• Tidak ada hasil yang ditemukan

GERAKAN PENYELAMATAN DANAU (GERMADAN) DANAU RAWAPENING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GERAKAN PENYELAMATAN DANAU (GERMADAN) DANAU RAWAPENING"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

(GERMADAN)

DANAU RAWAPENING

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

2011

(2)

ii

DANAU RAWAPENING

1. Pengarah : - Ketua Komisi VII DRP – RI

( Drs. Daryatmo Mardiyanto, MM )

- Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim

( Ir. Ari Yuwono, MA )

- Rektor Universitas Diponegoro ( Prof. Sudharto P. Hadi, MES, PhD )

2. Penanggung jawab : - Asisten Deputi Urusan Pengendalian Kerusakan Ekosistem Perairan

( Ir. Hermono Sigit )

- Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Diponegoro

( Prof. Dr. Ir. Suriharyono, MS. )

3. Ketua Pelaksana : Dr. Tri Retnaningsih Soeprobowati, MAppSc

Sekretaris drh. Sri Mawati, MSi

Anggota Dr. Erma Prihastanti, MSi

Lilih Khotim Perawati, SSi., MSi. Kasiyati, SSi., MSi.

Drs. Arif Suwanto, MAP Drs. Harmin Manurung, MT Titi Novita Harahap, SP, MT Dr. Sakdullah, MSc (PPE Jawa) Wahyu Cahyadi Rustadi, S.Si Siti Rachmiati Nasution, STP

Narasumber : Hoetomo, MPA

Bambang Listiono (BLH Prov. Jateng) Prasojo, SKM (BLH Prov. Jateng)

Drs. Prayitno Sudaryanto, MM (BLH Kab. Semarang) Jermia J Wicaksono (BLH Kab. Semarang)

Bambang Pamulardi, MSi (KLH Kota Salatiga) Pujiyono, Sp (KLH Kota Salatiga)

(3)

iii

pariwisata. Namun, pendangkalan terjadi akibat sedimentasi dan erosi serta pertumbuhan tidak terkontrol dari tumbuhan air terutama eceng gondok. Akar permasalahannya adalah pengkayaan danau oleh nutrien terutama nitrogen dan fosfor yang memicu pertumbuhan tidak terkontrol eceng gondok dan perubahan tataguna lahan. Hal tersebut terjadi karena sistem kelembagaan dan implementasi kebijakan yang kurang optimal, dan rendahnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan danau.

Guna mengatasi hal tersebut, maka disusunlah grand design Gerakan Penyelamatan Ekosistem Danau (GERMADAN) Rawapening. Tiga pendekatan dirancang untuk mengatasi akar permasalahan yang ada, yaitu: 1) Aplikasi sains dan tehnologi untuk remediasi badan air dan DTA, 2) Pengembangan kelembagaan dalam pengelolalaan danau, dan 3) pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan dan konservasi danau. Ketiga pendekatan secara sinergi saling mendukung dan integratif.

Berdasarkan analisis SWOT, maka akar permasalahan Danau Rawapening akan dilaksanakan melalui Program Super Prioritas (Pokok) dan program Prioritas (Penunjang). Program Super Prioritas terdiri dari 6 kegiatan, yaitu: 1) Penanganan eceng gondok; 2) Penanggulangan Lahan Kritis, Erosi, Banjir dan Sedimentasi, 3) Penurunan Kandungan Nutrien Perairan Danau Rawapening, 4) Kajian Limnologi Danau Saat ini dan Rekontruksi Kualitas Air di Masa Lalu, 5) Implementasi Pertanian Ramah Lingkungan, dan 6) Peningkatan Keterlibatan dan Kepedulian Masyarakat dalam Pengelolaan dan Konservasi Danau Rawapening. Program Prioritas terdiri dari 11 kegiatan yaitu: 1) Pengembangan pengelolaan perikanan ramah lingkungan Danau Rawapening., 2) Pengembangan Ipal terpadu, 3) Pengembangan drainase terpadu, 4) Pengembangan pusat penelitian Danau Rawapening, 5) Perencanaan pembangunan kawasan Danau Rawapening berbasis kewilayahan dan kebijakan penanganan eceng gondok melalui pelibatan masyarakat, 6) Pengembangan regulasi /kebijakan pengelolaan Danau Rawapening dan Daerah Tangkapan Air (DTA), 7) Pengembangan kebijakan garis sempadan dan proteksi sumber daya alam, 8) Pengembangan zonasi pemanfaatan Danau Rawapening, 9) Pengembangan pemanfaatan eceng gondok untuk menyelesaiakan problem blooming dan peningkatan pendapatan masyarakat, 10) Pengembangan ekoturisme, dan 11) Pengembangan forum peduli lingkungan.

Tujuh belas kegiatan tersebut di atas sangat tergantung pada koordinasi dan kerjasama antar lembaga serta keterlibatan masyarakat. Keberhasilan kegiatan dapat dilihat dari capaian indikator kinerja.

(4)

iv

Perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan untuk penyelamatan danau Rawapening dilakukan melalui kajian/ penelitian yang baik dan informasi sebelumnya yang bisa dipercaya dan dapat diandalkan. Kajian-kajian tersebut dilakukan untuk penghematan waktu dan biaya serta tenaga. Agar kebijakan penyelamatan danau Rawapening tercapai maka diperlukan kerjasama antara pemangku kepentingan, secara komprehensif dan terpadu.

Kesepakatan Bali Tahun 2009 yang menetapkan 15 Danau prioritas yaitu Danau Toba, Maninjau, Singkarak, Kerinci, Tondano, Limboto, Poso, Tempe, Matano, Mahakam, Sentarum, Sentasi, Batur, Rawadanau, dan Rawapening perlu mendapat dukungan semua pihak. Untuk itu dari 15 danau prioritas tersebut, salah satu danau Rawapening, merupakan prioritas penyusunan model penyelamatan ekosistem danau yang diharapkan dapat direplikasikan di danau prioritas yang mempunyai tipologi dan permasalahan yang sama. Model ini juga merupakan stimulan untuk mendapat komitmen bersama para pemangku kepentingan.

Penyusunan ini didorong oleh berbagai kepentingan bersama dalam upaya penyelamatannya dan sebagai tindak lanjut kunjungan komisi VII DPR – RI, pada tanggal, 19-20 Desember 2010, untuk dapat direalisasikan penyelamatannya. Diperkirakan pada tahun 2021 danau Rawapening akan menjadi daratan, apabila tidak ditangani secara serius.

Akhir kata saya mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya dan terima kasih kepada Tim penyusun khususnya dari Universitas Diponegoro Semarang, beberapa narasumber dari sektor dan daerah, sehingga dapat mewujudkan suatu dokumen penyelamatan ekosistem danau Rawapening, untuk dapat digunakan sebagai acuan bersama dalam rencana aksinya.

Jakarta, Juni 2011

Deputi Bidang Pengendalian

Kerusakan Lingkungan dan

Perubahan Iklim

(5)

v

bimbingan sehingga Rancangan Gerakan Penyelematan Danau (Germadan) Danau Rawapening telah tersusun dengan baik.

Saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Kementerian Lingkungan Hidup yang telah memberikan kepercayaan kepada Universitas Diponegoro untuk menyusun rancangan ini. Sungguh merupakan kehormatan, kami dapat melaksanakan tugas ini. Sudah menjadi tekad kami, bahwa sebagai institusi pendidikan tinggi selain mendidik mahasiswa menjadi lulusan yang unggul, kami juga peduli pada masalah-masalah lingkungan baik lokal, regional maupun nasional. Kesempatan berkarya ini selain merupakan academic exercise untuk menghasilkan aplikasi sains dan teknologi juga merupakan bentuk pengabdian kepada masyarakat. Hasil exercise akan memperkaya muatan materi pembelajaran yang bermanfaat bagi mahasiswa dan kalangan akademisi dan publik pada umumnya. Dengan demikian kerjasama kami dengan Kementerian Lingkungan Hidup merupakan wujud implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Rawa pening merupakan danau yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat dan berbagai institusi yang mengalami pendangkalan karena erosi dan sedimentasi serta pertumbuhan eceng gondok yang tidak terkendali. Berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak, namun hasilnya belum optimal. Evaluasi terhadap berbagai program yang telah dilakukan perlu dilakukan dan rumusan rencana tindak kedepan perlu dicanangkan. Rancangan ini disusun dengan mendasarkan pada evaluasi atas berbagai program yang telah dilakukan dan masukan dari berbagai stakeholders. Namun demikian masukan dan saran senantiasa diharpakan untuk perbaikan. Selamat bekerja, menyelamatkan Rawa pening berarti menyelamatkan kehidupan. Semoga Tuhan senantiasa memberikan berkah kepada kita semua, amien.

