• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem pengembangan agroindustri perikanan laut dirancang dalam suatu program komputer yang dinamakan AGRIPAL. Paket program dirancang dengan menggunakan bahasa pemograman Microsoft Visual Basic Versi 6.0 yang terdiri dari tiga sistem utama, yaitu Sistem Manajemen Dialog, Sistem Manajemen Basis Data dan Sistem Manajemen Basis Model. Konfigurasi Model Sistem Penunjang Keputusan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Konfigurasi Model Sistem Pengambilan Keputusan Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut

SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA

Data Keterkaitan Kelembagaan AIPL

Data Strategi Pengembangan AIPL

Data Struktur Biaya Usaha AIPL Data Produk Unggulan AIPL Data Komoditas Potensial AIPL

Data Wilayah dan Potensinya

SISTEM MANAJEMEN BASIS MODEL

Sub Model Kelembagaan Sub Model Strategi Sub Model Kelayakan

Sub Model Pemilihan Sub Model Kawasan Sistem Informasi AIPL

Jawa Tengah SISTEM PENGOLAHAN TERPUSAT SISTEM MANAJEMEN DIALOG PENGGUNA

1. Sistem Manajemen Dialog

Sistem Manajemen Dialog merupakan rancangan pengaturan interaksi antara model (program komputer) dengan pengguna (user) yang memuat input

dari pengguna berupa parameter, data dari pilihan skenario dan luaran yang diberikan dalam tabel atau pernyataan yang mudah dipahami.

Dialog dengan pengguna dipandu dengan adanya pilihan atau pertanyaan-pertanyaan yang hanya memerlukan jawaban-jawaban singkat.

Input dari pengguna dapat berupa angka, pertanyaan-pertanyaan, atau berupa skenario. Output yang diberikan oleh program komputer berupa keterangan, tabel, atau grafik yang mudah dipahami.

2. Sistem Manajemen Basis Data

Dalam suatu analisis, data merupakan komponen yang mutlak ada. Oleh karena itu, data harus dikelola dan dikendalikan dalam suatu sistem manajemen basis data. Pemeliharaan data ini dilakukan melalui fasilitas menu data, menampilkan, menghapus dan mengganti data. Dalam konfigurasi paket program yang akan dikembangkan dalam sistem diantaranya adalah Data Kawasan, Data Komoditas, Data Produk, Data Struktur Pembiayaan, Data Strategi dan Data Kelembagaan.

3. Sistem Manajemen Basis Model

Sistem Manajemen Basis Model terdiri dari lima sub model utama, yaitu Sub Model Kawasan, Sub Model Pemilihan, Sub Model Kelayakan, Sub Model Strategi, Sub Model Kelembagaan. Masing-masing sub model tersebut sebagai sub-sub sistem yang pada akhirnya membentuk suatu sistem pengembangan agroindustri perikanan laut.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengembangan sistem agroindustri perikanan laut yang direkayasa melalui Model AGRIPAL ditujukan untuk membantu para pengambil keputusan baik di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota maupun para praktisi usaha yang bergerak dalam agroindustri perikanan laut. Penggunaan Model AGRIPAL didesain secara fleksibel, artinya Model AGRIPAL tidak hanya dapat digunakan oleh Pemda Provinsi atau Kabupaten maupun pengusaha se-Jawa Tengah, tetapi dapat juga digunakan di daerah lain sesuai dengan permasalahan yang ingin dipecahkan. Penggunaan Model AGRIPAL dapat mengikuti langkah-langkah pada Lampiran 1.

Hasil verifikasi Model AGRIPAL di Provinsi Jawa Tengah disajikan berurutan yaitu (1) Pengelompokan Pengembangan dan Penentuan Pusat Pertumbuhan; (2) Pemilihan Komoditas Potensial dan Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut; (3) Analisis Kelayakan Finansial Produk Unggulan Agroindustri Perikanan Laut; (4) Strategi Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut; (5) Kelembagaan Agroindustri Perikanan Laut; dan (6) Implementasi Sistem Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut.

