• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman kedelai termasuk divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledoneae, ordo Rasales, family Leguminosae, genus Glycine, spesies Glycine max (L.) Merril. Di Indonesia tanaman kedelai dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah sampai ketinggian 900 m di atas permukaan laut. Iklim yang paling cocok untuk menanam kedelai adalah suhu antara 25-270C, kelembaban udara (RH) rata-rata 65%, penyinaran 12 jam/hari dan curah hujan 100-200 mm/bulan (Rukmana dan Yuniarsih, 1995).

Pertumbuhan kedelai sangat peka terhadap perubahan lingkungan tumbuh yang disebabkan oleh kondisi iklim, baik mikro maupun makro. Pada stadia pertumbuhan vegetatif, pembungaan, pembentukan dan pengisian polong, ketersediaan air sangat diperlukan. Panen dilakukan pada saat benih kedelai telah mencapai masak fisiologis, yang ditandai oleh sebagian besar daunnya telah gugur dan 95% polong berwarna kecoklatan atau kehitaman (Balitkabi, 2008).

Benih kedelai terbagi menjadi dua bagian utama yaitu kulit benih dan embrio. Pada kulit benih terdapat bagian yang disebut pusar (hilum) yang berwarna coklat, hitam, atau putih. Pada ujung hilum terdapat mikrofil, berupa lubang kecil yang terbentuk pada saat proses pembentukan benih. Warna kulit benih bervariasi, mulai dari kuning, hijau, coklat, hitam, atau kombinasi campuran dari warna-warna tersebut. Benih kedelai berkeping dua yang terbungkus oleh kulit benih, dimana embrio terletak di antara keping biji. Benih kedelai tidak mengalami masa dormansi sehingga setelah proses pengolahan benih selesai, benih kedelai dapat langsung ditanam. Namun, benih tersebut harus mempunyai kadar air berkisar 12-13% (Irwan, 2006). Benih kedelai yang kering akan berkecambah bila memperoleh air yang cukup. Perkecambahan benih kedelai optimum pada suhu 21-30°C dengan lama perkecambahan mencapai 5-7 hari (Ashworth, 2002).

Cendawan Mikoriza Arbuskula

Berdasarkan struktur tubuh dan cara menginfeksi akar, mikoriza dibedakan menjadi dua, yaitu ektomikoriza dan endomikoriza (Setiadi, 2001). Ektomikoriza memiliki jaringan hifa yang tidak masuk sampai sel-sel korteks, tetapi berkembang di antara sel tersebut membentuk mantel pada permukaan akar. Endomikoriza memiliki jaringan hifa yang masuk ke dalam sel korteks, membentuk struktur khas berbentuk oval yang disebut vesikula atau bercabang yang disebut arbuskula, sehingga cendawan kelompok ini sering disebut cendawan mikoriza arbuskula (CMA) (Musfal, 2008). Vesikula merupakan strukur berdinding tipis, berbentuk bulat atau lonjong. Struktur ini mengandung senyawa lipid yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan makanan kemudian diangkut ke dalam sel dimana metabolisme sel berlangsung dan sebagai organ reproduktif. Arbuskula merupakan percabangan dikotomus yang intensif dari hifa intraseluler, berperan dalam transfer nutrisi antara cendawan dan tanaman inang (Sylvia, 1998). Penampang akar yang terinfeksi oleh CMA dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Penampang Membujur Akar Terinfeksi CMA (Brundrett et al., 1994) Arbuskula Epidermis Sel korteks Hifa intraseluler Vesikula Endodermis Apresorium Eksodermis Rambut akar Hifa eksternal Hifa internal

Widiastuti (2004) menyatakan bahwa infeksi CMA terhadap kelapa sawit menyebabkan perubahan bentuk organ CMA, adanya hifa eksternal, internal, vesikula dan arbuskula dalam korteks akar. Chalimah et al. (2007) menyatakan bahwa perkecambahan spora berperan penting di dalam infeksi akar, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya kompatibilitas inang, eksudat akar, jenis inokulum dan faktor lingkungan. Menurut Bakhtiar (2002) meskipun CMA menginfeksi dan mengkolonisasi akar berbagai spesies tanaman, namun ada yang lebih disukai dengan memperlihatkan respon kolonisasi akar maksimum.

