DI PARIAMAN 1992-2013
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.) pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas
Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh: LIDYA LESTARI
1110022000031
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
LIDYA LESTARI. Peranan Pemerintah dan Masyarakat Mempertahankan Perayaan Tradisi 10 Muharram Kalangan Masyarakat Muslim di Pariaman 1992-2013
Perayaan 10 Muharram merupakan upacara tradisional bernafaskan Islam yang sampai sekarang masih tetap eksis dan bertahan di Pariaman, Sumatra Barat. Tradisi 10 Muharram di Pariaman merupakan wujud rasa duka cita atas wafatnya Husain bin Ali di Padang Karbala sekaligus pemberian persembahan kepada penghuni pantai Sumetera Barat, yang dilaksanakan dari tanggal 1 sampai 10 Muharram. Perayaan tradisi tersebut
terdiri dari beberapa rangkaian upacara, serperti pembuatan tabuik,
mengambil tanah, mengambil batang pisang, maantam, mangarak jari-jari, mangarak sorban, tabuik naik pangkek, mahoyak tabuik, tabuik dibuang ke laut ( pembuatan keranda, mengambil tanah, mengambil batang pisang, penurunan jari-jari, arakan jari-jari, arakan sorban, penyatuan bagian
keranda, menggotong keranda, keranda dibuang ke laut) .
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kenapa perayaan tradisi 10 Muharram yang bersifat tradisional sampai sekarang masih tetap eksis dan bertahan kalangan masyarakat muslim yang sudah modern di Pariaman. Dalampenelitian ini,penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sedangkan pengumpulan datanya, dilakukan dengan cara wawancara, studi pustaka, studi dokumentasi dan observasi.
Lidya Lestari, dilahirkan di Bukittinggi (Sumatra Barat) pada tanggal 04
Agustus 1992, ia merupakan anak ke empat dari lima orang bersaudara dari
pasangan Bapak Johardi dan Ibu Syafni.
Pendidikan Formal:
1. SD N 09 Sitapung (Bukittinggi) lulus 2004
2. SMP N 10 Ampek Angkek (Bukittinggi) lulus 2007
3. SMA N 01 Ampek Angkek Lambah (Bukittinngi) lulus tahun 2010
Kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi Program Strata 1 (S1)
Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Lulus tepat
waktu pada tahun 2014. Selama kuliah mengikuti kegiatan KMM (Kumpulan
Mahasiswa Minang) yang ada di UIN.
Anak gadis ini, menyelesaiakan Program Sarjana pada Tahun Akademik
2014. Dalam menyelesaiakan studi akhirnya, penulis melakukan penelitian
tentang “ Peranan Pemerintah dan Masyarakat daam Mempertahankan Perayaan
Tradisi 10 Muharram Di Pariman 1992-2013 “dalam penyelesaian skripsi ini
penulis tidak luput dari bimbingan dosen yang begitu berjasa membantu
mengarahkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini beliau yaitu Bapak Dr.
panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulisan skripsi ini
merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan
Pendidikan Strata 1 (S1) pada Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada
pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi baik secara langsung
maupun tidak langsung, terutama kepada:
1. Prof. Dr. Oman Faturrahman, M.Hum selaku Dekan Fakultas Adab
dan Humaniora dan Dr. H. M. Farkhan. M.Pd seaku pembantu
Dekan Bid. Akademik.
2. Drs. H. M. Ma’ruf Misbah. M.A selaku ketua jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam.
3. Sholikatus Sa’diyah, M.Pd selaku sekretaris jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam
4. Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag dan Drs. Tarmizy Idris, M.A selaku
dosen pembimbing yang selalu memberikan arahan dan masukan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, M. Ag dan Dr. Saiful Umam, MA
selaku penguji sidang munaqasah.
6. Seluruh dosen, Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif
Kota Pariaman yang telah banyak membantu penulis memberikan
informasi terkait dengan penulisan skripsi saya
8. Seluruh narasumber yang telah memberikan informasi terkait
penulisan skripsi saya.
9. Papa dan Mama tersayang atas dukungannya, kasih sayang,
perhatian, doa dan semua pengorbanan yang tidak akan pernah
terbalas. Nenek, Bang Alex, Uni Widya, Bang Robby dan si bungsu
Ayu yang selalu membuat penulis tersenyum disaat penulis
mendapat kesulitan.
10.Yudha zikry dan Rahmad doni yang selalu menberi semngat kepada
penulis.
11.Rekan-rekan angkatan 2010 Irna, Hana, Hanifah, Fitri, Dian, Ela,
Nana, Uswah, Rina, Noeng, Wulan, Tati, Nisa, Endi, Anto, Hanafi,
Okta, Haryono, Iwan, Syihab, Agung, Rahmat, Johan, Zein, Latif,
Syukron, Arif, Mizan, Fa’I, Nendi, Dede, Firman, Karma Selama ini
kita selalu bersama dalam menjalani pendidikan dibangku kuliah
dari awal hingga akhir. Canda tawa bahagia bersama kalian akan
selalu awak simpan dalam memory ini, dan terimakasih juga atas
bantuan dan do’anya. Kapan-kapan SULING ke Bukittinggi
yoooooooo.
Jakarta, 14 Juli 2014
LEMBARAN PENGESAHAN……….
LEMBARAN PERNYATAAN………..i
ABSTRAK………...ii
RIWAYAT HIDUP……….iii
KATA PENGANTAR……….…iv
DAFTAR ISI………vi
BAB I : PENDAHULUN A. Latar Belakang Masalah………..1
B. Perumusan dan Batasan Masalah………..……..7
1. Identifikasi Masalah………..……7
2. Pembatasan Masalah………...8
3. Perumusan Masalah………...…8
C. Tujuan Penelitian………...8
D. Tinjauan pustaka………...9
E. Metode Penelitian……….…..11
F. Sistematika Penulisan……….15
BAB II : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MUSLIM PARIAMAN 1992-2013 A. Letak dan Kondisi Geografis Pariaman. ……..16
B. Kondisi Sosial-Budaya Masyarakat Muslim Pariaman……….……..21
B. Bentuk pelaksanaan perayaan tradisi 10 Muharram di
Pariaman………39
1. Pembauatan Tabuik………..…..40
2. Mengambil Tanah ……….…42
3. Mengambil Batang Pisang………45
4. Maantam………...46
5. Mangarak Jari………...48
6. Mangarak Sorban……….49
7. Tabuik Naik Pangkat………51
8. Mahoyak tabuik………54
9. Tabuik dibuang ke laut……….56
C. Nilai-nilai dalam perayaan tradisi 10 Muharram di Pariaman……….…57
BAB IV: UPAYA MEMPERTAHANKAN PERAYAAN TRADISI 10 MUHARRAM A. Peranan Pemerintah menjaga perayaan tradisi 10 Muharram………62
B. Upaya masyarakat muslim mempertahankan perayaan tradisi 10 Muharram………66
B. Saran………..78
DAFTAR PUSTAKA………
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pesatnya perkembangan zaman seperti sekarang berakibat kepada
kebudayaan tradisional yang semakin terpinggirkan dan bahkan sampai
banyak yang hilang. Akan tetapi kenyataaan di lapangan, penulis masih
menemukan masyarakat muslim yang sudah modern masih menjalankan
adat istiadat, upacara tradisional dan percaya akan kekuatan gaib. Hal ini
penulis temukan salah satunya pada masyarakat muslim Pariaman, mereka
setiap tahunnya tanggal 1 sampai 10 Muharram melaksankan upacara
tradisional. Menurut asumsi penulis, bertahannya perayaan tradisi 10
Muharram tersebut tidak terlepas dari campur tangan dan kerja sama antara
masyarakat dengan pemerintah setempat dalam melestarikan perayaan
tersebut, karena perayaan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit seperti
dalam prosesi pembuatan bangunan tabuik, diperkirakan mencapai Rp
10.000,000 – Rp 15.000,000. Dilihat dari biaya yang dibutuhkan,
dibandingkan dengan pendapatan masyrakat sebagai petani, nelayan, dan
pedagang masih sangat jauh untuk mencapai dana yang begitu besar, untuk
itu pemerintah juga ikut serta menyediakan anggran dana untuk
melangsungkan perayaan ini, tampa mengurangi nilai kesakralan dari
perayaan tradisi 10 Muharram tersebut.
Pariaman merupakan gerbang memasuki daerah Sumatera Barat atau
besar terdiri dari dua bagian yaitu rantau1 dan darek. Daerah Minangkabau
bagian darek terdiri dari tiga daerah yaitu Luhak Agam sebuah nama tempat
yang awalnya, terdapat banyak tumbuhan belukar agam yaitu sejenis
tumbuhan rawa yang biasanya digunakan oleh penduduk setempat sebagai
bahan-bahan untuk membuat tikar, Luhak Tanah Datar penduduk yang
mendiami kawasan dataran sebelah tenggara gunung merapi. Sedangkan,
Luhak Limo Puluah Koto yang awalnya penduduk hanya terdiri dari lima
puluh kepala keluarga yang mendirikan pemukiman di bagian utara gunung
merapai.
