• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik Kognitif yang Dialami Siswa pada Tiap Percobaan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Hasil Penelitian

2. Konflik Kognitif yang Dialami Siswa pada Tiap Percobaan

Konflik kognitif merupakan suatu keadaan atau kondisi yang dibutuhkan agar terjadi suatu perubahan konsep pada diri seseorang. Adanya konflik atau ketidaksesuaian dalam diri siswa akan menyebabkan siswa meragukan konsep awalnya sehingga siswa akan tertantang untuk mengubahnya dengan konsep yang lebih benar. Ada berbagai cara yang dapat digunakan oleh guru untuk membantu terciptanya konflik kognitif pada diri siswa, salah satunya seperti yang digunakan oleh peneliti adalah dengan cara menghadapkan siswa pada peristiwa yang mengandung data anomali, yaitu data-data yang berlawanan dengan prediksi siswa atau pengertian siswa. Bagaimana peneliti mengatahui bahwa siswa mengalami konflik atau tidak adalah melalui pengamatan dan tanya jawab selama percobaan berlangsung. Siswa yang diamati sebanyak empat orang. Peneliti menyebutnya dengan S1, S2, S3 dan S4.

a. Percobaan Sehubungan dengan Konsep Zat dan Wujudnya

Mulanya keempat siswa yang diamati dengan yakin mengatakan bahwa setelah semua es mencair, air dalam gelas akan tumpah, dengan alasan volume air akan bertambah akibat es yang mencair menjadi air sehingga gelas tidak lagi mampu menampung air tersebut dan akan tumpah.

Pada saat percobaan berlangsung, ketika percobaan menunjukkan tanda-tanda tidak akan tumpah, terlihat sekali siswa S1 tidak begitu saja mempercayainya. Sambil menunggu proses es yang mencair, ketiga siswa bermain dengan alat lain, tetapi siswa S1 terlihat sangat penasaran dan antusias mengamati sehingga tidak mau ikut temannya bermain alat lain, seperti terekam dalam kutipan wawancara berikut:

P : lho, kok kamu tidak ikut percobaan magnet dengan teman-temanmu? J : nanti lah mbak… aku udah pernah nyoba kok. Itu kan gampang! Ini

lho, aku bener-bener penasaran, walaupun esnya sudah mulai mencair tapi kok airnya tidak tumpah ya?

Siswa S1 tersebut dapat dikatakan mengalami konflik kognitif yang ditunjukkan dengan sikap tertarik terhadap data anomali tersebut dan mulai mengalami keraguan terhadap konsep awalnya.

Setelah semua es mencair, siswa S3 dan S4 agaknya dengan mudah mengakui bahwa air tidak akan tumpah dengan mengatakan

…. Wah, sepertinya jelas ni, airnya tidak akan tumpah!

Tampak bahwa siswa S2 juga menunjukkan gelaja konflik, dengan mengatakan:

…. tapi ini apa? Ada air di bawah gelas?

Siswa S3 yang sudah yakin bahwa air tidak akan tumpah mengatakan: …. Iya, tapi itu bukan keluar dari mulut gelas… itu air dari hasil pengembunan es, bukan karena luber…

(Sebelumnya, peneliti telah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan luber berarti air keluar atau tumpah dari mulut gelas)

Siswa S1 mulai mengakui bahwa konsepnya semula salah dan mendukung pernyataan siswa S3 seperti dalam kutipan berikut:

…. Iya, dari tadi tak perhatikan airnya gak ada yang keluar dari mulut gelas… wah, beneran nih mbak, airnya gak bakal tumpah… dah pasti! Tinggal dikit lagi kok esnya, tinggal kecil banget!

Siswa S1 mencoba memastikan jawabannya dengan bertanya pada kelompok lain tentang hasil percobaan mereka untuk meyakinkan peristiwa telah dialaminya.

Berdasarkan analisis pengamatan dan tanya jawab terhadap keempat siswa nampak bahwa siswa mengalami keraguan terhadap data anomali dan mereka mencoba menginterpretasikan kembali data itu. Dengan interpretasi yang baru itu terjadi proses dimana data diterima sebagai perubahan.

b. Percobaan Sehubungan dengan Konsep Gerak

Pada percobaan ini siswa diminta untuk menjatuhkan dua buah plastisin yang bermassa berbeda (misalnya 100 gram dan 50 gram) dari

ketinggian yang sama dan pada saat yang bersamaan, untuk membuktikan jawaban mereka sebelumnya.

