• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lahan Pasca Tambang Batubara

2.1.3. Kondisi Vegetasi

Deposit batubara di Pulau Kalimantan pada umumnya terdapat dalam kawasan hutan. Hasil riset Tropical Forest Research Center (TFRC) Universitas Mulawarman dengan JICA tahun 1999, menunjukan hutan di Indonesia termasuk kategori hutan hujan tropis. Melakukan aktifitas eksploitasi batubara didalam kawasan hutan hujan tropis sudah pasti membabat hutan tersebut. Menurut Ogawa

et al.(2000) aktifitas menghilangkan hutan hujan tropis sampai keakar-akarnya,

merupakan kegiatan yang mendatangkan masalah serius, karena hutan tersebut mempunyai fungsi menjaga kesuburan tanah, mengatur tata air dan menjadi tempat tinggal fauna dan flora serta mengatur siklus iklim setempat. Apabila

ditebang habis sampai keakar-akarnya, maka keaneragaman hayati (biodiversity)

sebagai sumber plasma nuftah akan hilang. Kondisi hutan seperti yang diuraikan diatas, apabila terjadi hujan terus menerus di daerah hulu, maka didaerah hilir akan terjadi banjir besar. Tidak sedikit peristiwa seperti tersebut akan dapat mendatangkan bencana dan korban jiwa. Hal ini karena vegetasi sebagai penutup tanah dan penahan air hujan agar air dapat meresap ketanah secara perlahan-lahan sudah tidak terdapat di hulu kawasan tersebut.

Dalam ekosistem alam vegetasi termasuk komponen biotik yang mempunyai fungsi antara lain sebagai pelindung permukaan tanah dari daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, dan dapat menahan derasnya aliran permukaan (Barrow,1991).Vegetasi juga dapat berfungsi untuk memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah. Vegetasi dapat juga mengubah sifat fisik tanah melalui aktifitas biologi yang dilakukan bakteri, jamur /cendawan, insekta dan cacing tanah yang dapat memperbaiki porositas dan kemantapan agregat tanah (Adisoemato.1994).

Hasil penelitian Qomariah (2003) menyimpulkan bahwa, kondisi tanah /lahan setelah penambangan batubara secara terbuka yang tidak diikuti dengan perlakuan rehabilitasi lahan sampai dengan tahun ke sepuluh menunjukan hampir tidak ada tanda-tanda vegetasi dapat tumbuh. Dilokasi dimana terdapat lahan bekas tambang secara terbuka dengan tidak ada perlakuan reklamasi lahan jenis- jenis tumbuhan akan sulit hidup. Penelitian yang dilakukan Lorenzo et al,. (1996) ditiga lokasi lahan pasca tambang yang berada di Pocos de Caldas, Spanyol setelah ditinggalkan 50 tahun vegetasi baru tumbuh dengan ketinggian 0,59 meter dengan jumlah spesies 30, didalam area 45,37 m2 terdapat 32 pohon, sehingga rata-rata tiap m2 hanya 0,3 pohon (tidak terdapat satu pohon ). Dalam proses rehabilitasi lahan unsur vegetasi sangat diperlukan, karena selain fungsinya mengamankan permukaan tanah dari erosi juga berfungsi sebagai sumber unsur hara.

2.2. Reklamasi Lahan

Reklamasi lahan pasca tambang di Negara-negara maju diatur dalam Undang-Undang. Pelaksanaannya dikontrol sangat ketat oleh warga negara / masyarakat dan pemerintah daerah. Sebagai contoh, yang dilakukan di negara bagian Illinois USA. Pemerintah atas nama negara mengamankan sumberdaya lahan agar tidak rusak pada aktifitas eksploitasi tambang batubara terbuka. Supervisi reklamasi lahan dilakukan oleh pemerintah daerah yang didukung dengan Undang-Undang tentang perlindungan sumberdaya lahan dengan perangkat aturan pelaksanaannya (Arnold.2001).

