• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI DAN PERMASALAHAN BADAN AIR DANAU RAWAPENING 1. Kualitas air

Sidamukti Kalicacing, Kecandran, Mangunsari, Dukuh Argomulya Randuacir, Kumpulrejo, Kumpulrejo

2.2. KONDISI DAN PERMASALAHAN BADAN AIR DANAU RAWAPENING 1. Kualitas air

Penelitian kualitas air Danau Rawapening banyak dilakukan, namun hanya sedikit yang dipublikasikan. Sebelum tahun 2000 pH Danau Rawapening cenderung netral dan lebih bersifat basa pada tahun 2001 dan 2008 meskipun pada tahun 2005 cenderung bersifat asam (Soeprobowati, 2010).

Kandungan nitrogen perairan berupa nitrogen anorganik seperti ammonia, nitrat dan nitrat, dan nitrogen organik berupa protein, asam amino, dan urea. Dalam kondisi basa, amonia tidak terionisasi dan dalam jumlah yang banyak dapat bersifat toksik. Kandungan ammonia bebas di Danau Rawapening tahun 1976 hingga 2010 selalu lebih besar dari 0,02 mg/L (Soeprobowati, 2010). Tingginya kadar ammonia ini mengindikasikan pencemaran organik yang dapat berasal dari limbah domestik, industri dan limpasan pupuk pertanian atau bahan organik yang terdapat pada sedimen. Kadar amonia yang tinggi ditemukan pada dasar danau yang anoksik. Kadar ammonia bebas yang tidak terionisasi di perairan danau sebaiknya tidak lebih besar dari 0,02 mg/L karena bersifat

II -

12

toksik pada ikan (Effendi, 2003). Kasus kematian ikan di beberapa danau di Indonesia, termasuk di Danau Rawapening berkaitan peningkatan pH dan kandungan ammonia perairan.

Parameter kualitas perairan Rawapening di titik – titik pemantauan (Sumber : BLH Provinsi Jateng tahun 2010) adalah sebagai berikut:

a. Inlet Sungai Galeh (dekat mata air), koordinat S= 70o18' 20,8 " E= 110o 25'29,5; parameter yang tidak memenuhi syarat untuk klasisifikasi air klas II adalah BOD (11,9 mg/l), COD (54,48 mg/l), Total P (0,28 mg/l), Khrom (0,09 mg/l), Khlorin bebas (0,75 mg/l)

b. Outlet ke Sungai Tuntang, koordinat S = 07o 16' 12,8" E= 110o 26'30,0" parameter yang tidak memenuhi syarat untuk klasisifikasi air klas II adalah BOD (7,68 mg/l), DO (2,8 mg/l), Total P (0,29 mg/l), Seng (0,18 mg/l) dan Khlorin bebas (0,75 mg/l).

c. Rawapening (sekitar keramba), Koordinat S= 07o 18' 25,1" E= 110o25' 43,1" parameter yang tidak memenuhi syarat untuk klasifikasi air klas II adalah BOD (12,29 mg/l), COD (82,09 mg/l), DO (1,8 mg/l), Total P (0,21 mg/l) dan Khlorin bebas (0,73 mg/l).

2.2.2. Luas Perairan Danau Rawapening

Danau Rawapening menempati empat wilayah Kecamatan, yakni Ambarawa, Banyubiru, Tuntang, dan Bawen memiliki luas 2.670 ha (Balai Pengelolaan DAS Pemali-Jratun, 2010). Pada tahun 1976, luas maksimum 2.500 ha dan minimum 650 ha (Goltenboth, 1979). Sedikit peningkatan luas danau ini kemungkinan sebagai akibat dari semakin luasnya daerah genangan banjir. Hal ini diperkuat dengan perubahan tataguna lahan, dimana persentase stabil 4% sejak tahun 1972 (Soeprobowati, 2010b).

2.2.3. Kedalaman Danau Rawapening

Batimetri merupakan ilmu yang mempelajari kedalaman bawah air dan studi tentang tiga dimensi danau. Peta batimetri menunjukkan relief dasar atau dataran danau dengan garis-garis kontur kedalaman (isobath

II -

13

atau depth contour), sehingga memiliki informasi tambahan navigasi permukaan (Larson, 2002).

Kedalaman Danau Rawapening pada penelitian yang dilakukan Goltenboth pada tahun 1976 diketahui bahwa titik terdalam pada waktu musim hujan adalah 11 meter yang terletak di daerah utara (Golthenboth, 1979). Eksploitasi gambut yang sangat besar mungkin telah merubah lapisan tersebut (Goltenboth & Timotius, 1994).

2.2.4. Sedimentasi

Distribusi sedimen ke Danau Rawapening pada musim penghujan mencapai 880 kg/hari dan di musim kemarau rata-rata 270 kg/hari dengan laju rata-rata 778,93 ton/tahun (Pemerintah Kabupaten Semarang, 2000). Deposisi yang besar mengakibatkan banjir, yang terjadi sejak tahun 1970 (Bappeda Provinsi Jawa Tengah,2005).

