• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA UNTUK MENGUBAH KONSEP SISWA LEWAT KONFLIK KOGNITIF DENGAN MENGGUNAKAN PERISTIWA ANOMALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "UPAYA UNTUK MENGUBAH KONSEP SISWA LEWAT KONFLIK KOGNITIF DENGAN MENGGUNAKAN PERISTIWA ANOMALI"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA UNTUK MENGUBAH KONSEP SISWA LEWAT

KONFLIK KOGNITIF DENGAN MENGGUNAKAN

PERISTIWA ANOMALI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidkan Fisika

Oleh:

Nama : Lucia Woro Sriwidiati NIM : 031424018

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2007

(2)
(3)
(4)

…It’s amazing…

Nothing impossible for Him…

Ketika ku percaya…

Ketika ku berdoa…

Mujizat itu nyata…

Keberhasilan adalah milik mereka yang melakukan

pekerjaan-pekerjaan yang ada di hadapan mereka dengan segenap tenaga,

semangat, dan kerja keras…

Karya sederhana ini kupersembahkan untuk:

Bapak dan ibuku

Kedua adikku, Cathrine dan Theo

Romo Paul

Rekan-rekan P.Fis ‘03

(5)
(6)

ABSTRAK

Lucia Woro Sriwidiati. 2007. Upaya untuk Mengubah Konsep Siswa Lewat Konflik Kognitif dengan Menggunakan Peristiwa Anomali. Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) apakah peristiwa anomali menciptakan konflik kognitif pada siswa; (2) apakah peristiwa anomali yang dihadapkan pada siswa dapat sampai pada tahap mengubah konsep siswa menjadi lebih benar; (3) Bagaimana tanggapan siswa tentang metode pembelajaran dengan menggunakan peristiwa anomali.

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 23 Juli 2007 – 12 Agustus 2007 di SMA Xaverius Pringsewu, Tanggamus, Lampung. Sampel penelitian adalah siswa kelas X-1 yang berjumlah 37 orang, empat orang diantaranya sebagai sampel untuk diamati secara khusus. Instrumen pengumpulan data terdiri dari pretest, posttest, wawancara, dan pengamatan. Dalam penelitian ini juga dilakukan treatment berupa peristiwa anomali.

Pretest dan posttest yang diberikan berupa tes uraian yang terdiri dari 10 soal dan memuat 10 pokok bahasa, yaitu: Zat dan Wujudnya, Gerak, Gaya – Hukum Archimedes, Suhu, Kalor, Bunyi, Pemantulan Cahaya, Pembiasan Cahaya, Listrik, dan Magnet. Treatmen yang diberikan, yang menghadirkan peristiwa anomali, juga berhubungan dengan kesepuluh pokok bahasan tersebut.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa: (1) siswa mengalami konflik kognitif; (2) sebagian besar siswa mengalami perubahan konsep menjadi lebih benar; (3) siswa menanggapi positif, yang berarti menyetujui bila metode percobaan dengan peristiwa anomali digunakan sebagai model pembelajaran.

(7)

ABSTRACT

Lucia Woro Sriwidiati. 2007. Create Students Concept Changes Through Cognitive Conflict Using Anomaly Experiences. Physics Education Study Program, Departement of Mathemetics and Science Education, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University, Yogyakarta.

The aim of this research was to know whether: (1) anomaly experiences create students cognitive conflict; (2) anomaly experiences change students concept; and (3) students were interested in studying using anomaly experiences.

This research was held from July 23, to August 12, 2007 at Senior High School in Pringsewu, Tanggamus, Lampung. The sample of this research was students of X-grade that had 37 students, including four students as special samples. This research used instruments such as: pretest, posttest, interview, and observation. The treatment was anomaly experiences.

Pretest and posttest consisted of ten problems: problems of matter and material, Motions, Force – Archimedes Law, Temperature, Heat, Reflection, Refraction, Electricity, and Magnet.

The research showed that: (1) students experienced a cognitive conflict; (2) most of students changed their concepts; and (3) students were interested in studying using anomaly experiences.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Bapa di Surga atas segala kasih dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul “Upaya untuk Mengubah Konsep Siswa Lewat Konflik Kognitif dengan Menggunakan Peristiwa Anomali” dengan baik.

Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan, Program Studi Pendidikan Fisika.

Penulis menyadari bahwa penelitian dan penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik karena bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Romo Paul Suparno, S.J., selaku dosen pembimbing yang telah dengan sabar memberikan bimbingan, pengarahan, masukan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

2. Bapak M. Suharto, selaku kepala SMA Xaverius Pringsewu, Tanggamus Lampung, yang telah berkenan memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian di SMA tersebut.

3. Ibu Helaria Widiati, selaku guru fisika pada SMA Xaverius Pringsewu, atas segala bantuan dan dukungan selama peneliti melaksanakan penelitian.

4. Bapak Domi Severinus dan Bapak T. Sarkim selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan demi penyempurnaan skripsi ini. Juga atas segala ilmu yang telah diberikan semasa kuliah... sungguh, dosen-dosen yang hebat!!!

5. Para Bapak dan Ibu guru beserta staf di SMA Xaverius Pringsewu atas segala perhatian, dukungan dan bantuan selama penulis melakukan penelitian.

6. Siswa-siswa kelas X-1 SMA Xaverius Pringsewu. Terimakasih atas kerjasamanya. Sukses buat kalian!

7. Pak Narjo, Pak Sugeng, dan Mas Agus di sekretariat JPMIPA atas segala bantuannya.

8. Para dosen Pendidikan Fisika, atas segala ilmu yang telah diberikan. Sungguh luar biasa….

(9)

9. Bapak dan Ibuku, atas kerja kerasnya… atas dukungan materi dan spiritual… atas segala kasih dan doa yang tiada henti… atas mars-nya: “kapan lhe rampung?” Akhirnya, Pak… Bu…!!!

10.Kedua adikku, Cathrine dan Theo, dengan jingle-nya: “mbak… kapan selesainya?”

11.Om Agus dan Mbak Titik atas pinjaman komputernya selama penelitianku di rumah.

12.Bapak Marwoto, atas pinjaman kamera digitalnya dan Om Agus – Shandy atas pinjaman tustelnya.

13.Henrikus Sulistiono, atas segala bantuannya selama penelitianku… atas segala dukungan dan penguatan yang diberikan… dan atas warningnya: “ojolali skripsine…”

14.Temanku, Jo… trimakasih atas komputernya selama pengerjaan skripsiku dan tugas-tugas kuliahku tempo doloe… atas pinjaman-pinjamanku (Udah lunas tho? Heheee☺) atas segala kebersamaan kita… terimakasih banyak Jo… Ayo, segera susul aku!