Semarang, Juni 2011

Rektor,

(6)

vi

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR DEPUTI BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM ... iv

KATA PENGANTAR REKTOR UNIVERSITAS DIPONEGORO ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL …... viii

DAFTAR GAMBAR ……… ix

BAB I PENDAHULUAN... I - 1 1.1. Latar Belakang... I - 1 1.2. Peraturan Perundang-Undangan... I - 3 1.3. Permasalahan... I - 8 1.4. Ruang Lingkup dan Kerangka Pikir ... I - 9 1.5. Tujuan dan Keguanaan Program Danau Rawapening…………..… I - 12 BAB II EVALUASI DAN ROAD MAP DANAU RAWAPENING ... II - 1 2.1. Lingkup Wilayah Studi ………... II – 1 2.2. Kondisi dan Permasalahan Badan Air Danau

Rawapening... II - 11 2.3. Kondisi dan Permasalahan Kelembagaan …... II - 18 2.4. Kondisi dan Permasalahan Kemasyarakatan... II - 20

BAB III GERAKAN PENYELAMATAN DANAU (GERMADAN)

RAWAPENING ……….……….. II - 1 3.1. Program Super Prioritas ... III - 4 3.1.1. Penanganan Enceng Gondok …... III - 4 3.1.2. Penanggulangan Lahan Kritis, Erosi, Banjir, dan

Sedimentasi …... III - 7 3.1.3. Penurunan Kandungan Nutrien Perairan Danau

Rawapening... III - 9 3.1.4. Kajian Limnologi Danau Rawapening saat ini dan

Rekontruksi Kualitas Air di Masa Lalu... III - 9 3.1.5. Implementasi Pertanian Ramah Lingkungan …………... III - 12 3.1.6. Peningkatan Keterlibatan dan Kepedulian

Masyarakat dalam Pengelolaan dan Konservasi

Lingkungan Danau Rawapening ....………... III - 13 3.2. Program Prioritas (Penunjang) ………... III - 15 3.2.1. Pengembangan pengelolaan perikanan ramah

lingkungan ………... III - 15 3.2.2. Pengembangan IPAL Terpadu ……….. III - 15 3.2.3. Pengembangan Draenase Terpadu ……….. III - 19 3.2.4. Pengembangan Pusat Penelitian D. Rawapening ……….... III - 19 3.2.5. Perencanaan Pembangunan Kaw. Rawapening

Berbasis Kewilayahan ………..….. III - 21 3.2.6. Pengembangan Regulasi/Kebijakan Danau

Rawapening dan DTA ………....…… III - 21 3.2.7. Pengembangan Kebijakan Garis Sempadan dan

Proteksi SDA ……….. III - 23 3.2.8. Pengembangan Zonasi Pemanfaatan Danau

Rawapening ………...….. III - 23

(7)

vii

BAB V DAFTAR PUSTAKA V - 1

(8)

viii

Halaman

Tabel I.1 Indikator Keberhasilan GERMADAN Rawapening ... I - 13 Tabel II.1 Sembilan Sub-DAS Danau Rawapening ………. II - 3 Tabel III.1 Kegiatan, Indikator Keberhasilan dan Penanggung Jawab

Kegiatan Program Penanganan Eceng Gondok...

II - 6

Tabel III.2 Kegiatan, Indikator Keberhasilan dan Penanggung Jawab Kegiatan Program Penanggulangan Lahan Kritis, Erosi Banjir, dan

Sedimentasi ………. II - 8

Tabel III.3 Kegiatan, Indikator Keberhasilan dan Penanggung Jawab Kegiatan Program Penurunan Kandungan Nutrien Perairan Danau

Rawapening ………. II - 10

Tabel III.4 Kegiatan, Indikator Keberhasilan dan Penanggung Jawab Kegiatan Program Kajian Limnologi Danau Rawapening Saat ini dan

Rekontruksi Kualitas Air di Masa Lalu ...III - 11

Tabel III.5 Kegiatan, Indikator Keberhasilan dan Penanggung Jawa Kegiatan

Program Implementasi Pertanian Ramah Lingkungan ……….. III - 14 Tabel III.6 Kegiatan, Indikator Keberhasilan dan Penanggung Jawab

Kegiatan Program Keterlibatan Masyarakat Dalam

Pengelolaan Dan Konservasi Lingkungan Danau Rawapening …...

III – 14 Tabel III.7 Kegiatan, Indikator Keberhasilan dan Penanggung Jawab Kegiatan

Program Pengembangan Pengelolaan Perikanan Ramah

Lingkungan ………..… III - 17

Tabel III.8 Kegiatan, Indikator Keberhasilan dan Penanggung Jawab Kegiatan

Program Pengembangan IPAL Terpadu ……….… III - 19 Tabel III.9 Kegiatan, Indikator Keberhasilan dan Penanggung Jawab

Kegiatan Program Drainase Terpadu …………..………... III - 21 Tabel III.10 Kegiatan Kegiatan, Indikator Keberhasilan dan Penanggung Jawab

Kegiatan Program Pengembangan Pusat Penelitian Danau

Rawapening ………. III - 21 Tabel III.11 Kegiatan, Indikator Keberhasilan dan Penanggung Jawab Kegiatan

Program Perencanaan Pembangunan Kawasan Rawapening Berbasis Kewilayahan ………..

III - 23

Tabel III.12 Kegiatan, Indikator Keberhasilan dan Penanggung Jawab Kegiatan Program Pengembangan regulasi/kebijakan pengelolaan Danau Rawapening ……….

III – 23 Tabel III.13 Kegiatan, Indikator Keberhasilan dan Penanggung Jawab Kegiatan

Program Pengembangan Kebijakan Garis Sempadan dan Proteksi Sumber Daya Alam ………

III - 23

Tabel III.14 Kegiatan, Indikator Keberhasilan dan Penanggung Jawab Kegiatan Program Pengembangan Zonasi Pemanfaatan Danau

Rawapening ………. III - 27

Tabel III.15 Kegiatan, Indikator Keberhasilan dan Penanggung Jawab Kegiatan Program Pengembangan Pemanfaatan Eceng Gondok untuk

Peningkatan Pendapatan Masyarakat ……… III - 27 Tabel III.16 Kegiatan, Indikator Keberhasilan dan Penanggung Jawab Kegiatan

Program Pengembangan Ekoturisme ………. III - 29

Tabel III.17 Kegiatan, Indikator Keberhasilan dan Penanggung Jawab Kegiatan Program Pengembangan Forum Peduli Lingkungan ………..

(9)

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar I.1. Pendekatan Gerakan Penyelamatan D. Rawapening... I - 11 Gambar II.1 Batas Administrasi Danau Rawapening ... II - 2 Gambar II.2 Peta Penggunaan Lahan Wilayah Sub-Das Rawapening.... II - 3

Gambar II.3 Permasalahan Danau Rawapening ... II - 7

Gambar II.4 Permasalahan Danau Rawapening ... II - 18

Gambar III.1 Hasil Analisis SWOT, Akar Permasalahan & Pendekatan

(10)

I - 1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang 2. Peraturan perundang-undangan 3. Permasalahan

4. Ruang Lingkup dan Kerangka Pikir 5. Tujuan dan Kegunaan

1.1

LATAR BELAKANG

Pada Konferensi Nasional Danau Indonesia I pada 13 – 15 Agustus 2009 telah menghasilkan Kesepakatan Bali 2009 antara 9 menteri tentang pengelolaan danau berkelanjutan dalam mengantisipasi

perubahan iklim global. Dalam pengembangan dan pemanfaatan potensi danau sangat diperlukan upaya untuk mempertahankan, melestarikan dan memulihkan fungsi danau berdasarkan keseimbangan ekosistem melalui 7 strategi, yaitu pengelolaan ekosistem danau; pemanfaatan sumber daya air danau; pengembangan sistem monitoring, evaluasi dan informasi danau; penyiapan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim terhadap danau; pengembangan kapasitas, kelembagaan dan koordinasi; peningkatan peran masyarakat; dan pendanaan berkelanjutan.

Kesepakatan Bali 2009 menetapkan 15 danau prioritas yang akan ditangani bersama secara terpadu, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan pada periode 2010-2014. Penetapan danau prioritas berlandaskan pada kerusakan danau, pemanfaatan danau, komitmen Pemda dan masyarakat dalam pengelolaan danau, fungsi strategis untuk kepentingan nasional, keanekaragaman hayati, dan tingkat resiko bencana. 15 danau tersebut adalah Danau Toba, Maninjau, Singkarak, Kerinci, Tondano, Limboto, Poso, Tempe, Matano, Mahakam, Sentarum, Sentani, Batur, Rawa Danau, dan Rawapening.

Danau Rawapening sangat spesifik, pertama, merupakan danau semi alami sehingga merupakan reservoir alami, letaknya sangat strategis di segitiga pertemuan Yogyakarta, Solo dan Semarang. Oleh

(11)

I - 2

karena itu maka Rawapening menjadi landmark Jawa Tengah

(Bappeda Provinsi Jawa Tengah, 2005). Kedua, Danau Rawapening sebagai bagian dari wilayah sungai Jratunseluna (Jragung Tuntang Serang Lusi Juwana) merupakan wilayah sungai strategis nasional (Permen PU No. 11A/PRT/M/2006). Ketiga, Danau Rawapening termasuk

danau prioritas 2010 – 2014 (KLH, 2010) karena penutupan lahan Rawapening berturut-turut adalah non hutan (55,5%), lahan kritis (24%), pemukiman (13,6), hutan (3,9%), dan tubuh air (3,2%) (KLH, 2009). Danau Rawapening sangat rentan terhadap perubahan lingkungan, memiliki manfaat tinggi sebagai sumber air tawar, produksi pangan, dan pengendali banjir.

Banyak penelitian yang telah dilakukan di Danau Rawapening, banyak program yang telah dikembangkan dan diterapkan, namun kondisinya tetap tidak mengalami perbaikan bahkan cenderung degradatif.

Inti Danau Rawapening (badan danau) airnya dimanfaatkan untuk penggerak turbin PLTA hingga mampu menghasilkan 222,504 juta Kwh; perikanan (dengan produksi 1.535,9 ton/tahun); pengendali banjir; peternakan itik; penambangan gambut; dan wisata (Bappeda Provinsi Jawa Tengah, 2005) serta irigasi teknis 1.265,09 ha sawah, (BPS kabupaten Semarang, 2010, Bappeda kota Salatiga, 2009).