Reklamasi lahan dampak negatif dari aktifitas tambang terbuka menurut

Sitorus (2003) adalah alat strategis untuk memperbaiki kerusakan akibat penambangan permukaan dengan mengembalikan sisa hasil penambangan kedalam lubang-lubang tambang, dan menanam kembali vegetasi dengan

memperhatikan sisa galian (tailing) yang mengandung bahan beracun.

Pada lahan pasca tambang batubara, reklamasi lahan adalah usaha / upaya menciptakan agar permukaan tanah dapat stabil, dapat menopang sendiri secara keberlanjutan (self-sustaining) dan dapat digunakan untuk berproduksi, dimulai dari hubungan antara tanah dan vegetasi, sebagai titik awal membangun ekosistem baru (Val dan Gil, 1996). Reklamasi lahan pasca tambang batubara yang dikaitkan

dengan vegetasi pada dasarnya adalah untuk mengatasi berlanjutnya kerusakan lahan dan menciptakan proses pembentukan unsur hara melalui pelapukan serasah daun yang jatuh. Aktifitas tersebut diharapkan dapat secara berkelanjutan dan dapat membentuk ekosistem baru.

Menurut Grant (1998) terdapat empat langkah / prosedur untuk

melakukan rehabilitasi. Pertama, berusaha mengetahui/mengumpulkan data atau dokumen ekologi sebelum ekosistem rusak. Kedua, identifikasi kenapa ekosistem rusak. Ketiga melakukan identifikasi atau mengenali faktor-faktor yang paling dominan terhadap kerusakan ekosistem. Keempat, memonitor terhadap perkembangan / pertumbuhan rehabilitasi. Terkait dengan reklamasi lahan pasca tambang batubara terbuka menurut Grant (1998) yang perlu diperhatikan pada waktu aktifitas reklamasi dilakukan adalah merancang bentuk lereng / kemiringan tanah sesuai dengan tujuan untuk apa reklamasi dilakukan. Tabel Grant (1998) adalah tabel kemiringan dengan panjang antara dua titik awal dan akhir kemiringan lereng (back-slope) yang dikaitkan dengan drainase dan erosi yang diperbolehkan, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jarak Maksimum Antara Dua Titik Dengan Sudut Miring Yang Ditoleransikan

No Kemiringan lereng Maksimum jarak antara dua titik (m)

1 2 3 4 5 6 < 7 > 7 - 9 > 9 – 11 > 11 – 13 > 13 – 17 > 17 – 21 Nol 100 80 60 40 30 Sumber: Ecosystem rehabilitation book B (Grant,1998).

Terdapat kemiringan ideal dalam disain permukaan tanah terkait reklamasi lahan yang mempertimbangkan konservasi tanah, seperti terlihat pada Gambar 10 (a) dan Gambar 10 (b).

(a) slope kemiringan ideal (b) Disain profil kemiringan jika space terbatas

Gambar 10. Kemiringan ideal dalam reklamasi dan Disain profil kemiringan jika space terbatas(Grant, 1998).

Gambar 10 (b) adalah disain pada kondisi ruang (space) yang tersedia sangat terbatas di lapangan maka disainnya harus ada back-slope, yaitu jarak landai antara dua titik slope untuk menjawab masalah erosi.

Reklamasi lahan pasca tambang batubara terbuka secara teknis, menurut hasil penelitian KPC (2003) harus diupayakan adanya lapisan penghalang pyrit

,zat yang sewaktu-waktu dapat sebagai racun bagi tanaman, kedua terdapat lapisan pembatas sebelum subsoil. Baru kemudian dibuat lapisan subsoil dan

topsoil sebagai tempat akar berjangkar. Terdapat 3 (tiga) konfigurasi secara teknis

yang saat ini dilakukan di PT. KPC dengan ukuran dan bentuk seperti pada Gambar 11.