15.Temanku Rosa, atas segala dukungan dan bantuan… atas berbagai kisah yang telah kita rajut bersama… sungguh indah… kapan kita kemana lagi? Juga untuk Yeni dan Agata… tempat berbagi cerita… Ayo, buruan… susul aku! 16.Teman-teman kost Green House: Ely, Neetha, Pepi, Eny, mbak Endar, Jo,

Sisil, mbak Tassa (sesepuh kost)… Thanks El atas persahabatan kita… atas segala dukungannya, atas pinjaman komputernya selama tugas-tugas kuliahku dulu, terutama saat pengerjaan skripsiku ini… trimakasih untuk segalanya… Juga untuk Pepi, Eny dan mbak Endar, trimakasih atas pinjaman komputernya… (Maaf Pep, kalau aku sering mengganggu tidur malammu…) Untuk Neetha, trimakasih atas segala ceritanya, atas segala dukungannya… Juga untuk mbak Tassa, atas segala ece’annya dan nasehat-nasehatnya… Trimakasih semuanya… Kalian… keluargaku di Yogya… membuat hari-hariku penuh warna. Ayo, kuliah yang semangat! Jangan bermalas-malasan! Kalian bisa!

(10)

17.Teman-teman P.Fis ’03: Andree, Jose, Dias (trimakasih atas segala dukungan dan penguatan yang diberikan, atas keyakinan bahwa aku BISA!), Ervan Mambu, Jo, Ely, Rossa, Agata, Yeni, Mbak Endar, Eko, Lilis, Tica, Nana’ (atas semangatnya, atas segala cerita dan diskusi selama sama-sama melakukan penelitian. Ayo, lanjutkan perjuanganmu!), Icak, Sisco, Titis, Eka, Mey, Dewi, Siwi, Shinta, Gilang, Ipus, Simfrosa, Dewi Kla10, Gitta, Alphone, Boni, Cornel, Sr. Ruth (selamat berjuang suster!), Rm. Dion (yang entah kini ada di mana). Terimakasih atas kebersamaan kita selama 4 tahun ini… Aku pasti akan merindukan kalian. Ayo SEMANGAT!!! Segera susul aku! Hahaaa…

18.Maya (P.Fis’05) dan Paulinus (P.Fis ’04), atas diskusi kecilnya di malam hari lewat SMS… untuk jawaban-jawaban atas pertanyaanku… atas sumbangan-sumbangan pikirannya… jangan kapok ya!

19.Teman-temanku yang lain, yang juga telah mewarnai hari-hariku… Inuz (P.Mat’03) dan Theo (I.Kom ’03) atas bantuannya menerjemahkan abstrakku, Jeng Sri (P.Mat ’03), tempatku berkeluh kesah… Ayo, jangan males-males!, Elisabeth Budiani (I.Kom ’03), Tami dan Dimas (P.Mat ’03), Paulina (IPAK ’03), Mbak Yose (P.Mat ’02), Mbak Bayu (UAJY, T.Sipil ’03).

20.Rm. Emil dan Rm. Very… atas cerita-ceritanya, nasehat-nasehatnya… 21.Adik-adik P.Fis ’05… Ayo semangat!!!

22.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu… keberadaan kalian membuat hidupku lebih mudah… terimakasih banyak…

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna bagi para pembaca sekalian.

Yogyakarta, 29 September 2007

Penulis

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 2

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II DASAR TEORI ... 5

A. Konsep ... 5

1. Pengertian Konsep ... 5

2. Pemahaman Konsep ... 6

3. Miskonsepsi ... 9

4. Perubahan Konsep... 11

(12)

B. Konflik Kognitif ... 13

C. Peristiwa Anomali... 16

1. Zat dan Wujudnya ... 18

2. Gerak ... 20

3. Gaya – Hukum Archimedes ... 21

4. Suhu ... 22

5. Kalor... 23

6. Pemantulan Cahaya... 24

7. Pembiasan Cahaya ... 24

8. Bunyi ... 25

9. Listrik ... 26

10.Magnet ... 27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 29

A. Jenis Penelitian... 29

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 29

C. Sampel... 29

D. Treatment ... 30

E. Instrumen Penelitian ... 31

F. Metode Analisis Data... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Deskripsi Penelitian ... 38

B. Hasil Penelitian ... 40

(13)

1. Gambaran Umum Konsep Awal dan Konsep Akhir Siswa

untuk Masing-masing Pokok Bahasan ... 41

a. Zat dan wujudnya... 41

b. Gerak ... 43

c. Gaya – Hukum Archimedes ... 47

d. Suhu ... 49

e. Kalor... 52

f. Bunyi ... 54

g. Pemantulan Cahaya... 57

h. Pembiasan Cahaya. ... 60

i. Listrik ... 62

j. Magnet ... 66

2. Konflik Kognitif yang Dialami Siswa pada Tiap Percobaan ... 68

a. Zat dan wujudnya ... 69

b. Gerak ... 70

c. Gaya – Hukum Archimedes ... 73

d. Suhu ... 75

e. Kalor... 76

f. Bunyi ... 77

g. Pemantulan Cahaya... 77

h. Pembiasan Cahaya ... 78

i. Listrik ... 79

j. Magnet ... 82

(14)

3. Kesimpulan Umum ... 83

4. Keterbatasan Penelitian... 84

5. Tanggapan Siswa terhadap Metode Peristiwa Anomali Jika Digunakan dalam Pembelajaran... 85

BAB V PENUTUP... 87

A. Kesimpulan ... 87

B. Saran... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 90

LAMPIRAN-LAMPIRAN: Lampiran 1 : Surat Permohonan Ijin Penelitian ... 92

Lampiran 2 : Surat Keterangan Telah Melakukan penelitian ... 93

Lampiran 3 : Soal Pretest dan Postest ... 94

Lampiran 4 : Contoh Jawaban Pretest Siswa ... 98

Lampiran 5 : Petunjuk Pelaksanaan Percobaan ... 102

Lampiran 6 : Petunjuk Pertanyaan Wawancara ... 109

Lampiran 7 : Contoh Hasil Wawancara Awal ... 113

Lampiran 8 : Contoh Jawaban Posttest Siswa... 118

Lampiran 9 : Contoh Hasil Wawancara Akhir ... 122

Lampiran10: Rangkuman Pemahaman Konsep Siswa Sebelum dan Setelah Dihadapkan pada Peristiwa Anomali ... 126

Lampiran11: Rangkuman Konflik Kognitif yang Dialami Keempat Siswa .... 131 Lampiran12: Rangkuman Perubahan Konsep yang Dialami Keempat Siswa . 133

(15)

Lampiran13: Rangkuman Tanggapan siswa ... 139 Lampiran14: Hasil Wawancara tentang Tanggapan Siswa ... 142

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebelum mengikuti proses pembelajaran formal di sekolah, siswa telah membawa konsep awal tertentu yang mereka kembangkan lewat pengalaman hidup mereka sebelumnya. Pengalaman siswa dengan konsep-konsep sebelum pembelajaran formal di sekolah sangat mewarnai konsepsi yang mereka miliki. Konsep awal yang mereka bawa itu terkadang kurang lengkap atau kurang sempurna dan tidak sesuai dengan konsep ilmiah yang diterima para ahli. Konsep siswa yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah sering disebut dengan miskonsepsi atau salah konsep. Miskonsepsi terjadi dalam semua bidang sains, tak terkecuali dalam bidang fisika.