Banyak Perguruan Tinggi yang telah mengembangan penelitian ilmiah tentang Rawapening antara lain oleh Universitas Diponegoro, Universitas Satya Wacana, Universitas Gadjah Mada, baik untuk level S1, S2 maupun S3. BPPT juga telah banyak melakukan penelitian dan kajian di Rawapening antara lain tentang kualitas air DAS Rawapening; agroforestri, status kesuburan lahan dan tingkatkesesuaian lahan; kajian ekologi sekitar bantaran sungai yang masuk ke Danau Rawapening; pemanfaatan eceng gondok dan gambut untuk pengembangan pertanian organik, sebagai media tumbuh florikultura dan hortikultura; pemanfaatan gambut Rawapening sebagai absorben bau, pengelolaan limbah padat industri makana, pengembangan bituman (biji tumbuh mandiri), untuk nutrien blok (media tanaman untuk rehabilitasi lahan pasca tambang; pengendalian populasi eceng gondok dengan teknologi stockpile, studi

(12)

I - 3

luasan tutupan eceng gondok; pengendalian sedimentasi di hulu DAS Rawapening.

Masih banyak penelitian lainnya tentang Rawapening masih

tetap sebagai dokumen, namun sampai saat ini kondisi Danau

Rawapening tidak mengalami perbaikan bahkan cenderung lebih

degradatif. Hal ini mengindikasikan bahwa program yang telah

diterapkan di Danau Rawapening belum menunjukkan dampak

nyata, perbaikan yang terjadi tidak signifikan dan hanya

menyelesaikan permasalahan hanya pada periode program saja,

kemudian menjadi permasalahan lebih besar lagi. Oleh karena itu,

sudah

saatnya sangat diperlukan dan segera dilakukan Penyelamatan Danau Rawapening, agar 46.076 petani, 27.379, orang buruh tani, 25.427 orang buruh industri, 11.022 orang buruh bangunan, 2205 orang nelayan, 3.746 orang pengusaha, 2.239 orang peternak/ perikanan di sekitar Rawapening dapat terus terjaga (BPS Kabupaten Semarang, 2010, Bappeda kota Salatiga, 2009).

1.2

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Undang - Undang

1.

Undang - Undang No. 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria.

2.

Undang-Undang No. 11 Tahun 1967, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.

3.

Undang-undang No. 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

4.

Undang-undang No. 4 Tahun 1992, tentang Perumahan dan Pemukiman

5.

Undang-undang Nomor 5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB Mengenai Keanekaragaman Hayati.

6.

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan.

7.

Undang-Undang No. 7 Tahun 2004, tentang Sumber Daya Air.

8.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan

(13)

I - 4

Daerah.

9.

Undang-Undang No 26 tahun 2007, tentang Penataan Ruang.

10.

Undang-Undang No 10 Tahun 2009, tentang Kepariwisataan.

11.

Undang-undang No 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup

B. PERATURAN PEMERINTAH

1.

Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1970, tentang Perencanaan Kehutanan.

2.

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991, tentang Rawa

3.

Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1991, tentang Sungai.

4.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah.

5.

Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

6.

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

7.

Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999, tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

8.

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.

9.

Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2001, tentang Tata

Pengaturan Air.

10.

Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2001, tentang Irigasi

11.

Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, tentang Pengelolaan Kualitas Air & Pengendalian Pencemaran Air.

12.

Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004, tentang Penatagunaan Tanah.

13.

Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2004, tentang Pemanfaatan Jasa Lingkungan.

14.

Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004, tentang Perlindungan Hutan.

(14)

I - 5

Urusan Pemerintahan Antar Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten /Kota.

16.

Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2010, tentang Bendungan.

C. KEPUTUSAN PRESIDEN

1.

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

2.

Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003, tentang Kebijakan Nasional Bidang Pertanahan.

3.

Keputusan Presiden No. 65 Tahun 2006, tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

D. PERATURAN MENTERI

1.

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 28 Tahun 2009, tentang Daya Tampung Beban Pencemaran Air danau dan/atau Waduk.

2.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63/PRT/1993, tentang Garis Sepadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Peguasaan Sungai dan Bekas Sungai

3.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 39/PRTI1990, tentang Pembagian Wilayah Sungai.

4.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 45/PRT/1990, tentang Pengendalian Mutu Air pada Sumber-Sumber Air.

5.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 48/PRT/1990, tentang Pengelolaan Atas Air dan Sumber Air Pada Wilayah Sungai.

6.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 49/PRT/1990, tentang

Tata Cara dan Persyaratan Ijin Penggunaan dan atau Sumber Sumber Air.

7.

Peraturan Menteri Kesehatan 416/1990, tentang Syarat-Syarat Pengawasan Kualitas Air.

8.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 11A/PRT/M/2006 tentang Danau Rawapening sebagai bagian dari wilayah sungai

(15)

I - 6

Jratunseluna (Jragung Tuntang Serang Lusi Juwana)

9.

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 28 Tahun 2009, tentang daya tampung beban pencemaran air danau dan/atau waduk

10.

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No PM 86/HK.501/MKP/2010, tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Penyediaan Akomodasi.

11.

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No PM 87/HK.501/MKP/2010, tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Jasa Makanan dan Minuman.

12.

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No PM 88/HK.501/MKP/2010, tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Kawasan Pariwisata.

13.

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No PM 89/HK.501/MKP/2010, tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Transportasi Wisata.

14.

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No PM 90/HK.501/MKP/2010, tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Daya Tarik Wisata.

15.

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No PM 91/HK.501/MKP/2010, tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Penyelenggaraan Kegiatan Hiburan dan Rekreasi.

16.

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No PM 92/HK.501/MKP/2010, tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Jasa Pramuwisata.

17.

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No PM 96/HK.501/MKP/2010, tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Wisata Tirta.

E. KEPUTUSAN MENTERI

1.

Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 458/KPTS/1986, tentang Ketentuan Pengamanan Sungai dalam Hubungan dengan Penambangan Bahan Galian Golongan C.

(16)

I - 7

2.

Keputusan Menteri Kehutanan No. 687/KPTS-11/1989, tentang Pengusahaan Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Rakyat dan Taman Wisata Laut.

3.

Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 779/KPTS/1990, tentang Pengendalian Banjir dan Pengaturan Sungai.

4.

Keputusan Menteri Kehutanan No. 167/KPTS-11/1994, tentang Sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata di Kawasan Pelestarian Alam.

5.

Keputusan Menteri Kehutanan No. 447/KPTS-11/1996, tentang Pembinaan dan Pengawasan Pengusahaan Pariwisata Alam.

6.

Keputusan Menteri Kehutanan No. 348IKPTS-11/1997, tentang

Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan No. 446/KPTS-ll/1996 tentang Tata Cara Permohonan, Pemberian dan Pencabutan Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam.

7.

Keputusan Menteri Kesehatan No 907 Tahun 2002 tentang Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum

8.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 42 Tahun 2003 tentang Pedoman mengenai Syarat dan Tata Cara Perijinan serta Pedoman Pembuangan Limbah ke Air.

F. PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH

1.

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 1 Tahun 1990, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup di Provinsi Jawa Tengah.

2.

Peraturan Daerah No 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 – 2029.

G. KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH

1.

Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 610/21/2007 tanggal 9 Agustus 2007 tentang Pembentukan Forum Koordinasi Pengelolaan Kawasan Rawapening.

(17)

I - 8

H. PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG

1.

Peraturan Daerah No 3 Tahun 2003 tentang Ijin Gangguan

2.

Peraturan Daerah No 10 Tahun 2003 tentang Ijin Pembuangan

Limbah Cair;

3.

Perda Prov. Jateng No. 11 Tahun 2004 tentang Garis Sempadan;

4.

Perda No. 10 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Limbah;

5.

Perda Prov. Jateng No. 8 Tahun 1990 tentang Irigasi;

6.

Peraturan Daerah No 26 Tahun 2008 tentang Air Bawah Tanah Kabupaten Semarang

7.

Peraturan Daerah No 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 – 2029

1.3 PERMASALAHAN

Banyak program telah dikembangkan dan dijalankan, namun masih bersifat sporadis, dan seringkali berbenturan dengan kewenangan dan tanggung jawab, sehingga hasilnya kurang optimal. Program-program tersebut hanya menyelesaikan permasalahan sesaat, namun ketika program telah berhenti, maka permasalahan akan muncul lagi. Berdasarkan hal tersebut, maka sangat perlu dikembangkan grand design

yang mampu mengatasi akar permasalahan dan keberlanjutan programnya terjamin.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka akar permasalahan Danau Rawapening dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu permasalahan pada badan air (inti danau), permasalahan di DTA, dan permasalahan kelembagaan. Evaluasi dan Road map

identifikasi akar permasalahan Danau Rawapening lebih detail dijelaskan pada Bab II.

(18)

I - 9 1.4. RUANG LINGKUP DAN KERANGKA PIKIR

Kebijakan pelaksanaan pengelolaan lingkungan meliputi kebijaksanaan nasional secara umum, kebijakan pembangunan lingkungan hidup yang secara khusus di Provinsi Jawa Tengah dan kebijaksanaan pembangunan lingkungan hidup di Kabupaten Semarang. Kebijakan pengelolaan ekosistem danau didasarkan pada visi untuk melestarikan fungsi ekosistem danau untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Sedangkan misi: melakukan tindakan konservasi dan pemanfaatan yang bijak atas danau dan daerah tangkapan airnya melalui kegiatan inventarisasi, penelitian, dan kajian ekosistem danau serta mengikutsertakan peran aktif masyarakat setempat dan meningkatkan kapasitas kelembagaan dengan kerjasama, koordinasi, dan keterpaduan antar pemangku kepentingan.

