• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. KONDISI UMUM SEKTOR TEMBAKAU DAN SEKTOR ROKOK KRETEKKRETEK

5.2. Kondisi Umum Sektor Rokok Kretek

produksi tembakau, konsumsi tembakau juga mengalami peningkatan dari tahun 1990-1999 namun mengalami penurunan mulai tahun 2000 sampai 2010.

5.1.4. Harga Tembakau

Kosen (2012) mengemukakan bahwa harga riil daun tembakau mengalami peningkatan hingga tujuh kali lipat dari Rp 1 016 per kg pada tahun 1996 menjadi Rp 7 580 per kg pada tahun 2006. Hal ini tidak berimplikasi pada kesejahteraan petani. Hal ini karena harga daun tembakau ditentukan oleh berbagai faktor seperti kualitas daun, jenis tembakau, dan persediaan daun tembakau di pabrik rokok. Dari semua faktor tersebut, faktor yang paling menentukan adalah para grader. Grade (kualitas) harga daun tembakau ditentukan secara sepihak. Petani

tidak pernah tahu bagaimana grader menentukan harga daun tembakau , sehingga posisi tawar petani berada pada posisi yang lemah. Harga tembakau berlapis-lapis tergantung dari kualitas daun, bahkan ada yang sampai 40 tingkatan mulai dari harga Rp 500 hingga Rp 25 ribu per kg, tergantung penilaian grader-nya.

5.2. Kondisi Umum Sektor Rokok Kretek

Kondisi umum sektor rokok telah diteliti oleh Kosen (2012). produksi rokok Indonesia meningkat antara tahun 2005 sampai 2011, yakni dari 220 miliar batang menjadi 300 miliar batang (nilai estimasi). Produksi rokok tersebut didominasi oleh rokok jenis SKM (Sigaret Kretek Mesin) sebesar rata-rata 57.7 persen per tahunnya, kemudian diikuti oleh SKT (Sigaret Kretek Tangan) sekitar 35.5 persen per tahunnya dan SPM (Sigaret Putih Mesin) rata-rata 6.8 per tahunnya. Krisis moneter yang melanda kawasan negara-negara di Asia Tenggara ternyata tidak mempengaruhi produksi rokok di Indonesia. Tahun 1997-1998, saat inflasi di Indonesia mencapai 70 persen, produksi rokok di Indonesia tidak

58 terpengaruh oleh inflasi dan tetap tinggi pada 269.8 milyar batang rokok. Pangsa pasar rokok didominasi oleh tiga perusahaan besar yaitu Philip Morris International (PMI) - HM Sampoerna Tbk, Gudang Garam dan Djarum. Sebesar 37 persen pasar rokok Indonesia dikuasai oleh asing (Philip Morris dan BAT). Untuk jumlah pabrik pengolahan hasil tembakau, terjadi penurunan dari tahun 2009 ke tahun 2011.

Kontribusi industri rokok pada perekonomian cenderung menurun. Antara tahun 1995-2008 kontribusi industri rokok menurun peringkatnya, masing-masing pada tahun 1995, 2000, 2005 dan 2008 dari urutan ke 15, 19, 20 dan 23. Jumlah pekerja industri pengolahan tembakau meningkat lebih dari 70 persen dari 194 650 pada tahun 1985 menjadi 331 590 pada tahun 2000. Proporsi pekerja sektor industri pengolahan tembakau terhadap total tenaga kerja Indonesia selalu dibawah 1 persen. Pertumbuhan pekerja industri pengolahan tembakau dibandingkan dengan total pekerja industri seringkali tidak sejalan. Pada tahun 2008-2009, pekerja di sektor pengolahan tembakau menurun 4.18 persen namun kebalikannya total pekerja industri justru meningkat. Pekerja di industri pengolahan tembakau didominasi oleh perempuan. Perbandingan berkisar 4 : 1 antara perempuan banding laki-laki. Sejak tahun 2000 sampai dengan 2011, rata upah nominal per bulan pekerja industri rokok selalu lebih rendah dari rata-rata upah pekerja industri. Dibandingkan dengan rata-rata-rata-rata upah pekerja di industri makanan, rata-rata upah nominal per bulan pekerja industri rokok juga selalu lebih rendah.