Dalam pengertian konstruktivisme, miskonsepsi merupakan hal yang wajar dalam proses pembentukan pengetahuan oleh seseorang yang sedang belajar. Dengan adanya miskonsepsi itu, sebenarnya menunjukkan bahwa pengetahuan sungguh merupakan bentukan siswa sendiri. Meskipun demikian miskonsepsi tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena jika demikian proses menjadi sempurna tidak akan terjadi (Suparno, 2005:33). Untuk itulah penting terjadi proses pembelajaran di sekolah.

Proses pembelajaran yang baik harus dapat membantu terjadinya perubahan konsep pada diri siswa. Perubahan itu dapat berupa semakin menjadi lengkapnya suatu konsep atau juga semakin benarnya suatu konsep. Perubahan

(17)

dapat bersifat perubahan secara pelan-pelan yang disebut dengan asimilasi atau dapat juga terjadi secara drastis yang disebut dengan akomodasi (Suparno, 1997:18).

Ada berbagai cara untuk membantu siswa mengatasi miskonsepsi dalam bidang fisika. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan peristiwa anomali, yaitu suatu peristiwa yang menghadapkan siswa pada kenyataan yang sungguh lain dengan konsep atau pemikiran yang mereka bangun. Dalam peristiwa anomali ini siswa dihadapkan pada eksperimen atau pengalaman yang memberikan data-data yang berlawanan dengan prediksi atau pengertian siswa. Dengan menghadapkan siswa pada pengalaman dan hasil percobaan lain, diharapkan dapat muncul konflik dalam pemikiran siswa. Pada akhirnya, lewat peristiwa anomali diharapkan siswa sendiri akan tertantang untuk mengubah konsep mereka menjadi lebih baik.

Meskipun demikian, tidak semua pengalaman lewat peristiwa anomali yang dihadapkan pada siswa dapat membantu mengubah gagasan atau konsep mereka. Untuk dapat sampai pada tahap mengubah konsep siswa, pengalaman yang dihadirkan harus dapat dipercaya (kredibel) dengan dibuktikan bahwa data itu terjadi berulang-ulang dan mempunyai bermacam-macam bukti. Dengan demikian siswa dapat semakin yakin bahwa data itu benar dan bukan hanya kebetulan benar (Chin dalam Suparno, 2005).

(18)

terjadi suatu perubahan konsep pada diri siswa ke arah yang lebih baik. Oleh karena itulah penulis memilih Upaya untuk Mengubah Konsep Siswa Lewat Konflik Kognitif dengan Menggunakan Peristiwa Anomali sebagai judul penelitian.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah siswa mengalami konflik kognitif setelah dihadapkan pada berbagai peristiwa anomali?

2. Apakah peristiwa anomali yang dihadapkan pada siswa mampu mengubah konsep siswa ke arah yang benar?

3. Bagaimana tanggapan siswa tentang metode pembelajaran dengan peristiwa anomali?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diketahui di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Apakah peristiwa anomali menciptakan konflik kognitif pada siswa.

2. Apakah peristiwa anomali yang dihadapkan pada siswa dapat sampai pada tahap mengubah konsep siswa menjadi lebih benar.

(19)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dapat ditinjau dari berbagai segi, yaitu bagi peneliti, para guru atau calon guru, peserta didik, dan peneliti selanjutnya.

1. Bagi peneliti, para guru, atau calon guru

Percobaan-percobaan yang menghadirkan peristiwa anomali dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif model pembelajaran fisika yang dapat membantu mengubah konsep siswa yang salah atau kurang lengkap menjadi benar atau lengkap sekaligus dapat membuat siswa tertarik dengan fisika. 2. Bagi siswa

Peristiwa anomali yang dihadirkan dapat memberikan pengalaman baru yang dapat menantang pemikiran siswa dan melakukan perubahan konsep ke arah yang lebih benar.

3. Bagi para peneliti selanjutnya

(20)

5

BAB II

DASAR TEORI

A. Konsep

1. Pengertian Konsep

Konsep didefiniskan sebagai gambaran mental (mental image) mengenai sesuatu (Sund dalam Kartika Budi, 1987:234). Sesuatu itu dapat berupa benda, besaran, atau proses-proses. Kartika Budi (1987) mengungkapkan bahwa konsep adalah gejala yang sudah ada mengenai benda-benda, gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa, kondisi dan ciri-ciri yang menjadi obyek dalam proses belajar mengajar fisika, penelitian dan penerapannya untuk berbagai kepentingan. Tafsiran suatu konsep antara orang yang satu dengan yang lain bisa berbeda-beda. Tafsiran perorangan dari suatu konsep ilmu disebut konsepsi.

(21)

namun mengacu pada struktur operasi yang dilakukan terhadap suatu obyek, seperti konsep asosiatif, komutatif, distributif. Sedangkan konsep filosofis adalah konsep-konsep yang berkaitan dengan sifat manusia.

Dalam kegiatan pembelajaran fisika, yang dihadapi adalah konsep-konsep fisis, sedangkan konsep-konsep-konsep-konsep logika matematik merupakan alat. Menurut Kartika Budi (1998:253), konsep fisis dapat dibedakan atas besaran dan non besaran. Besaran adalah suatu konsep yang memiliki nilai yang dapat diukur dan memiliki satuan, sedangkan konsep non besaran tidak. Terhadap konsep besaran dapat dipertanyakan apa (pengertiannya) dan berapa (nilainya), sedangkan terhadap konsep non besaran hanya dapat ditanyakan apa (pengertiannya).

2. Pemahaman Konsep

(22)

Dengan demikian konsep seseorang akan sesuatu terus berkembang. Pemahaman konsep secara benar oleh siswa menentukan kualitas proses belajar selanjutnya, sebaliknya pemahaman konsep secara salah dapat menimbulkan kesalahan-kesalahan pada penerapan maupun pengembangan konsep lain (Kartika Budi, 1992:114)

Setiap konsep tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan dengan konsep-konsep yang lain (Berg, 1991). Dengan demikian setiap konsep dapat dihubungkan dengan banyak konsep lain dan hanya mempunyai arti dalam hubungan dengan konsep-konsep lain. Semua konsep bersama membentuk semacam jaringan pengetahuan dalam kepala manusia.