Strategi pengelolaan lingkungan hidup di Provinsi Jawa Tengah ditempuh dengan pendekatan perencanaan pembangunan secara holistik yang memungkinkan kebijakan-kebijakan secara terpadu, baik dari proses perencanaan sampai ke pengelolaannya. Prinsip ini ditetapkaan dalam Pola Dasar Pembangunan Daerah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Daerah dengan mempertimbangkan segi-segi konservasi, pemulihan terhadap kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup sesuai dengan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu strategi kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di Provinsi Jawa Tengah ditempatkan pada prioritas utama, disamping bidang kependudukan dan ketenagakerjaan.

Ruang lingkup penyelamatan ekosistem Danau Rawapening diawali dengan analisis SWOT untuk menemukenali akar permasalahan dari kondisinya sekarang. Blooming eceng gondok yang terjadi sebagai akibat dari melimpahnya nutrien di badan air Danau Rawapening sehingga memicu pertumbuhan tidak terkorntrol dari tumbuhan air. Oleh karena itu, maka penyelesaian yang harus dilakukan adalah menjada agar nutrien yang masuk ke danau sama dengan nutrien yang keluar dari danau (Nutrien input = nutrien output). Guna mencapai kondisi tersebut, maka disusun milestones 5 tahun pertama Gerakan Penyelamatan Danau

(19)

I - 10

(GERMADAN) Rawapening dengan 3 pendekatan yang saling mendukung dan terintegrasi seperti pada Gambar 1.

Pendekatan untuk GERMADAN Rawapening tediri dari Aplikasi Sains dan Teknologi untuk Remediasi Badan Danau dan DTA, Pengembangan Kelembagaan untuk Peningkatan Pengelolaan Danau, dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Konservasi Danau. Ketiga pendekatan tersebut diatas saling terintegrasi sehingga dapat dirumuskan program Super Prioritas (Pokok) dan Prioritas (Pendukung). Program Super Prioritas terdiri dari 6 kegiatan dan Program Prioritas terdiri dari 11 kegiatan. Diharapkan 17 kegiatan tersebut mampu mengatasi permasalahan ekosistem Danau Rawapening dalam jangka waktu 5 tahun, sehingga fungsinya sebagai PLTA, irigasi pertanian, perikanan, sumber baku air minum dan wisata dapat tetap dipertahankan.

a. Program Super Prioritas (Pokok)

1. Penanganan Eceng gondok

2. Penanggulangan Lahan Kritis, Erosi, Banjir dan Sedimentasi. 3. Penurunan Kandungan Nutrien Perairan Danau Rawapening 4. Kajian Limnologi Danau Saat ini dan Rekontruksi Kualitas Air di

Masa Lalu

5. Implementasi Pertanian Ramah Lingkungan

6. Peningkatan Keterlibatan dan Kepedulian Masyarakat dalam Pengelolaan dan Konservasi Danau Rawapening

b. Program Prioritas (Penunjang)

1. Pengembangan pengelolaan perikanan ramah lingkungan Danau Rawapening.

2. Pengembangan Ipal terpadu 3. Pengembangan drainase terpadu

4. Pengembangan pusat penelitian Danau Rawapening 5. Perencanaan pembangunan kawasan Danau Rawapening

berbasis kewilayahan dan kebijakan penanganan eceng gondok melalui pelibatan masyarakat

(20)

I - 11

6. Pengembangan regulasi /kebijakan pengelolaan Danau Rawapening dan Daerah Tangkapan Air (DTA)

7. Pengembangan kebijakan garis sempadan dan proteksi sumber daya alam

8. Pengembangan zonasi pemanfaatan Danau Rawapening 9. Pengembangan pemanfaatan eceng gondok untuk

menyelesaiakan problem blooming dan peningkatan pendapatan masyarakat

10. Pengembangan ekoturisme

11. Pengembangan forum peduli lingkungan

(21)

I - 12

1.5. TUJUAN DAN KEGUNAAN PROGRAM PENYELAMATAN DANAU RAWAPENING

1.5.1. Tujuan Studi

Program Penyelamatan Danau Rawapening bertujuan untuk mengkonservasi danau sehingga fungsi dan peranannya sebagai reservoir alami untuk PLTA, irigasi pertanian, perikanan, sumber baku air minum dan wisata dapat terjaga. Adapun tujuan khusus dari program ini adalah:

a. Mengaplikasikan sains dan teknologi untuk remediasi badan air dan DTA

b. Mengembangkan proses kebijakan pengelolaan Danau

Rawapening yang didukung oleh kelembagaan yang baik

c. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan konservasi Danau Rawapening.

1.5.2. Manfaat

a. Program Penyelamatan Danau Rawapening dapat menjadi model pengelolaan danau Indonesia lainnya.

b. Menyediakan dasar pertimbangan penilaian kesesuaian antara

rencana kegiatan penyelamatan danau dengan rencana

pembangunan daerah.

c. Melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi di dalam kegiatan pengelolaan Danau Rawapening. Melalui partisipasi masyarakat dalam proses penyelamatan Danau Rawapening diharapkan dimasa mendatang masyarakat juga akan turut serta secara aktif dalam pengambilan keputusan mengenai kelayakan lingkungan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.

Indikator Keberhasilan GERMADAN Rawapening disusun sebagai sarana untuk pemantauan capaian program pada Tabel 1 sebagai berikut.

(22)

I - 13

(23)

II - 1

BAB II

EVALUASI DAN ROAD MAP

DANAU RAWAPENING

1. Lingkup Wilayah Studi

2. Kondisi dan Permasalahan Badan Air Danau Rawapening 3. Kondisi dan Permasalahan Kelembagaan

4. Kondisi dan Permasalahan Kemasyarakat

2.1.

LINGKUP WILAYAH STUDI

Danau Rawapening terletak pada 7o40’ LS – 7o30’ LS dan 110o24’46” BT – 110o49’06” BT, dikelilingi empat kecamatan, yaitu Tuntang, Bawen, Ambarawa, dan Banyubiru, dan terletak 45 km sebelah selatan Semarang dan 9 km timur laut Salatiga, di segitiga pertumbuhan Yogyakarta, Solo (Surakarta), dan Semarang.

2.1.1. Batas Administrasi

DTA (catchment area) merupakan wilayah daratan yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai utama. DTA Rawapening termasuk dalam Sub-DAS Rawapening, yang terdiri dari 9 sub-sub DAS dengan daerah tangkapan air 28.735,12 Ha (Bappeda Provinsi Jawa Tengah, 2005). Secara administratif DTA Rawapening terletak di Kecamatan Ambarawa, Banyubiru, Bawen dan Tuntang. Sub-DAS Rawapening terdiri dari 9 sub-sub – Sub-DAS, Di Kabupaten Semarang terdapat 6 sub-DAS, yaitu Ambarawa, Banyubiru, Bawen, Tuntang, Getasan dan Jambu. Sebagian kecil DTA Rawapening berada di wilayah Kota Salatiga, yakni di Kecamatan Sidorejo, Sidomukti dan Argomulyo. Sembilan sub DAS dan potensinya tersaji pada Gambar II.1 dan Tabel II.1.

(24)

II - 2

Sumber: Pemali Jratun Tahun 2009.

(25)

II - 3

Tabel II.1. Sembilan sub – DAS Danau Rawapening

Kabupaten

Kecamatan Kelurahan

Semarang

Ambarawa Kelurahan Bejalen, DesaKupang, Kelurahan Tambakboyo, Baran, Lodoyong, Ngampin, Pasekan, Panjang, Pojoksari, Kranggan, Banyubiru Rowoboni, Kebumen, Kebondowo, Banyubiru,

Desa Tegaron, Kemambang, Sepakung, Wirogomo, Gedong, Ngrapah,

Bawen Desa Asinan, Bawen, Harjosari

Tuntang Desa Tuntang, Desa Lopait, Desa Kesongo, Desa Candirejo, Desa Jombor, Desa Sraten

,

Desa Rowosari, Gedangan, Watuagung Getasan Wates, Doplang, Batur, Tolokan, Samirono,

Polobogo, Ngrawan, Nagasaren, Manggihan, Kopeng, Getasan, Sumogawe, Tajuk

Jambu Brongkol, Genting, Kelurahan, Kuwarasan, Bedono, Jambu, Kebondalem, Rejosari, Gondoriyo

Salatiga

Sidarejo

Blotongan, Pulutan, Salatiga, Sidorejo lor,

Bugel.

Sidamukti Kalicacing, Kecandran, Mangunsari, Dukuh

Argomulya Randuacir, Kumpulrejo, Kumpulrejo

2.1.2. Geologi dan topografi

Secara alami, Danau Rawapening terbentuk melalui proses letusan vulkanik yang mengalirkan lava basalt dan menyumbat aliran Kali Pening di daerah Tuntang. Sebagai akibatnya lembah Kali Pening menjadi terendam air dan kemudian menjadi reservoir alami yang keberadaannya sangat penting bagi sistem ekologi (Wardani, 2002). Sebagai akibatnya lembah Pening yang berhutan tropik menjadi rawa, sehingga Danau Rawapening termasuk tipe ”mangkok”.

