• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membali di Lampung Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan D 902008001 BAB VI"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI. BENTENG PELESTARI IDENTITAS

Kata “benteng” secara umum diartikan sebagai sebuah tempat untuk melindungi diri dari serangan musuh. Kata benteng (fortrees) digunakan oleh Schulte Nordholt (2007) untuk menggambarkan situasi dilematis yang dihadapi Bali (pusat) periode 1995-2005, yaitu bagaimana melindungi kebudayaan Bali tanpa menutup diri terhadap dunia luar. Karenanya, Nordholt menggambarkan situasi dilematis Bali tersebut sebagai “benteng terbuka” (open fortress) – bukan benteng yang tertutup karena ketergantungan perekonomian Bali terhadap industri pariwisata yang menuntut adanya kerterbukaan terhadap wisatawan dan arus investasi. Benteng tersebut merupakan upaya pelestarian (perlindungan) terhadap kebudayaan Bali atau identitas kebalian.

Dalam konteks komunitas Bali Hindu di Balinuraga sebagai komunitas pendatang dan minoritas etnik-agama di Lampung, benteng pelestari identitasnya bukan merupakan benteng terbuka seperti pusat (Bali), melainkan benteng tertutup yang dimanifestasikan dalam bentuk Kampung Bali. Benteng tertutup diartikan sebagai tempat untuk mempertahankan dan melestarikan kebudayaan asal (leluhur) atau identitas kebalian mereka: Kebudayaan Bali atau Kebudayaan Bali Hindu.

Benteng Identitas Kebalian di Luar Bali

Sebenarnya apa yang melatarbelakangi komunitas Bali Nusa – dan juga komunitas Bali Hindu di Lampung – membangun komunitasnya secara eksklusif seperti sebuah benteng kebudayaan Bali (identitas kebalian) di luar Bali? Ada dua alasan yang mendasar untuk menjawab pertanyaan (seperti yang telah diuraikan di bab-bab sebelumnya). Pertama, kuatnya ikatan sosial yang melekat (embedded) sampai ke level individu260. Sistem sosial yang menjadi ikatan sosial itu adalah identitas

260

(2)

mereka, dan identitas itu melekat dalam sistem sosial tersebut. Mereka terikat pada: identitas warga yang memiliki status sosial tertentu dengan simbol-simbol identitasnya; adat dan keagamaan Bali Hindu serta ikatan kekerabatan di dalamnya; keanggotaan terhadap organisasi atau perkumpulan tertentu seperti banjar dan seka; tanah kelahiran di Nusa Penida (Bali); tata cara upacara dan upakara dalam sistem (ritual dan upacara) adat, keagamaan, ekonomi dan politik yang memiliki ciri khas Bali Nusa (secara umum menjadi ciri khas Bali); penggunaan bahasa ibu (Bahasa Bali Nusa); dan sebagainya. Kuatnya ikatan sosial tersebut yang menjadi penyebab mengapa masyarakat Bali (termasuk masyarakat Jawa) cukup sulit untuk bertransmigrasi atau meninggalkan kampung halamannya – transmigrasi dalam jumlah yang besar baru terjadi setelah adanya letusan Gunung Agung tahun 1963, sesuatu yang tidak dapat mereka hindari dan menjadi “pemaksa” mereka untuk bertransmigrasi. Mereka khawatir identitas atau jati dirinya melekat pada tanah kelahiran akan hilang setelah mereka bertransmigrasi. Kuatnya ikatan sosial ini yang mendasari transmigran Bali Nusa membangun perkampungan Bali yang khusus untuk Bali dari Nusa Penida lengkap dengan pranata-pranata sosial yang menjadi simbol identitas kebalian mereka. Mereka tidak ingin kehilangan identitasnya sebagai Bali Hindu dari Nusa Penida, dan ingin “serasa dekat” dengan tanah kelahirannya: tetap menjadi Bali (identik) setelah di luar Bali, Lampung. Kampung Bali ini menjadi benteng tertutup yang menjadi “pertahanan terakhir” kebudayaan Bali di luar Bali: bahwa identitas kebalian bisa tetap eksis setelah berada di luar Bali. Identitas kebalian tidak dijadikan sebagai produk komersial bagi industri pariwisata, seperti yang terjadi di beberapa daerah di Bali. Kegiatan adat dan keagamaan – yang turut dimanifestasikan dalam produk-produk kesenian – merupakan sebuah kewajiban atas sistem sosial yang mengikat tersebut.

(3)

adalah masyarakat Bali Hindu. Infrastruktur adat dan keagamaan Bali Hindu ada di dalam perkampungan tersebut. Semua kegiatan adat dan keagamaan dilangsungkan di dalamnya. Sangat tidak praktis dan ekonomis jika mereka hidup terpencar-pencar – sebuah tindakan yang tidak mungkin mereka lakukan karena adanya ikatan sosial tersebut. Hidup dalam sebuah benteng yang tertutup memudahkan mereka melaksanakan kewajiban adat dan agama yang jumlahnya banyak serta melibatkan massa yang besar. Kegiatan adat dan agama tersebut dapat berlangsung dengan baik dan tidak mengganggu atau menimbulkan ketersinggungan komunitas lain. Di dalam benteng tertutup ini saja di wilayah Lampung masyarakat Lampung (Bali Hindu) bisa memelihara babi secara leluasa. Dengan demikian, proses pelestarian kebudayaan Bali dapat dilaksanakan dengan bebas di dalam benteng tersebut.

Mendirikan benteng identitas dalam konteks melestarikan identitas budaya pasti ada tujuannya, yaitu melindungi diri dari serangan musuh. “Musuh” yang dimaksudkan adalah pengaruh-pengaruh dari lingkungan yang lebih luas di mana benteng itu berada. Ini adalah sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh individu dan komunitas yang ingin melestarikan identitasya di dalam sebuah benteng tertutup: mempertahankan dan melestarikan identitas – pengajegan – tanpa harus mengorbankan perekonomian anggota komunitas, dan tetap bisa mengikuti dan menjawab tentangan zamannya. Tantangan terus berubah seiring dengan perubahan waktu (masa, zaman), bersifat dinamis, karenanya mereka pun harus dinamis untuk menjawab tantangan tersebut. Dengan kata lain, musuh yang mengancam benteng tersebut adalah musuh yang terus berubah, bukan musuh abadi. Terutama setelah menjadi benteng tertutup. Tantangan ini yang harus dijawab dan diselesaikan dengan strategi kebudayaan versi mereka sebagai upaya pelestarian identitas yang selaras dengan pembangunan.

Tantangan dan Ancaman, Peluang dan Kekuatan

(4)

alamiah (berdasarkan naluri, insting) melakukan upaya pelestarian identitas. Dengan kata lain, komunitas ini membentengi identitasnya. Adanya tantangan dan ancaman, baik yang terlihat dan tidak terlihat sebagai akibat dari lingkungan dan kondisi sosial yang baru dan berbeda dengan tempat asal, justru memberikan gairah bagi komunitas ini untuk terus melakukan upaya pelestarian identitas dengan beberapa penyesuaian sebagai respon atas tantangan dan ancaman tersebut. Upaya pelestarian identitas ini bersifat kesinambungan, bukan proses yang berhenti pada satu tahap tertentu, dikarenakan tantangan dan ancaman terhadap kelestarian identitas mereka terus berubah seiring dengan perubahan waktu. Di sisi lain, lingkungan dan kondisi sosial yang baru dan berbeda dengan tempat asalnya memberikan peluang dan konsolidasi kekuatan berbasis etnisitas-keagamaan yang lebih terbuka. Peluang ekonomi terbuka dengan luas, dan komunitas ini memiliki kekuatan atau keunggulan di level individu dan komunitas untuk memanfaat peluang ekonomi tersebut. Peluang ekonomi terbuka lebar di bidang pertanian dan industrinya. Di level individu komunitas, orang Bali, memiliki semangat kerja yang tinggi di bidang pertanian, sedangkan di level komunitas mereka memiliki kesolidan kelompok. Di samping itu, ada peluang sosial di dalam komunitas mereka dengan kekuatan ekonominya untuk menjadikan sistem sosial mereka lebih egaliter, dan melalui kekuatan ekonomi tersebut mereka bisa melakukan upaya pelestarian identitas yang lebih kreatif, lain daripada yang lain (dibandingkan secara umum yang ada di Bali), namun unsur kebalian itu tetap ada dan kental.

Tantangan dan Ancaman terhadap Kelestarian Identitas

Kebalian

261

Tantangan dan ancaman tidak selalu direspons sebagai sesuatu yang negatif. Artinya, dalam konteks ini, tantangan dan ancaman bisa menjadi sebuah peluang dan kekuatan bagi kelestarian identitas mereka. Komunitas ini sudah terbiasa dalam menghadapi tantangan dan ancaman

261

(5)

sebagai konsekuensi lingkungan dan kondisi sosial yang baru dan berbeda dengan tempat asal mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan tetap eksisnya komunitas ini dan identitas kebaliannya yang kental setelah empat dasawarsa berada di Lampung. Berikut ini adalah beberapa tantangan dan ancaman yang dihadapi oleh komunitas ini dalam dua dasawarsa terakhir:

Lingkungan Sosial dan Pergaulan yang Heterogen

Konsekuensi logis setelah masyarakat Bali Nusa bertransmigrasi ke Lampung adalah mereka harus menghadapi lingkungan sosial dan pergaulan yang baru. Sebuah lingkungan sosial dan pergaulan yang lebih heterogen. Berbeda dengan lingkungan sosial mereka ketika masih berada di Nusa Penida (dan Bali dalam wilayah yang lebih luas) dengan lingkungan sosial yang cenderung lebih homogen, dan posisi etnis-keagamaan sebagai mayoritas.

