• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses asimilasi, asosiasi, dan akulturasi merupakan upaya pelestarian identitas kebalian sebagai respons atas lingkungan sosial makro yang lebih luas, yaitu lingkungan sosial masyarakat Lampung (eksternal).

Melalui ketiga proses ini, mereka turut meleburkan dirinya – identitas kebaliannya yang eksklusif dalam benteng tertutup – sebagai bagian dari satu identitas yang lebih besar, yaitu Lampung: bagian dari masyarakat Lampung yang heterogen.

Setiap proses asimilasi, asosiasi, dan akulturasi (termasuk adaptasi yang telah diuraikan sebelumnya), mempunyai wujudnya masing-masing yang sebenarnya hampir sama. Tujuan utamanya adalah melestarikan identitas kebalian mereka agar bisa eksis di tengah lingkungan sosial yang lebih luas dalam konteks masyarakat Lampung. Upaya ini dapat dikatakan sebagai bagian dari politik identitas mereka sebagai salah satu etnis pendatang di Lampung yang memiliki keunikkan identitas – kebalian – untuk mendapatkan pengakuan dan apresiasi atas identitasnya dalam lingkungan sosial yang heterogen dan terbuka. Secara umum hasil dari proses-proses ini adalah bagaimana mereka menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan sosial dengan berbagai etnis yang ada di Lampung, bukan menggunakan bahasa kedaerahan seperti Bahasa Lampung, Bahasa Bali, Bahasa Bali Nusa Penida atau pun Bahasa Jawa (ngoko). Ketika mereka menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan sosial, maka identitas-identitas primordial dari berbagai tempat asal mereka (etnis Bali dan etnis-etnis lainnya) menjadi luntur (melebur menjadi satu identitas yang lebih besar), termasuk identitas primordial penduduk lokal yang lebih senang menggunakan Bahasa Indonesia dalam pergaulan sosialnya daripada Bahasa Lokalnya, sehingga mereka (etnis Bali) beserta etnis-etnis lainnya telah menjadi Orang Lampung atau masyarakat Lampung yang majemuk – atau dalam konteks yang lebih luas mereka telah Menjadi Indonesia.

Politik identitas yang dimainkan masyarakat Balinuraga dalam melestarikan identitas dengan melakukan peleburan identitas ke dalam sebuah identitas yang lebih besar terbilang unik bila dibandingkan dengan etnis lain. Masyarakat Balinuraga tidak hanya meleburkan identitas kebalian sebagai bagian dari identitas yang lebih luas seperti menjadi Bali Lampung, tapi juga turut meleburkan identitas kebaliannya ke dalam bagian dari identitas kebalian yang lebih luas – menjadi Bali Hindu seperti Bali Hindu yang ada di Bali. Jadi, proses asimilasi, asosiasi, dan akulturasi

(serta adaptasi) sebagai upaya pelestarian identitas dimainkan melalui dua jalur: Jalur Bali dan jalur Lampung.

Upaya pelestarian identitas menggunakan Jalur Bali merupakan sebuah kewajiban yang harus mereka lakukan. Bagaimana tidak? Identitas kebalian mereka sangat tergantung dengan pusat: Bali. Mereka butuh eksistensinya sebagai Bali Hindu yang telah berada di luar Bali diakui oleh pusat. Ini merupakan bagian dari ikatan sosial yang kuat yang tidak dapat dilepaskan oleh mereka setelah berada di luar Bali: keterikatan terhadap tanah leluhur. Contoh konkretnya adalah bagaimana mereka meleburkan diri dengan melakukan pengasosiasian, pengakulturasian, dan pengasimilasian dengan lembaga-lembaga sosial yang berbasiskan adat, keagamaan, kekerabatan (warga) dan tempat asal yang ada di Bali (dalam ruang yang lebih luas). Tujuan dari proses ini adalah agar identitas mereka lestari, identitas kebalian mereka tetap diakui dan diterima dari pusat. Hal ini bisa dilihat dan dibuktikan dari keanggotaan mereka terhadap lembaga sosial keagamaan seperti PHDI (bagian dari umat Hindu Dharma), lembaga atau pagayuban berbasiskan identitas warga yang pusatnya berada di Bali, lembaga adat dan keagaman di tempat asal seperti banjar dan Pura Kawitan Wargadi Nusa Penida.