Rawapening berubah menjadi danau semi alami sejak

pembangunan pertama dam dikembangkan di hulu Sungai Tuntang, pada tahun 1912–1916, sehingga permukaan air rawa naik dengan memanfaatkan Sungai Tuntang sebagai satu-satunya pintu keluar. Penggenangan lembah Kali Pening tersebut membawa dampak besar terhadap perubahan ekosistemnya, seperti penggambutan sisa-sisa hutan tropik, invasi tumbuhan air, terbentuknya pulau terapung dan

(26)

II - 4

berkembangnya komunitas akuatik. Perluasan danau dilakukan pada tahun 1936, sehingga genangan air maksimum mencapai ± 2.667 hektar pada musim penghujan dan ± 1,650 hektar pada musim kemarau (Goltenboth & Timotius, 1994).

Berdasarkan topografinya, Danau Rawapening terletak di dataran/lahan rendah dan dikelilingi oleh beberapa perbukitan dan gunung seperti Gunung Telomoyo (1895 m), Gunung Butak (1000 m), Gunung Balak (700 m), Gunung Payung dan Gunung Rong (600 m), dengan kelerengan berkisar antara 8% hingga mencapai lebih besar dari 45%.

2.1.2. Hidrologi

Danau Rawapening memiliki kapasitas tampung air maksimum 65 juta m3 pada elevasi muka air 463,9 m dan kapasitas air minimum 25 juta m3 pada elevasi muka air 462,05 m. Pada tahun 1998, volume air danau Rawapening sebanyak 45.930.578 m3 dengan luas genangan antara 1.650 sampai 2.770 Ha (Goltenboth & Timotius, 1994). Curah hujan rata-rata pada daerah tangkapan 2247 mm/tahun (BPS kabupaten Semarang, 2010 & Bappeda kota Salatiga, 2009).

Sungai yang merupakan inlet Danau Rawapening antara lain Sungai Gajahbarong, dan Dungrangsong (sub-sub DAS Rengas), Panjang dan Pentung (sub-sub DAS Panjang), Torong (sub-sub DAS Torong), Galeh dan Klegung (sub-sub DAS Galeh), Legi (sub-sub DAS Legi), Parat dan Muncul (sub-sub DAS Parat), Sraten (sub-sub DAS Sraten), Tapen dan Tengah (sub-sub DAS Ringis), Ngreco, Dogbacin, Pragunan (sub-sub DAS Kedungringin,Gambar II.2).

Secara hidrologis, air Danau Rawapening berasal dari curah hujan, air tanah, dan air permukaan yang berasal 16 aliran sungai sebagai inlet yang termasuk dalam 9 sub-sub DAS. Kondisi ini menyebabkan air di danau mengalami penambahan terus menerus, sementara air yang keluar hanya melalui 1 outlet yaitu Sungai Tuntang. Akan tetapi penambahan air tersebut juga membawa material-material dari daerah hulu yang kemudian diendapkan di danau, sehingga memberi sumbangan endapan

(27)

II - 5

yang cukup besar. Seiiring perjalanan waktu, maka ada kecenderungan perubahan tipe danau menjadi tipe “piring” karena proses pendangkalan

yang terjadi (Soeprobowati, 2010). Distribusi sedimen ke danau pada musim penghujan mencapai 880 kg/hari dan di musim kemarau rata-rata 270 kg/hari (Pemerintah Kabupaten Semarang, 2000). Sedimentasi yang besar mengakibatkan banjir, yang terjadi sejak tahun 1970 (Bappeda Provinsi Jawa Tengah, 2005).

Sumber : P4N UGM, 2000

(28)

II - 6

Neraca air merupakan alat untuk mendekati nilai-nilai hidrologis proses yang terjadi di lapangan. Secara garis besar neraca air merupakan penjelasan tentang hubungan antara aliran ke dalam (in flow) dan aliran ke luar (out flow) di suatu daerah untuk suatu periode tertentu dari proses sirkulasi air (Suryatmojo, 2006). Neraca air di kawasan Rawapening berkaitan dengan pengaturan air yang menentukan hasil pengelolaan air di DAS Tuntang. Tampungan alami di bagian hulu DAS Tuntang merupakan pusat pengaturan awal distribusi air untuk berbagai kebutuhan air di hilir, antara lain terkait dengan dua buah PLTA, yaitu PLTA Jelog dan PLTA Timo. Distribusi aliran airnya dimanfaatkan untuk kebutuhan air baku di Kabupaten Semarang 500 l/dt, tenaga listrik 26 MW, serta pengendalian banjir (Balai Besar Wilayah Sungai Pemali-Juana, 2008) dan irigasi teknis 1.265,09 ha, (BPS kabupaten Semarang, 2010, Bappeda kota Salatiga, 2009).

2.1.3. Tata guna lahan

Pemanfaatan lahan daerah tangkapan Danau Rawapening adalah tegalan 35%, sawah 18,3%, semak/lahan terbuka 11,6%, permukiman 13,8%, perkebunan 8%, kebun campur 7,8%, rawa/danau 4,5%, penggunaan lahan lainnya 1% (Bappeda Provinsi Jawa Tengah, 2000). Berdasarkan luas pemanfaatan lahan sampai dengan tahun 2009 di daerah Danau Rawapening untuk sawah adalah 5.539,25 Ha; tegal dan kebun 11.264,2 Ha; permukiman 4.408,33 Ha; perkebunan 2.16,42; rawa 2.623 Ha; dan penggunaan lahan lainnya sebesar 1.340,1 Ha (BPS Kabupaten Semarang, 2010).

Perubahan tata guna lahan di sekitar danau berkontribusi terhadap perubahan kualitas air Danau Rawapening. Perubahan tersebut diindikasikan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, tingkat kelerengan lahan yang curam (lebih dari 25 %) disebabkan tingginya run off dan sulit untuk dihijaukan (Gambar II.3.)

(29)

II - 7

Sumber: Soeprobowati, 2010b

(30)

II - 8

2.1.4. Kependudukan

Jumlah penduduk di Kabupaten Semarang sampai dengan tahun 1997 mencapai 673.390 jiwa, dengan mata pencaharian sebagian besar adalah petani. Selama kurun waktu 1995-1998 pertumbuhan penduduk di Kawasan Rawapening cukup rendah, yakni rata-rata 0,79% per tahun, namun pada tahun 1998 mulai mengalami peningkatan menjadi 939,33 jiwa per km3. Artinya, tekanan penduduk pada lahan pertanian semakin meningkat (P4N UGM, 2000). Data pada tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di kabupaten Semarang adalah 917.745 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk yang ada di sekiatar Danau Rawapening adalah 207.438 jiwa (BPS kab Semarang, 2010).

Tingkat pertumbuhan penduduk di Kabupaten Semarang pertahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000 – 2010 sebesar 1,02 persen (BPS, 2010). Terjadi peningkatan pertumbuhan penduduk, jika dilihat data pertumbuhan penduduk pada tahun 2000 yaitu sebesar 0,93 % (Pemerintah Kabupaten Semarang, 2000). Jumlah penduduk yang bergantung pada keberadaan Danau Rawapening sebanyak 6.561 orang petani, 7.007 orang buruh tani, dan 2.604 orang nelayan (Bappeda Provinsi Jawa Tengah, 2005). Data pada tahun 2010 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk di sekitar wilayah Danau Rawapening sebanyak 46.076,016 petani, 27378,715 orang buruh tani, 25426,583 orang buruh industri, 11022,052 orang buruh bangunan, 2205 orang nelayan, 3745,874 orang pengusaha, 2239 orang peternak/ perikanan di sekitar Rawapening dapat terus terjaga (BPS kabupaten Semarang, 2010, Bappeda kota Salatiga, 2009).

2.1.5. Sosial ekonomi dan budaya

Secara ekonomis, Danau Rawapening mempunyai peranan sangat tinggi untuk masyarakat sekitar, yaitu irigasi pertanian, perikanan, pembangkit listrik tenaga air, dan pariwisata.

Jenis usaha yang berkembang di Kawasan Rawapening adalah industri pengolahan, pertanian, perikanan, serta pariwisata. Jenis usaha sektor industri pengolahan di Kawasan Rawapening didominasi oleh

(31)

II - 9

industri kecil, sampai tahun 1999 jumlah industri kecil di Rawapening mencapai 7.111 unit usaha dengan jumlah tenaga kerja terserap 19.646 orang dan nilai produksi yang dihasilkan Rp.23.587.022.000,-. Industri eceng gondok tidak termasuk ke dalam industri unggulan, meskipun bahan baku industri eceng gondok cukup tersedia di perairan Rawapening (P4N UGM, 2000).

Perkembangan usaha perikanan terutama produksi ikan di Kawasan Rawapening dari tahun ke tahun mengalami peningkatan 50,14%. Lokasi kegiatan usaha sektor perikanan di Kawasan Rawapening terdapat di Kecamatan Tuntang, Banyubiru, Ambarawa, dan Bawen dengan produksi ikan air tawar.

Usaha pariwisata yang berada di Kawasan Rawapening sangat berkaitan erat dengan potensi alam, historis, budaya yang dimiliki seperti Candi Gedong Songo, Palagan Ambarawa, Bukit Cinta, Pemandian Muncul, Museum Kerata Api, Bandungan Indah, Waduk Umbul Songo, Pemandian Kopeng, Agrowisata Tlogo, Asinan di Kecamatan Bawen, dan Benteng Pendem. Jumlah wisatawan yang berkunjung di obyek wisata Kawasan Rawapening masih didominasi oleh wisatawan nusantara sekitar 98.91%, sisanya adalah wisatawan mancanegara (Pusat Penelitian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2000). Selama tahun 2009 jumlah wisatawan domestik yang berkunjung di kawasan Rawapening sejumlah 50.520, sedangkan wisatawan mancanegara mencapai 148 orang (BPS, 2010).

