• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi konflik identitas biasanya (dimungkinkan) terjadi jika di dalam sebuah lingkungan sosial (cenderung) heterogen terdapat beberapa kelompok yang memiliki basis identitas yang kuat. Kelompok berbasis identitas ini menjadikan identitasnya – suku, agama, ras dan antara golongan (SARA) – sebagai pengikat komunitasnya menjadi sebuah

kelompok yang eksklusif, cenderung tertutup, “sensitif” dan “angkuh” (muncul karena adanya kepercayaan diri yang tinggi atas identitasnya dengan massa yang solid). Potensi konflik muncul – dan bisa berakhir dengan konflik – dalam kondisi di mana kelompok-kelompok ini berusaha mengaktualisasikan identitas kelompoknya dalam sebuah ruang publik terbuka dalam sebuah lingkungan sosial yang heterogen – ada kebebasan untuk mengaktualisasikan identitas kelompoknya. Persoalan kecil pun jika dipolitisir oleh pihak tertentu yang menginginkan terjadi kekacauan (biasa disebut provokator), maka konflik terbuka (konflik fisik) sangat dimungkinkan terjadi. Kejadian ini menjadi sebuah fenomena umum yang terjadi di Indonesia pasca Suharto, di mana ada kebebasan dari berbagai kalangan untuk mengapresiasikan identitas kelompoknya dalam sebuah lingkungan sosial yang terbuka. Akibatnya terjadi berbagai jenis konflik, mulai dari skala kecil sampai besar, di mana konflik tersebut sangat kental dengan politik identitas yang bersifat kedaerahan (lokal)268. Umumnya terjadi antara kelompok pendatang dengan kelompok asli (penduduk lokal atau penduduk asli setempat).

Keinginan sebuah kelompok untuk mengapresiasiakan dan mengaktualisasikan identitasnya merupakan tindakan yang manusiawi. Ada keinginan agar identitasnya mendapatkan pengakuan dari lingkungan sosialnya. Tujuan utamanya adalah pelestarian identitas, di mana identitas tersebut merupakan jati dirinya sebagai individu dan kelompok. Dalam masyarakat Indonesia yang pluralis dengan beragam identitas etnis, ras, keyakinan dan kepercayaan (agama), golongan politik, dan lain-lain, konflik sangat dimungkinkan terjadi jika “ego” antar kelompok yang menguatkan kelompoknya berdasarkan identitas tertentu tidak bisa ditekan. Dengan kata lain, setiap kelompok secara kukuh mempertahankan “ego” identitas kelompoknya secara berlebihan – cenderung “angkuh”, di mana

268

Untuk melihat lebih lanjut bagaimana etnisitas di Indonesia dan konflik atau benturan (identitas) etnis di Indonesia yang mulai marak pasca jatuhnya Suharto dalam dinamika politik lokal, lihat: Van Klinken, Gerry. (2004), „Ethnicity in Indonesia‟, dalam Ethnicity in Asia, Edited by Colin Mackerras, Taylor and Francis e-Library; Van Klinken, Gerry. (2007), Communal Violence and Democratization in Indonesia: Small Town Wars, London and New York: Roudledge; Schulte Nordholt, Henk & Van Klinken, Gerry. (2007), Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: Buku Obor & KITLV-Jakarta.

keangkuhan ini menyebabkan kesensitifan yang kuat pada kelompok dan anggotanya, sehingga mudah tersinggung dan tersulut amarah untuk melakuakn tindakan fisik (bentrokan fisik).

Poin penting dari adanya sebuah konflik identitas adalah bahwa ini terjadi karena adanya keinginan kuat dari setiap kelompok untuk melestarikan identitasnya, di mana dalam prosesnya mereka melakukan “aksi” aktualisasi. Ikatan yang kuat atas identitas tertentu adalah perekat komunitas yang kuat, dapat mempersatukan berbagai individu yang memiliki persamaan identitas. Karenanya, potensi konflik setiap kelompok berbasis identitas selalu ada.

Dalam kasus masyarakat Bali Nusa di Balinuraga, ada dua jenis konflik identitas yang terjadi: konflik identitas eksternal dan konflik identitas internal. Konflik identitas eksternal terjadi ketika masyarakat Bali di Balinuraga bersama-sama dengan masyarakat Bali di tempat lain terlibat dalam konflik fisik dengan komunitas etnis lain, yaitu penduduk lokal. Seperti yang terjadi di tahun 1990-an ketika terjadi perang kampung antara Kampung Bali di Balinuraga beserta Kampung Bali tetangga dengan penduduk lokal (Lampung) di daerah Jabung. Konflik ini bermula ketika ada anggota masyarakat Balinuraga mengalami pembegalan sepeda motor saat melintasi wilayah Jabung. Sebagai sebuah kelompok pendatang dengan ikatan sosial yang kuat di Lampung, emosi kelompok menjadi sangat kuat ketika beberapa anggota komunitasnya diganggu oleh komunitas lain. Ketika gangguan tersebut tidak dapat ditoleransi lagi, karena dianggap telah merendahkan harga diri komunitas tersebut (identitas kebalian mereka), maka konflik (perang kampung) pun akhirnya terjadi. Penulis mencoba melihat konflik identitas eksternal ini dari sudut pandang lain, bahwa konflik identitas eksternal ini merupakan wujud dari aktualisasi identitas kebalian setelah berada di luar Bali, yaitu keinginan yang kuat dari segenap anggota komunitasnya untuk mempertahankan dan melestarikan identitas kebaliannya. Konflik ini – perang kampung – sepertinya harus terjadi agar identitas mereka diakui, tidak dianggap enteng oleh komunitas lain, dan ini didukung oleh persatuan yang kuat dari masyarakat Bali dengan identitas kebaliannya. Menurut penulis, konflik ini merupakan salah satu jalur atau upaya dari pelestarian identitas yang bersifat primitif – karena menggunakan kekerasan sebagai “shock therapy”

bagi “lawannya” agar mengakui identitas kelompoknya – dan ini sepertinya menjadi sebuah fenomena umum yang sampai saat ini masih berpotensi terjadi di Indonesia sebagai negara multikultur di mana ikatan primordial masih kuat (bahkan cenderung menguat di masa reformasi).

