• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identitas kebalian tercermin dari sistem sosialnya, begitu juga sebaliknya. Keduanya saling melekat erat dan tidak dapat dilepaskan. Identitas dan sistem sosial ini sudah melembaga di setiap anggotanya. Dalam kasus ini anggota merupakan subjek atau agen yang mencerminkan identitas dan sistem sosial di dalamnya, dan juga sebagai subjek (agen) yang sebenarnya sudah terstruktur oleh identitas dan sistem tersebut. Dalam kasus masyarakat Bali Nusa di Balinuraga, terdapat dualitas peran masyarakat sebagai subjek (agen) yang bertanggungjawab sebagai pelestari identitas. Di satu sisi, mereka menjadi agen aktif di mana mereka berpartisipasi aktif dalam melestarikan identitas dengan melakukan berbagai perubahan. Di sisi lain, mereka menjadi agen pasif dikarenakan diri mereka sebagai individu sebenarnya sudah terstruktur atau distrukturkan oleh sistem sosial tersebut dengan identitas kebaliannya.

Terlepas dari peran mereka sebagai agen aktif maupun agen pasif dalam melestarikan identitas kebaliannya, keberadaan mereka sebagai subjek atau agen sebenarnya sudah mencerminkan identitas kebalian mereka. Identitas kebalian dan sistem sosial di dalamnya sudah melembaga di dalam diri mereka. Seandainya pun mereka setia menjadi agen pasif dengan merelakan dirinya terstruktur oleh sistem sosial tersebut, identitas kebalian itu pun tetap lestari. Hanya saja identitas tersebut nantinya akan menjadi relatif lebih kaku dan cenderung semakin mempertahankan atau meng-ajeg-an ketradisionalannya. Kasus masyarakat Bali di Balinuraga, peran mereka sebagai agen yang aktif sama kuatnya dengan peran mereka sebagai agen yang pasif. Realitas atau bukti nyata peran mereka sebagai agen yang aktif adalah adanya perubahan terhadap beberapa unsur dari sistem tradisional yang menjadi identitas kebalian mereka menjadi lebih modern. Sebagai agen yang aktif, ada dorongan dari dalam diri mereka untuk melakukan perubahan atau penyesuaian. Perubahan tersebut didasari atas realitas sosial dari lingkungan yang baru, di mana mengharuskan mereka untuk melakukan perubahan demi lestarinya identitas tersebut. Sebagai agen yang pasif, mereka menjadi seperti bagian atau komponen dari mesin sosial atau sistem yang tradisional tersebut. Mereka merelakan dirinya menjadi bagian terstruktur dari sistem tersebut sehingga sistem

tersebut tetap berjalan dengan ciri khas ketradisionalannya. Artinya ada sebuah aturan atau hukum di dalam sistem tersebut yang sudah melembaga di dalam diri mereka sebagai individu yang menjadikan diri mereka sebagai agen yang pasif. Dalam kasus upacara pitra yadnya (ngaben pribadi) masyarakat bisa menjadi agen yang aktif dalam melestarikan identitas kebaliannya dengan melakukan inovasi dan kreasi baru dalam pembangunan bade, patulangan, tata upacara dan upakara, dan lain-lain. Namun, di sisi lain, mereka tidak bisa – takut dan tidak berani – untuk melakukan upacara pembakaran jenasah seperti layaknya di India. Hal ini dikarenakan kebalian mereka akan hilang. Jika diperhatikan dengan seksama, sebenarnya peran struktur dalam sistem sosial masyarakat Bali, seperti kasus di Balinuraga, masih kuat, tapi tidak mutlak. Lingkungan yang baru dengan kala dan patra yang berbeda memberikan ruang bagi masyarakat untuk menjadi agen aktif untuk melestarikan identitas kebalian mereka.

Jadi poin penting yang ingin disampaikan adalah bahwa dengan menjadi agen yang aktif maupun agen yang pasif, masyarakat Bali di Balinuraga sebenarnya sudah melestarikan identitas kebalian mereka. Ada batasan dan aturan yang memungkinkan mereka menjadi agen pelestari identitas kebalian yang aktif maupun yang pasif. Proporsi kedua peran agen ini dapat dikatakan seimbang. Jika tidak seimbang, semisal mereka menjadi agen yang lebih aktif, maka bukan tidak mungkin pelestarian identitas dilakukan dengan cara melakukan perubahan yang radikal. Begitu pula sebaliknya, ketika mereka menjadi agen yang lebih pasif, maka mereka akan menjadi sebuah komunitas yang sangat tradisional (sangat kolot), menjadi semakin tertutup dalam sebuah benteng yang kuat, dan akhirnya menyebabkan mereka tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan “mati dalam sebuah benteng identitas mereka sendiri” di luar tempat asalnya. Menjadi agen yang lebih pasif berarti menutup diri dalam sebuah benteng identitas yang kuat. Menjadi agen yang lebih aktif berarti secara radikal melakukan perubahan terhadap sistem sosial yang menjadi identitasnya, menjadi lebih terbuka, dan akhirnya identitas tidak menjadi lestari dan eksis, tapi sebaliknya menjadi hilang. Proporsi yang seimbang, menjadi agen yang aktif dan pasif, menjadikan mereka hidup dalam sebuah benteng tertutup yang harmonis

dengan lingkungan sosial yang heterogen (sesuai dengan filosofi Tri Hita Karana).