Dalam penelitian ini reklamasi lahan pasca tambang batubara open pit

tidak hanya memperhatikan ketentuan teknis saja, tetapi masalah-masalah non teknis juga mendapatkan porsi yang sama untuk dipertimbangkan, antara lain inspirasi atau kemauan masyarakat setempat / need assesment dari stakeholders

terhadap lahan pasca tambang batubara terbuka dan menampung kebiasaan- kebiasaan masyarakat setempat dalam hal mengolah lahan. Kebiasaan yang dimaksud adalah dalam hal memanfaatkan lahan secara tumpang sari atau berbagai jenis tanaman yang bermanfaat secara ekonomi.

Sudut kemiringan ideall dan penggunaan lahan kurang dari 20°

Jarak landai (lebar sekitar 4 m) dibangun dengan kemiringan 3° atau kurang sepanjang kontur Cekung

Cembung

Sudut kemiringan ideal dan penggunaan lahan kurang dari 20°

Sumber : PT.KPC (Kaltim Prima Coal)

Gambar 11. Spesifikasi Disain Penutup Lapisan Batuan Yang Mengandung

Pyrite.

Model reklamasi dengan melibatkan pelaku sistem, dimaksudkan untuk memberdayakan potensi masyarakat untuk terlibat dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam, sebagai salah satu kunci pembangunan berlanjutan. Model reklamasi dengan ketentuan seperti tersebut, diharapkan dapat membangun ekosistem alam baru dan bermanfaat secara ekonomi. Aktifitas rehabilitasi lahan dengan melibatkan swadaya masyarakat serta memperhatikan unsur budaya

Topsoil

Batuan NAF tidak dipadatkan Batuan NAF dipadatkan Batuan NAF

Batuan NAF Batuan NAF tidak dipadatkan

Topsoil Topsoil

Batuan NAF tidak dipadatkan

Tanah liat dipadatkan Batuan NAF

10 m – 20 m (ditentukan dalam rencana timbunan yang disetujui)

1 m 1 m 2 m 2 m 1 m 2 m 1 m

setempat disertai kegiatan penggunaan lahan dengan berbagai jenis tumbuhan atau lebih populer disebut sistem penggunaan lahan berbasis agroforestri. Agroforestri selain berfungsi secara biologi yaitu tempat berlangsungnya proses pembentukan unsur hara, sarana satwa berkembang biak, secara ekonomi dapat untuk meningkatkan pendapatan penduduk setempat dengan penanaman secara tumpang sari.

2.3. Agroforestri

Menurut Foresta, et al.(2000) penggunaan lahan dengan sistem

agroforestri, adalah perpaduan antara tanaman pohon yang memiliki peran ekonomi penting atau memiliki peran ekologi (seperti kelapa, karet, cengkeh, jambu mete atau tanaman pohon) dan sebuah unsur tanaman musiman seperti jagung, padi, kacang-kacangan, sayur mayur, atau jenis tanaman lain seperti pisang, kopi, coklat adalah sistem agroforestri sederhana. Menurut Vergara (1982) agroforestri adalah semua pola tata guna lahan yang berkesinambungan atau lestari, yang dapat mempertahankan dan meningkatkan hasil optimal panen keseluruhan dengan mengkombinasikan tanaman pangan tahunan dan tanaman pohon, yang bernilai ekonomi dengan atau tanpa ternak atau ikan piaraan. Pola tataguna lahan tersebut pada lahan dan waktu yang bersamaan, atau waktu yang bergiliran dengan metode pengelolaan yang praktis. Metode yang dimaksud adalah yang sesuai dengan keadaan sosial dan budaya penduduk setempat, serta keadaan ekonomi dan ekologi daerah tersebut.