Menurut filsafat konstruktivisme, pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia (Suparno, 1997). Pengetahuan ada dalam diri seseoarang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (siswa). Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka (Lorsbach dan Tobin dalam Suparno, 1997). Dengan demikian tampak bahwa pengetahuan lebih menunjuk pada pengalaman seseorang akan dunia daripada dunia itu sendiri. Pengalaman tidak harus diartikan sebagai pengalaman fisik, tetapi juga dapat diartikan sebagai pengalaman kognitif dan mental.

(23)

mengalami sendiri dalam lingkungan yang alamiah. Sebagai konsekuensi konsep belajar yang demikian, maka pembelajaran bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru kepada siswa. Belajar sebagai proses konstruksi pengetahuan melalui kegiatan mengalami, tentu saja harus berpusat pada siswa. Kegiatan yang berpusat pada siswa tentu tidak boleh mengabaikan pengetahuan awal (prakonsep) siswa, konteks pengalaman siswa baik konteks fisik maupun konteks sosial. Oleh karena itu guru mempunyai tugas untuk membantu siswa agar mampu mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasinya yang konkret. Maka tidak ada suatu strategi mengajar yang satu-satunya yang dapat digunakan dimanapun dan dalam situasi apapun. Strategi mengajar perlu juga disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi siswa.

(24)

yang benar dan yang salah, dan dapat membuat peta konsep dari konsep-konsep yang ada dalam satu pokok bahasan.

3. Miskonsepsi

Secara filosofis, terjadinya miskonsepsi pada siswa dapat dijelaskan dengan filsafat konstruktivisme. Karena siswa sendiri yang mengkonstruksi pengetahuannya, maka tidak mustahil dapat terjadi kesalahan dalam mengkonstruksi (Suparno, 2005:30). Hal ini dapat disebabkan siswa belum terbiasa mengkonstruksi konsep fisika secara tepat, belum mempunyai kerangka ilmiah yang dapat digunakan sebagai patokan. Mereka mengkonstruksi sendiri hal itu karena pengalaman hidup mereka. Itulah yang disebut dengan prakonsepsi atau konsep awal. Konsep awal yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah yang diakui para ahli disebut dengan miskonsepsi (Suparno, 2005:2). Miskonsepsi yang terjadi pada siswa dapat disebabkan oleh bermacam-macam hal. Secara umum dapat disebabkan oleh siswa sendiri, guru yang mengajar, konteks pembelajaran dan buku teks (Suparno, 2005:54).

(25)

Tabel 1: Hasil Penelitian Miskonsepsi Fisika pada level SMP

No. Konsep Miskonsepsi

1. Zat dan Wujudnya

Bila gelas yang berisi air dimasuki gumpalan es sampai penuh maka jika semua gumpalan es itu mencair, air dalam gelas akan tumpah.

2. Gerak Apabila dua buah batu dengan massa yang berbeda jatuh bebas dari ketinggian yang sama dan pada saat yang sama, maka batu yang massanya lebih besar akan jatuh bebas lebih cepat daripada batu yang massanya lebih kecil.

3. Gaya – Hukum Archimedes

Berat benda di udara lebih kecil daripada berat benda di dalam zat cair.

4. Suhu Es tidak dapat mengalami perubahan suhu. 5. Kalor Benda yang dipanaskan akan selalu naik suhunya. 6. Bunyi Bunyi bergerak lebih cepat di udara daripada melalui

zat padat. 7. Optika –

Pemantulan Cahaya

Pengamat dapat melihat gambarnya lebih besar dengan bergerak menjauh dari cermin.

8. Optika – Pembiasan Cahaya

Cahaya selalu berjalan lurus melalui benda yang transparan tanpa ada perubahan arah.

9. Listrik Sinar lampu yang tahanannya sama pada rangkaian tertutup seri tidak sama kuat.

10. Magnet Semua logam ditarik oleh magnet.

(26)

miskonsepsi, karena kesalahan siswa dapat beraneka ragam. Untuk itu pertama-tama guru perlu mengerti letak miskonsepsi siswa dengan cara memberi kesempatan pada setiap siswa untuk mengungkapkan gagasan dan idenya tentang konsep fisika yang dipelajari. Dari ungkapan itulah guru akan mengetahui miskonsepsi yang dibawa atau dipunyai siswa. Langkah selanjutnya adalah mencari penyebab dan kiat mengatasinya dengan mencari perlakuan yang sesuai untuk mengatasinya.

4. Perubahan Konsep

Proses pembelajaran yang baik haruslah dapat membantu terjadinya perubahan konsep pada diri siswa (Suparno, 2005). Menurut Joan Davis dalam Suparno (2005:97), mengajarkan perubahan konsep menyangkut dua hal pokok, yaitu: (1) membuka konsep awal siswa agar menjadi jelas dan eksplisit, (2) menggunakan beberapa teknik untuk membantu siswa mengubah kerangka berpikir awal siswa yang tidak benar. Untuk itu diperlukan kepiawaian guru untuk mengerti ekologi konsetual siswa, yaitu semua pengetahuan dan kepercayaan yang dipunyai siswa.

(27)

Pembelajaran fisika dikatakan sukses apabila pembelajaran tersebut dapat membuat konsep siswa berubah ke arah yang lebih baik (mendekati konsep yang diterima para ahli). Sedangkan pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang memungkinkan perubahan konsep itu secara cepat dan efisien.

a. Proses Perluasan Konsep (Asimilasi)

Beberapa cara untuk membantu siswa menambah konsep atau pengetahuan mereka tentang bahan fisika, antara lain:

1) Memberikan informasi baru yang belum pernah diketahui oleh siswa. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan model pembelajaran klasik dengan ceramah, guru menjelaskan konsep bab per bab sesuai dengan urutan kurikulum yang direncarakan.

2) Siswa diberi bahan baru dan diajak untuk mempelajari sendiri bahan itu sehingga konsepnya bertambah (model belajar mandiri). Dalam hal ini diperlukan bantuan dan pengarahan dari guru.

3) Siswa diberi kesempatan untuk mencari bahan-bahan baru yang telah disediakan baik dari buku maupun multimedia fisika.

Pembelajaran untuk menambah konsep tersebut dapat juga mengakibatkan bertambahnya salah konsep.

b. Proses Pembetulan Konsep yang Salah (Akomodasi)

(28)

2) Konsep yang baru itu harus dapat dimengerti (intelligible).