Kreativitas

Tujuan utama kekreatifan masyarakat Balinuraga adalah sebagai salah satu cara untuk melestarikan identitas kebaliannya. Kekreatifan ini bisa terjadi karena adanya ruang dalam sistem sosial mereka yang memungkinkan mereka menjadi agen yang aktif. Proses kreatif ini, yang didalamnya ada proses perubahan, merupakan kegeniusan masyarakat sebagai agen yang aktif dalam melestarikan identitasnya. Mereka menggunakan akal sehatnya (imajinasi, ide, pemikiran dan perenungan, dan aksi) agar bisa memodifikasi identitasnya – baik dalam bentuk simbol- simbol atau pun elemen-elemen pendukung dalam sistem sosial tersebut – agar bisa tetap menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, tanpa harus melanggar aturan yang ada di dalam sistem tersebut. Proses ini yang menjadikan Bali di Lampung – dalam kasus ini di Balinuraga – berbeda dengan Bali di Nusa Penida dan Bali, meskipun secara umum masih identik sekali kebaliannya. Letak perbedaan tersebut justru terletak pada proses kreativitas agen yang genius, tanpa menghilangkan kebaliannya dan melanggar aturan umum yang berlaku dalam sistem sosial tersebut. Hasil kreativitas masyarakat Balinuraga sebagai agen yang aktif – masih menggunakan contoh yang sama – adalah bagaimana mereka membangun bade untuk upacara pitra yadnya. Sebuah bangunan bade, yang di dalamnya memiliki makna filosofis mendalam, yang desainya lain daripada yang lain, sebuah desain yang mencerminkan anti-kemapanan. Ada sebuah proses imajinasi, perenuangan, pemahaman yang mendalam atas makna dan filosofi dari apa yang akan diciptakan sampai akhirnya bangunan bade tersebut bisa direalisasikan menjadi wujud fisik yang menarik, indah dan sarat makna. Kreativitas ini menunjukkan bahwa masyarakat Balinuraga mampu melestarikan identitas kebaliannya melalui karya-karya yang kreatif dalam proses pelestarian tersebut, tidak ada makna filosifis yang hilang dalam proses penciptaan karya kreatif tersebut, dan sebagai salah satu cara menunjukkan eksistensi identitas kebaliannya setelah berada di Lampung bahwa mereka adalah tetap menjadi Bali, tapi Bali yang berbeda – Bali Lampung. Menariknya, setiap kali ada sebuah

karya kreatif yang lain daripada yang lain, tentu setelah ada yang memeloporinya, maka karya kreatif tersebut akan ditiru oleh anggota komunitas yang lain di dalam Desa Balinuraga dan komunitas Bali Hindu di perkampungan Bali lainnya (yang tertarik dan menaruh minat yang mendalam atas hasil karya kreatif tersebut). Hasil dari proses kreatif ini, yang dapat dilihat dalam hasil kerja kreatif pengaryaan bangunan simbol atau ornamen yang menjadi elemen inti dari identitas, yang menjadikan identitas sebagai sesuatu yang dinamis, terus mengalami proses perubahan, dan tidak secara absolut ajeg. Dengan demikian, kreativitas dapat mendukung proses pelestarian identitas, menjadikan identitas itu semakin relevan dengan lingkungan yang baru.

Perkawinan

Perkawinan merupakan strategi klasik yang dilakukan oleh hampir semua etnis (suku bangsa) di dunia untuk melestarikan identitasnya, khususnya terkait identitas etnis, keagamaan dan kebudayaan. Meskipun pluralisme menjadi sebuah tren dan wacana yang menarik dalam membina sebuah hubungan sosial yang harmonis di berbagai tempat, namun tetap saja seorang Yahudi akan memprioritaskan seorang Yahudi untuk menjadi pasangannya, begitu pula dengan seorang Tionghua, India, Batak, Jawa, dan lain-lain – perkawinan endogami. Tanpa harus mengingkari realitas yang ada – meskipun tidak dalam jumlah besar – bahwa ada seseorang dari etnis A menikah dengan etnis B, C, D, dan seterusnya. Sebuah kasus yang relatif jarang terjadi, karena tetap saja prioritas utama adalah menikah dari kalangan etnis dengan identitas keagamaan dan kebudayaan yang sama.