Berbagai penelitian yang pernah dilakukan menyimpulkan bahwa agroforestri sebenarnya merupakan sistem tata guna lahan yang sudah dipraktekan ribuan tahun lalu. Sebagai contoh, penelitian Blanford tahun 1958 di Burma

menemukan sistem taungnya sudah ada sejak tahun 1856, di Jawa dikenal dengan

pola penggunaan lahan tumpang sari (Riswan et al.1995). Menurut Nair (1982),

Riswan dan Hartati (1993) dalam Riswan et al. (1995) secara filosofi agroforestri adalah suatu cara penggunaan lahan/tataguna lahan yang terpadu untuk daerah- daerah marginal, dengan sistem masukan atau investasi yang rendah dengan dasar pemikiran dan konsep pada dua faktor biologi dan sosial-ekonomi.

Dasar pemikiran biologis meliputi semua keuntungan yang diperoleh dengan adanya unsur pohon, maka keuntungan yang diperoleh tanah adalah

terbentuknya siklus hara yang efisien karena sebagian muka tanah tertutup. Hal itu juga sebagai sarana untuk pengendalian aliran permukaan (run-off) dan erosi tanah, sehingga terjadi aktifitas alami perbaikan kondisi fisik tanah. Terhadap lingkungan, dengan proses perbaikan unsur lahan dan vegetasi tersebut akan terbentuk kestabilan iklim mikro, sehingga siklus hidrologi normal kembali.

Faktor sosial ekonomi, karena petani diberi alternatif menggunakan pengelolaan lahan untuk keperluan pangan / tanaman pertanian yang dipadukan dengan tanaman-tanaman yang memberikan fungsi pelindung, dan konservasi, agar proses rehabilitasi lahan tercapai. Disamping itu terdapat hal yang penting secara ekonomi, yaitu dapat meningkatkan pendapatan penduduk setempat, karena masih ada ruang untuk tumpang sari atau tanaman yang bernilai ekonomi, misalnya tanaman yang dapat menghasilkan bahan papan untuk bangunan dan kayu bakar. Secara budaya mengajari masyarakat untuk menjaga alam lingkungannya, dengan teknologi sederhana yang mudah diterapkan di lapangan.

Gambar 12 menunjukkan kebun campuran antara tanaman pohon yaitu

kelapa, kakao, ubi kayu, gamal sebagai pelindung dan cabe.

Sumber:Koleksi foto Meine Van Noordwijk dalam Agroforestri Khas Indonesia Gambar 12. Kebun Campuran Milik Petani di Lampung

Konsep dasar pemikiran tersebut merupakan upaya menciptakan ekosistem alam baru yang berkesinambungan dengan model tataguna lahan agroforestri. Menurut Djogo (1995) model agroforestri juga sangat sesuai diterapkan pada lahan-lahan yang diterlantarkan atau mendekati lahan kritis.

Pengelolaan lahan dengan sistem agroforestry seperti disampaikan diatas sudah berjalan sangat lama di Indonesia terutama dipedesaan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.

2.4. Pendekatan Sistem

Pendekatan sistem menurut Reichle (1970) adalah suatu cara untuk mengerti dan mengenali proses-proses yang terjadi dalam ekosistem, karena komponen-komponen dalam ekosistem saling berhubungan. Melakukan analisis dari setiap komponen dalam sistem dengan pendekatan sistem menurut Patten (1972) adalah: (1) mengidentifikasi sifat-sifat makro dari suatu sistem, yang merupakan perwujudan karena adanya interaksi didalam dan diantara subsistemnya. (2) menjelaskan interaksi atau proses-proses yang berpengaruh terhadap sistem secara keseluruhan yang diakibatkan karena adanya berbagai masukan.(3) menduga dan meramal apa yang mungkin terjadi pada sistem apabila beberapa faktor yang ada dalam sistem berubah. Apabila dihubungkan dengan persoalan yang terjadi dalam ekosistem yang komplek, maka menurut Jeffer (1978) pendekatan sistem adalah alat strategi penelitian yang secara luas menggunakan beberapa konsep dan teknik matematik, secara sistematis dan ilmiah untuk memecahkan permasalahan yang komplek. Oleh karena itu, metode pendekatan sistem dapat digunakan sebagai dasar pemikiran untuk memecahkan permasalahan yang rumit, seperti kompleksitas permasalahan ekosistem alam. Sebagai contoh, dalam menyelesaikan permasalahan eksploitasi tambang batubara secara terbuka yang tidak menggunakan kaidah-kaidah pembangunan yang berkelanjutan, dan berdampak terhadap biofisik lingkungan, terhadap sosial ekonomi dan terhadap sosial budaya.

