• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Simpan pada Suhu Kamar

Rekapitulasi hasil analisis ragam (uji F) pengaruh pelapisan benih, periode simpan dan interaksi antara pelapisan benih dan periode simpan terhadap tolok ukur kadar air, viabilitas dan vigor benih kedelai dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam Pengaruh Pelapisan Benih, Periode Simpan, dan Interaksinya terhadap Tolok Ukur Kadar Air, Viabilitas, dan Vigor Benih Kedelai pada Suhu Kamar

Tolok Ukur Perlakuan dan Interaksinya

P T P x T Kadar air * ** tn Viabilitas : Daya berkecambah tn ** tn Vigor : Kecepatan tumbuh * ** * Indeks vigor * ** tn Keserempakan tumbuh tn ** tn T50 ** ** **

Keterangan: P (perlakuan pelapisan benih), T (periode simpan), * (berpengaruh nyata pada taraf 5 %), ** (berpengaruh sangat nyata pada taraf 1 %), tn (tidak berpengaruh nyata).

Rekapitulasi hasil analisis ragam (Tabel 1) menunjukkan bahwa faktor tunggal pelapisan benih memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air, kecepatan tumbuh, dan indeks vigor benih, serta berpengaruh sangat nyata terhadap T50. Faktor tunggal periode simpan memberikan pengaruh sangat nyata

terhadap semua tolok ukur. Interaksi antara pelapisan benih dan periode simpan memberikan pengaruh nyata terhadap kecepatan tumbuh benih dan berpengaruh sangat nyata terhadap T50.

Hasil uji lanjut faktor perlakuan pelapisan benih dan periode simpan terhadap kadar air benih (Tabel 2) menunjukkan bahwa kadar air benih setelah disimpan selama 6 bulan pada suhu kamar mengalami peningkatan. Hal ini diduga karena kondisi ruang simpan selama penelitian memiliki suhu dan kelembaban udara (RH) yang berfluktuatif. Suhu dan RH rata-rata pada pagi hari berkisar

antara 27 - 28°C dengan RH 70-85%, sedangkan pada sore hari berkisar antara 28-29°C dengan RH 60-90%. Menurut Justice dan Bass (2002) benih bersifat higroskopis dan berkesetimbangan dengan suhu dan RH lingkungan di sekitarnya.

Tabel 2. Pengaruh Pelapisan Benih (P) dan Periode Simpan (T) terhadap Kadar Air Benih Kedelai (%) pada Suhu Kamar

Perlakuan benih Periode simpan (bulan) Rata-rata

0 1 2 3 4 5 6

Kontrol 8.8 9.4 9.6 9.7 9.7 11.4 11.1 9.9a Pelapisan benih

dengan CMA 8.8 9.7 9.3 9.2 9.2 10.5 9.9 9.5b Rata-rata 8.8b 9.5b 9.5b 9.4b 9.4b 10.9a 10.5a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5% dengan KK = 6.37 %.

Kadar air pada perlakuan pelapisan benih dengan CMA lebih rendah dibandingkan kontrol setelah disimpan selama 6 bulan yaitu sebesar 9.5%. Hal ini diduga karena bahan pelapis gambut-gipsum yang digunakan pada penelitian mampu menahan masuknya uap air ke dalam benih. Yuningsih (2009) menyatakan bahwa perlakuan pelapisan benih buncis dengan Arabic gum 0.25 g/ml menunjukkan bahwa laju peningkatan kadar air selama penyimpanan 20 minggu nyata lebih lambat pada suhu kamar (27-31°C) dibandingkan dengan benih tanpa pelapis. Kadar air benih yang tinggi akan meningkatkan laju respirasi sehingga benih cepat kehilangan energi dan persediaan cadangan makanan untuk berkecambah. Daya berkecambah benih kedelai mengalami penurunan setelah disimpan selama 6 bulan pada suhu kamar.

Tabel 3. Pengaruh Pelapisan Benih (P) dan Periode Simpan (T) terhadap Daya Berkecambah Benih Kedelai (%) pada Suhu Kamar

Perlakuan benih Periode simpan (bulan) Rata-rata

0 1 2 3 4 5 6

Kontrol 97.6 92.3 91.0 77.0 70.3 54.6 44.0 75.2 Pelapisan benih

dengan CMA 96.6 82.9 85.0 80.6 73.6 56.6 46.0 74.5 Rata-rata 97.1a 87.6b 88.0b 78.8c 72.0c 55.6d 45.0e

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5% dengan KK = 9.23 %.