Mulanya, dengan yakin keempat siswa mengatakan kedua batu tidak akan jatuh bersamaan. Tiga siswa (S1, S2 dan S3) mengatakan batu yang bermassa 100 gram akan jatuh lebih dahulu karena lebih berat. Satu siswa (S4) mengatakan bahwa batu bermassa 50 gram akan jatuh dahulu karena lebih ringan.

Untuk membuktikannya, mereka melakukan percobaan dengan menjatuhkan dua buah plastisin yang dibentuk menyerupai batu dan benar-benar diukur massanya, masing-masing 50 gram dan 100 gram. Setelah melakukan percobaan ternyata mereka mendapatkan hasil kedua batu jatuh bersamaan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, tampak bahwa keempat siswa meragukan hasil percobaan. Hal ini terekam dalam wawancara antara peneliti dengan keempat siswa.

… Kok sama ya mbak?

Karena masih ragu, maka keempat siswa tersebut ingin memastikan dan membuktikan kembali dengan mengulangi percobaan secara bergantian. Satu orang menjatuhkan dan tiga orang yang lain mengamati. Hasil yang mereka dapatkan ternyata kedua batu tetap jatuh bersamaan.

… tuh kan mbak… sama!!! Kenapa ya?

Meskipun telah berulang-ulang mencoba dan mendapatkan hasil yang sama, tampak bahwa siswa masih bertanya-tanya mengapa demikian.

Peneliti mencoba memberikan penjelasan tetapi tidak secara langsung melainkan dengan mengajak siswa berpikir bersama dan kembali melakukan percobaan, yang terekam dalam wawancara berikut:

P : Nah, kira-kira mengapa demikian?

S1 : Ya… karena tingginya sama, coba nih ya mbak, kalau tingginya nggak sama, pasti nggak sama (salah seorang mencoba).

P : Oke, suatu benda kalau dilemparkan, pasti akan jatuh ke bawah, ya tho? Misalnya nih ya, kapur yang saya lempar (sambil memperagakan).

S1 : Ya iya lah mbak! P : Nah, itu karena apa? S4 : Karena ada gravitasi bumi P : Apa itu gravitasi bumi?

S1 : Ya…gaya yang menyebabkan jatuhnya benda S2 : Gaya tarik bumi”

P : Oke…gaya tarik bumi yang menyebabkan benda jatuh ke bawah. Dari percobaan tadi, kalau tingginya sama, meskipun massa bendanya berbeda ternyata keduanya jatuh bersamaan. Apakah itu berarti gaya gravitasi yang pada kedua benda itu sama?

S : Iya

P : Terus, kalau tadi menjatuhkannya tidak dari ketinggian yang sama?

S1 : Ya…jatuhnya nggak samaan, yang lebih tinggi lebih lama

P : Kalau gitu, pada keadaan itu, apakah gaya gravitasinya berbeda? S : (berpikir) Iya lah mbak… beda…

P : Nah, kalau demikian, kecepatan jatuhnya benda itu dipengaruhi oleh apa?

S : Ketinggiannya mbak… Semakin jauh atau semakin tinggi maka jatuhnya akan semakin lama karena semakin jauh dari pusat bumi. Gitu kali’ ya mbak?

Dari kutipan wawancara tersebut, nampak bahwa siswa sudah menemukan alasan yang dapat mendukung hasil percobaan. Akan tetapi penjelasan siswa tersebut belum lengkap dan siswa sendiri belum meyakininya.

c. Percobaan Sehubungan dengan Konsep Gaya – Hk. Archimedes

Sebelum melakukan percobaan, hanya siswa S1 yang mengatakan batu akan terukur lebih berat ketika ditimbang di udara tetapi dengan alasan yang tidak tepat, yaitu karena udara tidak punya massa atau massa jenis. Sedangkan siswa S1, S3, dan S4 mengatakan dalam air batu akan terukur lebih berat, masing-masing dengan alasan dalam air berat batu akan bertambah dengan berat air; tekanan di udara lebih ringan; gravitasi benda ketika berada di udara dan di air berbeda. Berikut ini kutipan wawancara peneliti dengan siswa pada saat percobaan berlangsung:

S3 : Wah mbak, ternyata yang ditimbang di air lebih ringan, nih ya mbak, waktu ditimbang di udara berat batu ini 1,8 newton sedangkan pas di air beratnya jadi 1,4 newton.