Tiga dampak tersebut mempunyai hubungan saling terkait dengan berbagai permasalahan yang sangat komplek. Sebagai contoh, dampak negatif terhadap biofisik lingkungan. Menurut Burger, et al.( 1996) sejak aktifitas eksploitasi pengambilan bahan mineral batubara dimulai, sumberdaya alam lainnya seperti lahan telah menunjukan perubahan relief dan sifat fisik dan sifat kimia tanahnya. Aktifitas eksploitasi di kawasan hutan, yang membabat hutan menunjukan hilangnya hutan hujan tropis yang berdampak terhadap perubahan iklim regional. Perubahan iklim regional tersebut akan berakibat terhadap

kegiatan atau jadual sektor pertanian, karena akan terjadi pergeseran aktifitas pada musim tanam dan panen dengan segala konsekwensinya, seperti serangan hama yang berakibat pada penurunan produksi disektor pertanian, sehingga secara ekonomi terdapat kerugian. Selain kerugian secara ekonomi tersebut diatas terdapat kerugian lain seperti yang dirasakan masyarakat lokal / adat dirasakan yaitu berkurangnya pendapatan mereka dari hasil alam hutan dan pendapatan yang berbasis lahan, karena hasil hutan seperti lebah madu, rotan dan hasil hutan lainnya tidak dapat lagi mereka petik, karena lahan garapan sebagai tempat bercocok tanam luasannya berkurang (Koesnaryo, 2004).

Dampak negatif paling serius adalah pada saat akan dilakukan kegiatan eksploitasi, terutama yang berkaitan ganti rugi lahan dan tanam tumbuh. Apabila tidak ada kecocokan harga, dapat mengundang terjadinya tambang liar. Kondisi ini terjadi karena mereka / mayarakat telah mengetahui bahwa di lahannya terdapat deposit batubara (Koesnaryo, 2004). Dampak negatif terhadap kehidupan sosial budaya, antara lain setelah eksploitasi tambang selesai sering terjadinya konflik antar penduduk atau suku adat. Pemicu konflik paling dominan adalah status lahan pasca penambangan, berhubung lahan pasca penambangan selalu mengalami perubahan bentuk, atau kenampakan relief sebagian muka bumi berubah, maka batas-batas kepemilikan lahan adat atau perorangan juga berubah. Sengketa tanah seperti ini menurut penelitian Wajidi (2005) pada lokasi-lokasi pasca tambang batubara di Kalimantan Selatan, biasanya tidak secara cepat dapat diselesaikan, akibatnya lahan pada kondisi demikian mempercepat proses degradasi lahan karena tidak terurus dan lahan menjadi kritis tidak produktif.

Selain dampak negatif yang diuraikan tersebut diatas, terdapat dampak positif secara langsung bagi masyarakat sekitar kegiatan penambangan, karena terserap-nya jumlah angkatan kerja, dan tumbuhnya aktifitas ekonomi lokal karena arus barang yang masuk kelokasi pertambangan dan wilayah sekitar-nya dalam jumlah yang cukup banyak. Begitu tingginya kompleksitas permasalahan seperti yang diuraikan tersebut diatas, maka untuk penanganan terhadap unsur- unsur yang saling terkait, dinamis dan komplek, perlu dilakukan penyederhanaan terhadap kerumitan dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang saling mempengaruhi, yang membentuk unjuk kerja sistem secara keseluruhan.

Terdapat dua jenis kerumitan yang perlu disederhanakan. Pertama, kerumitan rinci(detail complexity), yaitu menyangkut ciri dan cara bekerja unsur- unsur yang terlibat dalam sistem yang diamati dalam mengisi kesenjangan.

