• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1.Kondisi Geografis dan Administrasi 4.1.Kondisi Geografis dan Administrasi 4.1.Kondisi Geografis dan Administrasi

4.4. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya 1. Kependudukan

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bintan, pada tahun 2009 jumlah penduduk Kabupaten Bintan tercatat sebanyak 127.404 jiwa, dengan rincian 66.466 jiwa laki-laki dan 60.938 jiwa perempuan. Kepadatan penduduk Kabupaten Bintan adalah 64 jiwa/km² dengan pertumbuhan sebesar 2,63% per tahun. Sementara itu jumlah penduduk di Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir adalah 18.339 jiwa yang terdiri dari laki-laki 9.797 jiwa dan perempuan 8.533 jiwa. Jumlah rumah tangga sebanyak 4.417 kepala keluarga (KK) dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4 jiwa.

4.4.2. Mata Pencaharian Penduduk

Ditinjau dari mata pencaharian penduduk Kabupatan Bintan hingga saat ini masih didominasi oleh sektor pertanian secara umum (pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan). Jumlah penduduk yang bergerak di sektor pertanian ini mencapai 29,10%, kemudian disusul oleh sektor industri 17,51%, sektor jasa 16,90%, perdagangan 12,93%, konstruksi 8,28%, angkutan dan komunikasi 8,18% dan sisanya bergerak di sektor pertambangan dan keuangan (BPS Kabupaten Bintan, 2009).

Sektor perikanan merupakan mata pencaharian dominan bagi penduduk yang bermukim di daerah pesisir Kabupaten Bintan. Khusus di Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir yang menjadi lokasi penelitian

mata pencaharian sebagai nelayan merupakan pekerjaan utama bagi sebagian besar penduduk. Di Kecamatan Bintan Pesisir lebih dari 20% (Desa Kelong, Mapur dan Air Glubi) penduduknya berprofesi sebagai nelayan tangkap, sedangkan di Kecamatan Gunung Kijang terutama di Desa Malang Rapat 40,96% dan Desa Gunung Kijang sekitar 20,03%.

Pendapatan nelayan di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir sangat dipengaruhi oleh musim angin, yaitu musim angin utara (gelombang kuat: bulan Desember, Januari dan Februari), musim angin timur (gelombang lemah: bulan Maret, April dan Mei) dan musim angin selatan dan barat (musim pancaroba: bulan Juni, Juli, Agustus, September, Oktober dan Nopember). Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui pendapatan rata-rata responden sebulan sekitar Rp. 1.143.953,- atau sebesar Rp. 285.988,-/kapita/bulan. Adapun statistik pendapatan responden berdasarkan musim disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Statistik pendapatan rumah tangga responden dari kegiatan kenelayanan menurut musim di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan Kepulauan Riau

Kelompok Pendapatan

Musim

Ombak Kuat Pancaroba Ombak Tenang

Rata-rata 762.885 1.031.629 1.928.833

Median 500.000 750.000 1.500.000

Minimum 160.000 180.000 400.000

Maksimum 6.000.000 5.200.000 5.500.000

N 90 90 90

Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa rata-rata pendapatan nelayan tertinggi terjadi pada musim ombak tenang dan terendah pada musim ombak kuat. Pada musim ombak tenang nelayan dapat melaut setiap hari dengan menggunakan semua jenis alat tangkap yang dimiliki. Sebaliknya pada musim ombak kuat umumnya nelayan tidak dapat melaut. Kegiatan melaut hanya dilakukan oleh nelayan yang memiliki perahu motor dengan kapasitas mesin yang cukup besar.

Pendapatan rumah tangga nelayan pada umumnya masih tergolong rendah. Gambar 6 memperlihatkan distribusi rumah tangga menurut kelompok pendapatan dan musim.