A. Pengelompokan Kawasan Pengembangan dan Penentuan Pusat Pertumbuhan

Sub model kawasan merupakan sub model yang dirancang untuk membantu proses klasterisasi kawasan dan pusat pertumbuhan. Sub model ini menggunakan metode meminimumkan jarak pada matriks euclidean distance.

Operasionalisasi sub model kawasan pada klasterisasi kawasan pengembangan dan klasterisasi pusat pertumbuhan secara teknis memiliki prosedur dan metodologi yang sama, hanya saja pada klasterisasi kawasan pengembangan masukan berupa jarak absolut antar wilayah yang diuji. Penggunaan model ini dengan asumsi bahwa kondisi antar wilayah kajian dianggap memiliki kemiripan karakteristik, seperti potensi sumber daya alam (perikanan), perkembangan wilayah, keadaan sosial kependudukan, dan sarana prasarana khususnya aksesibilitas masing-masing wilayah tidak jauh berbeda.

Pada klasterisasi pusat pertumbuhan masukan data dimulai dari pendapat pakar terhadap objek berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Pada penelitian ini perumusan pusat pertumbuhan dibangun dari 11 kriteria yang pada tahap sebelumnya dirumuskan oleh para pakar pada proses identifikasi faktor pengembangan. Pada proses identifikasi kriteria tersebut sekaligus ditetapkan nilai bobot masing-masing kriteria. Adapun kriteria untuk menentukan pusat pertumbuhan tersebut adalah (1) kebijakan dan peraturan pemda, (2) tingkat investasi, (3) kedekatan bahan baku, (4) kedekatan pasar, (5) biaya produksi, (6) konflik sosial, (7) tenaga kerja, (8) sumber air, (9) sumber daya energi/listrik, (10) sarana transportasi, dan (11) sarana komunikasi. Tingkat kepentingan atau bobot kriteria diformulasikan dengan aturan Minkowski, untuk kemudian diagregasi menjadi bentuk euclidean distance. Berikutnya matriks euclidean distance diolah dengan metodologi dan ditampilkan dengan keluaran yang identik.

1. Pengelompokan Kawasan Pengembangan

Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Pulau Jawa dengan total areal seluas 32.548,20 km2 yang terletak diantara 5°40’ - 8°30’ Lintang Selatan dan 108°30’ - 111°30’ Bujur Timur. Wilayah ini berupa daratan yang di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, di sebelah timur dengan Provinsi Jawa Timur, di sebelah selatan dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Samudera Hindia, serta di sebelah barat dengan Provinsi Jawa Barat (Lampiran 2).

Secara administratif, Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 Kabupaten (Daerah Tingkat II), yaitu Kabupaten Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Magelang, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Grobogan, Blora, Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Demak, Semarang, Temanggung, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal dan Brebes. Selain itu terdapat enam Kota (Daerah Tingkat II), yaitu Kota Magelang, Surakarta, Salatiga, Pekalongan dan Tegal, serta Semarang sebagai ibukota provinsi. Dalam wilayah Dati I Jawa Tengah terdapat tiga kota administratif (kotif), yaitu Kotif Cilacap, Purwokerto, dan Klaten, serta 532 Kecamatan dan 8.496

kelurahan/desa. Daerah yang memiliki potensi sumber daya kelautan sebanyak 15 Kabupaten/Kota, yaitu 10 Kabupaten dan 3 Kota yang membentang di daerah Pantai Utara Jawa dan 2 Kabupaten di Pantai Selatan Jawa. Kabupaten dan Kota di Pantai Utara Jawa tersebut meliputi Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Jepara, Pati, Rembang, Kota Tegal, Pekalongan dan Semarang. Dua Kabupaten yang terletak di Pantai Selatan Jawa, meliputi Kabupaten Cilacap dan Kebumen (Lampiran 3 dan 4). Daerah yang berada pada pesisir pantai utara Jawa memiliki keuntungan, yaitu berada pada jalur jalan arteri primer yang menghubungkan kota-kota utama di Pulau Jawa, yaitu kota Jakarta, kota Semarang dan kota Surabaya.