Cendawan mikoriza arbuskular adalah mikroorganisme yang bersifat simbion obligat, karena tanpa tanaman inang (asimbiotik) pertumbuhan hifanya sangat sedikit dan hanya mampu bertahan hidup 20-30 hari (Mathius et al., 2007). Cendawan mikoriza arbuskula termasuk ke dalam filum Glomeromycota yang memiliki empat ordo (Glomerales, Diversisporales, Paraglomerales, dan Archaeosporales), 11 famili dan 18 genus (Schüßler dan Walker 2010). Cendawan mikoriza arbuskula dapat bersimbiosis dengan sebagian besar (97%) famili tanaman, seperti tanaman pangan, hortikultura, kehutanan, perkebunan, dan tanaman pakan (Musfal, 2010).

Peranan Cendawan Mikoriza Arbuskula

Adanya simbiosis mutualistik antara CMA dengan perakaran tanaman membantu pertumbuhan tanaman dan sebalikmya bagi CMA memperoleh sumber makanan dan tempat berkembang biak. Cendawan mikoriza arbuskula berperan dalam meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan mikro, khususnya unsur fosfat (P), meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan patogen, meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan, menghasilkan ZPT nabati, memperbaiki struktur tanah dan membantu pertumbuhan tanaman pada daerah yang tercemar logam berat (Indriyanto, 2008). Menurut Wright dan Upadhyaya (1998) CMA menghasilkan senyawa glikoprotein glomalin yang berkorelasi dengan peningkatan kemantapan agregat tanah.

Abbott dan Robson (1982) menyatakan bahwa CMA dapat meningkatkan penyerapan hara dalam tanah, hal ini disebabkan CMA dapat mengurangi jarak bagi hara untuk memasuki akar tanaman, meningkatkan rata-rata penyerapan hara

dan konsentrasi hara pada permukaan penyerapan, serta menghasilkan enzim fosfatase yang dapat melepaskan fosfat yang terikat pada logam dalam tanah sehingga memudahkan penyerapan ke dalam akar tanaman. Bolan (1991) menyatakan bahwa kecepatan masuknya hara P ke dalam hifa CMA dapat mencapai enam kali lebih cepat pada akar tanaman yang terinfeksi CMA dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi CMA. Hal ini terjadi karena jaringan hifa eksternal CMA mampu memperluas bidang serapan.

Cendawan mikoriza arbuskula digunakan sebagai inokulan mikroba yang memberikan keuntungan bagi tanaman karena CMA mampu menggantikan kira- kira 50% penggunaan fosfat, 40% nitrogen dan 25% kalium (De La Cruz, 1981). Musfal (2008) menyatakan bahwa pemberian CMA pada tanaman jagung sebanyak 10 g/pot tanpa diikuti pemberian pupuk mampu memberikan ketersediaan P yang tertinggi yaitu 36.87 ppm. Menurut Acquaah (2001) unsur hara P berperan dalam pembelahan sel, merangsang pertumbuhan akar, mempercepat kematangan tanaman, dan sebagai tempat penyimpan energi dan transfer ATP dan ADP. Guntoro et al. (2006) menyatakan bahwa inokulasi CMA dan bakteri Azospirillum sp. meningkatkan serapan hara, meningkatkan efisiensi pemupukan pada turfgrass dan meningkatkan kepadatan pucuk Tidwarf. Selanjutnya Widiastuti et al. (2005) menyatakan bahwa bibit kelapa sawit yang diinokulasi A. tuberculata pada perakaran yang lebih luas memungkinkan bibit menyerap hara lebih tinggi khususnya untuk hara yang tidak mudah bergerak seperti P.