Heterogenitas masyarakat Lampung dapat dilihat dari komposisi masyarakatnya yang terdiri dari berbagai macam etnik dan kepercayaan. Khusus di Kecamatan Way Panji dan sekitarnya (dalam Kabupaten Lampung Selatan), terdapat beberapa kelompok etnik, diantaranya: Jawa, Lampung, Sunda, Padang, Batak, Melayu, dan Tionghua. Interaksi dengan lingkungan sosial yang lebih heterogen terjadi ketika mereka berada di luar lingkungan Desa Balinuraga, misalnya di Pasar Kecamatan Sidomulyo262.

Lingkungan sosial yang lebih heterogen, termasuk di dalamnya pergaulan atau interaksi sosial yang lebih heterogen, memberikan efek positif dan negatif terhadap kelestarian identitas mereka. Efek positifnya, seperti yang berlaku dalam sebuah masyarakat yang heterogen (pluralis), adalah kebebasan bagi mereka untuk mengaktualisasikan identitasnya, baik dalam bentuk ritual dan upacara adat dan keagamaan maupun penggunaan dan pembangunan simbol-simbol identitas tersebut. Tidak kalah penting adalah bagaimana mereka mereformasi sistem sosialnya (sebagai warisan dan identitas mereka dari tanah leluhur) menjadi lebih egaliter. Efek

262

(6)

negatifnya, yang dapat dikatakan sebagai ancaman (sekaligus peluang) adalah pengaruh-pengaruh dari lingkungan sosial dan pergaulan sosial yang heterogen tersebut. Misalnya (akan dibahas pada poin berikutnya) seperti: urbanisasi, konsumerisme dan pragmatisme, perkawinan beda etnis dan agama, praktek politik praktis yang merugikan, dan lain-lain. Garis besar dari pengaruh lingkungan dan pergaulan yang heterogen yang menjadi ancaman sekaligus peluang bagi komunitas ini adalah modernisasi. Ini bukan berarti mereka modernisasi atau anti-perubahan. Mereka terbuka terhadap modernisasi dan anti-perubahan. Mereka pun menyadari modernisasi banyak mendatangkan manfaat terhadap kegiatan ekonomi, adat dan keagamaan mereka, di mana dapat menunjang eksistensi identitas mereka. Modernisasi dapat menjadi ancaman ketika modernisasi tersebut dapat mengikis identitas kebalian mereka. Dengan kata lain, modernisasi serta perubahan tersebut sudah kelewat batas, di mana dimungkinkan menghancurkan fondasi-fondasi dasar ketradisonalan identitas kebalian mereka. Intinya adalah bagaimana modernisasi dan perubahan itu memberikan sebuah manfaat bagi keberlangsungan identitas mereka.

Urbanisasi

Perkotaan tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan muda di Balinuraga, khususnya mereka yang sudah lahir dan besar di Lampung serta pernah bersekolah di kota dan memiliki pergaulan yang luas. Perkotaan dalam pengertian umum yang mereka gunakan adalah “keluar kampung”. Perkotaan yang dijadikan tujuan urbanisasi terutama adalah kota-kota yang ada di wilayah Lampung, khususnya Bandar Lampung sebagai ibukota propinsi. Anak muda Balinuraga yang sudah menjadi urban ini berpendapat bahwa pengalaman akan mereka dapatkan ketika ada di kota, atau setelah berada di luar kampung. Umumnya anak muda ini adalah mereka yang sudah mengeyam pendidikan tinggi (sarjana dan diploma) di ibukota propinsi, kemudian menjadikan kota sebagai tujuan untuk bekerja.

(7)

pendidikannya ke ibukota kabupaten (umumnya), dan ke ibukota propinsi jika ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Melalui pergaulan di lingkungan sekolah perkotaan, dengan komposisi pelajar yang heterogen, mereka mendapatkan kesan udik (kampungan) jika mereka tinggal di desa atau kampung, termasuk di dalamnya bertani. Kesan atau stigma udik ini yang memotivasi mereka untuk berurbanisasi ke kota. Mereka yang berhasil di kota memberikan motivasi tersendiri bagi anak muda lain untuk mencari pengalaman di kota. Ada gengsi tersendiri bagi anak muda yang bersekolah dan bekerja di kota: menjadi masyarakat urban atau orang kota. Sektor pertanian bukan profesi yang menjanjikan dan bergengsi (dicap sebagai pekerjaan informal), terutama mereka yang telah berpendidikan tinggi dan terpengaruh oleh pola pikir masyarakat kota. Meskipun beberapa di antara mereka menyadari bahwa penghasilan yang mereka dapatkan dari bekerja di kota dan pengeluarannya, tentu tidak sebanding jika mereka mau bekerja di sektor pertanian. Jika dilihat dari penghasilan yang diperoleh dari sektor pertanian (dikurangi dengan pengeluaran kebutuhan sehari-hari dan belanja modal pertanian) dibandingkan dengan penghasilan anak muda (yang telah dikurangi pengeluaran sehari-hari di perkotaan) yang bekerja di sektor formal dengan upah sedikit dari UMR (Upah Minimum Regional), maka sebenarnya penghasilan bersih yang didapatkan lebih menjanjikan jika mereka bekerja di kampung, sektor pertanian.

(8)

menyerahkan pengelolaan tanah pertanian kepada saudara kandung laki-lakinya yang lain, sekalian bertugas menjaga orangtuanya. Jika tidak ada saudara kandung laki-laki atau saudara kandung laki-lakinya juga telah bekerja di kota, maka lahan pertanian tersebut tetap dikelola oleh orangtuanya (jika masih mampu), dikerjakan oleh orang lain, atau sebagian dijual sebagai modal usaha mereka. Mereka yang tidak mendapatkan jatah tanah warisan atau mendapatkan jatah warisan yang sedikit (karena dipecah) ini yang kemudian mendorong atau memotivasi mereka untuk berurbanisasi. Faktor positif dari sistem pembagian tanah ini adalah kegiatan pertanian di Desa Balinuraga tetap eksis, karena ada regenerasi dari orang tua ke anaknya, meskipun harus ada yang merelakan diri untuk tidak bekerja di sektor pertanian, baik karena tidak tertarik dan gengsi, maupun tidak mendapatkan warisan tanah pertanian yang mencukupi. Ada pula kasus lain, di mana anak muda merantau atau bertansmigrasi ke tempat lain yang tanahnya masih tersedia luas dan murah, serta kegiatan ekonomi di daerah tersebut (sektor industri pertanian, perkebunan) sedang berkembang pesat. Salah satunya di daerah perbatasan antara Lampung Timur dengan Sumatera Selatan.

(9)

Nyoman yang tinggal di perkampungan Bali di Tugu Mulya bisa mengembangkan bakat dan kemampuan seninya. Kemampuan Nyoman ini memberikan penghasilan yang cukup besar di samping usaha pertaniannya. Biasanya Nyoman menerima proyek atau pesanan untuk membuat bade untuk upacara ngaben masyarakat Bali di sana, di mana rata-rata masyarakat Bali di sana perekonomiannya sudah mapan. Untuk pembuatan bade rata-rata menghabiskan biaya dari puluhan juta sampai ratusan juta rupiah. Tergantung dari pihak pemesan. Pada umumnya anak-anak muda di Balinuraga, khususnya lulusan SMU dan perguruan tinggi, memutuskan bekerja di kota (keluar kampung) seperti yang dilakukan Komang dan Nyoman. Tanah pertanian Komang di Balinuraga masih dikerjakan separuh waktu oleh ayahnya yang masih bekerja sebagai seorang guru, sedangkan tanah pertanian Nyoman diserahkan kepada orang lain untuk menggarapnya.

Kasus urbanisasi yang terjadi di Balinuraga, sama seperti perkampungan lain (Jawa dan Bali) yang setelah orang tuanya mampu menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi di perkotaan, menyebabkan perkampungan ini sepi di hari-hari biasa. Desa Balinuraga mulai ramai ketika ada hari libur nasional (cuti bersama) – mereka yang di kota pulang ke kampung – dan ketika ada hari raya besar keagamaan dan upacara-upacara penting (khususnya upacara-upacara ngaben). Ikatan sosial yang masih kuat, di mana identitas kebalian masih melekat pada mereka yang sudah menjadi masyarakat urban, menyebabkan mereka tidak dapat melepaskan diri dari keterikatan di kampungnya (Balinuraga). Tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak pulang kampung jika ada upacara besar dan penting yang jumlahnya tidak sedikit. Karenanya, tidak mengherankan jika para pengusaha memaklumi jika ada karyawannya yang merupakan Bali Hindu kerap meminta izin untuk mengikuti kegiatan adat dan agama di kampungnya.

(10)

diselenggarakan upacara besar dan penting. Sumbangan tanah tersebut biasanya digunakan untuk merenovasi Pura Keluarga dan Pura Kawitan Warga sebagai prioritas utama, kemudian untuk membangun dan merenovasi rumah keluarga mereka.

Konsumerisme dan Pragmatisme

Tidak pada tempatnya bagi penulis secara umum untuk menyudutkan faham konsumerisme dan pragmatisme. Realitas yang terjadi di sebagian besar masyarakat di Indonesia untuk saat ini memiliki kecenderungan ke arah konsumerisme dan pragmatisme. Dalam kasus masyarakat di Balinuraga sikap dan tindakan yang konsumerisme dan pragmatisme dianggap menjadi tantangan dan ancaman dalam konteks tertentu.