Berdasarkan kondisi geografis tersebut, maka perencanaan pengembangan agroindustri perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah lebih baik jika dilakukan dengan menggunakan pendekatan wilayah, yaitu dengan membentuk kawasan pengembangan. Kesamaan potensi dan jenis komoditas yang dihasilkan dalam satu kawasan pengembangan, serta sifat komoditas perikanan laut yang mudah rusak menjadi pertimbangan penting diperlukannya pengelompokan suatu kawasan. Terbentuknya suatu kawasan pengembangan didasarkan pada kedekatan jarak antar wilayah, sehingga diharapkan akan memudahkan dalam pengembangan industri penanganan/pengolahan hasil perikanan laut. Selain itu, pembentukan kawasan pengembangan juga diharapkan dapat mengefisienkan penggunaan sarana dan prasarana pendukungnya. Pengelompokan Kawasan Pengembangan Agroindustri Perikanan Laut di Provinsi Jawa Tengah didasarkan kedekatan/jarak antar wilayah yang memiliki potensi perikanan laut. Pengujian dilakukan berdasarkan metode Analisis Klaster (Cluster Analysis) dalam sub model Kawasan, sub-sub model Kawasan Pengembangan dengan hasil pada Gambar 10 dan Lampiran 5.

Gambar 10. Hasil analisis pengelompokan kawasan pengembangan agro- industri perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah

Hasil analisis (Gambar 10) menunjukkan bahwa berdasarkan jarak antar kabupaten/kota yang memiliki potensi perikanan laut, Provinsi Jawa Tengah dapat dibagi dalam tiga kawasan pengembangan, yaitu dua kawasan di wilayah Pantai Utara Jawa dan satu kawasan di wilayah Pantai Selatan Jawa. Kawasan Pengembangan I meliputi 5 daerah, yaitu Kabupaten Brebes (A1), Kabupaten/Kota Tegal (A2), Kabupaten Pemalang (A3), Kabupaten/Kota Pekalongan (A4) dan Kabupaten Batang (A5). Kawasan Pengembangan II meliputi 6 wilayah, yaitu Kabupaten Kendal (A6), Kota Semarang (A7), Kabupaten Demak (A8), Kabupaten Jepara (A9), Kabupaten Pati (A10) dan Kabupaten Rembang (A11). Kawasan Pengembangan III meliputi 2 daerah, yaitu Kabupaten Kebumen (A12) dan Kabupaten Cilacap (A13).

Dilihat dari volume produksi ikan per kawasan pengembangan (Gambar 11) terlihat bahwa secara umum volume produksi terbesar berada di Kawasan Pengembangan I, diikuti dengan Kawasan Pengembangan II dan selanjutnya Kawasan Pengembangan III.

0 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun Vo lu m e (Ton ) Kawasan I Kawasan II Kawasan III Jateng

Sumber : Diskanlut Prov. Jateng, 2004.

Gambar 11. Volume produksi perikanan per kawasan pengembangan Jawa Tengah pada tahun 1994-2003

Dalam kurun waktu 10 tahun (1994-2003) ada kecenderungan terjadinya penurunan volume produksi di seluruh Kawasan Pengembangan, yaitu masing-masing dengan laju berturut-turut 2,53%, 0,55%, 0,24% untuk Kawasan Pengembangan I, II dan III (Diskanlut Prov. Jateng, 2004). Demikian pula total volume produksi perikanan laut Provinsi Jawa Tengah dalam kurun waktu yang sama mengalami penurunan 1,43% (Lampiran 6).