Santosa dalam Oktavia et al. (2000) menyatakan bahwa pertumbuhan kedelai sangat tergantung pada mikoriza, karena ketersediaan P dalam jumlah optimal dapat mempercepat pematangan dan pengangkutan nutrisi dari bagian lain ke biji, sehingga pembentukan polong dan biji dapat sempurna. Rahayu (2010) menyatakan bahwa aplikasi inokulan CMA berpelapis gambut-gipsum (50:50) dan berperekat tapioka 5% pada pelapisan benih dapat meningkatkan efisiensi pemupukan P sebesar 75% atau menghemat 300 kg SP 18 /ha pada tanaman kedelai. Menurut Hapsoh et al. (2005) CMA juga meningkatkan ketahanan tanaman kedelai terhadap cekaman kekeringan dengan mekanisme pengaturan tekanan osmotik pada jaringan tanaman dan mekanisme penghindaran dengan

menekan kehilangan air melalui penurunan luas daun. Peranan CMA pada tanaman kedelai tersebut terlihat dengan meningkatnya bobot biji kering pada genotip Lokon sebesar 76,42%, pada genotip Sindoro sebesar 36,68% dan pada genotip MLG 3474 sebesar 34,21%.

Pelapisan Benih (Seed Coating)

Pelapisan benih merupakan proses pembungkusan benih dengan zat tertentu dengan tujuan tertentu. Ilyas (2003) menyatakan bahwa penggunaan seed coating dalam industri benih sangat efektif karena dapat memperbaiki penampilan benih, meningkatkan daya simpan, mengurangi resiko tertular penyakit dari benih di sekitarnya, dan dapat digunakan sebagai pembawa zat aditif, misalnya antioksidan, anti mikroba, repellent, mikroba antagonis, zat pengatur tumbuh dan lain-lain. Kuswanto (2003) menyatakan bahwa bahan pelapis yang dapat digunakan dalam pelapisan benih harus memenuhi beberapa persyaratan diantaranya tidak bersifat toksik terhadap benih, dapat mempertahankan kadar air benih selama penyimpanan, menghambat laju respirasi seminimal mungkin, bersifat mudah pecah dan larut apabila terkena air, bersifat porus, tidak mudah mencair, bersifat higroskopis, bersifat sebagai bahan penambat dan penyimpan panas yang rendah, dan harga relatif murah sehingga dapat menekan harga benih.

Khodijah (2009) memanfaatkan pelapisan benih untuk mengaplikasikan inokulum CMA di lapangan. Pemanfaatan bahan perekat dan pelapis (gambut- gipsum) berfungsi sebagai agens pembawa inokulum spora CMA pada benih kedelai. Gambut berfungsi sebagai sumber bahan organik, sedangkan gipsum sebagai sumber mineral dan lapisan pelindung. Penyediaan benih bermikoriza sebelum ditanam mempermudah dalam proses transportasi. Rahayu (2010) menyatakan bahwa aplikasi inokulan CMA berpelapis dan berperekat menghasilkan jumlah spora tertinggi yaitu sebanyak 74.7 per 100 gram tanah dibandingkan dengan aplikasi CMA langsung pada lubang tanam. Tingginya jumlah spora yang terdapat dalam tanah, berkorelasi positif dengan pertumbuhan tanaman kedelai.

Setiyowati et al. (2007) menyatakan bahwa keefektifan perlakuan seed coating dengan Benomil dan tepung curcuma dalam menekan tingkat infeksi

ditunjukkan dengan persentase tingkat infeksi cendawan C. capsici pada benih dan hipokotil yang nyata lebih kecil dibandingkan kontrol. Menurut Wright et al. (2005) pelapisan benih wortel dengan menggunakan biopolimer + bakteri Serratia entomophila dapat mengurangi kematian bibit akibat serangan larva grass grub (Costelytra zealandica) yang ditambahkan pada pot percobaan dan dibiarkan selama 4-5 hari setelah tanam masing-masing sebesar 7% dan 16% dibandingkan kontrol yaitu, 88% dan 64%.