Lalu, bagaimana dengan masyarakat Bali Hindu di Balinuraga? Perkawinan tetap dijadikan salah satu strategi klasik untuk mempertahankan dan melestarikan identitas kebalian mereka. Perkawinan (pernikahan) beda etnis dan agama mungkin tidak menjadi masalah besar bagi mereka, asalkan pihak bersangkutan tetap menjadi “Bali Hindu” – dalam kasus ini pasangannya mau mengikuti tradisi dan kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat Bali Hindu. Ini menjadi sangat penting karena dalam masyarakat Bali, identitas kebalian sangat melekat antara Bali dan Hindu. Kasus seperti ini ada di Balinuraga, tapi jumlahnya relatif sangat jarang terjadi, begitu juga sebaliknya pernikahan beda etnis dan keyakinan

yang menyebabkan pihak yang bersangkutan meninggalkan identitasnya sebagai Bali Hindu dengan mengikuti tradisi dan kepercayaan pasangannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mereka yang setelah menikah meninggalkan identitasnya sebagai Bali Hindu, maka baik langsung atau tidak langsung, pihak bersangkutan maupun lingkungan sosialnya akan melakukan pengucilan.

Model perkawinan yang berlaku di Balinuraga – secara umum berlaku sama dengan masyarakat Bali pada umumnya – adalah menikah dengan sesama orang Bali. Tujuannya sudah jelas, agar identitas kebalian mereka tidak hilang dan tetap lestari. Meskipun pasangan yang bersangkutan menjadi Bali Hindu, namun tetap saja ada kendala internal di dalam komunitas tersebut, baik salam proses adaptasi menjadi Bali Hindu maupun cibiran. Model ideal yang umum adalah menikah dengan sesama Bali Hindu. Model ideal yang spesifik adalah menikah dengan sesama Bali Hindu yang berasal dari golongan yang sama, dan yang lebih spesifik adalah menikah dengan sesama Bali Hindu dengan identitas warga yang sama. Menikah dengan sesama Bali yang berasal dari golongan yang sama, seperti golongan jaba menikah dengan sesama Bali Hindu yang berasal dari golongan jaba; sedangkan contoh yang lebih spesifik adalah seorang Warga A menikah dengan seseorang yang juga berasal dari Warga A – model perkawinan dengan klan (warga) yang sama. Misalnya, seperti yang telah diuraikan di muka, pernikahan Ni Wayan Bunga dan I Made Gagah yang keduanya berasal dari Warga Pandé.

Terkait dengan kelestarian identitas kebalian pertanyaan yang (pasti) muncul adalah mengapa Warga A idealnya menikah dengan Warga A? Terkait dengan kelestarian identitas, ada konsekuensi logis yang terjadi mengapa harus menikah dengan sesama anggota warga-nya (berasal dari satu klan yang sama). Pertama, seorang wanita Warga A yang menikah dengan pria Warga B, maka setelah menikah pihak wanita identitasnya akan mengikuti identitas suaminya menjadi Warga B. Ini bisa menjadi permasalahan dikarenakan terjadi perpindahan keanggotaan warga. Jika terjadi dalam jumlah yang besar, tentu saja, populasi Warga B akan semakin besar jumlahnya. Kedua, setiap warga atau klan sebenarnya mempunyai karakteristik atau tradisi yang khas. Mereka mempunyai identitas yang berbeda dengan warga lainnya, meskipun sama-sama Bali

Hindu. Tradisi mereka, yang tercermin dalam kegiatan adat dan keagamaan, memiliki perbedaan, di mana perbedaaan itu menjadi identitas warga tersebut. Karena modelnya sangat patrilineal, tentu yang menjadi “korban” adalah pihak wanita. Jika ia menikah dengan warga yang berbeda, tentu ia akan kesulitan untuk beradaptasi dengan tradisi yang berlaku dalam warga suaminya. Belum lagi dari pihak keluarga, yang setelah pernikahannya dengan warga yang berbeda kemudian ia mengikuti warga suaminya, pihak wanita seolah-olah telah menjadi orang luar dari keluarga besarnya, yaitu warga atau klan. Karenanya, baik dari keluarga pihak wanita maupun dari pihak pria, selalu menganjurkan agar menikah dengan sesama warga-nya sendiri. Meskipun demikian, perkawinan beda warga masih dinilai lebih baik daripada terjadi perkawinan beda golongan (wangsa), atau pun yang lebih khusus, perkawinan beda etnis dan agama. Tujuan besar dari model ideal secara umum mengapa sebaiknya menikah dengan sesama Bali Hindu – terutama dengan golongan yang sama dengan identitas warga yang sama – adalah agar identitas kebalian mereka tetap lestari. Sebuah model ideal yang sebenarnya sangat manusiawi, karena adanya ketakutan (merasa terancam) identitasnya (etni, keagamaan dan kebudayaan) tidak bisa lestari (terwariskan) sampai generasi berikutnya. Sebuah ketakutan yang mungkin dirasakan oleh kelompok etnis yang ada di tempat lain, di mana etnisitas dan agama menjadi identitas mereka. Walaubagaimana pun identitas bisa lestari jika ada proses regenerasi atau pewarisan identitas dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pewarisnya adalah para keturunan, yaitu anak, cucu, cicit, dan seterusnya, yang tercipta melalui proses perkawinan. Karenanya, keadaan yang ideal adalah identitas tersebut diwariskan kepada keturunannya yang “murni”, dari hasil perkawinan dengan sesama anggota komunitasnya yang memiliki persamaan identitas.

Dokumen terkait