3) Konsep yang baru harus masuk akal, yaitu mempunyai kemampuan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dimunculkan oleh para pendahulu, dan konsisten dengan teori dan pengetahuan lain atau dengan pengalaman yang lama.

4) Konsep baru harus berguna untuk program riset dan mempunyai kemampuan untuk dikembangkan dan membuka penemuan yang baru. Untuk proses membetulkan konsep yang salah guru tidak cukup hanya dengan menambah bahan fisika dalam pembelajaran, tetapi harus menggunakan strategi yang tepat untuk membetulkan konsep siswa yang salah. Pertama siswa perlu disadarkan bahwa konsep awal mereka itu tidak tepat, salah atau tidak cocok dengan situasi yang ada. Cara penyadaran dapat dilakukan dengan membuat atau menyediakan eksperimen atau pengalaman yang memberikan data-data yang berlawanan dengan prediksi atau pengertian siswa.

B. Konflik Kognitif

Konflik kognitif adalah suatu keadaan psikologis dimana terjadi suatu

(29)

Adanya konflik atau ketidaksesuaian dalam diri siswa akan menyebabkan siswa meragukan konsep awalnya sehingga siswa akan tertantang untuk mengubahnya dengan konsep yang lebih benar. Ada beberapa cara yang dapat digunakan oleh guru untuk membantu terciptanya konflik kognitif pada diri siswa, antara lain dengan cara menghadapkan siswa pada kejadian atau peristiwa yang tidak dapat dijelaskan dengan konsep awal siswa tetapi dapat dijelaskan dengan konsep baru yang hendak diberikan. Cara lain yang dapat digunakan adalah dengan menghadapkan siswa pada data anomali, yaitu data-data yang berlawanan dengan prediksi siswa atau pengertian siswa. Dengan demikian siswa akan ditantang untuk memikirkan kembali konsep awalnya yang kurang tepat sehingga siswa terbantu untuk mengubah konsep awal mereka.

Proses terjadinya konflik kognitif pada diri siswa katika dihadapkan pada situasi anomali dapat dijelaskan dalam skema berikut (bdk. Lee & Kwon, 2001):

(30)

Skema di atas mempunyai tiga tahapan, antara lain (bdk. Lee & Kwon, 2001): 1. Preliminary Stage (tahap awal)

Tahap ini merupakan tahap awal sebelum terjadinya konflik kognitif. Pada tahap ini, siswa yang semula sudah mempunyai konsep awal dihadapkan pada situasi atau data anomali yang bertentangan dengan konsep awal yang dimilikinya (misalnya dengan eksperimen yang diberikan oleh guru). Jika siswa mempunyai keyakinan yang kuat terhadap konsep awalnya atau jika siswa hanya menganggap data tersebut sebagai pengecualian saja, maka siswa tidak akan mengalami konflik kognitif.

2. Conflict Stage (tahap konflik)

Tahap ini terjadi ketika siswa (a) menyadari dan mengakui adanya data yang berbeda dengan konsep awalnya, (b) tertarik terhadap data anomali tersebut dan mulai mengalami keraguan terhadap konsep awalnya, (c) melakukan penilaian kembali terhadap konsep awalnya berdasarkan data anomali yang didapat. Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi setelah siswa melakukan tinjauan ulang terhadap konflik yang dialami, yaitu siswa dapat menanggapi dan menyelesaikan atau melupakan begitu saja data yang berbeda dengan konsep awalnya tersebut.

3. Resolution Stage (tahap akhir)

(31)

drastis karena siswa merasa konsep awalnya tidak cocok atau salah dan harus diubah. Kemungkinan kedua, siswa mengalami keraguan terhadap data anomali dan menginterpretasikan kembali data itu. Dengan interpretasi yang baru dapat terjadi data diterima sebagai perubahan, tetapi dapat juga data tidak diterima sehingga tidak terjadi perubahan konsep pada diri siswa.

C. Peristiwa Anomali

Miskonsepsi yang terjadi pada siswa tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena dengan demikian proses menjadi sempurna tidak akan terjadi (Suparno, 2005). Untuk membenahi miskonsepsi, para ahli menyarankan suatu cara baru yang dapat menimbulkan pertanyaan pada siswa, menimbulkan kebingungan dan keraguan dalam pikirannya terhadap konsep awal yang dipegangnya. Cara tersebut adalah dengan menggunakan peristiwa anomali, yaitu peristiwa yang bertentangan dengan konsep yang dibawa siswa. Peristiwa anomali membuat siswa mengalami konflik dalam pikiran mereka sehingga terjadi ketidakseimbangan (disekuilibrium). Ketidakseimbangan itulah yang menurut Piaget akan menyebabkan siswa meragukan konsep awalnya sehingga siswa akan tertantang untuk mengubahnya dengan konsep yang baru. Dalam pembelajaran yang benar itulah akhirnya terjadi akomodasi pada siswa (Suparno, 2005).

(32)

untuk pokok bahasan fisika visual yang kejadiannya dapat diamati dengan indera, misalnya mekanika, listrik-magnet, termodinamika, fluida, optika. Dengan menunjukan kepada siswa kejadian yang sesungguhnya, kenyataan yang sungguh lain dengan konsep atau pemikiran yang mereka bangun, mereka akan mengalami konflik dalam pikirannya. Dengan demikian diharapkan mereka sendiri akan tertantang untuk mengubah konsep mereka yang tidak benar.

(33)

Agar data anomali dapat diterima oleh siswa dan dapat menyebabkan perubahan konsep siswa, data yang disajikan harus memenuhi beberapa kriteria seperti (Chin dalam Suparno, 2005:58):

1) Data itu harus dapat dipercaya (kredibel). Untuk itu perlu dibuktikan bahwa data itu memang terjadi berulang-ulang dan bukan hanya sekali saja. Dengan kejadian berulang-ulang, siswa semakin yakin bahwa itulah yang benar.

2) Data itu juga mempunyai bermacam-macam bukti dan bukan hanya satu macam saja. Dengan demikian siswa semakin yakin bahwa data itu benar dan bukan karena kebetulan benar.

Berikut ini adalah beberapa contoh bagaimana memperbaiki miskonsepsi dengan peristiwa anomali untuk berbagai pokok bahasan materi fisika SMP:

1. Zat dan Wujudnya

Miskonsepsi yang terjadi: bila gelas yang berisi air dimasuki gumpalan es sampai penuh maka jika semua gumpalan es itu mencair, air dalam gelas akan tumpah.

Konsep yang benar: air dalam gelas tidak akan tumpah meski semua

gumpalan es mencair.