Daerah yang memungkinkan terjadinya sedimentasi pada daerah hilir Sub DAS Rawapening, yakni

 Sedimentasi sangat berat terjadi di muara Sungai Tarung, Sungai Legi, dan Sungai Parat.

 Sedimentasi berat, terjadi muara Sungai Galeh.

 Sedimentasi sedang, terjadi di muara Sungai Torong, Sungai Panjang, dan Sungai Kedungringin.

 Sedimentasi ringan, terjadi di muara Sungai Rengas dan Sungai Ringis.

Sembilan sub-sub DAS pada Sub DAS Rawapening memiliki laju erosi dan potensi deposisi yang berbeda dari ringan sampai sangat berat. Pada tahun 2021 Danau Rawapening diprediksi akan penuh dengan sedimen dan menjadi daratan (Pemerintah Kabupaten Semarang, 2000).

Berdasarkan penelitian diketahui bahwa volume air Danau Rawapening dalam kurun 22 tahun (tahun 1976–1998) mengalami penurunan 29,34%. Degradasi kualitas air, sedimentasi yang cukup tinggi dan blooming eceng gondok mengakibatkan proses pendangkalan danau yang dipercepat. Jika kondisi tidak berubah, maka diprediksi pada tahun

II -

14

2021 Rawapening akan menjadi daratan (Pemerintah Kabupaten Semarang, 2000).

2.2.5. Pemanfaatan Danau Rawapening

Hasil studi karakteristik Rawapening (BalitBang Prov Jateng, 2003) menggambarkan kebergantungan kegiatan ekonomi masyarakat yang signifikan pada keberadaan Danau Rawapening. Kebergantungan tersebut dalam wujud memanfaatkan Danau Rawapening dalam berbagai sektor, yaitu sektor pertanian, irigasi, pariwisata, PDAM, PLTA, perikanan, pengendali daya rusak air, serta habitat air dan fauna.

 Kegiatan sektor pertanian yang dilakukan oleh masyarakat sekitar berupa penggunaan lahan pasang surut seluas 822 ha yang berkaitan dengan pengaturan operasi air danau. Air danau Rawapening yang dipergunakan untuk irigasi sawah seluas 39.277 ha di Kabupaten Semarang, Demak, dan Grobogan. Daerah irigasi Glapan Barat seluas 8.896 ha.

 Pengoprasian PLTA Jelok yang dibangun pada tahun 1938 dan PLTA Timo yang dibangun pada tahun 1962 dengan kapasitas maksimum 24.500 Kwh sangat bergantung pada ketersediaan air danau. Produksi listrik PLTA Jelog dari tahun 1984 sampai 2010 tercatat 2.520.740.439 KWh atau rata-rata per tahun 93.360.757 KWh yang sangat vital untuk memenuhi kebutuhan listrik di Jawa Tengah. Pola operasi PLTA Jelog sesuai dengan pengaturan air dari PSDA, jika curah hujan banyak maka produksi banyak. Jadi, sangat bergantung pada Rawapening (Sutarwi, 2008).

 Air danau Rawapening juga dimanfaatkan sebagai PDAM di Kanal Tuntang untuk mensuplai air bagi rumah tangga, kantor, dan industri yang dapat ditingkatkan dari 250 liter/detik menjadi 1.100 liter/detik. Selain PDAM, air dari kanal Tuntang juga dimanfaatkan sebagai sumber air kemasan yang diambil langsung dari mata air Muncul dan untuk industri Apac Inti Karangjati sebesar 100 liter per detik (Bappeda, 2005).

II -

15

 Pemanfaatan Rawapening sebagai salah satu obyek wisata Jawa Tengah berkaitan dengan potensi yang dimilikinya, yaitu wisata alam dan wisata budaya. Wisata alam merupakan bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan keindahan alam yang sangat mempesona dalam menghayati kehidupan di alam. Sedangkan wisata budaya, yaitu pendukung kegiatan wisata alam dalam menampilkan berbagai jenis atraksi dan obyek yang menarik. Aspek lain yang mendukung tercapai pemanfaatan Rawapening sebagai salah satu obyek wisata adalah kawasan Rawapening sudah lama dikenal dengan berbagai atraksi wisata alam maupun buatan manusia, seperti wisata alam dengan iklim yang sejuk dan pemandangan yang indah, potensi pengembangan wisata sejarah dan budaya maupun wisata yang kesehatan (olah raga) sebenarnya cukup tersedia (Retnaningsih 2001). Keberadaan Kawasan Rawapening di tengah

triangle Yogya-Semarang-Solo membuat kawasan ini memiliki

kekuatan strategis dan potensial untuk dikembangkan melalui kegiatan pariwisata. Pada Tahun 2001 Diparta Provinsi Jawa Tengah mencanangkan Kawasan Rawapening sebagai kawasan wisata air. Pemilihan Kawasan Rawapening untuk dikembangkan sebagai kawasan dengan atraksi wisata air didukung dengan kondisi kawasan yang berupa danau dengan pemandangan alam dan kurang tersedianya obyek wisata dengan atraksi wisata air di Jawa Tengah.