Berdasarkan total volume produksi Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2003, yaitu 236.235 ton, persentase volume produksi ikan di masing-masing Kawasan Pengembangan I, II dan III pada tahun yang sama adalah 51,52%, 43,18% dan 5,21%. Total nilai produksi perikanan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2003 tersebut adalah Rp 773,6 M (Diskanlut Prov. Jateng, 2004). Dari data tersebut terlihat hampir 95% hasil perikanan laut di Provinsi Jawa Tengah diproduksi di 2 Kawasan Pengembangan yang terletak di wilayah pantai utara Jawa, yaitu oleh 13 Kabupaten/Kota yang keseluruhannya memiliki 68 tempat pelelangan/pendaratan ikan. Kualifikasi tempat pelelangan ikan tersebut terdiri dari 14 TPI Kelas I (termasuk Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan), 18 TPI Kelas II, 19 TPI Kelas III dan 17 TPI Kelas IV. Produksi perikanan laut Pantai Selatan Jawa Tengah hanya 5% dihasilkan oleh 2 Kabupaten yang memiliki 10 tempat pelelangan/pendaratan

ikan, yang terdiri dari 5 TPI Kelas I (termasuk Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap), 4 TPI Kelas II dan 1 TPI Kelas IV (Lampiran 7).

2. Penentuan Pusat Pertumbuhan Kawasan Pengembangan

Dari setiap kawasan pengembangan selanjutnya ditetapkan pusat pertumbuhan yang berfungsi sebagai pusat produksi dan pintu keluar untuk memasarkan hasil-hasil produk agroindustri perikanan laut, serta wilayah- wilayah pendukung yang berfungsi sebagai daerah produksi atau pemasok bahan baku ke pusat-pusat produksi. Daerah yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan juga harus merupakan daerah yang mempunyai kegiatan ekonomi yang dapat menggerakkan pertumbuhan daerah. Daerah tersebut harus memiliki sektor unggulan yang mampu mendorong kegiatan-kegiatan ekonomi, baik dalam daerah itu sendiri dan daerah pendukungnya. Selain itu, daerah yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan adalah yang memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang. Keterkaitan ke depan memungkinkan terbukanya pasar bagi produk-produk unggulnya dan keterkaitan ke belakang memungkinkan pusat pertumbuhan tersebut mendapat pasokan bahan baku untuk kegiatan produksinya. Ciri lain dari daerah yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan adalah harus memiliki sarana dan prasarana bagi pengembangan agroindustri perikanan laut yang lebih baik dari daerah-daerah sekitarnya.

Penentuan pusat pertumbuhan masing-masing kawasan untuk pengembangan agroindustri perikanan laut ditentukan berdasarkan 11 kriteria, yaitu (1) kebijakan/peraturan Pemerintah Daerah, (2) tingkat investasi, (3) kedekatan bahan baku, (4) kedekatan pasar, (5) tingkat biaya produksi, (6) tingkat konflik sosial, (7) ketersediaan tenaga kerja, (8) ketersediaan sumber air, (9) ketersediaan sumber energi/listrik, (10) ketersediaan sarana transportasi dan (11) ketersediaan sarana komunikasi. Pembobotan dilakukan dengan menggunakan metode OWA Operator (Tabel 9 dan Lampiran 8) dengan data pendukung pada Lampiran 9.

Tabel 9. Bobot kriteria penentuan pusat pertumbuhan agroindustri perikanan laut

No Kriteria Deskripsi Agregat

1 Kebijakan/per aturan pemda

Kebijakan/peraturan pemerintah daerah yang terkait dengan RUTR/W, kemudahan perijinan dan kepastian hukum dalam berusaha

Tinggi

2 Tingkat investasi

Besarnya investasi yang diperlukan dalam pembangunan industri pasca panen perikanan laut di suatu daerah seperti biaya lahan dan bangunan

Tinggi

3 Kedekatan bahan baku

Kedekatan lokasi usaha dengan lokasi pemasok komoditas perikanan sebagai bahan baku industri

Tinggi

4 Kedekatan pasar

Kedekatan lokasi usaha dengan pasar produk, baik lokal, nasional dan pintu ekspor bagi produk yang dihasilkan