(34)

Penjelasan:bila gelas yang berisi air dimasuki gumpalan es sampai penuh, maka setelah semua gumpalan es mencair, air dalam gelas tidak akan tumpah. Percobaan tersebut membuktikan bahwa es justru menyusut pada saat mencair. Pada waktu membeku, air memuai dan volumenya bertambah besar, sedangkan massanya tetap sehingga menyebabkan massa jenis es lebih kecil

daripada massa jenis air ⎟

⎠ ⎞ ⎜

⎝ ⎛ =

v m

ρ . Itulah yang menyebabkan es terapung

dalam air. Pada saat mencair, seluruh volume es yang mencair dapat mengisi dengan tepat ruang dalam air yang sebelumnya diisi oleh balok es. Dengan kata lain, es dalam gelas tidak akan tumpah karena volume es yang mencair lebih kecil dari volume es mula-mula.

Gambar keadaan pada saat es terapung:

Pada saat es terapung, gaya ke bawah (w) sama dengan gaya ke atas (Fa)

- gaya ke bawah = berat es

- gaya ke atas = berat air yang dipindahkan Menurut hukum Archimedes:

gaya ke bawah = gaya ke atas

ρes x Vtotal es x g = ρair x Ves dalam air x g misalkan: ρes = 0,9 gr/cm3

ρair = 1 gr/cm3

0,9 x Vtotal es = 1 x Ves dalam air

Ves dalam air = 0,9 Vtotal es

Volume es yang tercelup dalam air

(35)

2. Gerak

Miskonsepsi yang terjadi: apabila dua buah batu dengan massa yang berbeda jatuh bebas dari ketinggian yang sama dan pada saat yang sama, maka batu yang massanya lebih besar akan jatuh bebas lebih cepat daripada batu yang massanya lebih kecil.

Konsep yang benar: apabila dua buah batu dengan massa yang berbeda jatuh bebas dari ketinggian yang sama dan pada saat yang sama, maka kedua batu akan jatuh bersamaan. Massa benda tidak mempengaruhi kecepatan benda saat menyentuh tanah (asalkan tidak ada unsur lain yang mempengaruhi).

Peristiwa anomali:percobaan dengan menyediakan dua buah benda yang massanya berbeda (misalnya batu besar dan batu kecil yang berbeda massanya), selanjutnya kedua batu tersebut dijatuhkan dari ketinggian yang sama. Kemudian siswa diminta untuk mengamati apakah kedua benda itu jatuh bersamaan atau tidak.

Penjelasan: jika gesekan udara diabaikan maka setiap benda yang jatuh akan mendapat percepatan yang sama tanpa bergantung pada massa benda. Percepatan yang tetap ini disebabkan oleh medan gravitasi bumi dan disebut dengan percepatan gravitasi (g). Kedua batu yang dijatuhkan bersamaan tersebut mengalami gerak jatuh bebas, yaitu gerak suatu benda yang dijatuhkan dari suatu ketinggian tanpa kecepatan awal (vo = 0) dan selama

(36)

beraturan. Secara matematis, kedua batu yang bermassa berbeda dapat jatuh bersamaan dari ketinggian yang sama dapat dijelaskan sebagai berikut:

Dari persamaan di atas nampak bahwa waktu yang dibutuhkan oleh benda untuk sampai ke tanah tidak dipengaruhi oleh massa benda, melainkan hanya dipengaruhi oleh ketinggian benda (karena g merupakan suatu konstanta yang nilainya tetap). Dengan demikian apabila kedua benda dijatuhkan dari ketinggian yang sama, waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke tanah juga sama.

3. Gaya – Hukum Archimedes

Miskonsepsi yang terjadi: berat benda di udara lebih kecil daripada berat benda di dalam zat cair.

Konsep yang benar: berat benda di udara lebih besar dari berat benda di air.

Peristiwa anomali: percobaan dengan mengukur berat sebuah benda

(misalnya sebuah batu) dengan menggunakan neraca pegas. Pengukuran dilakukan secara bergantian, yaitu di udara dan dalam wadah berisi air.

h

tanah

Pada GLBB berlaku persamaan: h = vot + ½ gt2 ; dengan vo = 0

h = ½ gt2

g h

(37)

Melalui pengukuran tersebut siswa dapat membandingkan bagaimana berat benda ketika benda berada di dalam air dan ketika benda berada di udara.

Penjelasan: ketika suatu benda berada di udara, pada benda tersebut hanya bekerja gaya berat yang arahnya selalu ke bawah (dengan mengabaikan gaya gesek udara). Sedangkan ketika suatu benda berada dalam zat cair, ada suatu gaya lain yang bekerja pada benda selain gaya berat, yang disebut dengan gaya Archimedes. Gaya Archimedes disebut juga gaya apung atau gaya ke atas: suatu gaya yang dikerjakan zat cair terhadap benda. Gaya apung ini selalu berarah ke atas. Berikut gambar gaya-gaya yang bekerja pada benda ketika benda berada di udara dan ketika benda berada dalam zat cair:

4. Suhu

Miskonsepsi yang terjadi: es tidak dapat mengalami perubahan suhu.

Konsep yang benar: es dapat berubah suhu sampai es tersebut mencapai suhu 0oC dan melebur menjadi air.

Peristiwa anomali: percobaan dengan langsung membuktikan apakah es dapat berubah suhu atau tidak, dengan cara menempatkan es dan termometer

w

w Fa

Keadaan benda ketika berada di dalam air Keadaan benda ketika

berada di udara

w = berat benda = m.g Fa = gaya ke atas

(38)

dalam suatu wadah kemudian diamati apakah es tersebut mengalami perubahan atau tidak.

Penjelasan: es merupakan bentuk padatan dari air. Es terjadi jika air tersebut diletakkan dalam freezer lemari es. Dalam tempat tersebut suhu es sangat rendah (< 0oC). Ketika es itu diambil dan diletakkan di dalam ruangan maka suhu es tersebut pasti akan mengalami kenaikan karena es tersebut mendapat tambahan kalor dari lingkungan yang suhunya lebih tinggi dari suhu es. Es akan terus mengalami kenaikan suhu sampai mencapai suhu 0oC yang merupakan titik lebur es murni.

5. Kalor

Miskonsepsi yang terjadi: benda yang dipanaskan akan selalu naik

suhunya.

Konsep yang benar: benda yang dipanaskan belum tentu akan selalu naik suhunya.

Peristiwa anomali: percobaan dengan memanaskan butiran-butiran es sampai mencair. Selanjutnya siswa diminta untuk mengamati bagaimana suhu yang ditunjukkan oleh termometer selama es mencair. Pemanasan terus dilakukan sampai es berubah wujud menjadi air, selanjutnya air mendidih dan menguap.

termometer

(39)

Penjelasan: kalor yang diberikan pada benda tidak selalu digunakan untuk menaikkan suhu benda tersebut tetapi dapat juga dipakai untuk mengubah wujud benda tersebut.