Pola yang hampir sama juga mereka lakukan ketika mengunakan Jalur Lampung. Mereka tetap menjadi Bali sekaligus menjadi Lampung. Hal ini mereka tunjukkan dengan menggunakan (menyertakan) lambang “Siger269” – lambang kebanggaan yang menyimbolkan identitas Lampung

269

Siger adalah mahkota yang menjadi lambang atau simbol kebesaran, keagungan, kejayaan dan kekayaan masyarakat Lampung. Dalam perkembangannya, Siger yang didominasi oleh warna emas ini digunakan sebagai lambang utama yang menyimbolkan Lampung atau menjadi Simbol Masyrakat Lampung. Siger ini selalu digunakan oleh setiap kalangan atau pun golongan dalam masyarakat Lampung, tidak hanya penduduk asli, tapi oleh masyarakat Lampung yang terdiri dari berbagai etnis. Penggunaan lambang Siger secara simbolis menunjukkan identitas ke-Lampung-an masyarakat Lampung yang heterogen. Siger sendiri adalah makhota adat yang biasa digunakan kaum perempuan dalam pakaian adat maupun dalatm prosesi pernikahan. Dengan kata lain, siger adalah mahkotanya kaum perempuan. Sebuah simbol kedaerahan yang feminis, tidak seperti simbol atau lambang kedaerahan lainnya yang biasanya bersifat maskulin dengan menggunakan simbol senjata, seperti (senjata) Kujang di

– sebagai bagian dari lambang atau logo organisasi sosial kemasyarakatan (termasuk ada unsur adat dan keagamaan di dalamnya). Misalnya, disertakannya siger dalam seragam pecalang dan dalam lambang organisasi “Pargali” (Paguyuban Bali Peduli Lampung Selatan). Logo adalah simbol identitas. Siger adalah simbol identitas yang lebih besar sebagai simbol Lampung. Ini mereka sertakan dalam lambang organisasi- organisasi bentukan mereka. Dengan kata lain, dengan menyertakan simbol identitas yang lebih besar bersama-sama dengan simbol identitas kebalian mereka, sebenarnya mereka telah meleburkan identitasnya sebagai bagian dari identitas yang lebih besar, yaitu Lampung. Penyertaan lambang siger merupakan hasil dari asosiasi, asimilasi dan akulturasi yang dilakukan oleh komunitas ini melalui organisasi sosial kemasyarakatan bentukannya: sebuah upaya pelestarian identitas dengan melakukan peleburan ke dalam identitas yang lebih besar yang dilakukan secara simbolis. Meskipun simbolis, tapi ini memberikan makna yang mendalam bagi mereka. Mengapa? Identitas kebalian mereka menjadi diakui sebagai bagian dari masyarakat dan kebudayaan Lampung. Ada proses keterbukaan di sini. Realitas ini menunjukkan bahwa untuk melestarikan identitas kebaliannya yang unik mereka tetap melakukannya dengan cara yang tertutup sekaligus terbuka. Cara yang dilakukannya pun sudah maju. Tidak melalui sebuah organisasi tradisional seperti bagaimana mereka mempertahankan dan melestarikan identitas kebalian di dalam komunitasnya, tapi melalui sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang lebih modern. Melalui organisasi ini, identitas kebalian mereka bisa diperjuangkan secara sosial politik dalam konteks yang lebih luas, tidak terbatas di level banjar dan desa adat, tapi di level kabupaten dan provinsi. Organisasi ini adalah daya tawar mereka di bidang sosial, politik, kebudayaan dan ekonomi di tingkat lokal, baik dalam interaksinya (hubungan kerjasama atau asosiasi) dengan instansi pemerintahan maupun instansi sosial-ekonomi lainnya.

Dokumen terkait