Tabel 3 menunjukkan bahwa benih kedelai mampu mempertahankan viabilitas > 88% hingga periode simpan 2 bulan, kemudian menurun hingga daya berkecambah benih menjadi 45% pada akhir periode simpan. Hal ini diduga karena benih kedelai mengalami kemunduran (deteriorasi) seiring berjalannya waktu yang ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah kecambah abnormal dan penurunan pemunculan kecambah di lapang (field emergence). Faktor lain yang menyebabkan daya berkecambah benih rendah pada penelitian ini adalah benih terserang penyakit khususnya yang disebabkan oleh cendawan. Hal ini terlihat adanya cendawan pada jaringan benih yang muncul (aktif) bersamaan dengan munculnya kecambah. Hasil identifikasi Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman IPB menyatakan bahwa cendawan yang menginfeksi benih adalah cendawan gudang (Aspergillus niger) dan cendawan lapang (Fusarium sp.) (Gambar 6).

Gambar 6. Cendawan (A) Aspergillus niger dan (B) Fusarium sp. di bawah Mikroskop Cahaya Pembesaran 40 x 10

Cendawan gudang menimbulkan kerusakan terhadap benih sewaktu disimpan, sedangkan cendawan lapang menimbulkan kerusakan terhadap kecambah sewaktu benih ditanam sehingga menimbulkan gagalnya perkecambahan. Bramasto et al. (2009) menyatakan bahwa benih Swietenia macrophylla yang diinokulasi cendawan Fusarium sp. dan Aspergillus sp. menurunkan viabilitas benih dengan menghasilkan daya berkecambah yang lebih rendah dibandingkan benih yang tidak diinokulasi cendawan. Gejala benih terinfeksi cendawan gudang maupun lapang ditandai dengan terbentuknya

kumpulan spora berwarna hitam (Aspergillusniger) dan warna kuning (Fusarium sp.) pada benih (Gambar 7).

Gambar 7. Benih Kedelai Terinfeksi (A) Aspergillusniger dan (B) Fusarium sp.

Pada periode simpan 1 bulan benih sudah mulai terserang cendawan dan persentasenya semakin tinggi pada periode simpan 6 bulan yaitu sebesar 35% pada perlakuan kontrol dan 32% pada pelapisan benih dengan CMA (Tabel 4). Hal ini diduga karena tingginya suhu dan kelembaban ruang simpan kamar (27-29°C, 60-90% RH), serta kadar air benih yang mengalami peningkatan (Tabel 2). Selain itu, benih yang digunakan telah mengalami penyimpanan yang cukup lama (11 bulan) kemungkinan benih terinfeksi cendawan di ruang simpan atau cendawan terbawa benih sebelum simpan. Semakin lama waktu penyimpanan maka semakin tinggi perkembangan cendawan. Pakki dan Talanca (2006) menyatakan bahwa kontaminasi Aspergillus sp. dimulai dari infeksi di pertanaman dan terbawa ke tempat penyimpanan, kemudian menjadi sumber inokulum awal penyebab kontaminasi di gudang-gudang penyimpanan. Peluang perkembangan Aspergillus sp. semakin besar apabila benih disimpan pada kadar air tinggi.

B A

Tabel 4. Persentase Jumlah Benih yang Bercendawan pada Suhu Kamar

Periode Simpan (bulan) Perlakuan benih

Kontrol Pelapisan benih dengan CMA

0 0 0 1 0 7.0 2 4.3 4.3 3 12.3 9.0 4 12.3 13.7 5 25.7 26.7 6 35.0 32.0

Kecepatan tumbuh (KCT) merupakan salah satu tolok ukur vigor

kekuatan tumbuh. Tabel 5 menunjukkan bahwa kecepatan tumbuh benih mengalami penurunan selama penyimpanan. Nilai kecepatan tumbuh benih tertinggi pada perlakuan kontrol sebelum disimpan yaitu sebesar 23.3 %/etmal. Pada periode simpan 1 dan 2 bulan kecepatan tumbuh benih pada perlakuan kontrol nyata lebih tinggi dibanding perlakuan pelapisan benih dengan CMA. Namun, pada periode simpan 3 bulan nilai kecepatan tumbuh pada perlakuan pelapisan benih dengan CMA nyata lebih tinggi dibanding kontrol, sedangkan pada periode simpan 4 hingga 6 bulan tidak berbeda nyata antara kontrol dan pelapisan benih dengan CMA.