85,9 73 21,1 60 10,313,5 47,8 23,9 2,5 7,9 17,8 9,4 1,3 5,6 13,3 6,7 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 % R u m a h T a n g g a ≤1.000.000 > 1.000.000-2.000.000 > 2.000.000-3.000.000 > 3.000.000

Ombak Kuat Pancaroba Ombak tenang Rata-rata

Gambar 6. Distribusi persentase rumah tangga responden menurut kelompok pendapatan dan musim di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan

Dari Gambar 6 terlihat bahwa terjadi perbedaan pendapatan yang sangat menonjol antara tiga musim angin. Pada musim angin kuat, sebagian besar (85,9%) rumah tangga nelayan berada pada kategori pendapatan terbawah (< Rp. 1.000.000,). Kondisi ini mengindikasikan bahwa musim angin kencang dan laut berombak besar merupakan masa sulit bagi nelayan. Sebaliknya pada musim ombak tenang terjadi peningkatan pendapatan sebagian besar rumah tangga nelayan (47,8%), yaitu dengan pendapatan > Rp.1.000.000 – Rp. 2.000.000,-. Selanjutnya juga terlihat bahwa ada sekitar 60% rumah tangga nelayan responden mempunyai pendapatan rata-rata < Rp 1.000.000,-. Adapun angka garis kemiskinan di Kabupaten Bintan pada tahun 2010 adalah sebesar Rp. 274.271,-/kapita/bulan. Menurut BPS Kabupaten Bintan (2009) jumlah anggota rumah tangga rata-rata empat orang, maka pendapatan rumah tangga kategori miskin adalah sebesar Rp. 1.099.084,-. Dengan demikian sebagian besar nelayan di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir tergolong nelayan miskin.

4.4.3. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Bintan secara umum tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari persentase jumlah penduduk yang tidak pernah

sekolah dan atau yang tidak atau hanya tamat SD sederajat. Adapun persentase jumlah penduduk Kabupaten Bintan menurut pendidikan tertinggi ditamatkan disajikan pada Tabel 13.

Tabel. 13. Persentase jumlah penduduk Kabupaten Bintan menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan tahun 2008

No Tingkat Pendidikan

Jenis Kelamin

Rata-rata Laki-laki Perempuan

...%... 1 Tidak/belum pernah sekolah 5,89 9,02 7,46 2 Tidak/belum tamat SD/MI 27,49 25,06 26,27

3 SD/MI/ sederajat 22,15 22,36 22,26 4 SLTP/MTs/sederajat 17,54 19,71 18,62 5 SMU/MA/sederajat 21,03 18,60 19,82 6 Akademi/Diploma 2,14 2,89 2,52 7 Universitas 3,76 2,36 3,05 Jumlah 100,00 100,00 100,00

Sumber : BPS Kabupaten Bintan, 2009

Dari Tabel 13 terlihat bahwa jumlah penduduk Kabupaten Bintan yang tidak pernah sekolah hingga tamat SD/MI/sederajat mencapai 55,99%. Jumlah penduduk yang berpendidikan SLTP dan SLTA sekitar 38,44% dan hanya 5,57% yang berpendidikan tinggi.

Dari hasil wawancara terhadap terhadap 90 orang responden di wilayah studi terungkap bahwa 44,4% responden tidak tamat SD, 40% tamat SD, 11,1% tamat SLTP dan 4,4% tamat SLTA. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk di Kabupaten Bintan ini, khususnya penduduk Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir akan berpengaruh terhadap pengetahuan dan kedasaran mereka dalam menjaga lingkungan termasuk menjaga keutuhan ekosistem terumbu karang. Hal ini akan menjadi kendala dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur. Faktor sosial ekonomi merupakan penyebab utama rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Selain itu, faktor geografis dan transportasi juga menjadi penghambat aksesibilitas untuk menjangkau sarana pendidikan yang memadai, terutama bagi penduduk yang berdomisili di luar pulau Bintan.

Walaupun tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah, namun pengetahuan lingkungan mereka cukup baik terutama tentang keberadaan terumbu karang. Dari 90 orang responden yang diwawancarai 89 orang (98,6%) setuju adanya daerah perlindungan laut untuk melindungi terumbu karang dan biota laut yang hidup di dalamnya. Disamping itu 77 orang responden (85%) mengatakan bahwa keberadaan terumbu karang sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan mereka. Dari hasil wawancara juga terungkap bahwa sikap masyarakat bila mengetahui ada orang yang mengambil atau merusak terumbu karang mereka akan melarang (58 orang responden atau 64,4%), 19 orang responden (21,1%) akan melapor ke Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) dan 8 orang (8,9%) akan melapor ke Kepala Desa.