Sampai dengan saat ini baru terdapat tiga orang pengrajin sekaligus pengusaha kerajinan eceng gondok yang memanfaatkannya. Ketiga pengrajin tersebut memiliki spesialisasi produksi yang berbeda, yang pertama sepatu dan sandal, kedua kerajinan tas, nampan, tempat kue, tempat tissue serta keranjang, yang ketiga khusus meja dan kursi. Kerajinan eceng gondok ini merupakan kerajinan yang unik, karena selama ini eceng gondok dianggap sebagai sampah dan hama diperairan, namun ternyata dapat berubah menjadi komoditi usaha yang menjanjikan jika dolah menjadi berbagai jenis kerajinan yang menarik, berseni, dan berdaya jual tinggi.

(32)

II - 10

Eceng gondok dari Rawapening sebagai bahan baku kerajinan juga dikirim ke Yogjakarta. Pemasok memperoleh enceng gondok dari hasil tanaman liar dan bukan dari pembudidayaan. Penduduk Rawapening hanya tinggal mengambil tanaman yang tumbuh liar dan memenuhi hamparan permukaan rawa. Pengolah tidak perlu memikirkan ketersediaan bahan baku tanaman enceng gondok untuk pemanenan berikutnya, karena jumlah yang tersedia sangat banyak. Mereka tinggal menunggu atau berpindah ke area lain dimana tanaman sudah cukup besar untuk diambil tangkai daunnya. Perkembangbiakan dan pertumbuhan tanaman enceng gondok memang sangat cepat.

Proses perlakuan tangkai daun untuk bahan baku kerajinan ini meliputi hal-hal sebagaiberikut:

1. Pengambilan dan seleksi tanaman enceng gondok yang sudah tua dan memiliki tangkai yang besar dan panjang.

2. Pemotongan tangkai dari bagian daun dan bonggol akar

3. Pengeringan tangkai dengan jalan diikat dan dijemur di bawah terik sinar matahari. Penjemuran dilakukan dengan jalan digantung di para-para atau diletakkan begitu saja di tanah.

4. Pengepakan ikatan tangkai daun untuk siap disetor ke pengrajin.

Usaha industri pemanfaatan eceng gondok di kawasan Rawapening masih terbatas. Bagian tanaman enceng gondok yang diambil untuk hiasan adalah bagian tangkai daunnya saja. Tanaman ini sebagaimana jenis tanaman air lainnya tidak memiliki batang, jadi hanya terdiri dari daun, tangkai daun, bonggol akar dan akar itu sendiri. Dengan demikian setelah diambil bagian tangkainya, tentu saja akan menghasilkan limbah berupa bagian sisa tanaman yang tidak diolah lebih lanjut. Selain sebagai bahan dasar untuk kerajinan tangan, tanah gambut yang merupakan sisa-sisa tanaman dan gulma yang mati dan mengendap di dasar danau, diambil dan dimanfaatkan sebagai pupuk atau media untuk bertanam sayur dan jamur.

Gambut Rawapening berasal dari pembusukan eceng gondok yang mati dan mengendap dirawa. Gambut ini kemudian di keduk dan diangkat menggunakan perahu, selanjutnya dikeringkan dan dicampur

(33)

II - 11

kapur untuk dijadikan kompos. Tempat pendaratan gambut ini ada di Tuntang dan Bukit Cinta, dimana banyak juga nelayan yang hidupnya bergantung pada pekerjaan ini. Tanah Gambut secara umum memiliki kadar pH yang rendah, memiliki kapasitas tukar kation yang tinggi, kejenuhan basa rendah, memiliki kandungan unsur K, Ca, Mg, P yang rendah dan juga memiliki kandungan unsur mikro (seperti Cu, Zn, Mn serta B) yang rendah pula. Secara teknis tanah gambut tidak baik sebagai dasar konstruksi bangunan karena mempunyai kadar air sangat tinggi, kompresibilitas atau kemampatannya tinggi serta daya dukung sangat rendah (extremely low bearing capacity). Proses pembentukan gambut dipengaruhi oleh iklim, hujan, pasang-surut, jenis tumbuhan rawa, bentuk topografi, jenis dan jumlah biologi yang melakukan dekomposisi, serta lamanya proses dekomposisi tersebut berlangsung (Rahman, 2002).

2.2. KONDISI DAN PERMASALAHAN BADAN AIR DANAU RAWAPENING

2.2.1. Kualitas air

Penelitian kualitas air Danau Rawapening banyak dilakukan, namun hanya sedikit yang dipublikasikan. Sebelum tahun 2000 pH Danau Rawapening cenderung netral dan lebih bersifat basa pada tahun 2001 dan 2008 meskipun pada tahun 2005 cenderung bersifat asam (Soeprobowati, 2010).

Kandungan nitrogen perairan berupa nitrogen anorganik seperti ammonia, nitrat dan nitrat, dan nitrogen organik berupa protein, asam amino, dan urea. Dalam kondisi basa, amonia tidak terionisasi dan dalam jumlah yang banyak dapat bersifat toksik. Kandungan ammonia bebas di Danau Rawapening tahun 1976 hingga 2010 selalu lebih besar dari 0,02

mg/L (Soeprobowati, 2010). Tingginya kadar ammonia ini

mengindikasikan pencemaran organik yang dapat berasal dari limbah domestik, industri dan limpasan pupuk pertanian atau bahan organik yang terdapat pada sedimen. Kadar amonia yang tinggi ditemukan pada dasar danau yang anoksik. Kadar ammonia bebas yang tidak terionisasi di perairan danau sebaiknya tidak lebih besar dari 0,02 mg/L karena bersifat

(34)

II - 12

toksik pada ikan (Effendi, 2003). Kasus kematian ikan di beberapa danau di Indonesia, termasuk di Danau Rawapening berkaitan peningkatan pH dan kandungan ammonia perairan.

Parameter kualitas perairan Rawapening di titik – titik pemantauan (Sumber : BLH Provinsi Jateng tahun 2010) adalah sebagai berikut:

a. Inlet Sungai Galeh (dekat mata air), koordinat S= 70o18' 20,8 " E= 110o 25'29,5; parameter yang tidak memenuhi syarat untuk klasisifikasi air klas II adalah BOD (11,9 mg/l), COD (54,48 mg/l), Total P (0,28 mg/l), Khrom (0,09 mg/l), Khlorin bebas (0,75 mg/l)

b. Outlet ke Sungai Tuntang, koordinat S = 07o 16' 12,8" E= 110o 26'30,0" parameter yang tidak memenuhi syarat untuk klasisifikasi air klas II adalah BOD (7,68 mg/l), DO (2,8 mg/l), Total P (0,29 mg/l), Seng (0,18 mg/l) dan Khlorin bebas (0,75 mg/l).

c. Rawapening (sekitar keramba), Koordinat S= 07o 18' 25,1" E= 110o25' 43,1" parameter yang tidak memenuhi syarat untuk klasifikasi air klas II adalah BOD (12,29 mg/l), COD (82,09 mg/l), DO (1,8 mg/l), Total P (0,21 mg/l) dan Khlorin bebas (0,73 mg/l).

2.2.2. Luas Perairan Danau Rawapening

Danau Rawapening menempati empat wilayah Kecamatan, yakni Ambarawa, Banyubiru, Tuntang, dan Bawen memiliki luas 2.670 ha (Balai Pengelolaan DAS Pemali-Jratun, 2010). Pada tahun 1976, luas maksimum 2.500 ha dan minimum 650 ha (Goltenboth, 1979). Sedikit peningkatan luas danau ini kemungkinan sebagai akibat dari semakin luasnya daerah genangan banjir. Hal ini diperkuat dengan perubahan tataguna lahan, dimana persentase stabil 4% sejak tahun 1972 (Soeprobowati, 2010b).

2.2.3. Kedalaman Danau Rawapening

Batimetri merupakan ilmu yang mempelajari kedalaman bawah air dan studi tentang tiga dimensi danau. Peta batimetri menunjukkan relief dasar atau dataran danau dengan garis-garis kontur kedalaman (isobath

(35)

II - 13

atau depth contour), sehingga memiliki informasi tambahan navigasi permukaan (Larson, 2002).

Kedalaman Danau Rawapening pada penelitian yang dilakukan Goltenboth pada tahun 1976 diketahui bahwa titik terdalam pada waktu musim hujan adalah 11 meter yang terletak di daerah utara (Golthenboth, 1979). Eksploitasi gambut yang sangat besar mungkin telah merubah lapisan tersebut (Goltenboth & Timotius, 1994).

2.2.4. Sedimentasi

Distribusi sedimen ke Danau Rawapening pada musim penghujan mencapai 880 kg/hari dan di musim kemarau rata-rata 270 kg/hari dengan laju rata-rata 778,93 ton/tahun (Pemerintah Kabupaten Semarang, 2000). Deposisi yang besar mengakibatkan banjir, yang terjadi sejak tahun 1970 (Bappeda Provinsi Jawa Tengah,2005).

Daerah yang memungkinkan terjadinya sedimentasi pada daerah hilir Sub DAS Rawapening, yakni

 Sedimentasi sangat berat terjadi di muara Sungai Tarung, Sungai Legi, dan Sungai Parat.

 Sedimentasi berat, terjadi muara Sungai Galeh.