Tabel 5. Pengaruh Interaksi Pelapisan Benih (P) dan Periode Simpan (T) terhadap Kecepatan Tumbuh Benih Kedelai (%/etmal) pada Suhu Kamar

Perlakuan benih Periode simpan (bulan)

0 1 2 3 4 5 6

Kontrol 23.3 a 20.7 abc 21.1 ab 17.7 c-f 16.0 f 11.0 g 7.9 g Pelapisan benih

dengan CMA 20.3 a-d 16.2 ef 17.1 def 19.4 b-e 16.2 ef 10.1 g 8.4 g

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5% dengan KK = 10.94%.

Kecepatan tumbuh mengindikasikan vigor benih secara individual, meskipun kecepatan tumbuh diukur sebagai persentase bibit atau kecambah normal terhadap seluruh benih yang ditanam atau dikecambahkan untuk waktu yang ditentukan (Sadjad et al., 1999) . Pada benih yang memiliki KCT yang tinggi

Perlakuan seed coating pada umumnya meningkatkan kecepatan tumbuh benih, namun beberapa bahan kimia dan zat aditif yang digunakan ada yang bersifat fitotoksik terhadap tanaman. Setiyowati (2007) menyatakan bahwa perlakuan seed coating dengan Benomil dan tepung curcuma harus hati-hati dalam penggunaannya karena dapat menurunkan daya berkecambah, indeks vigor dan kecepatan tumbuh benih cabai.

Indeks vigor merupakan persentase kecambah normal pada hitungan pertama pengujian daya berkecambah benih (Copeland dan McDonald, 2001). Indeks vigor merupakan salah satu tolok ukur vigor kekuatan tumbuh. Tabel 6 menunjukkan bahwa indeks vigor benih kedelai mengalami penurunan dari semula 88.6% menjadi 74% setelah 1 bulan penyimpanan, hingga akhir periode simpan 6 bulan menjadi 18.1%. Nilai rata-rata indeks vigor benih yang dilapisi CMA (55.8%) lebih rendah dibandingkan kontrol (61.6%). Kekerasan bahan pelapis gipsum diduga dapat memperlambat munculnya kecambah.

Tabel 6. Pengaruh Pelapisan Benih (P) dan Periode Simpan (T) terhadap Indeks Vigor Benih Kedelai (%) pada Suhu Kamar

Perlakuan benih Periode simpan (bulan) Rata-rata

0 1 2 3 4 5 6

Kontrol 93.0 85.6 79.6 67.0 65.0 24.0 17.3 61.6a Pelapisan benih

dengan CMA 84.3 62.4 73.0 75.0 59.6 17.3 19.0 55.8b Rata-rata 88.6a 74.0b 76.3b 71.0bc 62.3c 20.6d 18.1d

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5% dengan KK = 13.24 %.

Keserempakan tumbuh benih berkaitan dengan kemampuan kelompok benih dalam suatu lot memanfaatkan cadangan energi masing-masing benih untuk tumbuh menjadi kecambah atau bibit yang kuat secara serempak. Tabel 7 menunjukkan bahwa nilai keserempakan tumbuh benih pada awal penyimpanan sebesar 96%, kemudian mengalami penurunan pada periode simpan 1 bulan menjadi 86.4%. Nilai keserempakan tumbuh masih tinggi (> 85%) hingga periode simpan 2 bulan, kemudian menurun hingga 37.3% pada akhir penyimpanan. Menurunnya nilai keserempakan tumbuh mengindikasikan bahwa vigor benih telah mengalami penurunan.

Tabel 7. Pengaruh Pelapisan Benih (P) dan Periode Simpan (T) terhadap Keserempakan Tumbuh Benih Kedelai (%) pada Suhu Kamar

Perlakuan benih Periode simpan (bulan) Rata-rata

0 1 2 3 4 5 6

Kontrol 97.0 91.3 90.0 75.6 69.3 47.6 35.3 72.3 Pelapisan benih

dengan CMA 95.0 81.6 83.6 79.6 73.6 46.6 39.3 71.3 Rata-rata 96.0a 86.4b 86.8b 77.6c 71.5c 47.1d 37.3e

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5% dengan KK = 9.34 %.

