

Pemerintah sebagai regulator berperan memberikan hak perlindungan bagi buruh migran dengan mengatur masalah biaya serta informasi dari awal rekrutmen melalui sebuah Undang Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja. Kondisi penempatan buruh migran Indonesia pada masa orde baru juga bisa dilihat dari segi pemberian upah/ gaji. Upah adalah hal yang sangat penting dan menjadi tujuan bagi tiap orang yang bekerja, termasuk buruh migran Indonesia. Pada masa orde baru, Upah TKI di Malaysia sejak 1984 berbeda-beda antara negara bagian yang satu dengan negara bagian lain. Di Sabah, misalnya, upah per hari hanya sekitar tujuh ringgit (sekitar Rp15.500), sedangkan di Sabah sekitar 13 ringgit (Rp28.500), sementara di Semenanjung Malaysia mencapai 16 ringgit per hari (Rp35.500).44 Hal ini dikarenakan tidak adanya sistem pengupahan yang

43 Tati Krisnawaty, The Role of Bilateral Agreements on Migrant Labor Issues (the cases of Indonesia-Malaysia), dalam Legal Protection for ASEAN Women Migrant Workers; strategies for

action, joint project of Canadian Human Rights Foundation, Ateneo Human Rights Center,

Lawasia Human Rights Committee: Canada, 1998, hal.127.

44 http://dtiskandarz.blogspot.com/2009/11/catatan-cerita-pilu-tki-tahun-2002.html, diakses pada tanggal 10 Maret 2011, pukul 09.30 WIB.

  seragam di Malaysia seperti sistem Upah Minumum Rata-rata (UMR) di Indonesia. Ketidakpastian jumlah upah bagi buruh migran Indonesia juga dikarenakan tidak adanya peraturan batas upah minimum yang dimiliki pemerintah saat itu.

Dalam dokumen NEGARA DAN BURUH MIGRAN PEREMPUAN (Halaman 68-71)