 Sedimentasi sedang, terjadi di muara Sungai Torong, Sungai Panjang, dan Sungai Kedungringin.

 Sedimentasi ringan, terjadi di muara Sungai Rengas dan Sungai Ringis.

Sembilan sub-sub DAS pada Sub DAS Rawapening memiliki laju erosi dan potensi deposisi yang berbeda dari ringan sampai sangat berat. Pada tahun 2021 Danau Rawapening diprediksi akan penuh dengan sedimen dan menjadi daratan (Pemerintah Kabupaten Semarang, 2000).

Berdasarkan penelitian diketahui bahwa volume air Danau Rawapening dalam kurun 22 tahun (tahun 1976–1998) mengalami penurunan 29,34%. Degradasi kualitas air, sedimentasi yang cukup tinggi dan blooming eceng gondok mengakibatkan proses pendangkalan danau yang dipercepat. Jika kondisi tidak berubah, maka diprediksi pada tahun

(36)

II - 14

2021 Rawapening akan menjadi daratan (Pemerintah Kabupaten Semarang, 2000).

2.2.5. Pemanfaatan Danau Rawapening

Hasil studi karakteristik Rawapening (BalitBang Prov Jateng, 2003) menggambarkan kebergantungan kegiatan ekonomi masyarakat yang signifikan pada keberadaan Danau Rawapening. Kebergantungan tersebut dalam wujud memanfaatkan Danau Rawapening dalam berbagai sektor, yaitu sektor pertanian, irigasi, pariwisata, PDAM, PLTA, perikanan, pengendali daya rusak air, serta habitat air dan fauna.

 Kegiatan sektor pertanian yang dilakukan oleh masyarakat sekitar berupa penggunaan lahan pasang surut seluas 822 ha yang berkaitan dengan pengaturan operasi air danau. Air danau Rawapening yang dipergunakan untuk irigasi sawah seluas 39.277 ha di Kabupaten Semarang, Demak, dan Grobogan. Daerah irigasi Glapan Barat seluas 8.896 ha.

 Pengoprasian PLTA Jelok yang dibangun pada tahun 1938 dan PLTA Timo yang dibangun pada tahun 1962 dengan kapasitas maksimum 24.500 Kwh sangat bergantung pada ketersediaan air danau. Produksi listrik PLTA Jelog dari tahun 1984 sampai 2010 tercatat 2.520.740.439 KWh atau rata-rata per tahun 93.360.757 KWh yang sangat vital untuk memenuhi kebutuhan listrik di Jawa Tengah. Pola operasi PLTA Jelog sesuai dengan pengaturan air dari PSDA, jika curah hujan banyak maka produksi banyak. Jadi, sangat bergantung pada Rawapening (Sutarwi, 2008).

 Air danau Rawapening juga dimanfaatkan sebagai PDAM di Kanal Tuntang untuk mensuplai air bagi rumah tangga, kantor, dan industri yang dapat ditingkatkan dari 250 liter/detik menjadi 1.100 liter/detik. Selain PDAM, air dari kanal Tuntang juga dimanfaatkan sebagai sumber air kemasan yang diambil langsung dari mata air Muncul dan untuk industri Apac Inti Karangjati sebesar 100 liter per detik (Bappeda, 2005).

(37)

II - 15

 Pemanfaatan Rawapening sebagai salah satu obyek wisata Jawa Tengah berkaitan dengan potensi yang dimilikinya, yaitu wisata alam dan wisata budaya. Wisata alam merupakan bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan keindahan alam yang sangat mempesona dalam menghayati kehidupan di alam. Sedangkan wisata budaya, yaitu pendukung kegiatan wisata alam dalam menampilkan berbagai jenis atraksi dan obyek yang menarik. Aspek lain yang mendukung tercapai pemanfaatan Rawapening sebagai salah satu obyek wisata adalah kawasan Rawapening sudah lama dikenal dengan berbagai atraksi wisata alam maupun buatan manusia, seperti wisata alam dengan iklim yang sejuk dan pemandangan yang indah, potensi pengembangan wisata sejarah dan budaya maupun wisata yang kesehatan (olah raga) sebenarnya cukup tersedia (Retnaningsih 2001). Keberadaan Kawasan Rawapening di tengah

triangle Yogya-Semarang-Solo membuat kawasan ini memiliki kekuatan strategis dan potensial untuk dikembangkan melalui kegiatan pariwisata. Pada Tahun 2001 Diparta Provinsi Jawa Tengah mencanangkan Kawasan Rawapening sebagai kawasan wisata air. Pemilihan Kawasan Rawapening untuk dikembangkan sebagai kawasan dengan atraksi wisata air didukung dengan kondisi kawasan yang berupa danau dengan pemandangan alam dan kurang tersedianya obyek wisata dengan atraksi wisata air di Jawa Tengah.

 Jumlah nelayan dan petani ikan di sekitar Danau Rawapening, yakni 2.196 jiwa. Artinya, kebergantungan petani dan nelayan pada keberadaan Rawapening sangat besar sekali. Perikanan yang telah dikelola masyarakat dalam bentuk usaha budi daya penyediaan benih ikan, penangkapan ikan, dan usaha pengepul ikan. Sistem budi daya ikan di Rawapening ada dua macam, yaitu keramba tancap (gorobog bambu) di desa Rowoboni, dan desa Kebondowo Kecamatan Banyubiru, dan keramba jaring apung (KJA) di Desa Ngasinan, Desa

Sumurup Kecamatan Bawen, serta kelurahan Tambakboyo

Kecamatan Ambarawa. Penangkapan ikan dilakukan dengan bantuan alat tangkap berupa seser, kere, jala arang, jala sogok, jala kalar, jala kerep, pancing kalar, susuk, branjang, dan anco. Hasil tangkapan

(38)

II - 16

ikan per hari tahun 1970 rata-rata mencapai 50-100 kg. Hingga tahun 2009 hasil produksi ikan dari rawa dan sungai sekitar Rawapening mencapai 1.150,1 ton. Jenis ikan lele dan nila hitam masih mendominasi produksi ikan pada tahun 2009.Usaha pengepul ikan terdiri atas pemasaran hasil tangkapan dan usaha pengolahan hasil tangkapan. Jenis-jenis ikan yang terdapat di Rawapening adalah ikan mas, gurami, tawes, kutuk, nila, mujaher, belut, lele, patin, bawal, dan cethol (BPS Kabupaten Semarang, 2010).

 Jenis-jenis ikan yang terdapat di Rawapening adalah kutuk, nila, mujaher, belut, dan cethol.

Terdapat fluktuasi produksi perikanan Danau Rawapening. Pengaruh perikanan di Danau Rawapening terlihat sangat nyata terhadap kualitas air danau karena penempatan karamba baik tancap maupun jaring apung yang hanya terkumpul pada lokasi tertentu seperti Tuntang, Asinan, Kejalen dan Bukit Cinta. Arahan Pemerintah Kabupaten Semarang, kultur jaring apung ikan di Danau Rawapening terletak pada zona pemancingan, 3 ha di sub zona Puteran (Banyubiru) dan 1,5 serta 3 ha di dekat sub zona Cobening (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Semarang, 2007). Sampai tahun 2009 jumlah keramba yang berada di Danau Rawapening sejumlah 752 unit, sedangkan usaha perikanan darat minapadi mencapai luas 2,5 ha ikut menyumbang produksi perikanan darat (BPS Kabupaten Semarang, 2010).

2.2.6. Permasalahan Danau Rawapening

Secara ekologis, Danau Rawapening telah banyak mengalami perubahan, yang diindikasikan oleh tidak terkontrolnya pertumbuhan gulma air yang umumnya berkaitan dengan proses eutrofikasi. Kurang lebih 20–30% danau tertutup oleh Eicchornia crassipes, 10% oleh Hydrilla verticillata dan Salvinia cucculata (Goltenboth & Timotius, 1994). Penutupan permukaan danau oleh tumbuhan air tersebut semakin besar persentasenya, bahkan pada musim kemarau dapat mencapai 70%. Pertumbuhan yang tidak terkontrol ini menyebabkan penutupan permukaan perairan, terakumulasinya seresah/busukan eceng gondok di

(39)

II - 17

dasar perairan dan terperangkapnya sedimen di akar tanaman sehingga mempercepat pendangkalan danau. Meskipun sejak tahun 1931 telah dilakukan upaya pengendaliannya namun sampai dengan saat ini belum sepenuhnya menunjukkan hasil yang memadai.

Keberadaan eceng gondok pada umumnya memberikan dampak negatif pada lingkungan. Berbagai upaya untuk menanggulangi keberadaan eceng gondok adalah dengan penggunan pestisida dan sebagai bahan campuran pembuatan kompos tetapi upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang sangat signifikan sehingga diperlukan pemanfaatan lebih lanjut, salah satunya dengan pembuatan barang kerajinan berbahan dasar eceng gondok. Satu batang eceng gondok dalam waktu 52 hari mampu menghasilkan tanaman baru seluas 1 m2 (Gutierrez et al., 2001) . Bisa dibayangkan, selama 106 tahun berada di bumi Indonesia eceng gondok telah menyebar ke seluruh perairan yang ada dan memenuhi setiap jengkalnya, baik waduk, rawa, danau, maupun sungai. Dari permukaan air Rawapening yang berkisar 7200 hektar, diantaranya tertutup eceng gondok. Tertutupnya permukaan perairan menyebabkan berkurangnya jenis binatang air dan pendapatan petani serta pengunjung wisata daerah tersebut.