Daya Simpan Benih

Penyimpanan benih merupakan pendekatan yang penting untuk memperoleh dan mempertahankan benih bermutu (Mugnisjah et al., 1994). Benih yang telah disimpan diharapkan dapat mempertahankan viabilitas dan vigor tetap tinggi hingga benih tersebut ditanam. Namun, viabilitas dan vigor benih akan cepat menurun jika disimpan pada kondisi simpan yang kurang baik. Menurut Kuswanto (2003) kadar air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi daya simpan benih. Hal ini dikarenakan benih bersifat higroskopis (mudah menyerap air) dan kadar air benih selalu berkesetimbangan dengan suhu dan kelembaban relatif ruang simpan. Menurut Harrington (1972) terdapat dua kaidah mengenai efek kadar air benih dan suhu lingkungan terhadap daya simpan benih, yaitu setiap peningkatan kadar air sebesar 1%, daya simpan benih turun setengahnya (pada kisaran kadar air 5-14%) dan setiap suhu turun 5.6°C, maka daya simpan benih meningkat dua kali lipat (pada kisaran suhu 0 – 50° C).

Hasil penelitian Kartono (2004) menunjukkan bahwa benih kedelai varietas Wilis dengan kadar air 8% dapat disimpan sampai 3 tahun dalam gudang biasa tanpa menurunkan daya berkecambah, namun jika kadar air 12% maka dalam waktu 1 tahun daya berkecambah benih turun menjadi 60%. Daya simpan benih kedelai dapat ditingkatkan dengan salah satu cara atau kombinasi dari kadar air rendah (< 12%), menggunakan kemasan, benih kedelai bebas hama dan penyakit, menurunkan kelembaban, memberikan aerasi, dan memberantas hama gudang secara periodik. Menurut Saenong et al. (2009) benih yang sudah dikeringkan hendaknya segera dikemas dengan menggunakan kemasan kedap udara karena dalam waktu 1 bulan kadar air benih jagung sudah meningkat dari

10.5-11% menjadi 12-13.5%, tergantung pada kelembaban udara di lingkungan penyimpanan.

Sadjad (1980) menyatakan bahwa ada tiga sifat benih (selain genetik) yang mempengaruhi daya simpan benih. Pertama, benih yang disimpan masih melakukan respirasi yang menghasilkan CO2, air dan panas. Peningkatan panas

dan air yang dihasilkan dapat menyebabkan metabolisme benih semakin aktif, sehingga benih kehilangan energi untuk tumbuh. Kedua, benih bersifat higroskopis, artinya kadar air benih selalu berkesetimbangan dengan udara di sekitarnya. Hal ini menyebabkan metabolisme benih semakin aktif, sehingga benih kehilangan energi untuk tumbuh. Ketiga, difusibilitas termal benih rendah, artinya kemampuan benih untuk meneruskan panas secara konduktif rendah. Dengan demikian apabila terjadi kenaikan suhu pada ruang simpan benih, panas yang dihasilkan akibat kenaikan suhu tersebut tidak cepat dipancarkan ke segala arah, sehingga dapat terjadi hot-spot bahkan terjadi moulding (pertumbuhan cendawan) apabila cukup lembab.

Husnayati (2011) menyatakan bahwa benih kacang bogor (tingkat kemasakan 119 HST) yang disimpan pada suhu kamar mulai terserang cendawan setelah disimpan 1 bulan sebesar 14.67%, bahkan mencapai 65.33% setelah penyimpanan 4 bulan. Hal ini disebabkan suhu dan RH ruang simpan yang tinggi (27-30°C, 58-77% RH), serta kadar air yang tinggi (9.2-10.2%). Menurut Ismatullah (2003) benih kedelai varietas Wilis terserang penyakit khususnya yang disebabkan oleh cendawan dan bakteri pada akhir periode simpan (7 bulan). Cendawan yang mendominasi pada benih kedelai tersebut selama penyimpanan adalah Aspergillus sp. (51.28%), sedangkan yang banyak berada di dalam jaringan benih adalah Fusarium spp. (27.62%).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Desember 2011 di Laboratorium Agromikrobiologi, Balai Pengkajian Bioteknologi, BPPT PUSPIPTEK Serpong, Tangerang Selatan; Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih dan Rumah Kaca Kebun Percobaan Cikabayan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas Wilis yang dipanen pada bulan Juli 2010 di Kebun Percobaan Leuwikopo, IPB, Dramaga, disimpan pada kondisi ruang AC (suhu 16-20ºC dan RH 58–59%) selama 11 bulan. Kadar air benih pada saat digunakan (18 Mei 2011) sebesar 7.44%, sedangkan daya berkecambah dan indeks vigor sebesar 99% dan 68% yang diuji dengan UKDdp (Uji Kertas Digulung didirikan dalam plastik). Bahan lain yang digunakan adalah gipsum, gambut, tapioka, spora CMA (campuran spesies Glomus sp. dan Gigaspora sp.) produksi Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, media bacto agar, kompos, arang sekam, larutan streptomycin (200 mg/L), gentamycin (100 ml/L), larutan chloramine-T (2%) dan Tween 20 (0.05%).