 Jumlah nelayan dan petani ikan di sekitar Danau Rawapening, yakni 2.196 jiwa. Artinya, kebergantungan petani dan nelayan pada keberadaan Rawapening sangat besar sekali. Perikanan yang telah dikelola masyarakat dalam bentuk usaha budi daya penyediaan benih ikan, penangkapan ikan, dan usaha pengepul ikan. Sistem budi daya ikan di Rawapening ada dua macam, yaitu keramba tancap (gorobog bambu) di desa Rowoboni, dan desa Kebondowo Kecamatan Banyubiru, dan keramba jaring apung (KJA) di Desa Ngasinan, Desa Sumurup Kecamatan Bawen, serta kelurahan Tambakboyo Kecamatan Ambarawa. Penangkapan ikan dilakukan dengan bantuan alat tangkap berupa seser, kere, jala arang, jala sogok, jala kalar, jala kerep, pancing kalar, susuk, branjang, dan anco. Hasil tangkapan

II -

16

ikan per hari tahun 1970 rata-rata mencapai 50-100 kg. Hingga tahun 2009 hasil produksi ikan dari rawa dan sungai sekitar Rawapening mencapai 1.150,1 ton. Jenis ikan lele dan nila hitam masih mendominasi produksi ikan pada tahun 2009.Usaha pengepul ikan terdiri atas pemasaran hasil tangkapan dan usaha pengolahan hasil tangkapan. Jenis-jenis ikan yang terdapat di Rawapening adalah ikan mas, gurami, tawes, kutuk, nila, mujaher, belut, lele, patin, bawal, dan cethol (BPS Kabupaten Semarang, 2010).

 Jenis-jenis ikan yang terdapat di Rawapening adalah kutuk, nila, mujaher, belut, dan cethol.

Terdapat fluktuasi produksi perikanan Danau Rawapening. Pengaruh perikanan di Danau Rawapening terlihat sangat nyata terhadap kualitas air danau karena penempatan karamba baik tancap maupun jaring apung yang hanya terkumpul pada lokasi tertentu seperti Tuntang, Asinan, Kejalen dan Bukit Cinta. Arahan Pemerintah Kabupaten Semarang, kultur jaring apung ikan di Danau Rawapening terletak pada zona pemancingan, 3 ha di sub zona Puteran (Banyubiru) dan 1,5 serta 3 ha di dekat sub zona Cobening (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Semarang, 2007). Sampai tahun 2009 jumlah keramba yang berada di Danau Rawapening sejumlah 752 unit, sedangkan usaha perikanan darat minapadi mencapai luas 2,5 ha ikut menyumbang produksi perikanan darat (BPS Kabupaten Semarang, 2010).

2.2.6. Permasalahan Danau Rawapening

Secara ekologis, Danau Rawapening telah banyak mengalami perubahan, yang diindikasikan oleh tidak terkontrolnya pertumbuhan gulma air yang umumnya berkaitan dengan proses eutrofikasi. Kurang lebih 20–30% danau tertutup oleh Eicchornia crassipes, 10% oleh Hydrilla

verticillata dan Salvinia cucculata (Goltenboth & Timotius, 1994).

Penutupan permukaan danau oleh tumbuhan air tersebut semakin besar persentasenya, bahkan pada musim kemarau dapat mencapai 70%. Pertumbuhan yang tidak terkontrol ini menyebabkan penutupan permukaan perairan, terakumulasinya seresah/busukan eceng gondok di

II -

17

dasar perairan dan terperangkapnya sedimen di akar tanaman sehingga mempercepat pendangkalan danau. Meskipun sejak tahun 1931 telah dilakukan upaya pengendaliannya namun sampai dengan saat ini belum sepenuhnya menunjukkan hasil yang memadai.

Keberadaan eceng gondok pada umumnya memberikan dampak negatif pada lingkungan. Berbagai upaya untuk menanggulangi keberadaan eceng gondok adalah dengan penggunan pestisida dan sebagai bahan campuran pembuatan kompos tetapi upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang sangat signifikan sehingga diperlukan pemanfaatan lebih lanjut, salah satunya dengan pembuatan barang kerajinan berbahan dasar eceng gondok. Satu batang eceng gondok dalam waktu 52 hari mampu menghasilkan tanaman baru seluas 1 m2 (Gutierrez et al., 2001) . Bisa dibayangkan, selama 106 tahun berada di bumi Indonesia eceng gondok telah menyebar ke seluruh perairan yang ada dan memenuhi setiap jengkalnya, baik waduk, rawa, danau, maupun sungai. Dari permukaan air Rawapening yang berkisar 7200 hektar, diantaranya tertutup eceng gondok. Tertutupnya permukaan perairan menyebabkan berkurangnya jenis binatang air dan pendapatan petani serta pengunjung wisata daerah tersebut.

II -

18

Sumber : BLH Kab Semarang, 2011

Gambar II.4. Permasalahan Danau Rawapening

Dokumen terkait