Tinggi

5 Biaya produksi

Tingkat biaya produksi di suatu daerah yang terkait dengan harga bahan baku, harga bahan pembantu, upah tenaga kerja, biaya transportasi, dan lain-lain

Tinggi

6 Konflik sosial Tingkat konflik sosial yang muncul di suatu daerah akibat berdirinya suatu usaha industri

Tinggi 7 Tenaga kerja Ketersediaan tenaga kerja terampil di suatu

daerah bagi industri pasca panen komoditas perikanan laut

Sedang

8 Sumber air Ketersediaan sumber air yang diperlukan dalam proses produksi, seperti pencucian bahan baku, proses pengolahan dan sanitasi

Tinggi

9 Sumber daya

energi/listrik

Ketersediaan sumber daya listrik atau energi lain bagi mesin pengolah dan peralatan lain, penerangan dan peralatan administratif

Tinggi

10 Sarana transportasi

Ketersediaan sarana transportasi untuk pengangkutan bahan baku dan produk yang dihasilkan, serta diperlukan untuk mobilitas pekerja

Tinggi

11 Sarana komunikasi

Ketersediaan sarana komunikasi untuk berbagai keperluan seperti pemesanan bahan baku, pemasaran, dan sebagai alat bantu yang memudahkan dalam proses pengambilan keputusan yang diperlukan

Tinggi

Berdasarkan hasil pembobotan pada Tabel 9 terlihat bahwa kriteria- kriteria yang diujikan memiliki bobot tinggi, kecuali kriteria tenaga kerja, yaitu dengan bobot sedang. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menentukan pusat pertumbuhan agroindustri, wilayah yang diuji harus memenuhi banyak

kriteria dengan tingkat kepentingan yang tinggi, agar industri yang akan dikembangkan dapat menjaga keberlangsungannya dalam berusaha. Kriteria tenaga kerja memiliki bobot sedang; hal ini sesuai dengan pendapat pakar terkait yang diwawancarai yang menyatakan bahwa ketersediaan tenaga kerja bagi pengembangan agroindustri perikanan laut cukup tinggi terkait dengan tingginya angka pencari kerja. Adapun permasalahan yang terkait dengan ketrampilan bagi para pekerja dapat diberikan apabila diperlukan mengingat teknologi pasca panen untuk menangani/mengolah hasil perikanan laut relatif sudah dikuasai dengan baik.

Penilaian untuk penentuan pusat pertumbuhan terhadap masing-masing daerah dilakukan dengan memberikan nilai l - l0 (sangat rendah sekali – sangat tinggi sekali) terhadap 15 Kabupaten/Kota. Pengujian dilakukan menggunakan metode Cluster Anaysis dalam sub model Kawasan sub-sub model Pusat Pertumbuhan (Lampiran 10).

Berdasarkan potensi dan kondisi yang dimiliki, wilayah-wilayah tersebut dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu sebagai wilayah kurang potensial (A), potensial (B) dan sangat potensial (C). Wilayah A meliputi Kabupaten Brebes (A1), Kabupaten Tegal (A2), Kabupaten Pemalang (A4), Kabupaten Pekalongan (A5), Kabupaten Batang (A7), Kabupaten Kendal (A8), Kabupaten Demak (A10), Kabupaten Jepara (A11) dan Kabupaten Kebumen (A14). Wilayah B meliputi Kota Semarang (A9) dan Kabupaten Cilacap (A15). Wilayah C meliputi Kota Tegal (A3), Kota Pekalongan (A6), Kabupaten Pati (A12) dan Kabupaten Rembang (A13) (Gambar 12).

Pengkategorian wilayah secara khusus didasarkan atas potensi sumber daya perikanan laut yang dimiliki oleh kelompok wilayah tersebut. Besarnya volume produksi perikanan laut dari suatu daerah memperlihatkan ketersediaan bahan baku agroindustri untuk daerah tersebut juga besar (Tabel 10). Dari Tabel 10 terlihat bahwa Kota Tegal, Kota Pekalongan, Kabupaten Pati dan Kabupaten Rembang (Kelompok C) memperlihatkan potensi volume hasil tangkapan yang sangat besar dibanding kabupaten/kota lainnya, sehingga kelompok ini dikategorikan sebagai wilayah yang sangat potensial.