Ketiga kawasan luhak tersebut biasanya disebut dengan Luhak Nan
Tigo.2Kota Pariaman sendiri terdapat di pesisir tepatnya dikawasan
rantau.3Masa lampau Pariaman sangat terkenal oleh pedagang asing
dikarenakan kota ini sebagai lintas jalur perdagangan dari luar ataupun
dalam negeri seperti India, Arab, Turki dan lain-lain.4Kota ini juga
merupakan simbol perpaduan antar berbagai etnis dan sebagai pusat
penyebaran Islam di Sumatera Barat pada fase pertama. Akibatnya Pariaman
menjadi kaya akan khazanah budaya. Salah satu kebudayaan yang bersifat
tradisional yang sampai sekarang masih eksis dan tetap bertahan yaitu
tradisi 10 Muharram Pariaman.
1
Di Minangkabau pengertian rantau terbatas pada daerah-daerah dekat lembah sungai dan anak sungai yang mengalir atau di tepi pantai, pada saat sekarang ini istilah rantau mengalami perluasan yaitu daerah yang berada di luar Minangkabau atau Sumatera Barat. Lihat Drs. M.D Mansoer dkk. Sedjarah Minangkabau. (Jakarta : Bharatara, 1970), h. 2.
2
Elizabeth E. Graves. Asal Usul Elit Minangkabau Modern.(Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 4.
3
Amir, Pemetaan Sastra Lisan Minangkabau, h. 11.
4
10 Muharram merupakan upacara tradisional yang dilaksanakan dari
tanggal 1 sampai 10 Muharram, yang pada dasarnya memperingati atas
syahidnya Husain bin Ali ditawan oleh tentara Yazid bin Muawwiyah di
Padang Karbala tahun 61 Hijriah.5
Tradisi 10 Muharram di Indonesia diselenggarakan di beberapa
daerah seperti Pariaman, Bengkulu, Aceh, Gresik dan Bayuwangi.6Menurut
sejarah, tradisi 10 Muharram sampai ke pulau Sumatera dibawa oleh
orang-orang Syi’ah yakni kaum Cipei dari Madras Benggali India Selatan. Kaum
Cipei yang mengunjungi Bengkulu selama bertahun-tahun yang pada
awalnya sebagai pedagang, sebagai tentara yang dikirim ke Bengkulu untuk
mempertahankan jajahan Inggris di Sumatera tahun 1825 M dibawah
kepemimpinan Thomas Stamford Raffles.7 Meskipun 10 Muharram berasal
dari kaum Syi’ah dianggap sebagai upacara suci bagi kaum Syi’ah, akan
tetapi bagi masyarakat Pariaman pelaksanaan 10 Muharram hanya tradisi
memperingati kematian Husain bin Ali yang berarti masyarakat Pariaman
tersebut bukan penganut Syi’ah, melainkan Sunni sama dengan masyarakat
Minangkabau lainnya. Ini juga didukung dari hasil penelitian Suharti
dinyatakan tidak ditemukan secara institusi masyarakat Syi’ah di Pariaman.8
Salah satunya yang dikenal sebagai ulama yang memiliki andil
cukup besar menjalankan tradisi 10 Muharram di pesisir Barat Sumatera
5
Ernatip dkk. Upacara Tabuik di Pariaman : Kajian Nilai Budaya dan Fungsi Bagi Masyarakat Pandukungnya (Jakarta : Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jendral Nilai Budaya, Seni dan Film, 2001), h. 14
6Aqar Furuqi, “Imam Husain dan Air di Karbala :
.Syi’ah Husain Simbol Perlawanan, ’’ (Muharram 2010), h. 109.
7
Azyumardi Azra. Islam reformis : Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta : Rajawali Press, 1999)
8
pada abad ke-17 yaitu Syekh Burhanuddin atau sering disebut dengan
panggilan Imam Senggolo.
Tradisi 10 Muharram yang bertahan sampai sekarang, menurut
penulis sangat menarik untuk dikaji, karena secara keseluruhan dimana para
kelompok sosial masyarakat, seniman, pelaku, pemerintah berada dalam
ikatan norma dan azas yang ada. Hal ini sesuai dengan yang dimaksud oleh
Endaswara bahwa budaya adalah sesuatu yang hidup, berkembang dan
bergerak menuju titik ruang, waktu dan tempat dari kebudayaan.9Hasil dari
pemikiran manusia merupakan kebudayaan yang berkembang pada
masyarakat. Pikiran yang dilakukan manusia secara terus menerus pada
akhirnya menjadi sebuah tradisi. Taufiq Abdullah mengatakan bahwasanya
pembentukan tradisi sebagai sesuatu yang dilestarikan dari masa lampau.
Saat ini tradisi dapat memberi kesadaran identitas serta rasa berkaitan
dengan sesuatu yang di anggap lebih awal.10 Sejalan dengan adanya
penyebaran agama Islam, tradisi yang ada pada agama akan berkembang
pada masyarakat. Hal itu misalnya, terjadi pada masyarakat di pulau
Sumatera Barat, khususnya di Pariaman seperti, tradisi 10 Muharram yang
telah dijelaskan sebelumnya menjadi sebuah kebudayaan tersendiri bagi
masyarakat di sana.
Kebudayaan11Minangkabau telah mendarah daging di kalangan
suku-suku yang tersebar di wilayah ini. Kebanyakan dari mereka masih
9
Endraswara, Suwardi. Metodelogi Penelitian Budaya (Yogyakarta : Gajah Mada Univercity Press, 2003), h. 23.
10
Taufiq Abdullah. Islam dan pembentukan tradisi di asia tenggara.(Jakarta : LP3ES, 1988), h. 58.
11
memegang budaya dengan beberapa isme seperti kepercayaan terhadap roh
nenek moyang, yang bertempat di tempat-tempat keramat seperti gunung,
makam-makam.12Animisme seperti ini sebenarnya telah di anut oleh
masyarakat sejak zaman pra sejarah. Hal ini hingga sekarang masih melekat
dalam pribadi masyarakat walaupun ajaran-ajaran agama yang murni telah
diterima selama berabad-abad, akan tetapi budaya lokal tersebut dipadukan
dengan ajaran-ajran Islam. Sebelum kedatangan Islam di Sumatera Barat,
masyarakat setempat telah menganut paham hindu. Ini terbukti dengan
berdirinya kejaran hindu pagaruyung pada abad XIV-XV yang dipimpin
oleh Raja Adtyawarman.13Kepercayaan masyarakat disana sebelum Islam
ialah animism, seperti yang sudah digambarkan diatas yaitu suatu
kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda,dan juga
manusia.14Semua dianggap gerak, hidup dan mempunyai kekuatan gaib atau
memiliki roh, baik berwatak baik ataupun buruk. Dengan kepercayaan
tersebut masyarakat beranggapan bahwa didunia ini terdapat roh yang
berkuasa lebih dari manusia. Agar terhindar dari roh tersebut, mereka
mengadakan upacara-upacara ritual.
Dalam kehidupannya, masyarakat Pariaman untuk menyeimbangkan
nilai-nilai ajaran Islam dengan budaya Pariaman atau Minangkabau
melahirkan kepercayaan-kepercayaan dan upacara-upacara ritual. Pada
temurun. Lihat Koentjaningrat.Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta : Djambatan, 1982), h. 9.
12
Drs. M.D. Mansoer.dkk. Sejarah Minangkabau, h. 33. 13
Murodi, Melacak Asal Usul Gerakan Paderi di Sumatera Barat. (Jakarta : Logos, 1999), h. 61.
14
Buya,Hamka. .Islam dan Adat Minangkabau,( Jakarta : Pustaka Panjimas, 1985),
umumnya, upacara tersebut mempunyai tujuan untuk menghormati leluhur.
Tradisi ini bermula dari pemujaan kepada leluhur yang merupakan
kepercayaan masyarakat. Adanya penghormatan kepada roh-roh leuhur ini
biasanya ditujukan kepada roh-roh pelindungnya. Roh pelindung yang
dimaksud ialah tokoh-tokoh sejarah yang telah meninggal. Maka
masyarakat memakai simbol untuk menghormati roh leluhurnya yang
diwujudkan dengan menyediakan sesajian, peti kranda yang di
agung-agungkan, mengadakan upacara selamatan dan melakukan ziarah ke mkam
leluhur maupun tempat yang dianggap keramat.15
Penyelenggraan upacara tradisional 10 Muharram tersebut terdiri
dari beberapa rangkaian acara yang dimulai dari pembuatan tabuik,
mengambil tanah, mengambil batang pisang, maatam, mangarak jari-jari, mangarak sorban, tabuik naik pangkek, mahoyak tabuik,tabuik dibuang ke laut, rangkaian acara tersebut mempunyai arti penting bagi warga masyarkat yang bersangkutan. Hal ini disesbabkan karena fungsinya sebagai
pengkokoh norma-norma atau nilai budaya yang ada dan berlaku dalam
kehidupan masyarakat. Bagi masyarakat Pariaman, hidup penuh dengan
upacara, baik upacara berkaitan dengan lingkungan hidup manusia sejak
dari keberadaanya dalam perut ibu sampai kematiannya atau juga
upacara-upacara yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas kehidupan sehari-hari
15
dalam mencari nafkah, khususnya bagi para petani, pedagang, nelayan dan
sebagainya.