Kedua, kerumitan dinamis (dynamic complexity), yang menyangkut proses

kecepatan / kelambanan waktu yang diperlukan sistem dalam mengisi kesenjangan. Untuk menyelesaikan permasalahan dengan kondisi demikian diperlukan keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh dan menyeluruh tentang hal-hal yang terkait. Metode yang paling sesuai dan tepat adalah kerangka fikir yang dapat menjembatani antara keseluruhan disiplin ilmu dan pengetahuan sosial yang biasa disebut dengan pendekatan sistem / system

approach. Apabila cara fikir pendekatan sistem dikaitkan dengan tujuan maka

menurut Eriyatno (1998) pendekatan sistem diartikan sebagai metode pengkajian permasalahan yang dimulai dari penentuan tujuan, kemudian dilakukan analisis kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu model operasional dari sistem tersebut. Lebih lanjut menurut Eriyatno (2003) pendekatan sistem adalah cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem umumnya ditandai dengan dua hal, yaitu : (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah dan (2) membuat satu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional.

Penelitian ini berkaitan dengan data kuantitatif dan aspek kualitatip yang akan mempengaruhi proses pengambilan kebijakan, sehingga metode pendekatan sistem merupakan basis / sarana untuk mengembangkan kerangka dasar analisis. Setiap komponen yang terkait, akan dianalisis secara lengkap agar lebih mampu menampilkan gambaran yang mendekati kondisi riil di lapangan. Hal itu dilakukan agar permasalahan yang komplek tetap dapat diurai, tetapi kerangka awal penelitian dengan basis tujuan dengan pendekatan sistem akan tetap terjaga, karena terdapat tahapan-tahapan yang harus dilalui.

Menurut Eriyatno (2003) pemecahan permasalahan berbasis tujuan dengan pendekatan sistem dilakukan melalui beberapa tahap proses antara lain analisis rekayasa model, implementasi rancangan dan operasi sistem. Untuk mendapatkan

hasil yang dapat dipertanggung jawabkan maka setiap proses diikuti oleh suatu evaluasi yang berulang, sebelum melanjutkan pada tahap berikutnya. Hal ini

dimaksudkan agar sistem yang diperoleh sesuai dengan tujuan (goal).

2.4.1. Sistem

Sistem adalah suatu agregasi atau kumpulan obyek-obyek yang terangkai dalam interaksi dan saling bergantungan yang teratur. Definisi tersebut disempurnakan Jeffer (1978) yang menyatakan sistem sebagai suatu kumpulan dari elemen yang saling berinteraksi membentuk suatu kesatuan dalam interaksi yang kuat maupun lemah dengan pembatas sistem yang jelas seperti Gambar 13.

Gambar 13. Rangkaian Sistem (Muhammadi et,al, 2001)

Setelah memasukan aspek tujuan, Muhammadi et al. (2001) memberikan pengertian tentang sistem sebagai sekumpulan elemen-elemen yang berada dalam keadaan yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan yang sama. Menurut Eriyatno (2003) sistem adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja untuk mencapai tujuan.

Dari beberapa definisi diatas, terkandung adanya kesamaan pengertian tentang sistem, yaitu suatu sistem adalah seperangkat elemen yang saling berinteraksi membentuk kegiatan atau suatu prosedur yang mencari pencapaian suatu tujuan bersama.

Batas Unsur A Unsur B Unsur C Unsur E Unsur F Unsur D L in g k u n g a n Sistem

Dalam kaitan penyelesaikan permasalahan yang sangat komplek, penjelasan sistem dapat juga sampai pada level-level yang lebih rinci menjadi subsistem-subsistem yang saling berinteraksi, demikian seterusnya sampai pada elemen-elemen yang mendukung subsistem. Sebagai contoh, seperti pada permasalahan lahan pasca tambang batubara, permasalahan teknis dan non teknis berkembang dinamis dengan variabel yang dapat berubah setiap saat dan menjadi permasalahan yang komplek, maka sistemnya perlu diurai menjadi beberapa subsistem.