(11)

seluler – seperti yang ditunjukkan pengusaha muda Nyoman Dunia. Secara ekonomi mereka mampu membelinya. Namun, jika pola membeli telepon seluler lebih dari yang dibutuhkan oleh generasi muda terus berlangsung, maka lambat laun ini akan menjadi ancaman, karena mereka adalah generasi penerus bagi kelestarian identitas kebalian leluhur mereka. Bisa saja – menjadi kekhawatiran generasi tua – jika pola konsumerisme ini terus berlanjut sampai mereka memasuki tahap dewasa, adalah mereka lebih mementingkan membeli barang-barang yang tidak perlu daripada menggunakannya untuk kepentingan adat dan keagamaan yang menjadi identitas mereka. Dengan kata lain, untuk membeli barang-barang sekunder mampu, tapi untuk memenuhi kebutuhan primer – untuk kebutuhan upacara adat dan kegamaan – mereka tidak mampu. Atau sebaliknya, menghabiskan dana yang besar (cenderung boros, menghambur-hamburkan uang) untuk menyelenggarakan sebuah upacara besar dan penting untuk sebuah status sosial dan gengsi, di mana dapat berujung pada kecemburuan sosial.

(12)

Hal ini dapat dimaklumi karena di sisi yang lain, kekolotan (melalui prosedur yang rumit dan bertele-tele) menjadi ciri khas dan identitas mereka.

Perkawinan beda Etnik dan Agama

Kasus ini adalah kasus yang jarang terjadi, karena ada kebiasaan untuk menikah dengan sesama Bali Hindu, lebih spesifik lagi, menikah dengan sesama Bali Hindu dengan identitas warga yang sama. Perkawinan atau pernikahan beda etnik dan agama sebenarnya tidak masalah, baik bagi laki-laki maupun perempuan, asalkan mereka tidak berpindah agama mengikuti istri atau suami, tapi sebaliknya istri atau suaminya mengikuti keyakinan mereka. Permasalahannya adalah jika pernikahan tersebut menyebabkan mereka meninggalkan keyakinan dan tradisi kebaliannya. Dengan kata lain, “ikut suami” atau “ikut istri” (mengikuti keyakinan suami atau istri). Identitas kebalian mereka akan hilang jika setelah menikah mereka berpindah agama, yang berarti tidak lagi menjadi Hindu dan Bali.

(13)

pengantin tetap mempertahankan identitas Bali Hindunya, tidak “ikut suami” atau “ikut istri”.

Ni Putu Shanti dan I Made Santeri berasal dari dua identitas warga yang berbeda. Shanti berasal dari Warga Pandé, sedangkan Santeri berasal dari Warga Pasek. Meskipun tidak ada permasalahan yang mendasar, karena tidak berpindah kepercayaan, pernikahan keduanya masih dianggap kurang ideal. Ini dikarenakan antara Warga Pandé dan Pasek mempunyai beberapa tata ritual dan upacara adat keagamaan yang berbeda. Pihak perempuan, Ni Putu Shanti, harus menyesuaikan diri dengan tradisi keluarga Santeri yang berasal dari Warga Pasek. Di sisi lain, Shanti dapat dikatakan tidak lagi menjadi Warga Pandé karena sudah menjadi Warga Pasek (mengikui warga suaminya). Pernikahan yang ideal dapat ditunjukan dari pasangan Ni Wayan Bunga dan I Made Gagah. Keduanya berasal dari satu identitas warga yang sama, yaitu Pandé. Karena itu, keduanya bisa mengikuti tradisi yang sama, tanpa harus meninggalkan tradisi leluhurnya, khususnya dari pihak perempuan. Permasalahan yang pelik adalah pernikahan antara Ni Ketut Asti dengan Joko dan I Nyoman Besar dengan Kusumawati. Baik Ni Ketut Asti maupun I Nyoman Besar mengikuti kepercayaan pasangannya. Akibatnya, mereka kehilangan identitas kebaliannya. Meskipun keduanya masih mengadakan silaturahmi, namun secara adat dan kepercayaan, keduanya tidak lagi dianggap sebagai Bali.

Politisasi (Massa) Umat untuk Kepentingan Politik Praktis dan

Politik Uang

(14)

digunakan untuk kepentingan politik praktis dirinya sendiri dan golongannya, serta ada yang mencoba menjualnya kepada calon-calon anggota legislatif atau pun kepala daerah.

Politisasi ini dianggap sebagai ancaman serius karena dianggap menjual suara umat Hindu Dharma. Dengan kata lain, jika ini terjadi, maka dapat dikatakan bahwa identitas kebalian mereka dapat ditransaksikan oleh segelintir elit politik, dan dapat merusak citra identitas kebalian. Para tokoh adat dan agama tidak ingin kekompakkan umat ini dijadikan sebagai komoditas politik yang bisa diperjualbelikan atau digunakan untuk kepentingan politik praktis dan politik uang elit-elit tertentu, karena dianggap merendahkan martabat (harga diri) umat. Dalam beberapa kasus pemilihan legislatif dan kepala daerah, elit politik yang justru mendapat kecaman justru berasal dari kalangan mereka sendiri. Mengapa? Karena elit ini dan melaluinya massa bisa dikonsolidasi, baik untuk kepentingan politik praktisnya sendiri maupun kepentingan politik elit lain. Seperti yang dilakukan I Kadek Rasa, tokoh pemuda dari Banjar Pandéarga. Sebagai tokoh pemuda dan salah satu elit desa dan banjar dapat dengan mudah mengetahui waktu dan tempat yang tepat di mana massa (umat) berkumpul saat diberlangsungkan upacara adat dan keagamaan. Menyadari tindakan ini sebagai ancaman, umat dan para tokoh masyarakat (adat dan agama) non-partisan lebih mengambil sikap netral. Artinya, mereka akan memilih berdasarkan pilihan rasionalnya sendiri terhadap calon-calon yang berkampanye dengan pertimbangan atau masukan dari para tokoh yang non-partisan. Ini dikarenakan setiap calon yang berkampanye selalu mengatakan bahwa mereka akan menjadi penyambung lidah komunitas mereka sebagai umat (Hindu Dharma), dan selalu mendonasikan sejumlah dana untuk kepentingan umat. Jadi, mereka tidak persoalkan slogan kampanye mereka untuk kepentingan umat maupun jumlah donasi. Terpenting adalah suara mereka sebagai perwakilan umat (etnis Bali beragama Hindu Dharma) tidak dapat diperjualbelikan oleh segelintir elit.

Sekte atau Aliran Baru dalam Hindu Modern

(15)

memberikan sebuah ruang kosong untuk tumbuh dan berkembanganya aliran-aliran baru (sekte-sekte baru) di mana salah satu karakteristiknya (sebagai aliran non-mainstream) adalah eksklusif dan cenderung radikal (fundamental). Ada dua aliran baru dalam perkembangan agama Hindu di Indonesia yang dimulai di tahun 1980-an, yaitu Sri Sathya “Sai Baba” dan “Hare Krishna”263. Kedua sekte ini, Sai Baba dan Hare Krishna, kurang lebih sama, hanya saja Hare Krishna jumlah anggotanya lebih kecil dan lebih radikal daripada Sai Baba264. Keeksklusifan kedua aliran ini, cenderung radikal dan fundamental, menyebabkan kedua aliran ini mendapatkan tentangan tidak hanya di Bali, dan uniknya, aliran ini juga berkembang di kalangan umat Hindu Dharma di Lampung, dan dalam kasus di Balinuraga, aliran ini – khususnya Hare Krishna – mendapatkan tentangan yang keras dari masyarakat atau umat Hindu Dharma (Bali Hindu).

Berkembangnya aliran Hare Krishna di Lampung pada kalangan masyarakat Bali Hindu (umat Hindu Dharma), khususnya (pernah) sampai di Balinuraga, cukup mengejutkan dan unik bagi penulis. Aliran Hare Krishna pernah berkembang di Balinuraga sekitar tahun 1990-an, sampai akhirnya (tidak diketahui kapan persisnya) kelompok aliran ini akhirnya meninggalkan Balinuraga. Pengikutnya tidak banyak, hanya beberapa kepala keluarga saja. Para pengikut aliran ini hidupnya tertutup dan eksklusif. Mereka tidak bergabung dengan berbagai upacara adat dan keagamaan seperti yang biasanya berlaku dalam masyarakat Bali Hindu, dan cenderung menutup diri. Menurut masyarakat, mereka adalah Hindu yang lain, bukan seperti layaknya Hindu Bali, tapi lebih ke Hindu India. Konsekuensinya, aliran ini dianggap oleh masyarakat sebagai aliran atau

263

Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai gerakan kedua aliran ini di Bali,

khususnya gerakan “Sai Baba”, lihat: Howe, Leo. (2005),

Hinduism, Identity, and Social Conflict: the Sai Baba Movement in Bali”, dalam Hinduism in Modern Indonesia: A Minority Religion between Local, National, and Global Interests,

Edited by Martin Ramstedt, London & New York: RoutledgeCurzon & NIAS; dan Howe, Leo. (2005: 91-110), „The New Religions of Bali: Agama Hindu dan Sri

Sathya Sai Baba (Chapter 5)‟, dalam The Changing World of Bali: Religion, society and tourism, London & New York: Routledge, Taylor and Francis Group.