Dari pemaparan di atas, ada hal yang menarik bagi penulis untuk di
teliti yaitu seiring pesatnya perkembangan zaman seperti sekarang,
kebudayaan tradisional yang semakin terpinggirkan, bahkan sudah banyak
yang hilang. Akan tetapi salah satunya kenapa tradisi 10 Muharram yang
merupakan upacara tradisional sampai sekarang masih eksis dan tetep
bertahan di tengah-tengah masyarakat yang sudah modern di
Pariaman.16Menurut asumsi penulis, bertahannya perayaan tersebut tidak
terlepas dari campur tangan dan kerjasama antara masyarakat pendukung
dengan pemerintah setempat dalam menjaga dan melaksanakan perayaan
tradisi 10 Muharram.
Pariaman sebagai objek penelitian karena disinilah tradisi 10
Muharram masih dilaksanakan. Memang ada daerah masih melaksanakan
tradisi 10 Muharram ini mislnya Bengkulu, karena penulis asli Bukittinggi
maka memilih Pariamn sebagai objek penelitian yang lebih dekat
dibandingkan Bengkulu. Karena alasan itulah penulis memilih Pariaman
sebagai objek penelitian.
B. Perumusan dan Batasan Masalah 1. Identifikasi Masalah
Dari pemaparan di atas maka penulis mengidentifikasikan masalah
diantaranya gambaran umum masyarakat Pariaman di bahas dalam bab
16
kedua, pada bab ke tiga akan membahas deskripsi tradisi 10 Muharram.
Sedangkan pada bab ke empat upaya mempertahankan perayaan tradisi 10
Muharram. Sedangkan masalah pokok dalam penelitian ini yaitu kenapa
perayaan tradisi 10 Muharram yang merupakan upacara tradisional sampai
sekarang masih eksis dan tetep bertahan di tengah-tengah masyarakat yang
sudah modern di Pariaman.
2. Pembatasan Masalah
Penelitian ini subjeknya difokuskan kepada kebertahanan perayaan
tradisi 10 Muharram kalangan masyrkat muslim di Pariaman pada tahun
1992-2013. Karena pada awal tahun 1992 pemerintah sangat berperan,
bahwasaanya pemerintah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mengankat 10
Muharram sebagai program tahunan di Pariaman Sedangkan batasan tahun
sampai 2013 karena pada tahun tersebutah penulis dapat menyaksikan
tradisi 10 Muharram di Pariaman.
3. Rumusan Masalah
Pembahasan dalam penulisan ini terfokus pada kebertahanan
perayaan tradisi 10 Muharram kalangan masyrkat muslim di Pariaman pada
tahun 1992-2013. Agar pembahasan tidak melebar sehingga dapat diperoleh
hasil yang maksimal, maka penulis membatasasi masalah. Adapun batasan
masalh dalam kajian ini di rumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi sosial, budaya, ekonomi, masyarakat Pariaman?
2. Bagaimana sejarah tradisi 10 Muharram di Pariaman?
3. Bagaimana upaya mempertahankan perayaan tradisi 10 Muharram
C. Tujuan Peneitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menjelaskan pelaksanaan tradisi 10 Muharram di Pariaman.
2. Menjelaskan nilai dan fungsi perayaan tradisi 10 Muharram
3. Mejelaskan peranan pemerintah dan masyarakat menjaga tradisi
10 Muharram
4. Menanbah koleksi kepustakaan UIN mengenai tradisi 10
Muharram yang ada di Pariaman.
5. Selain mamfaat di atas, untuk lebih mengenal kebudayaan Islam,
serta dalam rangka menambah khazanah ilmu di bidang sejarah
kebudayaan Islam dalam konsentrasi di Asia Tenggara,
khusunya tradisi Islam di Pariaman.
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka bukanlah uraian tentang daftar pustaka yang akan
di gunakan, akan tetapi merupakan uraian singkat hasil penelitian tentang
masalah sejenis yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.17 Adapun
peneitian sejenis yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Tabuik Pariaman, Kajian Antropologis Terhadap Mitos dan Ritual, tesis ini di tulis oleh Miko Siregar. Universitas Indonesia Pada tahun 1996.
Isi Dalam tesis tersebut ialah membahs tentang deskripsi mitos, ritual, dan
komunitas tabut, Serta struktur ritual dan sistem tradisional. Sedikit
ringkasan dari tesis ini yaitu komunitas secara kreatif menafsirkan makna
mitos dan merealisasikan ritualnya sesuai dengan sistem tradisional serta
17
merta menjaga keaslian makna yang dipandang masih setara dengan makna
asli dari mitos dan kedudukan mitos dan sistem tradisional bergeser melalui
kehadisran sistem nasional ataupun global.
Music tabuik dalam upacara tabuik sebagai kaum Syi’ah di Sumatera Barat. Skripsi ini ditulis oleh Khanizar pada tahun 1995. Dalam skripsi sarjana etnomusikologi pada sekolah tinggi seni Indonesia Surakarta.
Skripsi ini menjelaskan secara deskriptif tentang pelaksanaan upacara tabuik
di pantai Barat Sumatera Barat.
Dinamika Keberlangsungan Tabuik Pariaman. Tesis ini ditulis oleh Asril Mucthar dalam menyelesaikan magister di Program Pascasarjana
Universitas Gajah Mada Jogyakarta pada tahun 2002. Dalam tulisan ini
menjelaskan tabuik sebagai sebuah ekspresi budaya masyarakat pariaman
dalam perjalanannya dari waktu ke waktu dalam upaya mempertahankan
eksistensinya yang telah mengalami dinamika dengan berbagai sarana.
Dinamika dalam budaya tabuik dipandang sebagai daya hidupnya untuk
menyesuaikan dengan zaman.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya karena
penelitian sebelumnya tidak membahas tentang keunikan dari tradisi 10
Muharram yang saya bahas. Dalam penelitian terdahulu sebagian besar
membahas prosesi upacara tabuik, dinamika keberlangsungan upacara
tabuik, kajian antopologis terhadap mitos dan ritual yang ada dalam tabuik
Pariaman, dan music dalam tabuik. Sedangkan penelitian ini selain
membahas sejarah 10 Muharram, menjelaskan bagaimana tradisi 10
bagaiman peranan pemerintah dan masyarakat dalam perayaan tradisi 10
Muharram di Pariaman, selanjutnya mengetahui fungsi perayaan tradisi 10
Muharram yang masih aksis sampai sekarang bagi masyarakat setempat.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pakar sejarah Indonesia, Sartono Kartodirjo, menjelaskan bahwa
kejadian sejarah tidak tunggal penyebabnya. Dalam konteks studi ini untuk
mengkonstruksi kejadian masa lampau perlu memakai berbagai pendekatan
dari segi mana melihatnya, hal yang perlu dikaji, dan unsure-unsur yang
perlu diungkapkan sejarah, sosiologi, dan antropologi.18
Pendekatan sejarah kajiannya lebih menekankan aspek kronologis
waktu atau bisa juga kronologis kejadian. Sosiologi melihat segi-segi sosial
peristiwa, misalnya golongan mana yang berperan serta nilai-nilainya,
hubungan dengan golongan lain dan masalah idiologi. Selanjutnya
antropologi mengungkapkan nilai-nilai yang mendasari pelaku tokoh
sejarah, satus dan gaya hidup, sistem kepercayaan yang mendasari pola
hidup.19
Jadi dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan
sosiologi dan antropologi. Demikian arti penting berbagai pendekatan dalam
melihat sebuah peristiwa sejarah.
2. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis Data
18
Sartono Kartodirjo. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), h.114
19
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah 1. Deskripsi
sosial, budaya, ekonomi, masyarakat Pariaman, 2. sejarah tradisi 10
Muharram di Pariaman, 3. Upaya mempertahankan perayaan tradisi 10
Muharram sampai sekang di Pariaman.
b. Sumber Data
b.1. Sumber Data Primer
Sumber data primer dalam penelitian ini antara lain, wawancara,
dokumen dan pengamatan langsung. Jadi deskrisi sosial,budaya dan
ekonomi masyrakat Pariaman, selanjutnya sejarah tradisi 10 Muharram di
Pariaman dan upaya mempertahankan perayaan tradisi 10 Muharram sampai
sekang di Pariaman. Data tersebut bersumber dari pengamatan langsung dan
wawancara seperti elit pemerintah, masyarakat, tokoh agama, pemuda dan
informan terkait.
b.2. Sumber Data Skunder
Sumber data skunder diantaranya pandangan, tulisan orang lain yang
memiliki kaitan dengan sumber data primer yang penulis dapatkan dari
berbagai laporan penelitian, jurnal, majalah, buku, dan media elektronik.
3. Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi atau pengamatan langsung dilakukan untuk memperoleh
fakta nyata tentang perayaan tradisi 10 Muharram dan hal-hal yang
berkaitan kemudian melakukan pencatatan.