S4 : Nah, kalo batu ini di udara beratnya 2,2 newton dan di air beratnya 2 newton.

S1 : iya mbak, ternyata lebih berat yang di udara. Wah, salah lagi dong jawabanku.

S2 : punyaku bener lebih berat yang di udara!

Dari kutipan wawancara tersebut nampak bahwa siswa S1, S3 dan S4 mengalami konflik. Hal tersebut ditunjukkan dari sikap siswa yang kecewa terhadap hasil percobaan dan tidak hanya sekali saja melakukan percobaan. Ini berarti siswa mengalami kegelisahan atau ketertarikan terhadap situasi anomali yang dihadapinya. Ketertarikan tersebut lah yang menyebabkan siswa melakukan percobaan berulang-ulang. Sementara itu, siswa S2 tidak mengalami konflik karena konsep yang dimilikinya sesuai dengan kenyataan yang didapatkannya. Selain itu, ketiga siswa juga mengalami ketertarikan dengan meminta penjelasan lebih lanjut

sehubungan dengan hasil yang didapat. Akan tetapi, peneliti tidak langsung memberi penjelasan melainkan melalui tanya jawab seperti yang terekam dalam kutipan wawancara berikut:

S3 : kenapa ya mbak, kok di air lebih ringan? P : kira-kira kenapa coba?

S4 : apa ya? Mungkin karena air memberikan tekanan

P : ya, coba ceritakan pada saya apa yang kalian rasakan saat menimbang batu dalam air?

S1 : ya itu mbak, kayak ada yang neken gitu… P : ke mana nekannya?

S1 : ke atas (yang selanjutnya disetujui oleh ketiga temannya yang lain) P : memangnya kalau di udara tidak ada yang menekan?

S1 : enggak…

P : ya, coba mari kita gambarkan gaya-gaya yang bekerja pada batu tersebut saat ditimbang di udara dan di dalam air! (peneliti mengambil selembar kertas dan pensil). Nah, misalkan ini gambar batu yang digantung:

Coba, ada gaya apa yang bekerja pada benda ini? S : gaya berat

P : arahnya ke mana? S : ke bawah

P : begini? (sambil menggambarkan) S : ya

P : trus kalau di air gimana? Ada gaya apa saja yang bekerja pada batu tersebut?

S : gaya berat, sama kayak tadi… P : selain itu?

S : gaya tekan ke atas oleh air

P : begitu? (setelah menggambarkan) S : ya…

P : nah, dari gambar tersebut dapat dipahami tho, mengapa di air benda terasa lebih ringan.

S : karena berat benda dikurangi dengan gaya ke atas oleh air tersebut…

P : ya… itu dia yang membuat benda dalam air menjadi lebih ringan. S1 : wah mbak… salah lagi jawabanku kemarin…ternyata di udara

lebih berat”

P : yakin dengan jawabanmu yang sekarang? w

w w

S1 : yakin banget… lha wong udah dicoba berkali-kali kok

Penilaian kembali terhadap konflik yang dialami siswa tersebut menghasilkan tanggapan siswa yang berupa keyakinan terhadap peristiwa yang dialami dan berhasil mengubah konsep siswa menjadi lebih benar bahwa di dalam air benda akan terasa lebih ringan karena di dalam air ada gaya tekan ke atas sehingga membuat benda akan lebih ringan.

d. Percobaan Sehubungan dengan Konsep Suhu

Semula keempat siswa menjawab es dapat berubah suhu. Pendapat siswa tersebut benar, akan tetapi alasan yang mereka kemukakan tidak benar, yaitu es dapat berubah suhu apabila es tersebut mencair. Pada saat percobaan, suhu es mula-mula adalah sebesar -2oC. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan siswa:

S3 : … ini mbak, suhunya naik dari -2 sampe sekarang sekitar nol sampe satu.

P : nah, coba diperhatikan, sekarang proses apa yang sedang terjadi pada es?

S4 : esnya sedang mencair.

P : kalau mecair berarti terjadi proses perubahan apa? Perubahan wujud tho?

S3 : iya, dari padat ke cair.

P : kalau begitu setelah semua es mencair, apakah namanya masih es? S1 : ya enggak dong, namanya air.

P : jadi, es bisa berubah suhu nggak?

