GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MUSLIM PARIAMAN A.Letak dan Kondisi Geografis Pariaman
B. Kondisi Sosial-Budaya Masyarakat Muslim Pariaman
Masyarakat Minangkabau secara tradisional memiliki prinsip yang
mengatur hidup dan kehidupan bermasyarakat.Prinsip adat minangkabau itu
ialah Alam Takambang Jadi Guruyang berarti masyarakat Minangkabau
telah melibatkan alam sebagai bagian dari kehidupan mereka, mereka
belajar dari alamuntuk kemudian menjadikan sebagian inspirasi bagi prinsip
hidup dari kehidupannya.9
Sebagai sekelompok sub-etnis di Minagkabau, masyarakat Pariaman
mempunyai ciri khas tersendiri dibandingkan dengan masyarakat
Minangkabau lainnya. Hal tersebut terihat dari sistem sosial budaya
masyarakatnya bahwasanya masyarakat Pariaman disamping menganut
paham matrilineal juga memainkan paham patrilineal selain itu masyarakat
ini juga terkenal dengan uang jemputan (pembelian laki-laki dalam
pernikahan).10Paham matrilineal tergambar dari persukuan dan sistem
pewarisan harta pusaka. Dalam hal ini masyarakat Pariaman tidak berbeda
dengan masyarakat di daerah lainnya, yang mana dalam suatu kampung atau
nagari, setiap orang dibedakan atas dasar keturunannya. Untuk menentukan
garis keturunan tersebut setiap kelompok masyarakat memakai nama suku
atau marga yang berbeda-beda, untuk setiap suku mempunyai penghulu
yang disebut juga dengan penghulu suku.11 Penentuan suku tersebut berasal
dari garis keturunan ibu seperti apabila seorang ibu mewarisi suku pisang,
9
Pariaman dalam Angka 2010. (Pariaman : Badan Pusat Statistik, 2010), h. 5. 10
Elizabeth E. Graves. Asal Usul Elit Minangkabau Modern. (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007), h.12.
11
Radjab Muhammad. Perang Paderi di Sematera Barat 1803-1838.(Jakarta : Balai Pustaka, 1964), h. 23-25.
maka jika dia memiliki keturunan tanpa melihat jenis kelamin, maka
keturunannya tersebut juga akan mewarisi suku pisang.12
Begitpun dalam pewarisan pusaka yang diturunkan dari mamak
(paman) kepada ponakan perempuan. Di Minangkabau yang berhak
mendapatkan harta pusaka tinggi tersebut hanyalah perempuan, dikarenakan
perempuan dapat dipercaya bisa memegang atau menjaga harta pusaka yang
telah diturunkan secara turun temurun untuk diturunkan lagi pada pewaris
selanjutnya. Sedangkan laki-laki dipercaya bisa mencari nafkah sendiri.
Untuk penjelasan laki-laki babali atau uang jemputan yang sangat
terkenal khusus di daerah Pariaman, asal mula sejarahnya ialah pada masa
lampau terdapat salah seorang perempuan yang berstatus janda yang
menyukai seorang laki-laki yang masih bujangan. Perempuan ini
menginginkan untuk melaksanakan pernikahan yang sakral dengan pemuda
tersebut. Dikarenakan perempuan adalah seorang janda, maka pihak
keluarga laki-laki meminta harga atau nilai agar anaknya dapat menjadi
suami dari janda tersebut.13 Dengan berjalannya waktu maka hal tersebut
dijadikan sebuah tradisi bagi masyarakat di sana. Seorang perempuan masih
gadis jika ingin menikah dengan seorang laki-laki dari daerah Pariaman,
maka pihak perempuan harus memenuhi syarat yang diinginkan oleh pihak
laki-laki, baik itu dalam bentuk uang, benda dan lain-lain. Besar kecilnya
uang jemputan berdasarkan kepada status sosial calon yang diinginkan.14
12
Drs. Muslim Kasim, Ak. Strategi dan Potensi Padang Pariaman Dalam Rangka Pemberdayaan Masyrakat di Era Globalisasi. (Jakarta : Indomedia, 2004), h. 29.
13
Wawancara pribadi malalui handphon dengan ibu Yasmin salah seorang penduduk asli Pariaman , Jakarta, 8 Februari 2014 jam 14.00 WIB
14
A.A. Navis. Alam Takambang Jadi Guru Adat dan Kebudayaan Minangkabau (Jakarta : Grafti Press, 1984),h. 133.