Gambar 12. Hasil analisis pengelompokan wilayah untuk pemilihan pusat pertumbuhan masing masing kawasan di Provinsi Jawa Tengah

Kelompok B, terdiri dari Kabupaten Cilacap dan Kota Semarang, dikategorikan sebagai wilayah potensial. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Kabupaten Cilacap memiliki potensi produksi perikanan laut yang cukup besar di wilayah pantai selatan Pulau Jawa. Potensi produksi perikanan laut di Kota Semarang kecil, akan tetapi memiliki nilai yang tinggi pada berbagai kriteria lain seperti ketersediaan sumber air, sumber energi, sarana transportasi dan sarana komunikasi yang sangat penting dalam memfasilitasi pengembangan agroindustri perikanan laut. Besarnya ketersediaan sarana prasarana dan kedekatan dengan pasar produk yang dimiliki oleh Kota Semarang menempatkan wilayah ini dalam kategori potensial.

Wilayah lain yang tergabung dalam kelompok A, yaitu Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Jepara dan Kebumen, dikategorikan sebagai wilayah yang kurang potensial. Hal ini disebabkan volume produksi hasil tangkapan tidak terlalu besar, sedangkan sektor penunjangnya juga tidak terlalu menonjol.

Tabel 10. Volume produksi perikanan laut Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1999 – 2003 (dalam Ton) Kab/Kota 1999 2000 2001 2002 2003 Kab. Brebes 2.375,0 2.403,9 2.568,9 3.742,8 5.269,6 Kab Tegal 677,7 649,6 723,9 845,3 1.106,9 Kota Tegal 22.172,3 44.819,1 36.849,0 34.513,3 29.564,4 Kab. Pemalang 6.095,3 7.226,4 8.592,1 11.279,8 9.925,2 Kab. Pekalongan 2.014,3 1.438,2 1.973,2 2.163,9 1.978,9 Kota Pekalongan 65.034,6 66.628,7 73.124,1 53.161,9 62.008,9 Kab. Batang 23.368,9 19.038,1 20.452,7 17.656,9 11.863,6 Kab. Kendal 1.819,9 1.601,9 1.245,2 1.111,4 1.055,2 Kota Semarang 602,1 652,0 566,0 331,6 174,3 Kab. Demak 2.559,6 2.264,2 1.598,7 1.181,5 1.208,6 Kab. Jepara 3.072,3 2.147,0 1.798,3 2.206,1 3.729,8 Kab. Pati 42.339,5 44.969,1 49.624,2 59.889,3 63.457,2 Kab. Rembang 35.953,7 50.783,3 60.200,1 78.825,7 32.370,7 Kab. Kebumen 3.226,3 1.470,8 1.988,2 5.349,8 4.180,0 Kab. Cilacap 10.100,1 15.153,2 13.123,9 8.944,6 8.140,1 Total 221.411,7 261.243,5 274.328,5 281.203,9 236.235,0

Sumber : Diskanlut Prov. Jateng, 2004.

Pertimbangan lanjut dalam penentuan pusat pertumbuhan untuk masing-masing kawasan adalah kuantitas dan kontinuitas produksi perikanan laut masing-masing wilayah dalam kategori yang sama (Lampiran 10). Berdasarkan pertimbangan tersebut, pada Gambar 13 terlihat bahwa di Kawasan Pengembangan I, produksi perikanan Kota Pekalongan lebih tinggi dibandingkan Kota Tegal. Namun demikian data series selama 10 tahun (1994 - 2003) menunjukkan adanya penurunan laju produksi di Kota Pekalongan sebesar 5,95%, sedangkan Kota Tegal mengalami peningkatan laju produksi sebesar 2,84%.