S4 : enggak, dia berubah suhu kalau udah mencair, sedangkan kalau udah mencair, namanya bukan es lagi, tapi air.

S1 : loh, ya bisa dong. Tadi kan mula-mula suhunya min, trus suhunya naik terus sampe akhirnya dia mencair jadi air. Iya kan mbak?

Berdasarkan kutipan tersebut, tampak bahwa siswa mengalami keraguan terhadap dugaan awalnya dan meminta penjelasan lebih lanjut kepada peneliti. Ini berarti siswa mengalami konflik kognitif.

e. Percobaan Sehubungan dengan Konsep Kalor

Percobaan ini ingin membuktikan apakah kalor yang diberikan pada benda akan selalu menaikkan suhu benda itu. Satu orang siswa (S2) telah mempunyai konsep yang benar bahwa kalor tidak selalu menaikkan suhu benda dengan alasan yang benar pula. Sedangkan ketiga siswa yang lain mempunyai konsep yang salah dengan mengatakan bahwa kalor yang diberikan pada suatu benda pasti akan selalu menaikkan suhu benda tersebut. Berikut kutipan wawancara selama percobaan berlangsung:

… mbak ini airnya udah mau mendidih, tapi kok belum nyampe 100 ya mbak? Harusnya kan sampe 100 tho?

… ni udah mendidih mbak, tapi gak mau nyampe 100 dan suhunya gak naek-naek, tetep segitu aja…

P : oke, ketika air ini dipanaskan itu artinya air diberi kalor tho? Nah, sekarang, apakah kalor yang diberikan ke air ini selalu menaikkan suhu air?

S1 : mula-mula iya, tapi lama-lama enggak. P : saat apa suhu air itu tidak naik?

S4 : pas mendidih

P : saat mendidih itu artinya terjadi proses perubahan apa?

S2 : perubahan wujud, dari air ke uap. Nah, sama kayak jawabanku, tapi contohku pas saat es mencair, kan suhunya tetep tho mbak?

P : nah, itu artinya pada saat terjadi proses perubahan wujud, suhu

bendanya bagaimana?

S1 : tetep!

Berdasarkan kutipan tersebut tampak bahwa siswa mengalami konflik dalam pikiran mereka, yang ditunjukkan dengan rasa ingin tahu siswa dengan bertanya-tanya dan meminta penjelasan dari peneliti.

f. Percobaan Sehubungan dengan Konsep Bunyi

Percobaan ini ingin membandingkan cepat rambat bunyi dalam zat padat dan zat gas. Sebelum dihadapkan pada peristiwa anomali, keempat siswa menjawab bahwa bunyi akan merambat lebih baik dalam zat gas, dengan alasan:

- zat gas mempunyai molekul yang renggang dan bebas yang sangat berpengaruh terhadap cepat rambat bunyi

- zat gas tidak punya penghalang untuk menyalurkan bunyi

Setelah melakukan percobaan berulang-ulang ternyata didapatkan hasil: dengan volume suara yang sama, bunyi yang didengar melalui telepon mainan lebih jelas daripada ketika diucapkan melalui udara (tidak memakai telepon).

…. Iya mbak, suaranya lebih jelas kalo pake telepon-teleponan. Ternyata jawabanku kemarin salah.

Sikap siswa yang melakukan percobaan berulang-ulang menunjukkan ada keraguan dan ketidakpuasan terhadap hasil yang didapat. Ini menunjukkan telah terjadi konflik dalam pemikiran siswa. Konflik tersebut akhirnya ditanggapi siswa dengan menghasilkan pemahaman baru yang lebih tepat secara fisika.

g. Percobaan Sehubungan dengan Konsep Pemantulan Cahaya

Sebelum melakukan percobaan keempat siswa mengatakan untuk dapat melihat seluruh bagian tubuh (dari ujung kepala hingga ujung kaki) pada sebuah cermin datar, yang mula-hanya terlihat sebagian (misalkan

dari ujung kepala hingga lutut) maka pengamat harus bergerak menjauh dari cermin.

Pada saat percobaan berlangsung, cermin datar yang tersedia hanya satu dan sangat kecil, hanya cukup untuk bercermin ukuran ujung kepala hingga leher). Peneliti sangat menyadari kekurangan dalam percobaan ini.