Hal ini dilakukan dengan cara terjun langsung ke lapangan untuk
yang meliputi prosesi acara, perlengkapan perayaan dan tempat
penyelenggaraan perayaan. Agar terpenuhinya standar ilmiah maka peneliti
harus mampu masuk di dalamnya untuk berperan serta dalam perayaan yang
dilakukan oleh pelaku perayaan.20
b. Wawancara
Wawancara merupakan pengumpulan data dengan mengadakan
dialog atau percakapan terkait dengan tema penelitian kepada informan. Hal
ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer, karena data ini diperoleh
langsung melalui wawancara dengan pelaku perayaan. Adapun pelaku
perayaan ialah pemerintah, tokoh masyarakat seperti tokoh agama,
pemimpin perayaan dan sebagian pengunjung, serta berbagai pihak yang
bersangkutan.
4. Analisis Data
Data yang terkumpul diediting dan kemudian diklasifikasikan untuk
dikategorisasi. Selanjutnya, data yang terkumpul dipilih berdasarkan subjek
kajian. Tahap kategorisasi bertujuan mengelompokkan setiap data ke dalam
unit-unit analisis berdasarkan kesesuaian antara satu tema dengan tema yang
lainnya sehingga menggambarkan keseluruhan analisis yang utuh.
Selanjutnya beberapa data yang sudah diproses pada tahap kategorisasi,
akan dianalisis berdasarkan kecendrungan khusus dari data-data yang
terkumpul sehingga akan tergambar tipologi yang koperhensif di dalamnya.
Selanjutnya dilakukan analisis untuk mengungkap bertahannya
perayaan tradisi 10 Muharram di Pariaman. Tujuannya untuk mencari
20
keterkaitan antar berbagai komponen dan konsep sehingga membentuk satu
kesatuan sistem yang kompleks agar dapat memahami hakikat kebertahanan
perayaan tradisi 10 Muharram di Pariaman. Jadi, penelitian ini bersifat
deskriptif-kualitatif.21
5. Langkah Penelitian
Secara umum, metode penelitian sejarah ini dilakukan dengan empat
langkah, yaitu heuristic, kritik sumber, interprestasi dan historiografi.22
Heuristik adalah kegiatan mengumpulkan dan penelusuran sumber data
melalui pelacakan atas berbagai dokumen, serta wawancara dengan
informan. Adapun sumber primer yang bersifat tertulis, berupa sumber yang
diterbitkan seperti biografi maupun sumber yang tidak diterbitkan seperti
sumber tertulis di arsip, dokumen negara, atau dokumen pribadi. Sumber
skunder berupa buku-buku terkait, tesis, disertasi, majalah, surat kabar, serta
sumber elektronik dari websaite milik instansi resmi baik daerah maupun
pemerintah.
Pengumpulan sumber-sumber yang dilakukan penulis dengan
menggunakan metode penelusuran kepustakaan (library research) dan
lapangan. Studi kepustakaan, yakni mengunjungi beberapa lembaga yang
memiliki koleksi buku ataupun arsip terkait tema penelitian ini, seperti arsip
nasional republic Indonesia (ANRI) untuk memperoleh data berupa
arsip-arsip yang menggambarkan kondisi lingkungan pariaman sejak tahun
1992-2013, Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
21
Sanafiah Faisal, ed. Metodelogi Penelitian Kualitatif (Surabaya : Usaha Nasional, 1987), h. 63
22
Perpustakaan Nasional Rakyat Indonesia, untuk mencari buku-buku, hasil
penelitian, tesis, jurnal, disertasi terkait dengan tradisi 10 Muharram,
perpustakaan Fakultas Adab Humaniora, Perpustakaan Umum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta untuk mencari buku-buku maupun skripsi dengan tema
serupa, Perpustakaan Umum Universitas Indonesia untuk mencari hasil
kajian, penelitian Miko Siregar dengan tema sejarah dan tabuik pariaman.
Terakhir menguji fakta dan data sejarah yang telah dikumpulkan.
Kritik ekstren yang dilakukan untuk menguji keaslian sebuah sumber
sejarah yang asli. Sedangkan kritik interen dilakukan untuk menguji
validitas data sejarah. Langkah interprestasi adalah upaya menafsirkan data
berdasarkan perspektif tertentu sehingga fakta menjadi struktur yang logis.
Langkah historiografi ialah menuliskan hasil penafsiran menjadi sebuah
kisah sejarah yang utuh versi penulis.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam pembahasan penelitian ini, penulis
menyusun kerangka pembahasan secara sistematis kedalam lima bab. Bab
pertama merupakan pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan mamfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan selanjutnya.
Bab kedua, membahas tentang gambaran umum masyarakat
muslimpariaman yang mana meiputi letak geografis Pariaman, kondisi
sosial-budaya dan sosial-ekonomi masyarakat setempat. Sebab, sebelum
pembahasan lebih jauh tentang objek penelitian perlu kiranya mengetahui
dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang situasi dan kondisi
masyarakt di Sumatera Barat khususnya Pariaman. Serta memberikan
gambaran awal tentang pembahasan yang akan dikaji yaitu perayaan tradisi
10 Muharram kalangan masyarakat muslim di Pariaman.
Bab ketiga, memfokuskan pada pembahasan tradisi 10 Muharram
yang meliputi tentang asal usul tradisi 10Muharram, perlengkapan seta
bentuk-bentuk taradisi 10 Muharram di Pariaman dan nilai-nilai yang
terkandung dalam tradisi 10 Muharram. Dalam bab ini dimaksudkan untuk
mengetahui asal usul dan sejarah tardisi 10 Muharram di Pariaman.
Bab keempat, merupakan pembahasan upaya mempertahankan
perayaan tradisi 10 Muharram yang terdiri dari tiga sub bab yaitu, pertama
peranan pemerintah menjaga perayaan tradisi 10 Muharram, kedua upaya
masyarakat dalam mempertahankan perayaan tradisi 10 Muharram, ketiga
fungsi perayaan tradisi 10 Muharram pada masyarakat di sekitar Pariaman.
Bab kelima, merupakan penutup yang meliputi kesimpulan dan
saran-saran, yang diharapkan dapat menjawab permasalahan-permasalahan
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MUSLIM PARIAMAN
A. Letak dan Kondisi Geografis Pariaman
Pariaman merupakan salah satu kota di propinsi Sumatera Barat.
Pariaman sendiri berasal dari kosakata bahasa Arab yakni barri dan aman
yang berarti tanah daratan yang aman sentosa.1 Dalam arti lain, Pariaman
berasal dari kata-kata parik nan aman berarti pelabuhan yang aman.2
Masyarakat Pariaman berasal dari darek Minangkabau atau dari
daerah pedalaman di Sumatera Barat, hal ini didukung oleh hasil laporan
tahunan pemerintah daerah Pariaman. Berdasarkan pengakuan masyarakat
setempat, mereka berasal dari Pagaruyuang Batusangkar, daerah ini terletak
dibagian darek Minangkabau. Mungkin sejak tahun 1300 M. Para perantau
dari Batusangkar tersebut yang pertama membuka pemukiman di daerah
Pariaman.
Pariaman terletak di daerah strategis dilalui oleh sungai-sungai
besar, diantaranya sungai Batang Pariaman sepanjang 12 Km., Batang
Manggung sepanjang 11,50 Km. dan Batang Jirak sepanjang 11,80 Km.
Selain dilalui muara sungai dan berada di tepi laut, Pariaman secara
ekonomis jauh lebih menguntungkan dibanding daerah lain yang ada di
Sumatera Barat khususnya pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Semasa itu Pariaman sangat dikenal oleh pedagang asing yang sejak tahun
1500M. Sebagai lintas jalur perdagangan dari luar ataupun dalam negri
1
Welhendri Azwar. Matrilokal dan Status Perempuan dalam Tradisi Bajapuik (Yogyakarta : Galang Press, 2001), h. 29.
2
seperti India, Arab, Turki dan lain-lain.3Lada merupakan hasil alam yang
sangat penting dan menghasilkan keuntungan yang sangat besar dalam
perdagangan masa itu. Daerah-daerah penghasil lada terbaik semasa itu
ialah Kampar Kanan, Kampar Kiri dan lembah aliran Batanghari atau
Sungai Dareh yang sering disebut dareh Minangkabau bagian Timur. Selain
lada juga banyak hasil alam yang lainnya seperti emas, kopi, gaharu, kapur
barus, dan madu. Pusat perdagangan ini berkembang menjadi pusat politik,
ekonomi dan kebudayaan. Hubungan perdagangan yang sering dikaitkan
dengan urusan pribadi yang menimbulkan ikatan kebudayaan. Seiring
dengan pesatnya perdagangan tersebut, agama dan kebudayaan asing mulai
berkembang di wilayah sekitar. Pelabuhan Pariaman sangat maju dan ramai
seperti yang sudah dijelaskan di atas hingga pertengahan abad ke-17.4
Oleh karena beralihnya fungsi perhubungan melalui darat, dewasa
ini Pariaman lebih dikenal sebagai kota pariwisata, dikarenakan disepanjang
pesisir pantainya banyak terdapat tempat-tempat rekreasi. Pariaman
diresmikan sebagai kota otonom dengan diberlakukannya UU No.12 pada
10 April 2002. Berdasarkan undang-undang tersebut daerah otonom
Pariaman sendiri terdiri dari empat kecamatan yaitu kecamatan Pariaman
Utara dengan luas 23,35 Km2, Kecamatan Pariaman Tengah dengan luas
paling kecil yaitu 15,68 Km2, Kecamatan Pariaman Selatan dengan luas
16,82 Km2, dan Kecamatan Timur dengan luas 17,51 Km2.5
3
Drs. M.D. Mansoer.dkk. Sejarah Minangkabau. (Djakarta : Bhratara, 1970), h.39.