Alat yang digunakan adalah autoklaf, mikroskop stereo, mikroskop konfokal, drum granulator mini hasil modifikasi (kapasitas maksimum 1 kg benih kedelai) dengan diameter 22.8 cm (Gambar 1), alat perekat (sealer), oven, desikator, dan boks plastik berukuran 25 cm x 20 cm. Alat penunjang lainya yang digunakan adalah kertas merang, cawan petri, gelas beker, stirer, kertas saring, gelas ukur, alat penyaring, alat pengaduk, dan kemasan plastik polypropylene (PP) dengan ketebalan 0.8 mm.

Gambar 2. Modifikasi Drum Granulator Mini

Metode Percobaan

Penelitian ini terdiri atas dua percobaan suhu ruang simpan yang berbeda yaitu suhu kamar dan suhu AC. Kedua percobaan menggunakan metode Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) yang terdiri atas dua faktor, yaitu faktor pertama adalah perlakuan pelapisan benih (P) terdiri atas dua taraf yaitu, tanpa pelapisan (kontrol) dan pelapisan benih dengan CMA (Khodijah, 2009), sedangkan faktor kedua adalah periode simpan (T) yang terdiri atas tujuh taraf yaitu, 0, 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 bulan. Dengan demikian terdapat empat belas kombinasi perlakuan dan setiap perlakuan terdiri atas tiga ulangan, sehingga seluruhnya terdapat 42 satuan percobaan pada satu kondisi suhu.

Model linier rancangan percobaan yang digunakan yaitu, sebagai berikut: Yijk = µ + αi + τj + βk + (ατ)ij + εijk

i = 1,2 j = 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6 k = 1, 2, 3 Keterangan:

Yijk = nilai pengamatan kelompok ke-k pada perlakuan benih ke-i dan periode

simpan ke-j µ = nilai tengah umum

αi = pengaruh taraf ke-i dari faktor perlakuan benih

τj = pengaruh taraf ke-j dari faktor periode simpan

βk = pengaruh kelompok ke-k

(ατ)ij= pengaruh interaksi faktor perlakuan benih ke-i dan periode simpan ke-j

εijk = pengaruh galat percobaan pada perlakuan benih ke-i, periode simpan ke-j,

Untuk mengetahui pengaruh masing-masing perlakuan dilakukan analisis ragam (uji F). Apabila menunjukkan pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5% (Gomez dan Gomez, 1995).

Gambar 3. Bagan Alir Penelitian Persiapan benih kedelai, bahan perekat tapioka 5% (b/v), bahan pelapis gambut-

gipsum (50:50), dan inokulum CMA

Pengering-anginan benih selama 7 hari pada suhu kamar hingga kadar air benih

mencapai ± 9%

Pengemasan benih dengan plastik PP (200 butir tiap kemasan)

Penyimpanan benih selama 6 bulan

Suhu kamar

Pengujian kadar air, viabilitas dan vigor benih, serta viabilitas CMA setelah periode simpan

0, 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 bulan Proses pelapisan benih di dalam drum

granulator yang telah dimodifikasi selama 20-30 menit

(benih : perekat : pelapis adalah 10 : 1 : 1)

Pelaksanaan Percobaan Pelapisan Benih

Benih kedelai dilapisi dengan gambut dan gipsum (50:50) sebagai bahan pelapis, dan tapioka 5% (b/v) sebagai bahan perekat. Perbandingan benih : perekat : pelapis adalah 10 : 1 : 1 (Khodijah, 2009).