264

(16)

sekte yang “sesat” karena menyimpang dari Hindu yang selama ini diterapkan oleh masyarakat Balinuraga dan masyarakat Bali pada umumnya. Aliran ini menurut mereka lebih mengutamakan kerohanian Hindu modern (lebih ke-India-an), sangat berbeda dengan Hindu-nya Bali, sehingga adat benar-benar terpisah dari keagamaan. Keberadaan aliran ini dianggap sebagai ancaman, meskipun Hindu dan pengikutnya adalah Bali, karena menurut masyarakat aliran ini tidak ada kebaliannya atau Bali Hindunya. Jika aliran ini terus menyebar di kalangan masyarakat, dikhawatirkan identitas kebalian mereka akan hilang, sebaliknya yang muncul adalah ke-India-an. Oleh karena itu, aliran-aliran modern dalam Hindu atau sekte-sekte dari India ini dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi identitas kebalian mereka setelah berada di Lampung. Menurut mereka, antara Bali dan Hindu itu sulit untuk dipisahkan, keduanya menyatu seperti dua sisi uang logam. Meskipun aliran Hare Krishna untuk saat ini vakum berkembang di kalangan masyarakat Balinuraga, namun berdasarkan informasi yang ada dari beberapa pemuda yang memahami pergerakan organisasi-organisasi Hindu di Lampung, aliran ini mempunyai basis di Bandar Lampung. Pengikutnya (mayoritas) adalah anak-anak muda Bali Lampung yang sedang studi di Bandar Lampung. Aliran ini memang eksklusif. Mereka hidup di sebuah asrama dengan aturan hidup yang disiplin (seperti di biara-biara: bekerja dan berdoa), sembari ada waktu yang disediakan untuk bersosialisasi.

(17)

ini, sebagai sekte yang cukup radikal tidak melakukan tindakan kekerasan dan penghinaan terbuka terhadap keyakinan lain. Peran PHDI dalam kasus ini adalah tetap sebagai penengah dan penjaga kerukunan umat agar tidak terjadi perpecahan. Menurut informasi yang diterima, aliran yang sejak mulanya mengucilkan diri dan dikucilkan oleh masyarakat, akhirnya secara sukarela pindah ke tempat lain dengan tetap membangun komunitas yang eksklusif.

Arus Informasi dan Teknologi Informasi

Televisi dan telepon seluler adalah media dan teknologi informasi yang hampir dimiliki oleh masyarakat Bali Nusa di Balinuraga. Televisi berwarna (dengan perangkat parabola) dan telepon seluler mulai dari keluaran lama sampai baru bukan sesuatu yang baru bagi masyarakat Balinuraga. Hampir setiap keluarga dan anggota keluarga memilikinya (televisi berwarna dan telepon seluler). Telepon seluler lebih umum digunakan oleh masyarakat daripada jaringan telepon rumahan. Untuk saluran televisi, sebagian menggunakan antena parobala, dan sebagian yang lain menggunakan antena televisi biasa karena untuk saat ini hampir semua saluran televisi swasta nasional sudah dapat diterima di Balinuraga (seperti: MetroTV, ANTV, TV One, Global TV, RCTI, SCTV, Trans TV dan Trans 7).

Hadirnya media informasi, televisi, tidak secara mutlak menimbulkan ancaman yang serius. Walaubagaimana pun fungsi televisi sebagai media informasi dan media hiburan memberikan manfaat bagi mereka. Sebagai media informasi mereka dapat mengikuti perkembangan politik yang terjadi di Jakarta secara up-to-date dengan adanya siaran langsung. Kasus yang menarik, yang untuk beberapa saat merubah pola menonton masyarakat, adalah siaran langsung sidang Pansus Century yang dilangsungkan secara terus menerus dalam siaran langsung (live) di beberapa televisi swasta265. Dramatisasi politik yang dilakukan oleh anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) tersebut cukup menarik

265

(18)

perhatian masyarakat, sehingga akhirnya mereka terangsang untuk mengikutinya secara terus menerus layaknya sebuah sinetron bersambung. Sebuah kesimpulan (berupa analisa politik) yang menarik dari sebagian kalangan masyarakat yang mengikuti sidang Pansus Century terebut, yaitu kebodohan para anggota legislatif pusat, seperti tidak memiliki pekerjaan lain yang lebih penting, menghabiskan waktu dan uang untuk sebuah sidang yang akhrinya tidak memberikan hasil apa-apa bagi rakyat. Sebagai media hiburan, hadirnya televisi memberikan efek positif bagi mereka sebagai sarana hiburan yang murah meriah dengan acara-acara box-office dan sinetron-sinetron kejar tayang. Bagaimana tidak. Tidak ada hiburan di desa, sebagai sarana hiburan untuk melepas kepenatan, kecuali organ tunggal yang diselenggarakan ketika ada hajatan perkawinan (peminatnya pun terbatas pada anak-anak muda, dan orang tua lebih memilih menonton televisi sebagai hiburan). Ancaman yang bisa dianggap serius dari media televisi adalah menonton sebuah siaran secara terus menerus (seperti kecanduan). Misalnya, sinetron yang umumnya diminati kaum perempuan dan ibu rumah tangga, serta film kartun (action) yang dimintai oleh anak-anak. Seperti yang sudah banyak dikritisi oleh banyak kalangan, tayangan sinetron di Indonesia umumnya tidak banyak mendidik penontonya (pemirsa). Unsur masyarakat urban yang hedonis dan konsumerisme lebih banyak ditonjolkan, seolah-olah mewakili realitas kebanyakan masyarakat Indonesia – dalam bahasa gaulnya sinetron-sinetron tersebut lebih banyak unsur lebay-nya (terlalu berlebih-lebihan, menghindari realitas atau kenyataan sosial yang ada). Begitu juga halnya film kartun dan terkadang siaran berita yang menonjolkan aksi-aksi kekerasan dan kriminalitas. Efek dari tayangan ini memang tidak muncul seketika. Namun, dalam beberapa kasus kecil ada beberapa tindakan dari anak muda dan keluarga muda yang terinspirasi oleh tanyangan sinetron. Misalnya, mode atau dandanan yang lebih modis ketika sedang ada acara di pura (terlalu menarik untuk menghadiri kegiatan religius) – tetap menggunakan busana adat, tapi lebih modis – menggunakan panggilan “mami” dan “papi” sebagai pengganti panggilan “ibu” dan “ayah / bapak”.

(19)

tertentu, atau “lupa” mematikan (turn-off atau silent) telepon seluler. Umumnya ini dilakukan oleh anak muda yang lebih akrab yang telepon seluler. Meskipun bukan merupakan ancaman yang serius untuk saat ini, tapi tindakan menerima panggilan telepon atau telepon berbunyi ketika upacara berlangsung, menyebabkan kekhusukan atau kereligiusan sebuah upacara menjadi berkurang. Ada kesan kurang menghargai keluhuran dari upacara tersebut. Jika tidak diantisipasi serius, bukan tidak mungkin, kejadian seperti ini akan terus berlangsung dan akhirnya sikap tersebut menyebabkan keacuhaan akan identitas kebalian mereka yang turut termanifestasikan dalam penyelenggaraan upacara-upaacara dan ritual-ritual adat dan keagamaan. Terkadang ada semacam pemberitahuan agar telepon seluler dimatikan atau didiamkan sebelum upacara berlangsung agar tidak menggangu jalannya upacara, namun kasus telepon seluler yang berbunyi saat upacara tetap saja ada. Menariknya, nada panggilan telepon seluler ada yang menggunakan Kidung Hindu, tapi sebaliknya ada yang menggunakan lagu-lagu pop (dan beberapa lagu rock) dari dalam dan luar negeri.

Peluang dan Keunggulan terhadap Kelestarian Identitas

Kebalian

(20)

Peluang Ekonomi untuk Kelestarian Identitas dan Pembangunan

Lingkungan yang baru – daerah transmigrasi di Lampung – menawarkan peluang ekonomi yang besar dibandingkan tempat asal mereka di Nusa Penida (Bali), yaitu peluang ekonomi di bidang pertanian. Ketersediaan tanah sebagai modal utama di bidang pertanian masih luas (tahun 1963 saat pertama kali mereka bertransmigrasi) dan murah, kontur tanah datar dan subur, serta didukung oleh kebijakan pemerintah pusat yang mendukung daerah transmigrasi di Lampung sebagai daerah penghasil beras. Dengan kata lain, peluang dan kesempatan ekonomi terbuka lebar di daerah transmigrasi bagi siapa saja yang mau bekerja keras.

(21)

Kelestarian atas eksistensi identitas kebalian tidak cukup pada lengkapnya pembangunan infrastruktur-infrastruktur adat dan keagamaan tersebut, tapi juga pada pembangunan non-fisik yang mencerminkan kebalian mereka. Misalnya, pelaksanaan dan penyelenggaraan upacara dan ritual adat-keagamaan dari yang bersifat harian sampai yang bersifat besar dan penting. Semuanya membutuhkan biaya. Pembangunan komunitas yang bersifat non-fisik ini membutuhkan biaya yang bersifat berkesinambungan, dari biaya yang relatif kecil untuk upacara yang bersifat harian dan berkala, sampai biaya yang relatif besar untuk upacara besar dan penting. Tanpa pemanfaatan peluang ekonomi yang maksimal, pembangunan ini tidak dapat berhasil seperti sekarang, di mana pembangunan itu sendiri merupakan cerminan dari kelestarian atas eksistensi identitas kebalian mereka.