Konflik identitas internal di dalam komunitas Balinuraga merupakan konflik identitas antar identitas warga yang berbeda. Konflik ini paling menonjol dan menjadi rahasia umum dalam komunitas Balinuraga, yaitu antara Warga Pasek dan Warga Pandé. Sebuah konflik yang sebenarnya sudah lama terjadi sejak masa kerajaan di Bali. Konflik ini dimungkinkan akan terus terjadi selama komunitas ini masih ada. Konflik identitas warga ini terjadi antar klan yang “digolongkan” sebagai jaba. Kondisi ini memang bisa terjadi karena secara keseluruhan masyarakat Balinuraga merupakan golongan jaba (bukan berasal dari golongan puri, kerajaan, atau triwangsa), di mana di dalam golongan ini terdapat berbagai macam kelompok besar berdasarkan silsilah keturunan tertentu yang biasa disebut warga atau klan. Seandainya ada golongan triwangsa di dalam komunitas ini, bisa saja terjadi konflik antara golongan jaba dengan triwangsa. Sumber konflik ini sebenarnya berakar pada sistem sosial dalam masyarakat itu sendiri. Memang mereka menerapkan sistem warga, bukan sistem wangsa yang bersifat diskriminatif. Sistem ini lebih egaliter, tidak ada yang bisa memantapkan klan lebih superior daripada yang lain, seperti triwangsa versus jabawangsa. Karenanya konflik yang terjadi bersifat horisontal, yaitu antara sesama kelompok warga di dalam golongan jaba. Lalu mengapa bisa terjadi konflik identitas antar warga? Setiap warga pada dasarnya memiliki status sosial tersendiri. Begitu pula dengan beberapa tata upacara dan upakara, serta simbol-simbol identitasnya, meskipun sama-sama berasal dari golongan jaba dan sama- sama Bali Hindu. Ini merupakan salah satu identitas individu dan kelompok mereka sebagai Bali Hindu. Status sosial ini bersifat mengikat, sudah melembaga, menjadi satu dengan identitas kebalian mereka. Dalam lingkungan sosial di dalam komunitas mereka yang lebih egaliter, aktualisasi identitas warga lebih terbuka. Ada keinginan yang kuat untuk menunjukkan siapa memiliki status sosial lebih tinggi. Dasar dari status sosialnya adalah status sosial leluhur mereka yang menjadi pendiri dari klan atau warga tersebut. Manifestasinya – karena pengaruh lingkungan

sosial dari masyarakat Lampung yang memasuki masyarakat industri (pertanian) – adalah melalui pencapaian ekonomi. Wujudnya adalah Pura Kawitan Warga – mana yang lebih besar, indah dan artistik – dan wujud lainnya, seperti pentas kesenian seka gong dan sulinggih warga mana yang lebih populer. Wujud yang sederhana terbatas pada gosip-gosip atau cibiran yang bersifat mensiniskan salah satu warga. Dengan kata lain, persaingan identitas status sosial warga sudah lebih modern, seperti yang dilakukan dalam masyarakat industri, bukan seperti yang terjadi dalam sebuah masyarakat yang masih didominasi oleh sistem feodal, di mana status sosial lebih ditentukan oleh garis keturunan, status sosial diwariskan dan bersifat absolut. Realitas ini menunjukkan bawah konflik identitas warga merupakan salah satu upaya dari komunitas ini – yang sebenarnya plural di dalam komunitasnya sendiri – untuk melestarikan identitas kebaliannya yang salah satunya diwujudkan melalui identitas warga. Mapannya sistem sosial kebalian yang mereka terapkan di Lampung – ada nilai dan norma yang mengharuskan mereka harus menjaga keharmonisan – dan adanya ancaman eksternal menyebabkan konflik ini terisolisir pada perang dingin bukan konflik terbuka (fisik). Ekonomi adalah alatnya. Kebebasan mengekspresikan dan mengaktulisasikan identitas warga sebagai upaya pelestarian identitas kebalian yang lebih besar – kebebasan yang disediakan oleh sistem itu sendiri – menyebabkan konflik identitas antar warga ini akan terus berlangsung terbatas pada perang dingin. Jadi, tidak bisa dinilai bahwa konflik identitas warga ini sebagai sebuah faktor pemecah belah komunitas Bali Hindu di Balinuraga. Ini adalah dinamika dalam komunitas mereka dalam melestarikan identitas. Konflik identitas warga adalah bagian utama dari dinamika tersebut dengan berbagai manifestasinya. Mereka pun menganggapnya sebagai hal yang positif: “Memotivasi kami untuk bekerja lebih keras” – yang berarti: memotivasi untuk memantapkan perekonomian keluarga mereka sehingga bisa terus melestarikan identitas kebaliannya.

Dokumen terkait