6. Pemantulan Cahaya

Miskonsepsi yang terjadi: pengamat dapat melihat gambarnya lebih besar dengan bergerak menjauh dari cermin datar.

Konsep yang benar: jarak pengamat dari cermin tidak mempengaruhi

besar kecilnya bayangan yang dihasilkan oleh cermin datar.

Peristiwa anomali: percobaan dengan meminta siswa berdiri di depan

sebuah cermin datar yang telah dipasang dalam posisi tegak. Selanjutnya siswa diminta untuk berjalan mendekati dan menjauhi cermin sambil mengamati bagaimana bayangan yang terbentuk pada cermin datar ketika siswa bergerak mendekati dan menjauhi cermin.

Penjelasan: pada umumnya, bila seseorang ingin melihat bayangan

seluruh tubuhnya pada sebuah cermin datar, tinggi cermin yang diperlukan hanya setengah dari bagian atas kepala ke mata. Hasil ini tidak bergantung pada jarak orang dari cermin.

7. Pembiasan Cahaya

(40)

Konsep yang benar: bila cahaya mengenai benda yang transparan maka cahaya akan mengalami perubahan arah.

Peristiwa anomali: percobaan dengan membandingkan nyala senter:

ketika nyala senter diarahkan ke suatu benda transparan dan ketika senter tidak dikenai ke benda yang transparan.

Penjelasan: ketika cahaya mengenai suatu bidang transparan berarti cahaya mengenai medium yang berbeda (medium mula-mula adalah udara). Ini berarti cahaya senter tersebut akan mengalami pembiasan, yaitu suatu peristiwa pembelokan cahaya ketika cahaya mengenai bidang antara dua medium yang berbeda.

8. Bunyi

Miskonsepsi yang terjadi: bunyi bergerak lebih cepat di udara daripada melalui zat padat.

Konsep yang benar:bunyi merambat lebih baik melalui zat padat daripada melalui udara (zat gas).

Peristiwa anomali: percobaan dengan menggunakan sebuah telepon

mainan.

Salah satu siswa dapat bertindak sebagai pembicara dan satu orang yang lain dapat bertindak sebagai pendengar. Prosesnya: siswa pembicara diminta untuk berbicara perlahan tetapi siswa pendengar masih dapat mendengarnya dengan

Pembicara Pendengar

(41)

jelas melalui telepon. Selanjutnya siswa pembicara diminta kembali untuk berbicara perlahan seperti sebelumnya. Siswa pendengar diminta untuk membandingkan dengan media manakah suara siswa pembicara dapat terdengar lebih jelas.

Penjelasan: bunyi merambat lebih baik dalam zat padat. Ini berhubungan dengan jarak antar partikel yang berbeda antara zat padat dan zat gas (udara). Dalam zat padat, jarak antar partikelnya sangat berdekatan sehingga energi yang dibawa oleh getaran mudah dipindahkan dari satu partikel ke partikel lainnya tanpa partikel itu berpindah. Sebaliknya dalam gas, jarak antar partikelnya berjauhan sehingga energi yang dibawa oleh getaran lebih sukar dipindahkan dari satu partikel gas ke partikel gas lainnya. Itulah sebabnya mengapa cepat rambat bunyi dalam zat padat lebih besar daripada cepat rambat bunyi dalam udara (gas).

9. Listrik

Miskonsepsi yang terjadi: sinar lampu yang tahanannya sama pada

rangkaian tertutup seri tidak sama kuat.

Konsep yang benar: sinar lampu yang tahanannya sama pada rangkaian tertutup seri sama kuat.

Peristiwa anomali: percobaan dengan menyediakan tiga buah lampu

(42)

Penjelasan: pada rangkaian seri, kuat arus yang melalui tiap-tiap komponen sama besar, yaitu sama kuat dengan kuat arus yang melalui hambatan pengganti serinya. Sehingga, bila ketiga lampu tersebut mempunyai hambatan yang sama besar maka besar tegangan pada tiap-tiap lampu juga sama besar. Dengan demikian ketiga lampu tersebut akan menyala sama kuat.

10.Magnet

Miskonsepsi yang terjadi: semua logam ditarik oleh magnet.

Konsep yang benar: tidak semua logam ditarik oleh magnet.

Peristiwa anomali: percobaan dengan menyediakan sebuah magnet batang dan berbagai jenis logam seperti: alumunium, seng, besi, baja, emas, tembaga. Selanjutnya siswa diminta untuk menarik berbagai jenis logam tersebut dan siswa diminta untuk mengamati apakah semua logam tersebut ditarik oleh magnet.

Penjelasan: magnet adalah sejenis logam yang dapat menarik benda-benda Logam jenis tertentu. Benda dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:

a. Benda magnetik (feromagnetik) yaitu benda yang dapat ditarik dengan kuat oleh magnet serta dapat dimagnetkan. Contoh: paku, pines, peniti, penjepit kertas, besi.

b. Benda nonmagnetik, yaitu benda yang ditarik dengan lemah atau tidak dapat ditarik oleh magnet. Benda nonmagnetik dibagi menjadi dua:

1) Paramagnetik: bahan yang ditarik lemah oleh magnet, misalnya:

(43)
(44)

BAB III

METODOLOGI

A. Jenis Penelitian

Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif karena peneliti ingin mengetahui apakah metode eksperimen dengan menghadirkan peristiwa anomali mampu mengubah konsep siswa yang kurang atau salah menjadi lebih baik atau benar secara teoritis kualitatif. Termasuk dalam penelitian kuantitatif karena dalam penelitian ini juga digunakan analisa statistik deskriptif berupa prosentase. Jumlah siswa yang mempunyai pemahaman konsep benar ataupun salah dinyatakan dalam persen. Bagaimana pemahaman siswa dapat dilihat dari tes awal (pretest) yang diberikan. Soal-soal pretest mengacu pada miskonsepsi yang pernah ditemukan para peneliti sebelumnya.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Tempat Penelitian : SMA Xaverius Pringsewu, Tanggamus – Lampung. Waktu Penelitian : 23 Juli 2007 – 12 Agustus 2007

C. Sampel

Penelitian dilaksanakan pada siswa-siswi kelas X yang berjumlah 39 orang. Alasan pemilihan sampel tersebut adalah karena mereka baru saja

(45)

memasuki bangku SMA dan pada bulan Juli mereka belum banyak mendapat materi pelajaran fisika SMA. Dengan demikian peneliti menganggap bahwa konsep fisika yang dibawa siswa masih berasal dari SMP.