4
Drs. M.D. Mansoer.dkk. Sejarah Minangkabau, h. 40-41. 5
Dilihat dari tata letak kota, Pariaman secara administratif
pemerintahan yaitu Pariaman sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten
Agam, Pariaman sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Padang, Pariaman
sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten
Solok, Pariaman sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.
Sebagian daerah Pariaman memiliki dua iklim yaitu penghujan dan
kemarau, yang keadaan alamnya beriklim tropis yang dipengaruhi oleh
angin darat dan angin laut.6
Kota Pariaman bertepatan berada di wilayah Kecamatan Pariaman
Tengah dengan luas sekitar 15,68 Km2. Keadaan Topografinya berupa
daratan seluas 73,36 Km2 atau 80 persen dari wilayah daratan rendah
dengan ketinggian antara 2 sampai 35 meter dari permukaan air laut,
sedangkan daerah lainnya merupakan daerah bergelombang yaitu sekitar 20
persen, berada diposisi garis khatulistiwa secara geografis, posisi Pariaman
terletak antara 0o 33’ 00’’- 0o 45’ 00’’ Lintang Selatan dan 100° 07’ 00’’-
100° 16’ 00’’ Bujur Timur, dengan keadaan iklimtropis yang dipengaruhi
oleh angin darat dengn curah hujan rata-rata 2.456mm pertahun dengan
suhu udara rata-rata 25° C.
Berdasarkan catatan tahun 2013, penduduk Pariaman berjumlah
79.073 dengan kepadatan 1077,88/km2 orang. Penduduk terbanyak terdapat
di Pariaman tengah dengan kepadatan 1.911,61/km2 orang sedangkan
penduduk yang paling sedikit terdapat di Pariaman bagian Timur dengan
angka 809,07 orang. Pariaman, dengan luas keseluruhannya 73,36 Km
6
jumlah penduduk 79,073 jiwa, merupakan kota yang tergolong kecil
dibanding kota Padang sebagai ibukota provinsi.7Sekalipun demikian
Pariaman memiliki jumlah penduduk yang hampir sama dengan kota-kota
lainnya di Sumatera Barat seperti Sawah Lunto, Solok, Payakumbuh.
Setelah didata, terlihat bahwa kepadatan penduduk Pariaman tidak
merata di setiap Kecamatannya.Misal Kecamatan Pariaman Tengah yang
wilayahnya paling kecil dibanding kecamatan lainnya yaitu kira-kira 15,68
Km2 akan tetapi kepadatan penduduk sangat tinggi mencapai 1.911,6 jiwa,
hal ini disebabkan lingkungan hidup di Kecamatan Pariaman Tengah
memiliki potensi yang paling tinggi. Kecamatan Pariaman Selatan dengan
luas 16,82 Km2 dengan penduduk 988,3jiwa kira-kira setengah dari
kepadatan penduduk Pariaman Tengah. Kecamatan Pariaman Timur dengan
luas wilayah 17,51 Km2 penduduk sebesar 809 jiwa dan Kecamatan
Pariaman Utara dengan luas 23,35 Km2 penduduk sebanyak 813,2 jiwa.8
Dilihat dari kepadatan penduduk berdasarkan jenis kelamin,
penduduk dengan jenis kelamin perempuan 50,86% sedangkan persentase
jenis kelamin laki 49,14%. Dapat disimpulkan jumlah penduduk
laki-laki di Kota Pariaman tidak begitu terlihat perbedaannya.Akan tetapi,di
Kecamatan Pariaman Tengah sangat berbeda jumlah penduduk laki-laki
lebih sedikit dari pada jumlah perempuan. Hal ini dikarenakan Kecamatan
Pariaman Tengah adalah sebagai pusat pemrintahan,maka dari itu jumlah
laki-laki lebih sedikit dibanding jumlah perempuan dan menetap di Kota
Pariaman.
7
Pariaman dalam Angka 2013, h. 3. 8
B. Kondisi Sosial-Budaya Masyarakat Muslim Pariaman
Masyarakat Minangkabau secara tradisional memiliki prinsip yang
mengatur hidup dan kehidupan bermasyarakat.Prinsip adat minangkabau itu
ialah Alam Takambang Jadi Guruyang berarti masyarakat Minangkabau
telah melibatkan alam sebagai bagian dari kehidupan mereka, mereka
belajar dari alamuntuk kemudian menjadikan sebagian inspirasi bagi prinsip
hidup dari kehidupannya.9
Sebagai sekelompok sub-etnis di Minagkabau, masyarakat Pariaman
mempunyai ciri khas tersendiri dibandingkan dengan masyarakat
Minangkabau lainnya. Hal tersebut terihat dari sistem sosial budaya
masyarakatnya bahwasanya masyarakat Pariaman disamping menganut
paham matrilineal juga memainkan paham patrilineal selain itu masyarakat
ini juga terkenal dengan uang jemputan (pembelian laki-laki dalam
pernikahan).10Paham matrilineal tergambar dari persukuan dan sistem
pewarisan harta pusaka. Dalam hal ini masyarakat Pariaman tidak berbeda
dengan masyarakat di daerah lainnya, yang mana dalam suatu kampung atau
nagari, setiap orang dibedakan atas dasar keturunannya. Untuk menentukan
garis keturunan tersebut setiap kelompok masyarakat memakai nama suku
atau marga yang berbeda-beda, untuk setiap suku mempunyai penghulu
yang disebut juga dengan penghulu suku.11 Penentuan suku tersebut berasal
dari garis keturunan ibu seperti apabila seorang ibu mewarisi suku pisang,
9
Pariaman dalam Angka 2010. (Pariaman : Badan Pusat Statistik, 2010), h. 5. 10
Elizabeth E. Graves. Asal Usul Elit Minangkabau Modern. (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007), h.12.
11
maka jika dia memiliki keturunan tanpa melihat jenis kelamin, maka
keturunannya tersebut juga akan mewarisi suku pisang.12
Begitpun dalam pewarisan pusaka yang diturunkan dari mamak
(paman) kepada ponakan perempuan. Di Minangkabau yang berhak
mendapatkan harta pusaka tinggi tersebut hanyalah perempuan, dikarenakan
perempuan dapat dipercaya bisa memegang atau menjaga harta pusaka yang
telah diturunkan secara turun temurun untuk diturunkan lagi pada pewaris
selanjutnya. Sedangkan laki-laki dipercaya bisa mencari nafkah sendiri.
Untuk penjelasan laki-laki babali atau uang jemputan yang sangat
terkenal khusus di daerah Pariaman, asal mula sejarahnya ialah pada masa
lampau terdapat salah seorang perempuan yang berstatus janda yang
menyukai seorang laki-laki yang masih bujangan. Perempuan ini
menginginkan untuk melaksanakan pernikahan yang sakral dengan pemuda
tersebut. Dikarenakan perempuan adalah seorang janda, maka pihak
keluarga laki-laki meminta harga atau nilai agar anaknya dapat menjadi
suami dari janda tersebut.13 Dengan berjalannya waktu maka hal tersebut
dijadikan sebuah tradisi bagi masyarakat di sana. Seorang perempuan masih
gadis jika ingin menikah dengan seorang laki-laki dari daerah Pariaman,
maka pihak perempuan harus memenuhi syarat yang diinginkan oleh pihak
laki-laki, baik itu dalam bentuk uang, benda dan lain-lain. Besar kecilnya
uang jemputan berdasarkan kepada status sosial calon yang diinginkan.14
12
Drs. Muslim Kasim, Ak. Strategi dan Potensi Padang Pariaman Dalam Rangka Pemberdayaan Masyrakat di Era Globalisasi. (Jakarta : Indomedia, 2004), h. 29.