… tuh kan mbak, semakin mundur semakin kelihatan

P : coba, diamati lagi. Diperhatikan, sebelumnya kamu melihat bayanganmu dari ujung kepala sampai mana? Trus kamu bergerak mundur, apakah akan berubah pandanganmu?

S3 : emmm, tadi kan segini, trus ini segini… iya sih, tapi nambah dikit ah mbak…

P : yakin?

S3 : yakin lah mbak. Di rumah aku juga sering nyoba!

S1 : iya lah… otomatis mbak, kalau kita bercermin pengen liat seluruh badan, pasti berjalan mundur dari cermin.

Setelah melakukan percobaan siswa menyimpulkan bahwa dengan bergerak menjauh bayangannya akan semakin kecil tetapi bagian tubuh yang terlihat semakin lebih luas. Siswa dengan yakin mengatakan demikian. Berdasarkan penjelasan di atas, tampak siswa menolak data yang telah didapat dan tetap berpegang pada dugaan awalnya.

h. Percobaan Sehubungan dengan Konsep Pembiasan Cahaya

Sebelum melakukan percobaan, dua siswa (S2 dan S4) mengatakan bahwa cahaya tidak selalu berjalan lurus bila melalui benda yang transparan, dengan alasan bila ditutupi dengan benda, cahaya tidak dapat berjalan lagi; bila mengenai kaca cahaya akan dipantulkan. Dua siswa yang lain (S1 dan S3) mengatakan cahaya selalu berjalan lurus bila melalui

benda transparan dengan alasan benda transparan tidak dapat memantulkan cahaya; benda transparan akan sangat mudah ditembus cahaya. Berikut kutipan wawancara pada saat percobaan berlangsung:

… ternyata cahayanya berbelok mbak, tidak lurus, tapi juga gak memantul…

Berdasarkan pengamatan peneliti, siswa memang mengakui adanya situasi anomali yang bertentangan dengan dugaan awalnya, tetapi siswa tidak mengalami ketertarikan atau kegelisahan terhadap situasi tersebut. Siswa langsung memberikan tanggapan dan mengubah konsep mereka begitu saja, tanpa melalui proses penilaian kembali. Ini berarti tidak terjadi konflik pada diri siswa.

i. Percobaan Sehubungan dengan Konsep Listrik

Tujuan dari percobaan ini adalah untuk meluruskan pemahaman siswa tentang konsep rangkaian listrik yang disusun secara seri. Siswa diminta untuk merangkai tiga buah lampu dengan spesifikasi sama, seperti gambar berikut:

Sebelum melakukan percobaan, keempat siswa mengatakan lampu A akan menyala paling terang. Hal ini dikarenakan lampu A letaknya paling dekat dengan sumber arus listrik sehingga penggunaan listriknya akan lebih kuat di lampu A. Setelah melakukan percobaan ternyata didapatkan hasil bahwa

ketiga lampu menyala sama terang. Berikut ini kutipan komentar siswa tentang hasil percobaan:

… Eh, sama ya? Akh, gak ding… ini lebih terang … Sama ahh…

… Kok terangnya sama ya mbak? … Coba mbak liat deh, sama gak sih?

P : ya, coba saja diamati, sama atau tidak?

S1 : hampir sama sih mbak, tapi yang ini agak redup.

P : coba saja kalau diganti lampu lain yang spesifikasinya sama.

Siswa terlihat sangat antusias, ingin tahu, meminta penjelasan lebih lanjut dan melakukan kembali percobaan yang sama untuk memantapkan konsep baru yang berusaha dibangunnya. Ini berarti siswa mengalami konflik kognitif.

Berdasarkan pengamatan peneliti, percobaan ini adalah percobaan yang paling menarik perhatian siswa. Setiap kali siswa mendapatkan hasil, siswa langsung bertanya kepada peneliti mengapa hasilnya demikian. Tetapi peneliti tidak menjelaskan langsung, justru meminta siswa untuk mencari tahu sendiri. Peneliti hanya memberikan pengarahan dan menuntun siswa menemukan jawaban. Misalnya, ketika tiga buah lampu dengan hambatan yang sama besar dirangkai seri, ternyata didapatkan hasil bahwa ketiga lampu tersebut akan menyala sama terang (padahal semula mereka tidak menjawab demikian). Peneliti tidak langsung menjelaskan, tetapi meminta siswa untuk mencoba bila mengganti salah satu lampu dengan hambatan yang berbeda. Pada saat siswa mengganti lampu, siswa tidak memutus rangkaian, tetapi langsung melepas lampu. Ternyata, ketika salah satu lampu dilepas, siswa

mendapatkan lampu yang lain juga ikut mati. Dari peristiwa tersebut siswa malah dapat menyimpulkan sendiri bahwa ternyata pada rangkaian seri tersebut hanya ada satu jalan arus. Lalu dari ketiga lampu yang hambatannya tidak sama, ternyata siswa mendapatkan nyala terang yang tidak sama; lampu yang lebih besar hambatannya akan menyala paling redup. Beberapa siswa mulai bereksplorasi dan bertanya-tanya sendiri.