Pengetahuan masyarakat tentang arti penting ekosistem terumbu karang ini tidak terlepas dari adanya Program Coremap II di wilayah studi. Program Coremap II ini telah dimulai sejak tahun 2004 dan berakhir pada tahun 2010. LIPI (2009) melaporkan bahwa pengetahuan dan partisipasi masyarakat di daerah studi tentang kegiatan Coremap menunjukkan adanya peningkatan terutama pengetahuan terkait dengan penyelamatan sumberdaya laut. Pada tahun 2007 hanya ada sebanyak 49% responden yang mengetahui bahwa program Coremap untuk menyelamatkan sumberdaya laut, sedangkan pada tahun 2009 sudah diketahui oleh sebanyak 81,8%. Peningkatan persentase responden yang mengetahui implementasi Coremap dalam upaya penyelamatan terumbu karang juga diikuti pengetahuan tentang berbagai manfaat dari kegiatan Coremap antara lain peningkatan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya pelestarian terumbu karang, dan pentingnya kegiatan perlindungan, pengawasan pesisir dan laut.

4.4.4. Sosial Budaya

Struktur sosial budaya masyarakat Kabupaten Bintan merupakan hasil perjalanan sejarah sejak Kerajaan Melayu hingga masa setelah kemerdekaan. Saat ini penduduk yang mendiami Kabupaten Bintan terdiri dari berbagai latar belakang suku, kebudayaan, dan strata sosial yang berbeda.

Wilayah Kabupaten Bintan sebagian besar adalah wilayah laut, oleh karena itu sebagian besar penduduk di wilayah Kabupaten Bintan bermata pencaharian sebagai nelayan. Masyarakat di Kabupaten Bintan didominasi oleh suku Melayu yang masih kental dalam menjalankan adat istiadatnya sehari-hari dengan memegang teguh ajaran agama Islam. Selain itu, etnis keturunan Cina, Jawa, Batak, Minang, Bugis, Banjar dan suku lainnya juga banyak mendiami Kabupaten Bintan.

Kabupaten Bintan juga memiliki nilai sejarah, seni dan budaya, seperti di Desa Kawal terdapat Situs Pra Sejarah yang dikenal dengan sebutan “Bukit Kerang”. Situs ini merupakan gundukan tinggi pecahan cangkang karang. Hal ini diyakini merupakan sisa-sisa kehidupan purba dan sekarang masih dalam tahap penelitian.

4.4.5. Potensi Konflik Pemanfaatan Sumberdaya

Dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir tidak jarang terjadi konflik antar

stakeholders. Sumberdaya wilayah pesisir dan laut merupakan sumberdaya yang bersifat open access dan common property, sehingga setiap orang atau

stakeholders berhak memanfaatkannya dengan tujuan memperoleh nilai atau keuntungan ekonomi (Tarigan, 2008). Berdasarkan hasil kajian LIPI (2009) bahwa terdapat potensi konflik pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di Kecamatan Gunung Kijang Bintan terutama di Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang. Potensi konflik tersebut antara lain bersumber dari pembuangan limbah tailing penggalian pasir darat yang marak dilakukan sebelum tahun 2006. Saat ini kegiatan penambangan pasir tersebut sudah berhenti, namun dampaknya masih terasa ditandai dengan terjadinya kekeruhan dan warna air laut yang belum kembali jernih seperti semula. Kondisi ini meyebabkan nelayan mengalami kesulitan untuk mendapatkan ikan dan ketam di wilayah sekitar pantai, sehingga berpengaruh terhadap hasil tangkapan.

Potensi konflik pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang lain adalah pengembangan pariwisata pantai dan bahari. Berdasarkan hasil kajian LIPI dan PPSPL UMRAH (2010) terungkap bahwa kehadiran perusahaan pariwisata di

sepanjang Pantai Trikora dan kawasan wisata di Kecamatan Teluk Sebong oleh masyarakat terutama nelayan kerap dianggap penyebab menurunnya hasil tangkap ikan. Masyarakat berpendapat bahwa kegiatan wisata seperti lalu lalangnya kapal speed, permainan banana boat, jetsky dan sebagainya menyebabkan perairan menjadi keruh sehingga ikan-ikan menjadi terganggu, lalu pergi meninggalkan daerah penangkapan. Masyarakat Desa Sebong Lagoi mengeluhkan kegiatan penimbunan dan pembangunan insfrastruktur yang dilakukan perusahaan wisata di Kawasan Resor Wisata, Lagoi Bay, menimbulkan kekeruhan perairan pantai sehingga nelayan yang biasa beroperasi di tepi pantai tidak dapat melakukan aktivitas penangkapan ikan seperti biasanya. Namun demikian potensi konflik ini yang terdapat saat ini tergolong sedang, tetapi perlu dicarikan solusi yang terbaik