(22)

Sebagai perbandingan, sampai saat ini peluang ekonomi di wilayah Lampung lebih besar daripada di Nusa Penida, Bali, tanah leluhur mereka. Dapat dikatakan keadaan ekonomi kerabat dan saudara mereka di Nusa Penida tidak ada perkembangan yang signifikan, karena kondisi alam di sana yang memang tidak memungkinkan bertumbuhnya perekonomian secara signifikan. Dalam kasus di Balinuraga, mereka yang berhasil adalah mereka yang berhasil memanfaatkan peluang ekonomi ini dengan maksimal. Kemudian, mereka yang berhasil ikut mendonasikan sejumlah dana dan tenaga (pulang kampung) untuk berbagai kegiatan adat dan keagamaan di Nusa Penida. Ini merupakan sebuah kewajiban bagi mereka, dan ini juga ditujukan sebagai kelestarian eksistensi identitas mereka sebagai Bali Nusa. Melepas kewajiban dan tanggungjawab adat dan keagamaan di Nusa Penida sama saja dengan melepas identitas kebalian mereka sebagai Bali Nusa. Seperti kata pepatah: “tidak ada makan siang gratis”. Begitu pula dalam hal pelestarian identitas. Tidak ada yang gratis, semua butuh biaya. Dan biaya tersebut, hanya bisa dipenuhi dengan semaksimal mungkin memanfaatkan peluang ekonomi yang ada, jika perlu, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Bali Nusa di Balinuraga, adalah bertransmigrasi atau merantau.

Peluang Sosial: Revisi Sistem Sosial

(23)

cenderung manipulatif atas sistem varna (warna). Sistem warga ini dinilai lebih egaliter, tidak diskriminatif, dan tidak ada perlakukan istimewa terhadap kalangan atau kelompok tertentu berdasarkan garis keturunan leluhurnya. Kini, status sosial lebih condong ditentukan oleh kemampuan si individu (kepengetahuan dan keterampilannya dalam bidang tertentu, terutama di bidang adat istiadat dan keagamaan) dan tingkat ekonominya. Dengan kata lain, sistem sosial tersebut mulai bergeser dari sistem sosial tradisioanal – yang cenderung menekankan patron-klien (feodal), hak-hak istimewa berbadasarkan garis keturunan (seperti wangsa, kasta) – menjadi sistem sosial yang lebih modern, di mana kedudukan atau status sosial individu lebih ditentukan oleh faktor profesionalitas dan kapabilitas, selain faktor kapitalisme (kekayaan, kepemilikan modal)sebagai pengaruh lingkungan baru yang masyarakatnya (Lampung) mulai masuk ke dalam masyarakat industri (pertanian). Jadi, modifikasi atau revisi sistem sosial tradisional tersebut terbatas pada unsur-unsur yang dianggap tidak relevan dengan lingkungan sosial mereka yang baru, bukan sebuah revolusi radikal atas sistem sosial tradisional tersebut, karena itu adalah identitas mereka.

(24)

secara radikal atas sistem sosial yang tradisional tersebut mengakibatkan hilangnya identitas kebalian itu sendiri. Dengan kata lain, revisi tersebut dilakukan atas dasar koridor dan ruang kosong yang sebenarnya telah disediakan oleh sistem itu sendiri sebagai akibat dari adanya kontradiksi-kontradiksi unsur-unsur di dalam sistem tersebut: ada konsep yang menjunjung tinggi perubahan / penyesuaian, keegaliterian, dan kemanusian (seperti konsep kala dan patra, Tri Hita Karana, menyama braya (menyame braye), dan lain-lain), tapi di sisi lain, ada konsep yang cenderung diskriminatif seperti konsep wangsa (kasta) yang cenderung manipulatif.

Sistem Sosial Masyarakat Bali sebagai Sebuah Keunggulan

Keberadaan dan eksistensi identitas kebalian di komunitas Bali Hindu di Balinuraga dan perkampungan Bali lainnya di Lampung tidak dapat dilepaskan dari eksistensi sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat Bali. Sebuah sistem sosial yang kompleks, di mana di dalamnya terdapat (sub-) sistem-sistem lain yang saling berkaitan satu dengan yang lain, seperti sistem adat, sistem keagamaan, sistem kekerabatan, sistem politik, sistem ekonomi, dan sebagainya. Setiap (sub-) sistem-sistem tersebut terwadahi oleh berbagai organisasi, perkumpulan atau kelompok tradisional yang disebut seka (di level yang lebih kecil dan spesifik), banjar, dan desa adat. Kompleksnya sistem tersebut terkadang terjadi tumpang tindih secara teknis dan fungsional antara satu seka dengan seka yang lain, dan bagi mereka itu bukan sebuah masalah atau biasa saja.

(25)

setelah berada di luar Bali. Kompleksnya sistem ini, yang tidak terbatas pada adat dan keagamaan, tapi juga ke bidang ekonomi, politik, kesenian, dan sebagainya, menyebabkan komunitas ini bisa melakukan proses pembangunan fisik dan non-fisik untuk kepentingan komunitasnya.

Model kepemimpinan sampai pengorganisasian lembaga-lembaga (semi) tradisional semua sudah tersedia dan terstruktur dalam sistem sosial ini. Misalnya, siapa yang layak menjadi pemimpin (seperti pemimpin adat, agama, seka, banjar, desa adat) dan bagaimana pemilihannya, siapa yang menjadi pembantunya, apa tugasnya (hak dan kewajiban), prosedur-prosedur apa yang harus dilakukan untuk upacara dan ritual tertentu, dan lain-lain. Dalam kasus yang sederhana pun, misalnya penentuan hari baik untuk melakukan kegiatan tertentu, semuanya sudah ada dan tersedia dalam sistem ini, dan ini tetap diadaptasi oleh mereka karena ini sudah menjadi bagian dari dalam diri mereka seperti sistem itu sendiri. Untuk membangun sebuah rumah atau pun pura, semua memiliki prosedur yang sudah tersedia dalam sistem ini. Mereka tidak bisa membangunnya tanpa mempertimbangkan dan menerapkan berbagai prosedur tersebut. Begitu pula dalam hal prosedur tata upakara (penyajian bantenan atau sesajen), semua memiliki prosedur, dan setiap prosedur memiliki makna serta ada semacam sanksi jika melanggar prosedur-prosedur tersebut.

(26)

sudah berada di Lampung mereka harus membangun Pura Kahyangan Tiga dan Rong Telu di level keluarga (meskipun masih sangat sederhana di masa awal transmigrasi). Begitu pula dengan pembangunan infrastruktur adat dan keagamaan lainnya, termasuk pemimpin yang menjadi patron bagi anggota komunitas. Dengan kata lain, sistem sosial dalam masyarakat Bali yang sudah melembaga ini memiliki sebuah mekanisme kerja yang otomatis, seperti sebuah mesin. Mekanisme ini yang kemudian mengerakkan sumber daya yang ada (anggota komunitas) untuk menata komunitasnya berdasarkan tatatan yang sudah tersedia di dalam sistem tersebut. Kerja nyata dari mesin sosial ini (sistem sosial masyarakat Bali) dapat dilihat saat ini dari eksistensi identitas kebalian mereka setelah berada di luar Bali. Jika mesin sosial ini tidak bekerja, tentu berbagai komunitas Bali Hindu yang ada di Lampung, termasuk di Balinuraga, sudah hancur – dalam arti kebaliannya hilang karena membaur dengan komunitas lain, seperti yang terjadi dengan komunitas Jawa – dan tidak bisa membangun sebuah perkampungan Bali yang lengkap dengan institusi-institusi adat-keagamaan dengan berbagai macam pranata dan infrastruktur fisik dan non-fisik sebagai penunjang keberlangsungan sistem sosial tersebut. Ini yang menyebabkan mengapa komunitas Bali yang di Bali tersebar ke dalam berbagai desa adat, dan mungkin lebih nyata terlihat setelah mereka berada di luar Bali (seperti kasus Balinuraga), dapat disebut sebagai sebuah desa atau komunitas yang otonom, seperti sebuah negara. Ini adalah keunggulan dan kekuatan mereka ketika sudah berada di luar tempat asalnya dan berada di dalam sebuah lingkungan baru yang heterogen.

Ketekunan dan Kerja Keras

(27)

bermain kartu gaplek, remi atau ceki). Karakteristik umum lainnya yang menjadi ciri khas masyarakat Bali di Bali, termasuk di Balinuraga adalah bakat atau jiwa seni. Ini dapat dilihat dari berbagai macam karya seni yang mereka hasilkan, termasuk dalam hal yang kecil adalah bagaimana mereka berkreasi menghias pura keluarga ketika ada hari raya besar dan membuat bantenan. Terlepas dari karakteristik lain yang bersifat umum, baik yang bersifat baik maupun kurang baik, ketekunan dan kerja keras adalah keunggulan atau kekuatan mereka sebagai modal untuk meningkatkan perekonomiannya, di mana hasil dari kerja keras tersebut nantinya akan digunakan untuk melestarikan identitas kebalian mereka yang sebenarnya costly (membutuhkan biaya yang tidak sedikit, relatif mahal).

Gambar 64. Kartu Ceki

(Kartu Ceki ini mudah ditemukan di jalan. Biasanya dibuang begitu saja setelah selesai bermain)

(Sumber: Yulianto, 2010)

(28)

berprofesi sebagai petani bekerja di lahan pertanian. Awal musim tanam ini ditandai dengan datangnya musim penghujan. Jika hujan pertama datang – yang menandakan musim penghujan – para petani langsung bergegas ke sawah untuk membajak tanah sebagai persiapan pembenihan dan masa tanam. Hal ini harus segera dilakukan karena model persawahan mereka adalah sawah tadah hujan, di mana selama musim kemarau lahan pertaniannya tidak digunakan untuk menanam padi.

Ketekunan dan kerja keras petani Balinuraga masih didukung dengan adanya organisasi atau perkumpulan tradisional yang bergerak ke bidang ekonomi atau pertanian, yaitu seka tani (krama subak). Ketekunan dan kerja keras ini dimanifestasikan dalam kerja berkelompok berdasarkan komunitas banjarnya. Ini yang menonjol dari masyarakat Bali di Balinuraga, dan masyarakat Bali lainnya di Lampung (secara umum). Karenanya, tidak mengherankan jika petani Bali di Lampung dikenal sebagai petani yang agresif dalam bekerja. Sampai akhirnya mereka (petani Bali) beserta petani Jawa dengan kedudukan keduanya sebagai pendatang berhasil menggeser peran dan perekonomian masyarakat lokal (penduduk asli Lampung) di bidang pertanian.