a. Persiapan Bahan Perekat dan Bahan Pelapis

Bahan perekat yang digunakan adalah tapioka dengan konsentrasi 5% (b/v) dimasukkan ke dalam gelas beker yang berisi air, kemudian dididihkan, dan didinginkan sebelum digunakan. Gambut yang akan digunakan adalah gambut dari Rawapening yang mengandung hemiselulosa, selulosa, lignin, kutin, bitumens, dan asam humik. Gambut ini termasuk jenis gambut berserat yang subur dan kaya akan hara mineral dengan kisaran pH 6-7. Gambut dan gipsum yang digunakan berukuran halus yang lolos saringan 100 mesh. Kedua bahan tersebut terlebih dahulu disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121° C selama 2 jam. Gambut dan gipsum kemudian dicampur (Khodijah, 2009).

b. Pelapisan Benih

Benih kedelai dibersihkan menggunakan kertas merang lembab dan dikering-anginkan dengan kipas angin selama 15 menit. Benih kemudian dilapisi dengan bahan perekat yang dicampur dengan inokulum CMA berupa spora, kemudian diberi bahan pelapis gambut dan gipsum. Proses pelapisan benih dilakukan di dalam modifikasi drum granulator selama 20-30 menit.

Benih yang telah terlapisi oleh bahan pelapis, kemudian dilapisi kembali dengan gipsum secara manual yang berfungsi sebagai bahan pelindung selama beberapa menit sehingga terbentuk lapisan pelindung. Proses dihentikan setelah permukaan butiran granul benih berwarna putih (Gambar 4). Butiran granul kemudian dikering-anginkan selama 7 hari pada suhu kamar (28 - 30° C) hingga kadar air mencapai ± 9 %.

Gambar 4. Benih Kedelai (A) Tanpa Pelapisan (Kontrol) dan (B) Pelapisan dengan CMA

c. Penghitungan Spora pada Benih

Jumlah spora yang akan dilapiskan pada benih ditentukan sebanyak 50 spora per benih. Sebelum diaplikasikan, kerapatan spora dihitung dengan mengambil sampel zeolit berisi spora CMA sebanyak 0.1 gram. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam gelas beker 250 ml dan direndam dalam air selama 1 jam, kemudian diaduk, dan larutannya dituang ke dalam saringan (50–100 µm). Spora hasil saringan dicuci dengan air, kemudian dituang ke dalam cawan petri dan dihitung jumlah spora di bawah mikroskop stereo (Rahayu, 2010).

Untuk memastikan jumlah spora yang menempel pada benih adalah sebanyak 50 spora, maka dilakukan penghitungan jumlah spora CMA pada benih yang telah dilapisi. Sampel benih diambil sebanyak 10 ulangan masing-masing dua butir untuk satu ulangan. Cara penghitungan spora yang menempel pada benih sama seperti di atas (Rahayu, 2010).

Pelaksanaan Penyimpanan Benih

a. Pengemasan dan Penyimpanan Benih

Benih disimpan dalam kemasan plastik polypropylene sebanyak 200 butir tiap kemasan. Masing-masing kemasan yang telah berisi benih dimasukkan dalam keranjang plastik yang ditutup jaring-jaring kawat pada bagian atas (Gambar 5), selanjutnya disimpan pada suhu AC (17-18°C) dan suhu kamar (27-29°C) di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Dramaga, selama

6 bulan. Pada setiap akhir periode simpan dilakukan pengamatan terhadap kadar air, viabilitas dan vigor benih kedelai, serta viabilitas CMA.

Gambar 5. Kemasan Simpan Benih yang Digunakan pada Penelitian

b. Pengujian Viabilitas dan Vigor Benih

Pengujian viabilitas dan vigor benih dilakukan setelah periode simpan 0, 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 bulan. Benih ditanam pada boks plastik berukuran 25 cm x 20 cm menggunakan media tanam campuran kompos dan arang sekam

dengan perbandingan 1 : 1 di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Dramaga. Setiap perlakuan diulang sebanyak empat kali masing-masing 25 butir benih untuk satu ulangan.

Pengamatan Viabilitas dan Vigor Benih Kedelai

Pengamatan viabilitas dan vigor benih dilakukan pada setiap periode simpan yang telah ditentukan yaitu 0, 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 bulan pada suhu kamar dan suhu AC. Tolok ukur yang diamati adalah kadar air benih, daya berkecambah, kecepatan tumbuh, indeks vigor, keserempakan tumbuh, dan T50.