(40)

II - 18

Sumber : BLH Kab Semarang, 2011

Gambar II.4. Permasalahan Danau Rawapening

2.3. KONDISI DAN PERMASALAHAN KELEMBAGAAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, beberapa persoalan yang berkaitan dengan pengembangan kawasan Rawapening bersifat multidimensional. Beberapa permasalahan di bidang manajemen kelembagaan antara lain:

a. Adanya pergeseran sistem pemerintahan yang menuntut kesiapan stakeholder untuk mengelola kawasan Rawapening dengan baik. b. kebijakan otonomi daerah yang menekankan pada batas administrasi,

sementara pengelolaan Kawasan Rawapening tidak sama dengan batas administrasi sehingga menghambat pengelolaan apalagi ada undang-undang otonomi daerah.

(41)

II - 19

c. Kelembagaan dan koordinasi dalam rangka menangani pengelolaan sumberdaya air belum berjalan secara optimal, peran kelembagaan yang ada (Rembug Rawapening) belum mantap, akibatnya setiap benefecieries bertindak bebas tanpa ada peraturan yang mengatur setiap aktifitas baik di daerah tangkapan air maupun inti danau Rawapening, yang cenderung menimbulkan konfllik.

d. Kegiatan-kegiatan pembangunan yang selama ini dilakukan masih menggunakan pendekatan kebijakan topdown approach dan bersifat sektoral serta kedaerahan. Oleh karena itu, perlu ada koordinasi antara bottom up dan top-down opproach

e. Masih adanya ego sektoral dan kepentingan sehingga menimbulkan potensi konflik yang tinggi.

f. Belum terciptanya pengelolaan sumberdaya air dengan menggunakan pendekatan regional,

g. Belum tersedianya data base pengelolaan lingkungan hidup yang mengintegrasikan antara teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dengan sistem informasi geografi yang lebih akurat.

h. Belum tersosialisasinya misi pelayanan pemerintah kepada masyarakat,

i. Kurang optimalnya komitmen masing-masing stakeholder yang terus menerus mengupayakan pelestarian Rawapening

j. Tidak tegaknya pengaturan air oleh pintu air (PLTA) Tuntang menimbulkan konflik antara petani lahan pasang surut rawa (kabupaten Sernarang) dengan petani hilir (terutama Kabupaten Grobogan)

k. Tidak ada pengaturan penambangan gambut di Rawapening yang memberikan keuntungan besar bagi pengusahanya.

l. Belum dimilikinya grand design mengakibatkan arah action plan tidak jelas bagi dinas/ instansi yang terkait, sehingga program-program yang dijalankan bersifat sektoral yang mengakibatkan overlapping program dan pemborosan.

Berdasarkan persoalan tersebut diatas maka Permasalahan kelembagaan, dapat dibagi menjadi 2, yaitu kelembagaan baik formal

(42)

II - 20

maupun informal dan belum adanya grand design. Belum optimalnya kelembagaan yang ada baik formal maupun informal mengakibatkan belum optimalnya proses kebijakan pengelolaan air yang mantap, ditambah belum adanya peraturan yang mengatur setiap aktivitas baik di daerah tangkapan maupun pada inti danau sehinga memicu timbulnya konflik. Peran kelembagaan informal berupa kearifan lokal merupakan potensi kekuatan masih dapat lebih ditingkatkan. Nilai Ngepen dan

Wening telah ditinggalkan baik oleh masyarakat di sekitar Danau Rawapening maupun oleh negara.

Belum dimilikinya grand desain menyebabkan arah action plan

tidak jelas bagi dinas/instansi yang terkait, sehingga program-program yang dijalankan bersifat sektoral yang mengakibatkan overlapping

program, kerancuan kewenangan dan tanggungjawab program dan pemborosan.

Diperlukan kerjasama dan partisipasi aktif dari sfakeholder lainnya terutama masyarakat yang berada di Kawasan Rawapening. Hal ini perlu ada dukungan kerjasama yang baik antara berbagai stakeholder yang ada serta di dukung dengan dana yang memadai, di samping itu pedoman penanganan kawasan Rawapening yang terpadu dan operasional sangat diperlukan.

2.4. Kondisi dan permasalahan kemasyarakatan

Sesungguhnya masyarakat Jawa Tengah khususnya di sekitar danau Rawapening telah memiliki falsafah/ kearifan budaya dalam menyikapi proses pemberdayaan masyarakat. Falsafah tersebut hingga kini masih tetap lestari dan melekat dalam sanubari masyarakat Jawa Tengah. Memberdayakan masyarakat dengan pola yang sudah dikenal masyarakat adalah inti dari proses pelaksanaan program ini.

Dalam falsafah jawa masyarakat disebut dengan " Brayat " atau keluarga. Setiap anggota keluarga, baik anak-anak, orang tua, pegawai, swasta, petani dan lain-lain, diakui eksistensi dan diberi peran sesuai kemampuannya. Pengejawantahan falsafah tersebut adalah tidak akan ada

(43)

II - 21

pemisahan atau perbedaan menurut kelompok atau status di dalam masyarakat. Perbedaan - perbedaan yang ada dikelola dan diharapkan mampu menunjang tujuan program yaitu masyarakat mampu saling belajar dan membangkitkan potensi dirinya dalam mencapai tujuannya.

Meskipun secara kultural peran Pemerintah dan pemrakarsa, memiliki peran penting, tetapi titik berat perannya lebih bersifat "Tut Wuri Handayani" dan masyarakatlah yang menjadi subyek kegiatan ini.

Pada prinsipnya pelaksanaan program penyelamatan Rawapening dilakukan dengan melibatkan segenap potensi masyarakat yang ada. Mekanisme pelaksanaan adalah memfasilitasi masyarakat untuk mampu melaksanakan tujuan program secara mandiri dan berkelanjutan. Pemberian fasilitas dimaksudkan untuk menjembatani masyarakat langsung dengan konsumen produk yang dihasilkan oleh masyarakat.

Dalam UU nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) dinyatakan bahwa tujuan pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan keberdayaan masyarakat melalui penguatan lembagaan dan organisasi masyarakat setempat, penanggulangan kemiskinan, dan perlindungan sosial masyarakat, peningkatan keswadayaan masyarakat luas guna membantu masyarakat untuk meningkatkan ekonomi.

Visi pemberdayaan masyarakat adalah peningkatan kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi dinamis yang memungkinkan masyarakat mampu membanguan diri dan lingkungannya berdasarkan potensi, kebutuhan aspirasi dan wewenangan yang ada pada masyarakat sendiri dengan difasilitasi oleh pemerintah dan seluruh stakholders pemberdayaan masyarakat.

Misi Pemberdayaan masyarakat adalah mengembangkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan, agar secara bertahap masyarakat mampu membangun diri dan lingkungan secara mandiri melalui : Peningkatan keswadayaan masyarakat, pemantapan nilai-nilai budaya masyarakat, pengembangan usaha ekonomi masyarakat, peningkatan pemanfatan sumberdaya alam yang berwawasan lingkungan, peningkatan pemanfaatan teknologi tepat guna sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

(44)

II - 22

Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat adalah mengembangkan kemandirian masyarakat dalam seluruh aspek kehidupannya, melalui pemberdayaan masyarakat dalam aspek ekonomi, sosial-budaya, politik dan lingkungan hidup. Strategi Pemberdayaan Masyarakat adalah : pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, pengembangan aspirasi dan partisipasi

masyarakat, pengorganisasian dan pelembangaan masyarakat,

pemberdayaan masyarakat perkotaan dan perdesaan, berpihak pada pengembangan ekonomi rakyat, pendekatan lintas sektor dan program, mendayagunakan teknologi tepat guna sesuai kebutuhan masyarakat.

Gambar

Gambar I.1. Pendekatan Gerakan Penyelamatan Danau Rawapening
Tabel I.1. Indikator Keberhasilan GERMADAN Rawapening
Gambar II.1. Batas Administrasi Danau Rawapening
Tabel II.1.  Sembilan sub – DAS Danau Rawapening
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah Analisis SWOT yang dilakukan oleh Hotel Danau Toba lntemasional Medan kurang lengkap, dimana anal isis SWOT tersebut tidak menyajikan

Lokakarya Nasional “Pengelolaan Danau Berkelanjutan: Sinergi Program dan Peran para Pemangku Kepentingan” juga mengupas kondisi dan permasalahan pengelolaan danau di empat

KANDUNGAN LOGAM BERAT PADA AIR, SEDIMEN DAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus Linn.). DI KARAMBA

Dari analisis yang telah dilakukan objek wisata di Kawasan Wisata Rawapening merupakan Danau Rawapening yang mempunyai pemandangan alam ditandai dengan adanya pemandangan alam

Permasalahan serius untuk mencapai keterpaduan dari berbagai unsur yang terlibat dalam organisasi collaborative management adalah bila tidak terpenuhinya representasi

Kemudian dari hasil analisis SWOT diperoleh konsep pengembangan objek wisata Danau Tendetung yaitu memadukan konsep pengembangan pariwisata alam, pariwisata budaya, dan pariwisata

Kemudian dari hasil analisis SWOT diperoleh konsep pengembangan objek wisata Danau Tolire yaitu memadukan konsep pengembangan pariwisata alam, pariwisata budaya, dan pariwisata

- 13 - 3 Tim Penyelamatan Danau Prioritas Nasional tingkat pusat melaporkan hasil koordinasi, sinergi, sinkronisasi, dan harmonisasi sebagai capaian pelaksanaan strategi Penyelamatan