… gimana ya nyalanya kalau lampunya lebih banyak? … kalau baterainya ditambah?

Selain itu, terlihat bahwa siswa sangat ingin tahu dan berusaha mengembangkan pemahaman mereka dengan menanyakan dan meminta kepada peneliti untuk mengajari siswa bagaimana dengan nyala lampu jika lampu dirangkaian paralel. Sebagian besar siswa belum tahu bagaimana merangkai lampu secara pararel. Peneliti tidak langsung merangkaikan lampu-lampu tersebut secara pararel, tetapi terlebih dahulu peneliti meminta siswa menggambarkan rangkaian pararel. Berdasarkan gambar tersebut siswa diminta untuk mencoba membuat rangkaian dengan dibantu oleh peneliti. Setelah siswa mengetahui rangkaian pararelnya, siswa juga mulai bereksplorasi sendiri seperti pada percobaan sebelumnya.

Setelah siswa selesai melakukan percobaan, peneliti bertanya pada siswa untuk mengetahui bagaimana konsep mereka setelah melakukan percobaan, yang terekam dalam wawancara berikut:

… ya mbak, ternyata nyalanya sama terang P : kenapa?

S : karena itu tadi, kalau salah satu lampu pada rangkaian seri dilepas yang lain ikut mati, berarti pada rangkaian seri hanya ada satu jalan arus. Nah kalo hambatan ketiga lampu sama besar maka nyalanya akan sama terang

P : yakin demikian?

S : yakin lah… udah dicoba kok!

Berdasarkan penjelasan di atas nampak bahwa pada akhirnya siswa mengubah konsep lamanya yang tidak tepat dengan konsep baru yang lebih benar setelah siswa mengalami dan mencoba sendiri.

j. Percobaan Sehubungan dengan Konsep Magnet

Sebelum melakukan percobaan, dua orang siswa (S2 dan S4) menjawab benar bahwa tidak semua logam ditarik oleh magnet. Menurut mereka, hanya logam-logam yang terbuat dari besi yang dapat ditarik magnet. Sedangkan dua siswa yang lain (S1 dan S3) menjawab semua logam ditarik oleh magnet, dengan alasan logam punya gaya kemagnetan yang besar. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan keempat siswa selama melakukan percobaan:

S3 : mbak, yang alumunium ini gak mau ditarik! Ada lagi gak ya logam yang gak ketarik magnet?

S4 : coba, kalau emas gimana?

S3 : iya, coba pake antingku ini (sambil melepaskan anting-anting yang dipakainya)

S3 : wah… gak ketarik juga P : jadi, kesimpulannya?

S3 : tidak semua logam ditarik oleh magnet

S1 : iya mbak… ternyata tidak semua logam ditarik oleh magnet. Wah, jawabanku kemarin salah lagi mbak

P : tidak apa-apa. Coba kira-kira kenapa kok logam-logam kaya’ alumunium dan emas gak bisa ditarik magnet?

S3 : ya karena logam-logam itu tidak punya sifat magnet. P : alasan lain?

S2 : benda-benda itu memang tidak dapat ditarik magnet… gak tau ding mbak, kenapa

Dari kutipan tersebut tampak bahwa siswa bertanya-tanya, ingin membuktikan kembali. Indikator tersebut merupakan bagian dari terjadinya konflik kognitif pada siswa, sampai akhirnya terjadilah proses siswa mengganti dugaan lamanya dengan konsep baru yang telah dibuktikan sendiri.

Rangkuman konflik kognitif yang dialami keempat siswa dapat dilihat pada lampiran 11. Sedangkan rangkuman perubahan konsep yang dialami keempat siswa setelah mengalami konflik kognitif dapat dilihat pada lampiran 12.

Dokumen terkait