1. Kadar Air Benih (KA)

Pengukuran kadar air benih (%) dilakukan dengan cara menimbang berat cawan, kemudian benih sebanyak 20 butir tiap unit percobaan dimasukkan ke dalam cawan, ditimbang dan dicatat berat sebelum dikeringkan. Setelah

ditimbang, benih di dalam cawan dioven pada suhu konstan rendah 103 ± 2º C selama 17 ± 1 jam (ISTA, 2007). Benih yang telah dioven dimasukkan dalam desikator selama 30 menit. Setelah dingin ditimbang berat kering benih. Kadar air benih dihitung dengan rumus :

KA % = M2-M1 - (M3-M1)

(M2-M1) ×100% Keterangan :

M1 = berat cawan kosong (g)

M2 = berat awal (benih + cawan sebelum dioven) (g) M3 = berat akhir (benih + cawan setelah dioven) (g)

2. Daya Berkecambah (DB)

Pengukuran daya berkecambah benih (%) dihitung berdasarkan persentase jumlah kecambah normal pada hitungan pertama (5 HST) dan hitungan kedua (8 HST) yang dibandingkan dengan jumlah total benih yang ditanam (ISTA, 2007). Daya berkecambah benih dihitung dengan rumus :

DB % = ∑KN I+ ∑KN II

∑benih yang ditanam ×100% Keterangan :

KN = kecambah normal

3. Kecepatan Tumbuh (KCT)

Kecepatan tumbuh diukur berdasarkan persentase kecambah normal pada waktu tanam sampai akhir pengamatan. Pengamatan dilakukan setiap hari terhadap pertambahan persentase kecambah normal dibagi dengan etmal (24 jam). Nilai etmal kumulatif dimulai saat benih ditanam sampai dengan waktu pengamatan. Kecepatan tumbuh dihitung dengan rumus :

KCT (%/etmal) =

Ni

ti 8

Keterangan :

ti = waktu pengamatan ke-i

N = pertambahan % kecambah normal setiap waktu pengamatan ke-i

4. Indeks Vigor (IV)

Indeks vigor dihitung berdasarkan persentase jumlah kecambah normal pada hitungan pertama (first count ) dibagi dengan jumlah benih yang ditanam pada uji daya berkecambah. Indeks vigor dihitung dengan rumus :

IV % = ∑kecambah normal pada hitungan pertama

∑benih yang ditanam ×100% 5. Keserempakan Tumbuh (KST)

Keserempakan tumbuh benih diukur berdasarkan kecambah normal kuat pada hari antara hitungan pertama dan hitungan kedua (hari ke-7). Kecambah normal kuat adalah kecambah yang memiliki kinerja kuat diantara kecambah yang tumbuh normal. Keserempakan tumbuh dihitung dengan rumus :

KST (%) =

∑kecambah normal kuat hari ke-7

∑benih yang ditanam × 100% 6. T50

T50 merupakan pengukuran waktu untuk mencapai 50 % dari

perkecambahan total dihitung berdasarkan jumlah benih yang berkecambah setiap hari hingga mencapai 50 % dari total perkecambahan benih. Satuan yang digunakan adalah hari. Rumus perhitungan yang telah dimodifikasi oleh Ilyas (2005) :

T50 (hari) = ti +

n50% - ni

nj - ni

Keterangan :

ti = waktu atau hari batas bawah sebelum mencapai 50% total perkecambahan

n50% = jumlah kecambah 50% dari total perkecambahan

ni = jumlah kecambah batas bawah sebelum mencapai 50% total

nj = jumlah kecambah batas atas setelah mencapai 50% total perkecambahan

Viabilitas Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA)

Benih kedelai yang telah dilapisi dan disimpan, kemudian diuji viabilitas CMA dengan uji perkecambahan spora. Pengujian tersebut dilakukan berdasarkan modifikasi metode Azcón-Aguilar et al. (1986). Benih kedelai yang sudah diberi perlakuan CMA diamati viabilitas sporanya sebanyak 20 butir setiap kemasan.

Dokumen terkait