Selain menganut sistem yang telah dipaparkan diatas, masyarakat
Pariaman juga menganut paham patrilineal. Jadi secara langsung masyarakat
tersebut menganut dua sistem secara bersamaan. Hal ini juga dapat dilihat
dari pemakaian gelar setelah dewasa yang diturunkan oleh ayah kepada anak
laki-laki. Macam-macam gelar tersebut ialah sidi yang berasal dari bangsa
Arab yang bernama Syekh Magribi yang menetap dan menikah di Nagari
Gasan Godang. Dalam sejaranya, untuk gelar sidi berasal dari bahasa arab
yaitu saidina yang berarti khalifah, maka di Minangkabau saidina tersebut
disingkat menjadi sidi. Sidi ini digolongkan kepada orang-orang yang ahli
dalam agama. Bagindo berasal dari keturunan raja yakni keturunan dari
bangsawan kerajaan Pagaruyuang yang menetap di Nagari Gaduah Koto
Tinggi. Bagindo menandakan asal mula dari Kerajaan Pagaruyuang.Gelar
sutan merupakan merupakan asal usul dari orang Luhak Nan Tigo Yang
terdiri dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Limo Puluh Koto.15
Dan yang terakhir untuk gelar marah yang berasal dari bahasa Aceh yakni
Maurah yang berarti raja kecil, akan tetapi di kalangan masyarakat Pariaman
sesorang yang bergelar marah berasal dari masyarakat kelas bawah,
dikarenakan dalam kehidupan sehari-harinya kebanyakan dari mereka
sebagai pekerja yang diperintah oleh atasannya.16
Pewarisan gelar dari ayah ke anak seperti yang telah dipaparkan di
atas, seperti bagindo, tidak harus menunggu anak laki-lakinya untuk
menikah dulu, karena jika seorang ayah bergelar bagindo, secara otomatis
15Suharti.Ritual Kefanatikan Aliran Syi’ah di Pariaman, Laporan Peneltian. (Padang Panjang : Sekolah Tinggi Seni Indonesia, 2006), h.25.
16
Entib dkk.Upacara tabuik di Pariaman : Kajian Nilai Budaya dan Fungsi bagi Masyrakat Pendukungnya (Jakarta : Departeman Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jendral Nilai Budaya, Seni dan Film, 2001), h.10-12.
anak laki-lakinya akan mewarisi gelar yang sama. Selanjutnya gelar tersebut
akan disatukan dengan namanya, misal waktu kecil Robby Afandi dan dia
keturunan dari bagindo, maka namanya akan menjadi Bagindo Robby
Afandi. Dengan penjelasan demikan dapat dikatakan bahwasanya
masyarakat Pariaman memakai sistem matrilineal dan patrilineal dalam
kehidupan bermasyarakat.17 Gelar-gelar yang di sebutkan di atas seperti sidi,
bagindo, sutan dan marah diyakini asal usul gelar tersebut berasal dari
kebudayaan Islam dari Timur Tengah yang dikenalkan oleh seorang ulama
yaitu Syekh Burhanudin yang memperkenalkan dan mengembangkan
tarekat syatariah di Pariaman.18
Dalam pelaksanakan perayaan tradisi 10 Muharram setiap tahunnya
dalam rangka memperingati kematian Husein bin Ali, keempat golongan
seperti bagindo,sidi,sutan dan marah terdapat perbedaan status sosial. Sidi
merupakan golongan yang sangat penting dalam menjalankan tradisi 10
Muharram, karena diyakini mereka yang pantas untuk meneruskan tradisi 10
Muharram tersebut dibanding golongan yang lain. Selain itu, golongan sidi
ini juga lebih banyak memberikan sumbangan untuk melaksanakan tradisi
10 Muharram. Sedangkan golongan bagindo merupakan golongan
penyumbang dana terbanyak setelah golongan sidi. Untuk golongan sutan
berfungsi sebagaikeamanan, dan yang terkhir golangan marah hanya sebagai
17
Suharti.“Ritual Kefanatikan Aliran Syi’ah di Pariaman” (Laporan Peneltian, Sekolah Tinggi Seni IndonesiaPadang Panjang, 2006), h.27.
18
Ahmad Taufik Abdulla. Tradisi Intelektual Islam Minangkabau (perkembangan tradisi intelektual tradisional di koto tangah awal abad XX),cet.pertama. (Jakarta :Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badab Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2011 ), h. 59.
tukang pembuatan tabuik dan pengusung tabuik dalam perayaan 10
Muharram.
Sosial budaya masyarakat muslim pariaman juga terlihat sampai
sekarang yakni dengan Islam lokal yang memiliki ciri khas tersendiri, dilihat
dari satu sisi munculnya Islam lokal sering disebut banyak orang sebagai
bentuk penyimpangan dari Islam murni. Di sepanjang sejarahnya, Pariaman
terkenal dengan ajaran Syatariah, ajarannya selalu dipengaruhi unsur dari
tradisi lokal, akibatnya ritual tarekat syatariah di suatu tempat berbeda
dengan di tempat-tempat lain. Hal ini juga yang membuat kecendrungan
tarekat syatariah di setiap daerah menjadi ciri khas tertentu,sehingga
menunjukkan adanya perkembangan. Ketika tarekat syatariah masuk ke
Sumatera Barat dibawa oleh Syekh Burhanuddin pada tahun 1646-1692,
beliau salah seorang murid dari ulama terkemuka di Aceh yaitu Syekh
Abdurrauf.19Maka dari itu muncul berbagai ritual-ritual yang sangat kental
dengan nuansa lokalnya diantaranya 10 Muharram yang telah di jelaskan
sebelumnya, dan kebudayaan Ritual basapa.