Benih yang vigor, selain dituntut cepat tumbuh yang diukur dengan KCT

juga dituntut untuk tumbuh dengan serempak. Keserempakan ini menunjukkan kinerja yang homogen dalam pertumbuhan benih di lapang. Menurut Sadjad et al. (1999) homogenitas pertanaman diawali oleh keserempakan tumbuh bibit sehingga selain cepat tumbuh, benih yang vigor mampu tumbuh serempak. Sari (2009) menyatakan bahwa nilai keserempakan tumbuh formulasi coating Arabic gum + Tokoferol, Alginat + TD-L2, dan Alginat + Tokoferol pada benih kacang panjang nyata mengalami peningkatan hingga akhir periode simpan (12 minggu). Tingginya nilai keserempakan tumbuh menunjukkan bahwa benih masih memiliki viabilitas yang tinggi.

T50 merupakan waktu pemunculan kecambah mencapai 50% dari total

perkecambahan. Semakin rendah nilai T50 menunjukkan semakin tinggi kecepatan

tumbuh benih. Hasil uji lanjut interaksi pelapisan benih dan periode simpan terhadap T50 dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Pengaruh Interaksi Pelapisan Benih (P) dan Periode Simpan (T) terhadap T50 Benih Kedelai (hari) pada Suhu Kamar

Perlakuan benih Periode simpan (bulan)

0 1 2 3 4 5 6

Kontrol 3.7 d 3.9 d 3.7 d 3.8 d 3.8 d 5.2 b 5.5 b Pelapisan benih

dengan CMA 4.3 c 4.7 c 4.5 c 3.6 d 3.8 d 5.9 a 5.3 b Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

berdasarkan uji DMRT 5% dengan KK = 5.08 %.

Tabel 8 menunjukkan bahwa perlakuan kontrol nyata menghasilkan benih dengan T50 lebih singkat dibanding perlakuan pelapisan benih dengan CMA

hingga periode simpan 2 bulan. Pada periode simpan 3 bulan perlakuan pelapisan benih dengan CMA mampu menurunkan 50% waktu pemunculan kecambah tersingkat sebesar 3.6 hari, namun pada periode berikutnya nilai T50 mengalami

peningkatan. Pada akhir periode simpan, tidak terdapat perbedaan nyata dalam T50

antara kontrol (5.5 hari) dan pelapisan benih (5.3 hari).

Uji viabilitas spora CMA spesies Glomus sp. dilakukan untuk mengetahui persentase perkecambahan spora setelah disimpan selama 6 bulan pada suhu kamar. Mathius et al. (2007) menyatakan bahwa perkecambahan spora berperan penting di dalam infeksi akar karena menghasilkan pertumbuhan hifa yang akan membantu akar tanaman menyerap hara, selain itu juga untuk perbanyakan CMA sendiri dan memperbanyak infeksi pada akar. Tabel 9 menyajikan data rata-rata persentase perkecambahan spora CMA yang dihitung setelah 16 hari inkubasi.

Tabel 9. Pengaruh Periode Simpan pada Suhu Kamar terhadap Persentase Perkecambahan Spora CMA

Periode simpan Persentase perkecambahan (%)

0 bulan 8.6 a (75.0) 1 bulan 8.3 a (70.8) 2 bulan 9.1 a (83.3) 3 bulan 9.1 a (83.3) 4 bulan 9.5 a (91.6) 5 bulan 8.4 a (70.8) 6 bulan 7.8 a (62.5)

Keterangan: Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5% dengan KK = 13.01%. Data yang dianalisis adalah data yang sudah ditransformasi √(x+0.5). Angka dalam kurung merupakan data asli sebelum ditransformasi.

Selama periode simpan 6 bulan pada suhu kamar terjadi penurunan persentase perkecambahan spora CMA meskipun tidak berbeda nyata dengan sebelum simpan. Penurunan persentase perkecambahan spora CMA diduga karena spora masih dorman. Dalpé et al. (2005) menyatakan bahwa perkecambahan spora Glomus sp. membutuhkan waktu beberapa hari hingga 6 bulan untuk berkecambah dengan rata-rata perkecambahan spora paling rendah sebesar 2-10%. Setelah spora CMA berkecambah, kemudian mengasosiasi akar tanaman. Menurut

Indriyanto (2008) asosiasi akan terjadi apabila CMA dan akar tanaman merupakan pasangan yang sesuai (compatible). Asosiasi CMA dengan akar tanaman membentuk jalinan interaksi yang komplek. Interaksi ini antara lain berupa pengambilan unsur hara dan adaptasi tanaman yang lebih baik. Menurut Rajapakse dan Miller (1992) kriteria persentase CMA mengkolonisasi akar tanaman yaitu sangat rendah (< 5%), rendah (6 – 25%), sedang (26 – 50%), tinggi (51 – 75%), dan sangat tinggi (> 75%).

Dokumen terkait