Pelestarian Identitas

(29)
(30)

golongan jaba – sebuah golongan yang menjadi mayoritas di Bali, tapi memiliki status sosial yang dianggap bawah oleh sebagian kalangan.

Berikut ini adalah beberapa upaya pelestarian identitas yang dilakukan komunitas Bali Hindu di Balinuraga – sebuah upaya yang dilakukan berdasarkan konteks yang terjadi dalam komunitas tersebut dan lingkungannya:

Adaptasi

(31)

melimpah. Dalam kasus ini, transmigran menjadi penolong masyarakat setempat yang terganggu dengan populasi babi hutan yang waktu itu cukup mengganggu.

Adaptasi lain yang harus mereka lakukan terkait dengan kondisi alam yang berbeda adalah masalah pengelolaan tanah pertanian. Ada dua kendala yang mengharuskan mereka beradaptasi dengan kondisi alam ini untuk bercocok tanam: (1) mereka harus mulai terbiasa untuk menggarap sawah yang mengandalkan air hujan sebagai sumber air utama untuk mengairi padi; dan (2) bercocok tanam di tanah datar. Untuk kendala ini mereka tidak mengalami masalah yang berarti untuk beradaptasi. Adaptasi dapat dilakukan dengan cepat. Di Nusa Penida mereka menghadapi tanah garapan yang terjal dengan sumber air yang sangat terbatas, sama-sama mengandalkan air hujan seperti di Lampung, tapi dengan debit air hujan yang lebih sedikit. Kendala utamanya terletak saat mereka membuka lahan pertanian. Mereka harus nebang alas. Sebuah pekerjaan yang cukup beresiko, tidak hanya dari ancaman binatang lihar, tapi yang tidak kalah berbahayanya adalah serangan nyamuk malaria.

(32)

Nusa sangat terbatas pada komunitasnya sendiri, dan transmigran Bali dan Bali Nusa yang sudah ada Lampung Selatan yang kedatangannya ke Lampung jarak waktunya tidak terlalu lama. Syarat mutlak untuk berinteraksi dengan komunitas lain adalah penggunaan Bahasa Indonesia. Agar bisa berbahasa Indonesia dibutuhkan waktu beberapa tahun, karena ini tergantung seberapa sering transmigran ini berinteraksi dengan komunitas lain yang menggunakan Bahasa Indonesia. Selain Bahasa Indonesia, mereka harus beradaptasi juga dengan penggunaan Bahasa Jawa (ngoko). Komunitas transmigran Jawa adalah mayoritas. Sama seperti mereka, transmigran Jawa lebih senang menggunakan bahasa ibunya dalam pergaulan sehari-hari, daripada menggunakan Bahasa Indonesia. Mengingat jumlah mereka adalah mayoritas, mau tidak mau, mereka juga harus beradaptasi dengan bahasa ini. Untuk mengerti Bahasa Jawa mereka tidak begitu mengalami kesulitan, karena ada beberapa persamaan kosakata – ini tidak terlepas dari keberhasilan Jawa (Majapahit) menguasai Bali di bawah pimpinan Gajah Mada. Bahasa Lampung sendiri adalah bahasa yang jarang digunakan dan dijumpai, kecuali di kalangan masyarakat Lampung asli. Para pendatang jarang yang bisa atau pun tertarik untuk memahami serta menggunakan bahasa ini sebagai bahasa pergaulan. Hal ini cukup unik karena di wilayah lain di luar Lampung, seperti Palembang, Bengkulu, Jambi, Padang, dan lain-lain, bahasa daerah (bahasa melayu) sering digunakan sebagai bahasa pergaulan, dan pendatang umumnya memahami dan bisa menggunakan bahasa tersebut.

(33)

Adaptasi yang tidak kalah penting adalah bagaimana sistem sosial mereka bisa diadapatsikan – sebagai proses penyesuaian dengan lingkungan yang baru – agar identitas kebalian mereka bisa tetap lestari (seperti yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya). Proses penadaptasian ini disesuaikan dengan kondisi kala dan patra. Konsekuensinya adalah ada beberapa hal yang dikurangi atau pun ditambahi. Pengurangan atau penambahan sifatnya sebagai penyesuain, perubahan atas sistem sosial itu tetap ada dan tidak dapat dielakkan karena lingkungan dan konteksnya berbeda, hanya ada koridor atau batasan-batasan tertentu – yang penting tidak melanggar ketentuan yang umum. Salah satu contoh sederhananya “subak”, krama subak tetap ada dan fungsinya tetap dijalankan sebagai lembaga adat dan keagamaan, meskipun tidak ada sistem irigasi atau pembagian air. Kemudian, menggunakan sumur bor sebagai sumber air untuk kebutuhan pertanian. Begitu pula dengan contoh kasus penyelenggaraan upacara pitra yadnya (ngaben pribadi). Ada beberapa pengurangan dan penambahan seperti pembangunan bade maupun teknis pelaksanaan upacara. Berbagai modifikasi sistem yang dilakukan – pengurangan dan penambahan – agar sistem ini tetap relevan dengan lingkungan yang baru, dan akhirnya kelestarian identitas yang tercermin dari sistem tersebut tetap terjaga.

Memperkuat Benteng Identitas

(34)

yang berasal dari tanah leluhur. Identitas kebalian sudah menjadi bagian dari setiap individu, karenanya ketika identitas tersebut terancam naluri menuntun mereka untuk memperkuat identitasnya.

Membangun desa adat, banjar, seka-seka, krama subak, pura kahyangan tiga, pura kawitan warga, pura keluarga, bale banjar, (dan pranata-pranata sosial lainnya) serta pelaksanakan kewajiban adat dan agama, dilakukan atas sebuah dorongan dari dalam diri setiap anggota komunitas. Dorongan ini akan menjadi sebuah tindakan kolektif (massa) ketika ada seorang patron yang dipercayai dan mendapat kepercayaan dari kliennya (anggota komunitas, massa).

Basis massa terdapat di level banjar, sekaligus menjadi basis adat, keagamaan, kekerabatan, kesenian, politik, dan ekonomi yang diwadahi oleh seka-seka. Identitas kebalian – kebudayaan Bali Hindu – dilestarikan melalui lembaga-lembaga tradisional ini. Sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat Bali Nusa di Balinuraga untuk melaksanaan berbagai kegiatan di dalam lembaga-lembaga tradisional ini dengan dengan melibatkan jumlah anggota yang besar atau berkelompok. Seperti yang diutarakan oleh Geertz (1977: 89) dalam studinya di Tabanan yang menyebutkan bahwa orang Bali melakukan segala sesuatu secara berkelompok, bahkan untuk mengerjakan tugas yang paling sederhana sekali pun, dan, seperti yang telah ditunjukkan oleh Gregory Bateson dan Magaret Mead, hampir senantiasa melibatkan jumlah tenaga yang jauh melebihi yang secara teknis diperlukan266. Terlepas dari banyaknya jumlah anggota yang terlibat dalam berbagai kegiatan di dalam lembaga-lembaga tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Balinuraga. Poin penting yang dapat diambil adalah rasa kepemilikkan yang kuat atas identitas tersebut dan kelestariannya. Ini adalah kebiasaan yang mereka adaptasi dari kebiasaan yang ada di Nusa Penida (Bali), dan ini pun adalah sebuah tradisi. Terlebih setelah berada di Lampung, kerja berkelompok ini dapat menunjukkan kesolidan komunitas mereka dalam upaya mempertahankan identitas Balinya. Massa selalu ada di setiap upacara besar dan penting. Ada partisipasi aktif di dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, meskipun secara

266

(35)

teknis jumlahnya melebihi dan ada pertentangan identitas di dalamnya. Keterlibatan massa dalam setiap upacara besar dan penting – meminjam istilah Geertz (1980) – sebagai negara teater267. Kontes negara teater seperti ini dengan keterlibatan massa yang besar dalam perhelatan upacara besar dan penting tetap ada setelah keberadaan mereka di Lampung, dan ini menjadi identitas orang Bali di Lampung (seperti kasus Balinuraga). Hanya saja, konteksnya berbeda, suasana lebih egaliter, tidak menonjolkan kekuasaan raja atau triwangsa. Dengan kata lain, ini adalah negara teater atau pentas-nya jabawangsa yang ada di luar Bali. Kontes ini tentunya tidak dapat terlaksana – dalam upaya pelestarian identitas – jika tidak ada benteng yang kuat, di mana massa terkonsolidasi di dalamnya.

Fungsi utama memperkuat benteng identitas – melalui lembaga-lembaga tradisional sebagai basis massa – adalah sebagai wadah pelestarian identitas. Massa yang berkumpul di dalam lembaga-lembaga tradisional ini menjalankan berbagai aktivitas dan kegiatan yang mencerminkan kebalian mereka. Misalnya, seka gong yang dimiliki beberapa banjar. Seka gong ini menjadi wadah kesenian Bali masyarakat Balinuraga. Tidak hanya sebagai lembaga kesenian, seka gong pun turun memainkan peran ekonominya untuk tetap melestarikan eksistensi lembaga tradisional ini, sekaligus menjadi lembaga untuk kepentingan adat dan keagamaan. Setiap ada upacara besar dan penting, seka gong terlibat dalam proses upacara tersebut. Musik gamelan dan tarian Bali adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan adat dan keagamaan dalam tradisi Bali. Sebuah sistem sosial tradisional yang kompleks dengan berbagai lembaga-lembaga tradisional, tapi ini adalah kebalian mereka setelah berada di Lampung. Melaluinya proses pelestarian identitas kebalian ini dilangsungkan dan kokoh. Meskipun pembangunan benteng identitas ini merupakan sebuah tindakan sadar yang didasarkan atas dorongan alam bawah sadar mereka sebagai individu maupun sebagai komunitas.