Basapa merupakan sebuah ritual dalam bentuk ziarah ke makam
Syekh Burhanuddin di Padang Sigalundi Ulakan Pariaman, seperti yang
sudah disinggung sebelumnya Syekh Burhanuddin dikenal sebagai penyebar
Islam pertama dan tokoh ulama dari tarekat Sytariah. Tradisi seperti ini juga
berkembang di wilayah nusantara seperti masyarakat Jawa melakukan
ziarah ke makam-makam wali.20Basapa semacam ini tidak hanya dilakukan
oleh penganut tarekat syatariah, juga didapati masyarakat muslim
19
Taufiq Abdullah. Islam dan Pembentukan Tradisi di Aasia Tenggara (Jakarta : LP3ES, 1988), h. 59.
20
umumnya.21 Ritual basapa merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
menghormati Syeh Burhanuddin atas jasa-jasanya sebagai penyebar islam
pada umumnya dan khususnya penyebab tarekat syatariah. Untuk setiap
tahunnya, ziarah ini dilakukan setiap hari rabu setelah tanggal 10 bulan
Safar. Ritual ini dikenal dengan basafar dikarenakan hari wafatnya Syekh
Burhanuddin yaitu pada bulan Safar, 10 Safar 1111H/1692 M.22
Menurut sejarahnya, ritual basapa mulai dilaksanakan penganut
tarekat syatariah sekitar tahun 1316 H. Akan tetapi, waktunya belum
ditentukan, setelah wafatnya Syekh Burhanuddin, dua orang pewaris
ajarannya yaitu Syekh Kepala Koto Pauh Kambar dan Syekh Tuanku
Katapiang Tujuah Koto di Kalampayan Amapalu bermusyawarah dengan
pengikut tarekat syatariah lainnya untuk menetapkan waktu ziarah bersama
ke makam Syekh Burhanuddin. Dalam pertemuan ziarah
tersebut,orang-orang juga dapat melakukan banyak hal yang bermanfaat secara
bersamaan.Diantaranya membicarakan keagamaan dikalangan penganut
tarekat syatariah. Akhirnya hasil pertemuan tersebut menghasilkan ziarah
ditetapkan setiap hari rabu setelah tanggal 10 Safar ke makam Syekh
Burhanuddin.23
Sejak setelah musyawarah tersebut basapa menjadi ritual rutin oleh
para penganut tarekat syatariah di Pariaman, karena bagi pengikut tarekat
syatariah basapa merupakan nilai agama yang tak terpisahkan dari ritual
21
Bukry Nazar. Tarekat Syatariyah d Padang Paraman : Tinjauan dari Segi Dakwah. (Laporan Penelitian,Pusat Penelitian IAIN Imam Bonjol Padang, 2000), h. 36.
22
M.Yafas, dkk.Perkembangan Tarekat Syatariah dan Pengaruhnya dalam Pengalaman Ajaran Islam di Kecamatan Lintau Buo (Laporan penelitian Padang IAIN Imam Bonjol, 1984), h. 57.
23
Oman, Faturrahman. Tarekat Syatariah di Minangkabau. (Jakarta : Prenada Media Group, 2008), h.130.
tarekat syatariah. Bagi sebagian pengikut tarekat syatariah yang fanatik,
mereka beranggapan basapa dijadikan ritual yang wajib, karena mereka
berkeyakinan bahwa ritual ke makam ini dapat menggantikan pahala naik
haji ke tanah suci Mekkah, meskipun hal ini telah ditentang sebagian ulama
tarekat syatariah lainnya.24Adapun ritual basapa diisi dengan kegiatan ziarah
dan berdoa di makam Syekh Burhanuddin, melaksanakan salat sunat
maupun salat wajib, dan yang terakhir berzikir. Menurut keterangan Buya
Rais Malim Basa, pelaksanaan kegiatan basapa diawali dengan
ceramah-ceramah tentang basapa, kemudian setelah maghrib dilanjutkan dengan
tahlil,zikir dan salawat dulang.25
Bagi para pengikut tarekat syatariah basapa merupakan medium bagi
tarekat mereka, sehingga tidak dapat dipisahkan dari ciri khas
keberagamaannya. Dalam perkembangannya basapa tidak hanya
dilaksanakan di makam Syekh Burhanuddin akan tetapi juga dilaksankan di
beberapa makam tokoh Syatariah yang berpengaruh besar semasa hidupnya
seperti di daerah Taluak, Lintau Buo melaksanakan basapa setiap tahunnya
ke mahkam Tuanku Kalumbuak merupakan salah seorang tokoh tarekat
Syatariah di wilayah Taluak.