Ekspor rokok merupakan bagian kecil (0.28 persen – 0.42 persen) dari total nilai ekspor produk non migas. Dari tahun 2005 sampai 2011, persentase

59 ekspor rokok terhadap produksi selalu di bawah 0.03 persen. Demikian dengan presentase impor rokok terhadap produksi, presentasenya bahkan kurang dari 0.0002 persen. Dengan demikian sebagian besar produksi rokok Indonesia adalah untuk konsumsi domestik. Pada tahun 2011, nilai ekspor rokok Indonesia adalah sebesar US$ 549.8 juta atau sekitar 78.5 persen nilai ekspor produk tembakau. Kuantitas rokok yang diekspor sebanyak 59.1 juta kilogram atau sekitar 60 persen dari total kuantitas ekspor produk tembakau. Pada tahun 2011, nilai ekspor netto dari rokok adalah positif US$ 543 515 020 dengan nilai ekspor US$ 549 765 664 dan nilai impor US$ 6.250.644. Dari enam jenis rokok yang di ekspor oleh Indonesia, nilai ekspor terbesar adalah dari sigaret mengandung tembakau (rokok putih), kedua sigaret kretek, dan ketiga adalah cerutu, cheroots dan cerutu kecil mengandung tembakau. Tahun 2010, tiga besar negara penerima ekspor sigaret kretek dari Indonesia adalah Singapura, Malaysia dan Timor Leste. Sedangkan untuk ekspor rokok selain kretek, negara tujuan ekspor rokok jenis ini didominasi oleh Kamboja, Malaysia, Thailand, Turki dan Singapura. Pada tahun 2010, rokok dari Indonesia paling banyak diekspor ke Kamboja, Malaysia, Singapura, Thailand dan Turki. Ditinjau dari impor, Indonesia paling banyak mengimpor rokok dari Jerman dan Cina.

5.2.1. Produksi Rokok Kretek

Menurut data dari BPS (2012), produksi rokok kretek cenderung mengalami peningkatan dari tahun 1990-2010. Pada tahun 1990 produksi rokok sebesar 139 milyar batang menjadi 234.12 milyar batang pada tahun 2010. Rata-rata peningkatan produksi rokok kretek per tahunnya adalah sebesar 4.5 milyar batang per tahun. Menurut Kosen (2012), Berdasarkan pengklasifikasian jenis

60 rokok, dalam periode 2005 – 2010, produksi rokok jenis SKM (Sigaret Kretek Mesin) berada di kisaran 57.7 persen dari total produksi rokok nasional, diikuti dengan SKT (Sigaret Kretek Tangan sekitar 35.5 persen dan SPM (Sigaret Putih Mesin) sekitar 6.8 persen tiap tahunnya.

5.2.2. Konsumsi Rokok Kretek

Menurut Kosen (2012), Permintaan akan rokok bersifat inelastis, dimana besarnya penurunan konsumsi rokok lebih kecil daripada peningkatan harganya, sehingga penurunan konsumsi rokok akibat peningkatan cukai akan meningkatkan penerimaan negara. Hal ini juga memperlihatkan bahwa rokok adalah barang yang menimbulkan kecanduan bagi pemakainya. Data BPS menunjukkan bahwa konsumsi rokok kretek meningkat dari 154.7 milyar batang rokok pada 1990 menjadi 218.4 milyar batang pada tahun 2010.

5.2.3. Harga dan Tarif Cukai Rokok Kretek

Tarif cukai rokok kretek mengalami peningkatan dari kurunwaktu 1990 sampai 2010. Tarif cukai rokok kretek ini dibebankan kepada konsumen rokok kretek sehingga secara teori akan mengurangi konsumsi rokok kretek namun menurut Kosen (2012), permintaan rokok bersifat inelastis terhadap harga. Hal ini berimplikasi bahwa peningkatan tarif cukai rokok kretek tidak akan berpengaruh banyak terhadap konsumsi rokok kretek.

Harga rokok kretek mengalami peningkatan tiap tahun. Hal ini di tunjukkan oleh dat dari BPS. Pada tahun 1990, harga riil rokok di tingkat konsumen adalah sebesar Rp 184.9 per batang pada tahun 2008 menjadi Rp 433.13 per batang. Secara rata-rata, harga riil rokok kretek ini meningkat sebesar Rp 13.79 per batang per tahun.

VI. FAKTOR FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP

Dokumen terkait