267

Geertz, C. (1980), Negara; The Theatre State in Nineteenth Century Bali,

(36)

Masyarakat sebagai Agen Pelestari Identitas sekaligus Agen

Yang Terstruktur

Identitas kebalian tercermin dari sistem sosialnya, begitu juga sebaliknya. Keduanya saling melekat erat dan tidak dapat dilepaskan. Identitas dan sistem sosial ini sudah melembaga di setiap anggotanya. Dalam kasus ini anggota merupakan subjek atau agen yang mencerminkan identitas dan sistem sosial di dalamnya, dan juga sebagai subjek (agen) yang sebenarnya sudah terstruktur oleh identitas dan sistem tersebut. Dalam kasus masyarakat Bali Nusa di Balinuraga, terdapat dualitas peran masyarakat sebagai subjek (agen) yang bertanggungjawab sebagai pelestari identitas. Di satu sisi, mereka menjadi agen aktif di mana mereka berpartisipasi aktif dalam melestarikan identitas dengan melakukan berbagai perubahan. Di sisi lain, mereka menjadi agen pasif dikarenakan diri mereka sebagai individu sebenarnya sudah terstruktur atau distrukturkan oleh sistem sosial tersebut dengan identitas kebaliannya.

(37)

tersebut tetap berjalan dengan ciri khas ketradisionalannya. Artinya ada sebuah aturan atau hukum di dalam sistem tersebut yang sudah melembaga di dalam diri mereka sebagai individu yang menjadikan diri mereka sebagai agen yang pasif. Dalam kasus upacara pitra yadnya (ngaben pribadi) masyarakat bisa menjadi agen yang aktif dalam melestarikan identitas kebaliannya dengan melakukan inovasi dan kreasi baru dalam pembangunan bade, patulangan, tata upacara dan upakara, dan lain-lain. Namun, di sisi lain, mereka tidak bisa – takut dan tidak berani – untuk melakukan upacara pembakaran jenasah seperti layaknya di India. Hal ini dikarenakan kebalian mereka akan hilang. Jika diperhatikan dengan seksama, sebenarnya peran struktur dalam sistem sosial masyarakat Bali, seperti kasus di Balinuraga, masih kuat, tapi tidak mutlak. Lingkungan yang baru dengan kala dan patra yang berbeda memberikan ruang bagi masyarakat untuk menjadi agen aktif untuk melestarikan identitas kebalian mereka.

(38)

dengan lingkungan sosial yang heterogen (sesuai dengan filosofi Tri Hita Karana).

Kreativitas

(39)

karya kreatif yang lain daripada yang lain, tentu setelah ada yang memeloporinya, maka karya kreatif tersebut akan ditiru oleh anggota komunitas yang lain di dalam Desa Balinuraga dan komunitas Bali Hindu di perkampungan Bali lainnya (yang tertarik dan menaruh minat yang mendalam atas hasil karya kreatif tersebut). Hasil dari proses kreatif ini, yang dapat dilihat dalam hasil kerja kreatif pengaryaan bangunan simbol atau ornamen yang menjadi elemen inti dari identitas, yang menjadikan identitas sebagai sesuatu yang dinamis, terus mengalami proses perubahan, dan tidak secara absolut ajeg. Dengan demikian, kreativitas dapat mendukung proses pelestarian identitas, menjadikan identitas itu semakin relevan dengan lingkungan yang baru.

Perkawinan

Perkawinan merupakan strategi klasik yang dilakukan oleh hampir semua etnis (suku bangsa) di dunia untuk melestarikan identitasnya, khususnya terkait identitas etnis, keagamaan dan kebudayaan. Meskipun pluralisme menjadi sebuah tren dan wacana yang menarik dalam membina sebuah hubungan sosial yang harmonis di berbagai tempat, namun tetap saja seorang Yahudi akan memprioritaskan seorang Yahudi untuk menjadi pasangannya, begitu pula dengan seorang Tionghua, India, Batak, Jawa, dan lain-lain – perkawinan endogami. Tanpa harus mengingkari realitas yang ada – meskipun tidak dalam jumlah besar – bahwa ada seseorang dari etnis A menikah dengan etnis B, C, D, dan seterusnya. Sebuah kasus yang relatif jarang terjadi, karena tetap saja prioritas utama adalah menikah dari kalangan etnis dengan identitas keagamaan dan kebudayaan yang sama.

(40)

yang menyebabkan pihak yang bersangkutan meninggalkan identitasnya sebagai Bali Hindu dengan mengikuti tradisi dan kepercayaan pasangannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mereka yang setelah menikah meninggalkan identitasnya sebagai Bali Hindu, maka baik langsung atau tidak langsung, pihak bersangkutan maupun lingkungan sosialnya akan melakukan pengucilan.

Model perkawinan yang berlaku di Balinuraga – secara umum berlaku sama dengan masyarakat Bali pada umumnya – adalah menikah dengan sesama orang Bali. Tujuannya sudah jelas, agar identitas kebalian mereka tidak hilang dan tetap lestari. Meskipun pasangan yang bersangkutan menjadi Bali Hindu, namun tetap saja ada kendala internal di dalam komunitas tersebut, baik salam proses adaptasi menjadi Bali Hindu maupun cibiran. Model ideal yang umum adalah menikah dengan sesama Bali Hindu. Model ideal yang spesifik adalah menikah dengan sesama Bali Hindu yang berasal dari golongan yang sama, dan yang lebih spesifik adalah menikah dengan sesama Bali Hindu dengan identitas warga yang sama. Menikah dengan sesama Bali yang berasal dari golongan yang sama, seperti golongan jaba menikah dengan sesama Bali Hindu yang berasal dari golongan jaba; sedangkan contoh yang lebih spesifik adalah seorang Warga A menikah dengan seseorang yang juga berasal dari Warga A – model perkawinan dengan klan (warga) yang sama. Misalnya, seperti yang telah diuraikan di muka, pernikahan Ni Wayan Bunga dan I Made Gagah yang keduanya berasal dari Warga Pandé.

(41)

Hindu. Tradisi mereka, yang tercermin dalam kegiatan adat dan keagamaan, memiliki perbedaan, di mana perbedaaan itu menjadi identitas warga tersebut. Karena modelnya sangat patrilineal, tentu yang menjadi “korban” adalah pihak wanita. Jika ia menikah dengan warga yang berbeda, tentu ia akan kesulitan untuk beradaptasi dengan tradisi yang berlaku dalam warga suaminya. Belum lagi dari pihak keluarga, yang setelah pernikahannya dengan warga yang berbeda kemudian ia mengikuti warga suaminya, pihak wanita seolah-olah telah menjadi orang luar dari keluarga besarnya, yaitu warga atau klan. Karenanya, baik dari keluarga pihak wanita maupun dari pihak pria, selalu menganjurkan agar menikah dengan sesama warga-nya sendiri. Meskipun demikian, perkawinan beda warga masih dinilai lebih baik daripada terjadi perkawinan beda golongan (wangsa), atau pun yang lebih khusus, perkawinan beda etnis dan agama. Tujuan besar dari model ideal secara umum mengapa sebaiknya menikah dengan sesama Bali Hindu – terutama dengan golongan yang sama dengan identitas warga yang sama – adalah agar identitas kebalian mereka tetap lestari. Sebuah model ideal yang sebenarnya sangat manusiawi, karena adanya ketakutan (merasa terancam) identitasnya (etni, keagamaan dan kebudayaan) tidak bisa lestari (terwariskan) sampai generasi berikutnya. Sebuah ketakutan yang mungkin dirasakan oleh kelompok etnis yang ada di tempat lain, di mana etnisitas dan agama menjadi identitas mereka. Walaubagaimana pun identitas bisa lestari jika ada proses regenerasi atau pewarisan identitas dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pewarisnya adalah para keturunan, yaitu anak, cucu, cicit, dan seterusnya, yang tercipta melalui proses perkawinan. Karenanya, keadaan yang ideal adalah identitas tersebut diwariskan kepada keturunannya yang “murni”, dari hasil perkawinan dengan sesama anggota komunitasnya yang memiliki persamaan identitas.

Konflik Identitas

(42)

kelompok yang eksklusif, cenderung tertutup, “sensitif” dan “angkuh” (muncul karena adanya kepercayaan diri yang tinggi atas identitasnya dengan massa yang solid). Potensi konflik muncul – dan bisa berakhir dengan konflik – dalam kondisi di mana kelompok-kelompok ini berusaha mengaktualisasikan identitas kelompoknya dalam sebuah ruang publik terbuka dalam sebuah lingkungan sosial yang heterogen – ada kebebasan untuk mengaktualisasikan identitas kelompoknya. Persoalan kecil pun jika dipolitisir oleh pihak tertentu yang menginginkan terjadi kekacauan (biasa disebut provokator), maka konflik terbuka (konflik fisik) sangat dimungkinkan terjadi. Kejadian ini menjadi sebuah fenomena umum yang terjadi di Indonesia pasca Suharto, di mana ada kebebasan dari berbagai kalangan untuk mengapresiasikan identitas kelompoknya dalam sebuah lingkungan sosial yang terbuka. Akibatnya terjadi berbagai jenis konflik, mulai dari skala kecil sampai besar, di mana konflik tersebut sangat kental dengan politik identitas yang bersifat kedaerahan (lokal)268. Umumnya terjadi antara kelompok pendatang dengan kelompok asli (penduduk lokal atau penduduk asli setempat).