Wilayah yang memiliki potensi besar dalam produksi perikanan di Kawasan Pengembangan II adalah Kabupaten Pati dan Rembang. Gambar 13 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1994 – 1999, volume produksi Kabupaten Pati lebih tinggi dibanding Kabupaten Rembang, kemudian pada tahun 2000 - 2002 volume produksi di Kabupaten Rembang sedikit mengungguli tingkat volume produksi Kabupaten Pati, tetapi pada tahun 2003 Kabupaten Pati kembali menjadi kabupaten dengan volume produksi terbesar

di wilayah timur Provinsi Jawa Tengah. Selama 10 tahun (1994 - 2003), laju pertumbuhan produksi perikanan di Kabupaten Pati mengalami penurunan sebesar 1,98%, sebaliknya laju pertumbuhan produksi Kabupaten Rembang mengalami peningkatan sebesar 4,36%. Gambar 13 juga menunjukkan bahwa pada tahun 2002-2003, produktivitas ikan Kabupaten Pati hampir menyamai Kota Pekalongan yang sampai tahun 2001 mendominasi volume produksi ikan di Provinsi Jawa Tengah.

- 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun V o lu m e (T o n ) Tegal Pekalongan Pati Rembang Cilacap

Sumber : Diskanlut Kota Tegal, 2004; Diskanlut Kota Pekalongan, 2004; Diskanlut Kab.Pati, 2004; Diskanlut Kab. Rembang, 2004; Diskanlut Kab. Cilacap, 2004.

Gambar 13. Volume produksi perikanan di kabupaten/kota unggulan pada masing-masing kawasan pengembangan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2003

Meskipun pada tahun 2000 – 2002 dari sisi volume produksi Kabupaten Rembang sempat mengungguli Kabupaten Pati, dari nilai produksinya Kabupaten Pati tetap lebih unggul dibanding Kabupaten Rembang (Gambar 14). Nilai produksi Kabupaten Rembang pada tahun 2002, yang menjadi puncak produksi selama kurun waktu 10 tahun (55.282 ton), adalah Rp 118,9 M, sedangkan volume produksi Kabupaten Pati pada tahun yang sama hanya 50.905 ton tetapi mampu menghasilkan nilai produksi sebesar Rp 165,1 M. Hal ini berarti bahwa ikan yang didaratkan di Kabupaten

Pati memiliki nilai ekonomis yang lebih baik dibanding Kota Rembang (Gambar 15). Pada tahun 2002, harga rataan ikan di Kabupaten Pati Rp 3.244,00 sedangkan di Kabupaten Rembang Rp. 2.152,00.

- 50,000,000 100,000,000 150,000,000 200,000,000 250,000,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun N il a i (x R p . 1 000 ) T egal Pekalongan Pati R embang Cilacap

Sumber : Diskanlut Kota Tegal, 2004; Diskanlut Kota Pekalongan, 2004; Diskanlut Kab.Pati, 2004; Diskanlut Kab. Rembang, 2004; Diskanlut Kab. Cilacap, 2004.

Gambar 14. Nilai produksi perikanan di kabupaten/kota unggulan pada masing-masing kawasan pengembangan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2003

Gambar 14 menunjukkan selama tahun 1994 - 2003 seluruh wilayah yang diunggulkan mengalami peningkatan nilai produksi. Peningkatan laju nilai produksi tertinggi adalah Kota Tegal 28,15%, diikuti oleh Kabupaten Rembang, Pati, Cilacap dan Kota Pekalongan masing-masing 23,10%, 18,47%, 17,06% dan 16,88%.