Dalam sebuah sistem biasanya jumlah elemen yang terlibat banyak sekali, untuk membatasi elemen yang tidak diperlukan, dirancang batasan sistem. Menurut Eriyatno (2003) terdapat terminologi penyelesaian permasalahan dengan pendekatan sistem, sebelum pada tahap rekayasa, yaitu : (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, (6) penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan.

2.4.2. Model

Untuk melakukan penghayatan atau menggambarkan tentang apa yang tersirat dalam suatu sistem perlu dibuat model. Menurut Manetch dan Park (1977) model adalah merupakan abstraksi dari keadaan yang sebenarnya atau dengan perkataan lain merupakan penyederhanaan dari suatu sistem dunia nyata yang mempunyai kelakuan seperti sistem dunia nyata dalam hal-hal tertentu. Menurut

Muhammadi, et al.(2001) model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk

menirukan suatu gejala atau proses. Model yang dapat menirukan kondisi sebenarnya, tanpa harus ada perbedaan dengan hasil pengukuran adalah model yang mendekati kebenaran dari unsur-unsur yang penting dari perilaku dalam dunia nyata. Model yang demikian disebut model yang sesuai dengan kondisi sebenarnya (the real mode).

Oleh karena itu, sebelum model diaplikasikan harus melalui tahap validasi yang dapat dilakukan melalui berbagai cara. Menurut Hartrisari dan Handoko (2004) validasi model merupakan bagian yang sangat penting dalam kegiatan permodelan. Secara ilmiah validasi identik dengan pengujian hipotesis. Dalam hal ini, model itu sendiri merupakan hipotesisnya. Terdapat bermacam cara

validasi, mulai yang bersifat deskriptif, misalnya melalui perbandingan secara grafis atau pengujian secara kuantitatif, yang dilakukan melalui uji statistik.

Menurut Eriyatno (2003) terdapat tiga kelompok model. Pertama, model

Ikonik (model fisik) yaitu model yang mempersentasikan bentuk fisik dari model

yang diwakilinya, tetapi pada skala yang berbeda. Model jenis ini dapat berdimensi dua seperti peta, foto, atau cetak biru, dan dapat pula dalam tiga demensi seperti prototip dari mesin-mesin. Kedua, model analog (diagrammatic

model), yaitu model yang berbentuk gambar, diagram atau matrik yang

menyatakan hubungan antar unsur. Ketiga, model simbolik (model matematik)

model ini merupakan perwakilan realitas yang dikaji, format model ini dapat berupa angka-angka, simbol dan rumus-rumus matematik atau rumus-rumus

komputer. Jenis model simbolik yang umum dipakai adalah persamaan (equation).

Tiga kelompok model tersebut diatas, oleh Hartrisari dan Handoko (2004) dibagi menjadi 10 bentuk, meskipun bentuk model tersebut dapat merupakan bagian dari model dinamis, mekanistik atau numerik. Ke-10 bentuk yang saling berlawanan tersebut adalah (1) model fisik dan model mental (2) model deskriptif dan model numerik (3) model empirik dan model mekanistik (4) model deterministik dan model stokastik (5) model statis dan model dinamis.

Pada kasus-kasus yang akan di teliti, pemilihan model tergantung pada tujuan dari pengkajian sistem, yang terlihat dan formulasi permasalahan. Sebagai contoh, model yang mendasarkan pada teknik peluang dan memperhitungkan adanya ketidak menentuan (uncertainty), karena masalah yang dikaji umumnya mengandung keputusan yang tidak menentu atau terdapat beberapa pilihan, seperti sifat-sifat probabilistik. Model yang sesuai untuk kondisi tersebut adalah model

stokastik tetapi dinamis. Sebaliknya, yang tidak memperhatikan peluang kejadian

Dokumen terkait