Keinginan sebuah kelompok untuk mengapresiasiakan dan mengaktualisasikan identitasnya merupakan tindakan yang manusiawi. Ada keinginan agar identitasnya mendapatkan pengakuan dari lingkungan sosialnya. Tujuan utamanya adalah pelestarian identitas, di mana identitas tersebut merupakan jati dirinya sebagai individu dan kelompok. Dalam masyarakat Indonesia yang pluralis dengan beragam identitas etnis, ras, keyakinan dan kepercayaan (agama), golongan politik, dan lain-lain, konflik sangat dimungkinkan terjadi jika “ego” antar kelompok yang menguatkan kelompoknya berdasarkan identitas tertentu tidak bisa ditekan. Dengan kata lain, setiap kelompok secara kukuh mempertahankan “ego” identitas kelompoknya secara berlebihan – cenderung “angkuh”, di mana

268

(43)

keangkuhan ini menyebabkan kesensitifan yang kuat pada kelompok dan anggotanya, sehingga mudah tersinggung dan tersulut amarah untuk melakuakn tindakan fisik (bentrokan fisik).

Poin penting dari adanya sebuah konflik identitas adalah bahwa ini terjadi karena adanya keinginan kuat dari setiap kelompok untuk melestarikan identitasnya, di mana dalam prosesnya mereka melakukan “aksi” aktualisasi. Ikatan yang kuat atas identitas tertentu adalah perekat komunitas yang kuat, dapat mempersatukan berbagai individu yang memiliki persamaan identitas. Karenanya, potensi konflik setiap kelompok berbasis identitas selalu ada.

(44)

bagi “lawannya” agar mengakui identitas kelompoknya – dan ini sepertinya menjadi sebuah fenomena umum yang sampai saat ini masih berpotensi terjadi di Indonesia sebagai negara multikultur di mana ikatan primordial masih kuat (bahkan cenderung menguat di masa reformasi).

(45)

sosial dari masyarakat Lampung yang memasuki masyarakat industri (pertanian) – adalah melalui pencapaian ekonomi. Wujudnya adalah Pura Kawitan Warga – mana yang lebih besar, indah dan artistik – dan wujud lainnya, seperti pentas kesenian seka gong dan sulinggih warga mana yang lebih populer. Wujud yang sederhana terbatas pada gosip-gosip atau cibiran yang bersifat mensiniskan salah satu warga. Dengan kata lain, persaingan identitas status sosial warga sudah lebih modern, seperti yang dilakukan dalam masyarakat industri, bukan seperti yang terjadi dalam sebuah masyarakat yang masih didominasi oleh sistem feodal, di mana status sosial lebih ditentukan oleh garis keturunan, status sosial diwariskan dan bersifat absolut. Realitas ini menunjukkan bawah konflik identitas warga merupakan salah satu upaya dari komunitas ini – yang sebenarnya plural di dalam komunitasnya sendiri – untuk melestarikan identitas kebaliannya yang salah satunya diwujudkan melalui identitas warga. Mapannya sistem sosial kebalian yang mereka terapkan di Lampung – ada nilai dan norma yang mengharuskan mereka harus menjaga keharmonisan – dan adanya ancaman eksternal menyebabkan konflik ini terisolisir pada perang dingin bukan konflik terbuka (fisik). Ekonomi adalah alatnya. Kebebasan mengekspresikan dan mengaktulisasikan identitas warga sebagai upaya pelestarian identitas kebalian yang lebih besar – kebebasan yang disediakan oleh sistem itu sendiri – menyebabkan konflik identitas antar warga ini akan terus berlangsung terbatas pada perang dingin. Jadi, tidak bisa dinilai bahwa konflik identitas warga ini sebagai sebuah faktor pemecah belah komunitas Bali Hindu di Balinuraga. Ini adalah dinamika dalam komunitas mereka dalam melestarikan identitas. Konflik identitas warga adalah bagian utama dari dinamika tersebut dengan berbagai manifestasinya. Mereka pun menganggapnya sebagai hal yang positif: “Memotivasi kami untuk bekerja lebih keras” – yang berarti: memotivasi untuk memantapkan perekonomian keluarga mereka sehingga bisa terus melestarikan identitas kebaliannya.

Menjadi Bali Lampung

(46)

Melalui ketiga proses ini, mereka turut meleburkan dirinya – identitas kebaliannya yang eksklusif dalam benteng tertutup – sebagai bagian dari satu identitas yang lebih besar, yaitu Lampung: bagian dari masyarakat Lampung yang heterogen.

Setiap proses asimilasi, asosiasi, dan akulturasi (termasuk adaptasi yang telah diuraikan sebelumnya), mempunyai wujudnya masing-masing yang sebenarnya hampir sama. Tujuan utamanya adalah melestarikan identitas kebalian mereka agar bisa eksis di tengah lingkungan sosial yang lebih luas dalam konteks masyarakat Lampung. Upaya ini dapat dikatakan sebagai bagian dari politik identitas mereka sebagai salah satu etnis pendatang di Lampung yang memiliki keunikkan identitas – kebalian – untuk mendapatkan pengakuan dan apresiasi atas identitasnya dalam lingkungan sosial yang heterogen dan terbuka. Secara umum hasil dari proses-proses ini adalah bagaimana mereka menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan sosial dengan berbagai etnis yang ada di Lampung, bukan menggunakan bahasa kedaerahan seperti Bahasa Lampung, Bahasa Bali, Bahasa Bali Nusa Penida atau pun Bahasa Jawa (ngoko). Ketika mereka menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan sosial, maka identitas-identitas primordial dari berbagai tempat asal mereka (etnis Bali dan etnis-etnis lainnya) menjadi luntur (melebur menjadi satu identitas yang lebih besar), termasuk identitas primordial penduduk lokal yang lebih senang menggunakan Bahasa Indonesia dalam pergaulan sosialnya daripada Bahasa Lokalnya, sehingga mereka (etnis Bali) beserta etnis-etnis lainnya telah menjadi Orang Lampung atau masyarakat Lampung yang majemuk – atau dalam konteks yang lebih luas mereka telah Menjadi Indonesia.

(47)

(serta adaptasi) sebagai upaya pelestarian identitas dimainkan melalui dua jalur: Jalur Bali dan jalur Lampung.

Upaya pelestarian identitas menggunakan Jalur Bali merupakan sebuah kewajiban yang harus mereka lakukan. Bagaimana tidak? Identitas kebalian mereka sangat tergantung dengan pusat: Bali. Mereka butuh eksistensinya sebagai Bali Hindu yang telah berada di luar Bali diakui oleh pusat. Ini merupakan bagian dari ikatan sosial yang kuat yang tidak dapat dilepaskan oleh mereka setelah berada di luar Bali: keterikatan terhadap tanah leluhur. Contoh konkretnya adalah bagaimana mereka meleburkan diri dengan melakukan pengasosiasian, pengakulturasian, dan pengasimilasian dengan lembaga-lembaga sosial yang berbasiskan adat, keagamaan, kekerabatan (warga) dan tempat asal yang ada di Bali (dalam ruang yang lebih luas). Tujuan dari proses ini adalah agar identitas mereka lestari, identitas kebalian mereka tetap diakui dan diterima dari pusat. Hal ini bisa dilihat dan dibuktikan dari keanggotaan mereka terhadap lembaga sosial keagamaan seperti PHDI (bagian dari umat Hindu Dharma), lembaga atau pagayuban berbasiskan identitas warga yang pusatnya berada di Bali, lembaga adat dan keagaman di tempat asal seperti banjar dan Pura Kawitan Wargadi Nusa Penida.

Pola yang hampir sama juga mereka lakukan ketika mengunakan Jalur Lampung. Mereka tetap menjadi Bali sekaligus menjadi Lampung. Hal ini mereka tunjukkan dengan menggunakan (menyertakan) lambang “Siger269” – lambang kebanggaan yang menyimbolkan identitas Lampung

269

Gambar

Gambar 64. Kartu Ceki
Gambar 65. Lambang Siger di Seragam Pecalang
Gambar 66. Bangunan Capura Bercorak India dan Bale Bercorak Tiongkok
Gambar 68. Bagian Jaba Pura ada Perpaduan India dan Tiongkok
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tujuannya untuk mengetahui keefektifan dari media audio visual dalam pembelajaran kosakata Bahasa Inggris yang telah dikembangkan sebelumnya pada siswa sekolah

Pesta Paduan Suara Gerejawi or Pesparawi , is the final round for 34 winners representing 34 provinces, in which they compete in 12 categories and for an all-round winning

karena itu, dibutuhkan suatu sistem yang sesuai dengan kebutuhan staff SAMSAT dalam melakukan pelayanan pajak kendaraan bermotor, sehingga mampu memberikan pelayanan. yang

Walaupun musik polifonik pada abad Pertengahan biasanya dinyanyikan oleh beberapa orang solois, namun pada periode Renaissans dinyanyikan oleh seluruh anggota paduan suara yang

Karena sistem pembelajaran yang murni bergantung pada observasi dan partisipasi, maka para musisi swadidik menempuh waktu pendidikan yang jauh lebih panjang dibandingkan

informasi yang berguna bagi pengguna sistem untuk suatu.

Layanan yang diberikan di BAAK dapat dibedakan menjadi 2 kelompok besar layanan, yaitu pertama, layanan yang diberikan kepada calon mahasiswa/mahasiswa mulai dari perekrutan

• Dari seluruh tubuh melalui vena cava darah masuk jantung di atrium kanan (banyak CO 2 ). • Atrium kanan ke