Diantara wilayah unggulan lain, Kabupaten Cilacap yang berada di Kawasan Pengembangan III menghasilkan volume produksi ikan yang paling kecil. Secara keseluruhan selama 10 tahun (1994 - 2003), laju volume produksi Kabupaten Cilacap juga mengalami penurunan 4,33%. Namun demikian, Gambar 15 menunjukkan bahwa harga rataan ikan hasil tangkapan Kabupaten Cilacap lebih besar dibandingkan harga ikan di kota-kota lain. Hal ini didukung dengan laju peningkatan harga rataan ikan Kabupaten Cilacap 45.28%, sedangkan Kota Tegal dan Pekalongan serta Kabupaten Pati dan Rembang, masing-masing 27,54%, 23,87%, 22,22% dan 19,76%.

- 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Tahun H a rg a ra ta a n (R p /K g ) Tegal Pekalongan Pati Rembang Cilacap Sumber : Diskanlut Kota Tegal, 2004; Diskanlut Kota Pekalongan, 2004; Diskanlut Kab.Pati, 2004; Diskanlut Kab. Rembang, 2004; Diskanlut Kab. Cilacap, 2004.

Gambar 15 Harga rataan komoditas perikanan laut di kabupaten/kota unggulan pada masing-masing kawasan pengembangan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2003

Besarnya harga rataan ikan di Kabupaten Cilacap, yang terletak di Pantai Selatan Jawa, dikarenakan ikan yang didaratkan merupakan jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, seperti ikan tuna, cakalang dan udang. Ketiga jenis komoditas ini menjadi andalan Kabupaten Cilacap sebagai komoditas ekspor, baik dalam bentuk gelondongan (segar) maupun bentuk olahan. Jenis ikan hasil tangkapan di wilayah Pantai Utara Jawa pada umumnya adalah pelagis kecil seperti layang, selar, tembang, kembung, tongkol dan lemuru, yang umumnya memiliki nilai ekonomis rendah.

Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah (Lampiran 11 dan 12), tingkat pertumbuhan volume produksi perikanan masing-masing daerah di Provinsi Jawa Tengah selama tahun 1994 – 2003 (10 tahun) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 16, secara keseluruhan menunjukkan terjadinya penurunan produksi 1,43%. Tingkat pertumbuhan positif tertinggi dicapai oleh Kabupaten Kebumen (64,12%) dan terendah dengan laju pertumbuhan negatif ditunjukkan oleh Kota Semarang (20,43%).

-20 -10 0 10 20 30 40 50 60 70 La ju P e n in g ka ta n P rodu k s i

A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10 A11 A12 A13 A14 A15 Total

Kabupaten/Kota

Keterangan :

A1: Kab. Brebes; A2: Kab. Tegal; A3: Kota Tegal; A4: Kab. Pemalang; A5: Kab. Pekalongan; A6: Kota Pekalongan; A7: Kab. Batang; A8: Kab. Kendal ; A9: Kota Semarang; A10: Kab.Demak; A11: Kab. Jepara; A12: Kab. Pati; A13: Kab. Rembang; A14: Kab. Kebumen; A15: Kab. Cilacap

Sumber : Diskanlut Prov. Jateng, 2004.

Gambar 16. Laju peningkatan produksi perikanan laut di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1994-2003

Selain Kota Semarang dan Pekalongan, laju pertumbuhan negatif ditunjukkan oleh volume produksi Kabupaten Batang (3,14%), Kendal (7,25%), dan Demak (6,20%). Salah satu penyebabnya adalah bahwa kapal penangkap ikan laut yang didaratkan di wilayah tersebut pada umumnya merupakan kapal kecil dengan wilayah penangkapan di Laut Jawa. Tingkat eksploitasi perikanan laut di wilayah Laut Jawa diketahui telah mencapai ambang kritis, sementara pantai utara Pulau Jawa adalah salah satu daerah yang padat nelayan (Atmadja et al., 2003). Kasus pendangkalan muara sungai dan rusaknya dermaga tempat pelelangan ikan (TPI) juga menjadi kendala dalam proses pendaratan ikan. Faktor kesulitan keuangan pada TPI berkaitan dengan pembayaran nelayan (kekurangan pembayaran lelang ikan/KPLI) menjadi pemicu lain dari penurunan produksi perikanan laut di