13
Wawancara pribadi malalui handphon dengan ibu Yasmin salah seorang penduduk asli Pariaman , Jakarta, 8 Februari 2014 jam 14.00 WIB
14
Selain menganut sistem yang telah dipaparkan diatas, masyarakat
Pariaman juga menganut paham patrilineal. Jadi secara langsung masyarakat
tersebut menganut dua sistem secara bersamaan. Hal ini juga dapat dilihat
dari pemakaian gelar setelah dewasa yang diturunkan oleh ayah kepada anak
laki-laki. Macam-macam gelar tersebut ialah sidi yang berasal dari bangsa
Arab yang bernama Syekh Magribi yang menetap dan menikah di Nagari
Gasan Godang. Dalam sejaranya, untuk gelar sidi berasal dari bahasa arab
yaitu saidina yang berarti khalifah, maka di Minangkabau saidina tersebut
disingkat menjadi sidi. Sidi ini digolongkan kepada orang-orang yang ahli
dalam agama. Bagindo berasal dari keturunan raja yakni keturunan dari
bangsawan kerajaan Pagaruyuang yang menetap di Nagari Gaduah Koto
Tinggi. Bagindo menandakan asal mula dari Kerajaan Pagaruyuang.Gelar
sutan merupakan merupakan asal usul dari orang Luhak Nan Tigo Yang
terdiri dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Limo Puluh Koto.15
Dan yang terakhir untuk gelar marah yang berasal dari bahasa Aceh yakni
Maurah yang berarti raja kecil, akan tetapi di kalangan masyarakat Pariaman
sesorang yang bergelar marah berasal dari masyarakat kelas bawah,
dikarenakan dalam kehidupan sehari-harinya kebanyakan dari mereka
sebagai pekerja yang diperintah oleh atasannya.16
Pewarisan gelar dari ayah ke anak seperti yang telah dipaparkan di
atas, seperti bagindo, tidak harus menunggu anak laki-lakinya untuk
menikah dulu, karena jika seorang ayah bergelar bagindo, secara otomatis
15Suharti.Ritual Kefanatikan Aliran Syi’ah di Pariaman, Laporan Peneltian.
(Padang Panjang : Sekolah Tinggi Seni Indonesia, 2006), h.25. 16
anak laki-lakinya akan mewarisi gelar yang sama. Selanjutnya gelar tersebut
akan disatukan dengan namanya, misal waktu kecil Robby Afandi dan dia
keturunan dari bagindo, maka namanya akan menjadi Bagindo Robby
Afandi. Dengan penjelasan demikan dapat dikatakan bahwasanya
masyarakat Pariaman memakai sistem matrilineal dan patrilineal dalam
kehidupan bermasyarakat.17 Gelar-gelar yang di sebutkan di atas seperti sidi,
bagindo, sutan dan marah diyakini asal usul gelar tersebut berasal dari
kebudayaan Islam dari Timur Tengah yang dikenalkan oleh seorang ulama
yaitu Syekh Burhanudin yang memperkenalkan dan mengembangkan
tarekat syatariah di Pariaman.18
Dalam pelaksanakan perayaan tradisi 10 Muharram setiap tahunnya
dalam rangka memperingati kematian Husein bin Ali, keempat golongan
seperti bagindo,sidi,sutan dan marah terdapat perbedaan status sosial. Sidi
merupakan golongan yang sangat penting dalam menjalankan tradisi 10
Muharram, karena diyakini mereka yang pantas untuk meneruskan tradisi 10
Muharram tersebut dibanding golongan yang lain. Selain itu, golongan sidi
ini juga lebih banyak memberikan sumbangan untuk melaksanakan tradisi
10 Muharram. Sedangkan golongan bagindo merupakan golongan
penyumbang dana terbanyak setelah golongan sidi. Untuk golongan sutan
berfungsi sebagaikeamanan, dan yang terkhir golangan marah hanya sebagai
17
Suharti.“Ritual Kefanatikan Aliran Syi’ah di Pariaman” (Laporan Peneltian, Sekolah Tinggi Seni IndonesiaPadang Panjang, 2006), h.27.
18
tukang pembuatan tabuik dan pengusung tabuik dalam perayaan 10
Muharram.
Sosial budaya masyarakat muslim pariaman juga terlihat sampai
sekarang yakni dengan Islam lokal yang memiliki ciri khas tersendiri, dilihat
dari satu sisi munculnya Islam lokal sering disebut banyak orang sebagai
bentuk penyimpangan dari Islam murni. Di sepanjang sejarahnya, Pariaman
terkenal dengan ajaran Syatariah, ajarannya selalu dipengaruhi unsur dari
tradisi lokal, akibatnya ritual tarekat syatariah di suatu tempat berbeda
dengan di tempat-tempat lain. Hal ini juga yang membuat kecendrungan
tarekat syatariah di setiap daerah menjadi ciri khas tertentu,sehingga
menunjukkan adanya perkembangan. Ketika tarekat syatariah masuk ke
Sumatera Barat dibawa oleh Syekh Burhanuddin pada tahun 1646-1692,
beliau salah seorang murid dari ulama terkemuka di Aceh yaitu Syekh
Abdurrauf.19Maka dari itu muncul berbagai ritual-ritual yang sangat kental
dengan nuansa lokalnya diantaranya 10 Muharram yang telah di jelaskan
sebelumnya, dan kebudayaan Ritual basapa.
Basapa merupakan sebuah ritual dalam bentuk ziarah ke makam
Syekh Burhanuddin di Padang Sigalundi Ulakan Pariaman, seperti yang
sudah disinggung sebelumnya Syekh Burhanuddin dikenal sebagai penyebar
Islam pertama dan tokoh ulama dari tarekat Sytariah. Tradisi seperti ini juga
berkembang di wilayah nusantara seperti masyarakat Jawa melakukan
ziarah ke makam-makam wali.20Basapa semacam ini tidak hanya dilakukan
oleh penganut tarekat syatariah, juga didapati masyarakat muslim
19
Taufiq Abdullah. Islam dan Pembentukan Tradisi di Aasia Tenggara (Jakarta : LP3ES, 1988), h. 59.
20
umumnya.21 Ritual basapa merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
menghormati Syeh Burhanuddin atas jasa-jasanya sebagai penyebar islam
pada umumnya dan khususnya penyebab tarekat syatariah. Untuk setiap
tahunnya, ziarah ini dilakukan setiap hari rabu setelah tanggal 10 bulan
Safar. Ritual ini dikenal dengan basafar dikarenakan hari wafatnya Syekh
Burhanuddin yaitu pada bulan Safar, 10 Safar 1111H/1692 M.22
Menurut sejarahnya, ritual basapa mulai dilaksanakan penganut
tarekat syatariah sekitar tahun 1316 H. Akan tetapi, waktunya belum
ditentukan, setelah wafatnya Syekh Burhanuddin, dua orang pewaris
ajarannya yaitu Syekh Kepala Koto Pauh Kambar dan Syekh Tuanku
Katapiang Tujuah Koto di Kalampayan Amapalu bermusyawarah dengan
pengikut tarekat syatariah lainnya untuk menetapkan waktu ziarah bersama
ke makam Syekh Burhanuddin. Dalam pertemuan ziarah
tersebut,orang-orang juga dapat melakukan banyak hal yang bermanfaat secara
bersamaan.Diantaranya membicarakan keagamaan dikalangan penganut
tarekat syatariah. Akhirnya hasil pertemuan tersebut menghasilkan ziarah
ditetapkan setiap hari rabu setelah tanggal 10 Safar ke makam Syekh
Burhanuddin.23
Sejak setelah musyawarah tersebut basapa menjadi ritual rutin oleh
para penganut tarekat syatariah di Pariaman, karena bagi pengikut tarekat
syatariah basapa merupakan nilai agama yang tak terpisahkan dari ritual
21
Bukry Nazar. Tarekat Syatariyah d Padang Paraman : Tinjauan dari Segi Dakwah. (Laporan Penelitian,Pusat Penelitian IAIN Imam Bonjol Padang, 2000), h. 36.
22
M.Yafas, dkk.Perkembangan Tarekat Syatariah dan Pengaruhnya dalam Pengalaman Ajaran Islam di Kecamatan Lintau Buo (Laporan penelitian Padang IAIN Imam Bonjol, 1984), h. 57.
23
tarekat syatariah. Bagi sebagian pengikut tarekat syatariah yang fanatik,
mereka beranggapan basapa dijadikan ritual yang wajib, karena mereka
berkeyakinan bahwa ritual ke makam ini dapat menggantikan pahala naik
haji ke tanah suci Mekkah, meskipun hal ini telah ditentang sebagian ulama
tarekat syatariah lainnya.24Adapun ritual basapa diisi dengan kegiatan ziarah
dan berdoa di makam Syekh Burhanuddin, melaksanakan salat sunat
maupun salat wajib, dan yang terakhir berzikir. Menurut keterangan Buya
Rais Malim Basa, pelaksanaan kegiatan basapa diawali dengan
ceramah-ceramah tentang basapa, kemudian setelah maghrib dilanjutkan dengan
tahlil,zikir dan salawat dulang.25
Bagi para pengikut tarekat syatariah basapa merupakan medium bagi
tarekat mereka, sehingga tidak dapat dipisahkan dari ciri khas
keberagamaannya. Dalam perkembangannya basapa tidak hanya
dilaksanakan di makam Syekh Burhanuddin akan tetapi juga dilaksankan di
beberapa makam tokoh Syatariah yang berpengaruh besar semasa hidupnya
seperti di daerah Taluak, Lintau Buo melaksanakan basapa setiap tahunnya
ke mahkam Tuanku Kalumbuak merupakan salah seorang tokoh tarekat
Syatariah di wilayah Taluak.
C. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Muslim Pariaman
Kota pariaman sebagai wilayah administratif berusaha agar mampu
melaksanakan peningkatan pembangunan.Kekayaan sumber alam yang
dimiliki serta adat istiadat dan kebudayaan, diharapkan menjadi sumber
24
Oman, Faturrahman. Tarekat Syatariah di Minangkabau, h. 131. 25
daya yang menghasilkan pendapatan bagi masyarakat di daerah ini.
Kegigihan masyarakat Pariaman dalam mengoptimalakan sumber daya yang
ada sangat berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Perekonomian suatu daerah dibentuk dari nilai yang dihasilkan oleh
sektor-sektor ekonomi yang membangunnya. Adanya sektor ekonomi dapat
menunjukkan besar kecilnya hasil pendapatan. Untuk setiap tahunnya
pergeseran-pergeseran nilai antara sektor ekonomi tersebut dapat saja
terjadi. Dalam perekonomian kota Pariaman tahun 2013 dengan luas 73,36
Km2, jenis mata pencaharian yang menonjol ialah pertanian 36%.Pada
sector pertanian ini kontribusi tanaman pangan merupakan hasil terbanyak
sebesar 13,92%. Masyarakat Pariaman memiliki lahan pertanian yang sangat
luas.Tercatat lahan sawah seluas 24.269 hektar pada tahun 2013. Dengan
lahan sawah yang seluas itu Pariaman dapat menghasilkan padi sebanyak
255.208.85 ton pada tahun 2013.Selain menghasilkan padi, produksi
tanaman palawija, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang kedelai juga hasil
pertanian yang sangat membantu perekonomian masyarakat Pariaman.26
Sumber pencaharian yang menonjol lainnya adalah dibidang
perikanan atau nelayan. Hal ini dikarenakan daerah ini berada sepanjang
pesisir pantai Barat Sumatera Barat. Misal pada tahun 1992 perikanan laut
mengalami produktivitas mencapai 8.907,80 ton, selain berada di pesisir
pantai, faktor lain yaitu dikarenakan banyaknya masyarakat yang bermukim
26
di pinggir pantai.27 Hasil dari penangkapan ikan, langsung di jual oleh para
nelayan di tempat penangkapan atau di pasarkan di kota Pariaman.28
Dari segi aspek perekonomian nonpertanian yang sangat menunjang
perekonomian masyarakat yaitu perdagangan. Perdagangan hampir
semuanya berada di pusat kota baik itu pedagang eceran maupun grosir.
Pusat kota sebagai kawasan perdagangan mendistribusikan hasil pertanian,
pertenakan, dan hasil laut. Semua ini dilaksanakan di pusat kota Pariaman.
Selain dari hasil aspek pertanian, perdagangan, perikanan, yang telah
dijelaskan di atas, Pariaman sebagai kota pariwisata menjadikan
pantai-pantai sebgai tempat pariwisata juga sangat menunjang perekonomian
penduduk sekitar. Selain banyaknya terdapat tempat rekreasi, pariwisata
yang sangat sangat menonjol dan memberikan nilai ekonomi yang sangat
tinggi yaitu perayaan 10 Muharram. Perayaan ini sangat di tunggu-tunggu
bagi pedagang kecil, pengusaha swasta, masyarakat lainnya. Dikarenakan
perayaan 10 Muharram ini mengakibatkan banyaknya pengunjung selama
10 hari dan diperkirakan lebih dari tiga juta orang yang menyaksikan
perayaan ini, dengan ini perayaan 10 Muharram terlihat sangat berperan
menunjang pemasukan pendapatan daerah melalui biaya perbelanjaannya,
dari transportasi yang di gunakan pengunjung dan lain sebagainya.29Di lihat
dengan adanya perayaan 10 Muharram tersebut sangat membantu sistem
kehidupan sosial ekonomi masyarakat muslim Pariaman.
27
Indikator Ekonomi kota Pariaman 1992 (Pariaman : Badan Perencana Daerah Kota Pariaman dengan Badan Pusat Statistik Kota Pariaman. 1992), h. 7.
28
Indikator Ekonomi kota Pariaman 2012 No.Ktalog 921001. 13.77 (Pariaman : Badan Perencana Daerah Kota Pariaman dengan Badan Pusat Statistik Kota Pariaman. 2013), h. 5.
29
Penunjang sosial ekonomi yang sangat berperan dalam
meningkatkan perekonomian masyarakat muslim Pariaman terdiri dari
beberapa sarana dalam perdagangan seperti adanya pasar, terminal, sekolah
dasar, sekolah menengah perguruan tinggi. Sedangkan prasarana dari segi
kesehatan tercatat adanya rumah sakit umum, puskesmas, posyandu dan
apotik.Pertumbuhan ekonomi yang terjadi untuk setiap tahunnya tidak
terlepas dari perkembangan setiap sektor yang ikut membantu nilai tambah
BAB III
TRADISI 10 MUHARRAM DI PARIAMAN
A. Asal Usul Tradisi 10 Muharram
Tradisi 10 Muharram merupakan upacara tradisional yang
bernafaskan islam. Sebagaimana telah dipaparkan pada bab sebelumnya
tradisi 10 Muharram pada dasarnya merupakan wujud rasa berduka cita dari
kalangan Syi’ah yang berasal dari Benggala India atas syahidnya Husain bin
Ali bin Thalib di Padang Karbala pada tahun 61 Hijriah.1 Tradisi 10
Muharram di Indonesia diselenggarakan dibeberapa daerah seperti
Pariaman, Bengkulu, Aceh, Gresik dan Bayuwangi.2
Dalam sejarah islam, sepeninggalan Nabi Muhammad SAW terdapat
empat orang yang diberikan kepercayaan untuk menggantikan
kepemimpinan Nabi Muhammad yaitu Abu Bakar, Umar bin Khatab,
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.3 Empat orang ini juga disebut
sebagai sahabat Nabi Muhammad.4 Setelah Rasulullah wafat perselisihan
mulai muncul dibidang kepemimpinan, sekelompok kaum Anshar5 merasa
memiliki hak penuh untuk mengambil alih sepeninggalan kepemimpinan
nabi dari pada kaum Muhajirin6. Pada dasarnya pemerintahan itu sangat
1
Harapandi Dahri. Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu. (Jakarta : Penerbit Citra, 2009), h. 79.
2 Aqar Furuqi, “Imam Husain dan Air di Karbala :
.Syi’ah Husain Simbol
Perlawanan, ’’ (Muharram 2010), h. 109.
3
Dr.Badri, yatim, M.A. Sejarah Kebudayaan Islam .cet ke-22 (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 35.
4
Sahabat berasal dari kata shahabah yang berarti mereka yang mengenal dan melihat langsung Nabi Muhammad SAW, membantu perjuangannya dan meninggal dalam keadaan muslim. Berdasarkan pengertian diats sahabat yakni orang yang berjumpa dengan beliau dalam keadaan muslim, meninggal dalam keadaan islam, Lihat Amini. Kedudukan para sahabat dalam islam. (Jakarta : cendikia, 2008), h. 109.
5
Anshar merupakan penduduk asli kelahiran kota Madinah. 6
penting karena sangat menentukan masa depan Islam untuk kedepannya.
Maka dipertemukan kedua kelompok tersebut untuk dimusyawarakan siapa
yang berhak akan menggantikan Rasulullah dalam memimpin umat Islam,
hasil dari musyawarah tersebut, diangkatnya Abu Bakar sebagai khalifah
dengan alasan yaitu semasa Rasulullah masih hidup, beliau sering kali
menyerahkan urusan agama kepada Abu Bakar seperti menunjuk Abu Bakar
menjadi Imam shalat di waktu Rasulullah sakit. Abu bakar tercatat sebagai
orang kedua yang sangat berjasa terhadap Islam dan kaum muslim setelah
Nabi Muhammad, beliau berhasil mengembalikan kembali persatuan jazirah
Arab membela agama Islam.7Selanjutnya pemerintahan dilanjutkan oleh
Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin abi Thalib. Dan pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib yang berlangsung selama enam tahun
banyak menghadapi permasalahan yang berasal dari tiga kelompok yakni
kelompok Aisyah binti Abu Bakar, kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan
dan kelompok Khawarij.8 Pemicu dari perrmasalahan yaitu dikarenakan Ali
tidak menghukum para pembunuh Usman, Usman dibunuh oleh para
pemberontok dikarenakan tidak puasnya dengan pemerintahannya, salah
satunya yaitu Usman mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi
sedangkan Usman hanya menyandang gelar sebagai khalifah.
Atas kejadian tersebut kelompok ini melakukan beberapa
perlawanan terhadap Ali, diantaranya Perang Jamal yang dimenangkan oleh
Ali. Adapun perlawanan dilakukan kelompok Muawwiyah dikenal dengan
Perang Siffin. Perlawanan yang terakhir yaitu dari kelompok Khawarij yang
7
DR. Abdul Muneim Al-Nemr. Sejarah dan Dokumen-Dokumen Syi’ah (Jakarta : Yayasan Alumni Timur Tengah, 2002), h. 1-2.
8
mengakibatkan tewasnya Ali ditangan salah seorang yang bernama
Abdurrahman bin Muljam.9
Seteah terbunuhnya Ali oleh kelompok Khawarij, pasukan
Muawwiyah bin Abi Sofyan menyatakan dirinya sebagai khalifah. Khalifah
adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan dan
kekuasaan serta dalam menerapkan hokum-hukum syara’. Atau khalifah
bisa disebut seseorang yang diangkat oleh kaum muslim, sebagai wakil
umat islam dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan diwakilkan kepada
seseorang untuk mengurus secara keseluruhan dengan menerapkan hukum
syara’.10
Akan tetapi pengikut Ali tidak menyetujui pengakuan dari
kepemimpinan Muawwiyah tersebut. Pengikut Ali atau disebut juga dengan
golongan Syi’ah tetap menginginkan khalifah jatuh kepada keturan Ali yaitu
Hasan. Kelompok Syi’ah ini berpendapat bahwa orang yang paling berhak
menjabat sebagai khalifah tertinggi dalam dunia Islam hanya Ali beserta
keturunannya. Ini dikarenakan bahwa Ali berasal dari suku Quraisy yang
sama dengan Nabi Muhammad SAW.11 Karena alasan tersebut pengikut Ali
mengangkat Hasan bin Ali menggantikan ayahnya sebagai khalifah.
Pengangkatan Hasan tersebut sangat ditentang oleh golongan Bani
Muawwiyah yakni dibawah pimpinan Muawwiyah bin Abi Sufyan yang
diteruskan oleh anaknya yang bernama Yazid bin Muawwiyah. Tidak lama
kepemimpinan dipegang Hasan, Hasan meninggal dikarenakan diracuni oleh
9
Akbar, Ghifari. Menguak Asyura. (Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 11-16. Dan Lihat juga Harapandi Dahri. Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu. (Jakarta : Penerbit Citra, 2009), h. 80.
10
Di unduh pada tanggal 29 januari 2014 pada http://www.mykhalifah.com
11
sesorang penghianat yang berasal dari pengikut Yazid bin Muawwiyah.
Kematian Hasan ini membangkitkan Husain bin Ali saudara kandung dari
Hassan bin Ali untuk menuntut balas dalam mengembalikan kehormatan
keluarganya dengan membentuk pasukan yang berpusat di Kufah untuk
merebut kekuasaan yang direbut oleh Yazid bin Muawwiyah.12
Husain bin Ali bersama dengan pasukannya menuju Damaskus, pada
pertengahan jalan, terdapat lapangan yang luas yang dikenal dengan Padang
Karbala, disini terjadi perperangan antara pasukan Yazin dengan pasukan
Husain bin Ali selama 10 hari, yang dimulai pada tanggal 1 sampai dengan
tanggal 10 Muharam pada tahun 61 Hijriah. Dalam perperangan pasukan
Husain yang berjumlah sedikit dibanding pasukan Yazid membuat para
pasukan Husain satu persatu gugur, dan diakhiri gugurnya Husain bin Ali
sebagai pemimpin. Syahidnya Husein ini sangat tragis dengan kepala
terpisah dari badan dan bagian tubuh lainnya.
Peristiwa syahidnya Husain bin Ali ini yang menjadikan kalangan
Syi’ah memperingati sebagai hari yang bersejarah untuk setiap tanggal 1
sampai 10 Muharram. Peringatan hari meninggalnya Husain bin Ali ini
tidak hanya di negara Iran, India Selatan tetapi juga diperingati bangsa
Indonesia, tepatnya kota Pariaman, Bengkulu, Padang Panjang, akan tetapi
sampai sekarang maish tetap bertahan yaitu di daerah Pariaman dan
Bengkulu. Tradisi 10 Muharram sampai ke pulau Sumatera dibawa oleh
orang-orang Syi’ah yakni kaum Cipei dari Madras Benggali India Selatan.
Kaum Cipei yang mengunjungi Bengkulu selama bertahun-tahun yang pada
12
awalnya sebagai pedagang, kemudian sebagai tentara yang dikirim ke
Bengkulu untuk mempertahankan jajahan Inggris di Sumatera Barat tahun
1825M di bawah kepemimpinan Thomas Stamfor Rafles.13
Dengan berjalannya waktu, kaum ini membaur dengan masyrakat
sekitar dan sedikit demi sedikit pandangan hidup mereka juga harus
menyesuaikan dengan masyarakat Melayu. Hal tersebut bisa terlihat dari
sistem religi maupun adat istiadatnya. Suku Melayu berasal dari suku
bangsa Rejang Sabah yaitu penduduk dari kerajaan Sungai Serut, suku ini
menyatu dengan masyarakat Minangkabau yang datang ke Bengkulu semasa
kerajaan Sungai Lemau. Menurut tambo Bengkulu, kedatangan orang
Minangkabau ke Bengkulu dipimpin oleh Datuak Bagindo Maha Raja Sakti
yang kemudian menikahi Putri Gading Cempaka ratu pertama dari kerajaan
Sungai Lemau.14
Orang-orang India yang dibawa Inggris ke Bengkulu didominasi
berasal dari Benggali yang menganut paham Syi’ah. Dikarenakan sesama
Islam bangsa India ini mudah menytukan diri dengan masyarakat
sekitarnya.15Masyarakat pendatang dari Bengali ini sampai sekarang
terkenal dengan sebutan kaum Cipei. Awal mula tradisi 10 Muharram ini
mulai dikenal masyrakat Bengkulu yaitu sejak pembangunan Benteng
13
Menurut sejarah diketahui pada tahun 1825 M Inggris dengan Belanda mengadakan perjanjian penyerahan kekuasaan atas negara-negara jajahannya, perjanjian tersebut dikenal dengan Traktat London. Traktat London berisikan perjanjian menyerahkan Indonesia kepada pihak Belanda dan selanjutnya Inggris menduduki Singapura. Lihat Azyumardi Azra. Islam reformis : Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta : Rajawali Press, 1999) dan Miko, Siregar. Tabuik Piaman, Kajian Antropolis Terhadap Mitos dan Ritual. (Jakarta Tesis dalam memenuhi tugas ahir Magister Antropologi, 1996), h. 91.
14
Harapandi, Dahri. Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu. (Jakarta : Citra, 2009), h. 56-58.
15
Marlborough16 di Bengkulu yang dikerjakan oleh orang-orang Cipei.
Mereka menyebar ke Utara yaitu daerah jajahan Inggris lainnya yaitu di
Pariaman dan Padang.17 Meskipun 10 Muharram berasal dari kaum Syi’ah
dan dianggap sebagai upacra suci bagi kaum Syi’ah, akan tetapi bagi
masyarakat Pariaman, perayaan tradisi 10 Muharram merupakan untuk
memperingati kematian Husain bin Ali yang berarti masyrakat Pariaman
tersebut bukan penganut Syi’ah, ini juga didukung dari hasil penelitian
Suharti dinyatakan tidak ditemukan secara institusi masyrakat Syi’ah di
Pariaman.18Masyrakat Pariaman sama dengan masyrakat Minangkabau
lainnya mengikuti aliran Sunni sebagaimana yang dianut sebagian besar
masyrakat Indonesia.
Mengenai masuknya tradisi 10 Muharram ini ke Pariaman terdapat
beberapa pendapat, salah satunya menurut tokoh-tokoh masyrakat Pariaman,
tradisi 10 Muharram sampai ke daerah mereka berasal dari Bengkulu yang
dibawa oleh orang-orang Cipei yakni Mak Tauna dan Mak Labuah.19
Sedangkan menurut Azyumardi Azra perayaan tradisi 10 Muharram masuk
16
Benteng Malborough secara umum meiliki bentuk segi empat, yang memiliki bastion di keempat sudutnya. Pintu masuk benteng berada di sisi barat daya yang berupa bangunan yang terpisah berbentuk segi tiga. Benteng Malborough dikelilingi oleh parit, parit tersebut memisahkan bangunan tua dengan bagunan depan, kedua bangunan tersebut dihubungkan oleh sebuah jembatan. Pada bangunan depan terdapat terdapat pintu masuk yang berbentuk lengkungan yang hanya berupa lorong yang menuju ke jembatan penghubung antara bangunan depan dengan banguanan tua. Disekitar dinding lorong terdapat empat nisan, yang dua nisannya berasal dari masa Benteng York dan duanya lagi berasala dari masa Benteng Marlborough terdapat nama George Shaw 1704, Richard Watts Esq 1705, James Cune 1773 dan Henry Stirling 1774. Pada bagian belakang Benteng ibni terdapat makam dengan nisan yang terbuat dari batu akan tetapi sudah tidak dapat terbaca lagi. Lihat Harapandi, Dahri. Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu. (Jakarta : Citra, 2009), h. 71-72.
17
Tom Ibnur. Seni Pertunjukan. (Jakarta :PT. Widyadara, 2002), h. 26.
18
A.A. Navis. Alam Takambang Jadi Guru Adat dan Kebudayaan Minangkabau (Jakarta