Pretest dan treatment diikuti oleh 39 siswa, sedangkan posttest diikuti oleh 37 siswa. Maka, kedua siswa yang tidak hadir dalam posttest diabaikan. Dengan demikian sampel dalam penelitian ini berjumlah 37 orang. Ke-37 siswa tersebut dijadikan sampel untuk mengatahui apakah peristiwa anomali yang dihadirkan pada siswa dapat sampai pada tahap mengubah konsep siswa menjadi lebih benar. Empat (4) orang dari 37 siswa tersebut dipilih sebagai sampel khusus untuk mengetahui apakah peristiwa anomali yang dihadapkan pada siswa dapat menciptakan konflik kognitif pada siswa. Pilihan empat orang sampel tersebut didasarkan pada keterbatasan peneliti yang tidak mampu mengamati secara detail keseluruhan kelompok dalam satu kelas.

D. Treatment

(46)

digunakan sebagai treatment dalam penelitian ini. Kesepuluh percobaan tersebut terdiri dari percobaan menyangkut konsep Zat dan Wujudnya, Gerak, Gaya – Hukum Archimedes, Suhu, Kalor, Bunyi, Pemantulan Cahaya, Pembiasan Cahaya, Listrik, dan Magnet. (Treatmen secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 5).

E. Instrumen Penelitian

Penelitian ini dilakukan oleh peneliti sendiri. Data yang ingin didapatkan dikumpulkan dengan empat cara, yaitu:

1. Tes tertulis

(47)

Tes esai yang diberikan kepada siswa dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada saat pretest (tes awal) dan posttest (tes akhir). Lewat pretest yang diberikan, dapat diketahui bagaimana konsep awal siswa. Selanjutnya, apakah konsep siswa berubah menjadi lebih baik atau tidak setelah dihadapkan pada peristiwa anomali dapat diketahui dengan posttest yang kembali diberikan kepada siswa. Dari hasil analisis jawaban soal esai posttest maka dapat diketahui apakah telah terjadi perubahan konsep yang lebih baik atau tidak pada diri siswa.

2. Wawancara

(48)

- Menegaskan jawaban dan alasan siswa pada pretest; mengapa mereka menjawab demikian.

- Air yang berubah menjadi es bila dimasukkan dalam freezer lemari es; massa dan volume air sebelum dan setelah menjadi es sama atau berbeda? - Es dalam air akan tenggelam, melayang, atau terapung? Kapan suatu benda

dikatakan tenggelam, melayang atau terapung? - Konsep siswa tentang massa jenis.

Selengkapnya petunjuk pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan pada siswa saat wawancara berlangsung dapat dilihat pada lampiran 6.

3. Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada saat siswa melakukan percobaan. Dalam penelitian ini, percobaan dilakukan secara berkelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari empat orang. Peneliti mengamati secara keseluruhan apa saja yang dilakukan oleh keempat orang tersebut. Dengan demikian selama percobaan berlangsung, peneliti dapat mengamati secara langsung apa saja yang mereka lakukan, mengapa melakukan itu, mengungkapkan gagasan mereka, dan mempertanyakan gagasan mereka. Dengan demikian secara garis besar peneliti dapat mendeteksi pemikiran mereka.

(49)

melakukan percobaan yang ditunjukkan dengan indikator-indikator sikap berikut:

- tertarik - bingung - kaget

- ingin membuktikan

- penasaran, ingin tahu dan bertanya-tanya - ragu-ragu terhadap hasil percobaan - ragu-ragu terhadap dugaan awalnya - kecewa terhadap hasil percobaan - kecewa terhadap dugaan awalnya - meminta penjelasan lebih lanjut

- berpikir mengapa hasilnya demikian (mengapa berbeda dengan dugaan awalnya)

4. Lembar Tanggapan Siswa

Melalui lembar tanggapan siswa dapat diketahui bagaimana tanggapan siswa terhadap model pembelajaran dengan peristiwa anomali yang telah mereka alami; sisi positif dan negatifnya bila model tersebut digunakan dalam pembelajaran. Pertanyaan yang diberikan dalam lembar tanggapan siswa yaitu:

(50)

b. Bagaimana pendapat Anda bila metode tersebut digunakan sebagai model pembelajaran? Sebutkanlah kekurangan dan kelebihannya! Bila Anda menyenangi model tersebut digunakan sebagai model pembelajaran, tuliskanlah hal-hal apa saja yang harus diperbaiki.

F. Metode Analisis Data

Data dalam penelitian ini diperoleh melalui tes uraian (pre dan post), wawancara, dan pengamatan. Selanjutnya, data dianalisis dengan metode pengkodean dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Data dalam penelitian ini diperoleh melalui tes uraian (pre dan post), wawancara, dan pengamatan. Selanjutnya, data dianalisis dengan metode pengkodean dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menganalisis data dari tes awal

a. Dianalisis macam jawaban siswa. Jawaban siswa dikatakan benar bila siswa dapat menjawab dengan benar soal beserta alasan yang ditanyakan. b. Dari jawaban siswa tersebut selanjutnya dianalisis bagaimana pemahaman

siswa seputar konsep-konsep fisika yang ditanyakan.

(51)

%

Hal yang sama juga dilakukan untuk kemungkinan lain jawaban siswa. d. Berdasarkan tes awal siswa, dilakukan treatment terhadap seluruh siswa

dalam satu kelas. Meskipun treatment diberikan kepada seluruh siswa dalam satu kelas, tetapi untuk pengamatan secara lebih detail bagaimana terjadinya konflik kognitif pada siswa hanya diambil empat orang siswa dalam satu kelompok.

2. Menganalisis data dari wawancara

a. Wawancara dilakukan terhadap empat orang siswa yang menjadi subyek penelitian secara khusus.

b. Wawancara dilakukan untuk lebih mendalami mengapa siswa mempunyai gagasan demikian, untuk mendukung jawaban tes awal siswa.

3. Menyatukan hasil tes awal siswa dan wawancara untuk memantapkan peneliti tentang konsep awal siswa yang hendak diberi treatment.

4. Pengamatan dilakukan pada saat percobaan berlangsung. Lewat pengamatan yang dilakukan, peneliti dapat melihat bagaimana antusiasme dan keseriusan siswa dalam melaksanakan percobaan (indikator terjadinya konflik kognitif pada siswa).

5. Menganalisis data dari tes akhir

(52)

b. Menganalisis jawaban tes akhir siswa untuk mengetahui bagaimana konsep siswa setelah dihadapkan pada peristiwa anomali.

c. Membandingkan konsep siswa antara pretest dan posttest (sebelum dan setelah dihadapkan pada peristiwa anomali) apakah mengalami perubahan atau tidak.

d. Menganalisis perubahan konsep siswa, apakah menjadi lebih benar atau malah sebaliknya.

6. Melakukan kembali wawancara terhadap siswa yang bersangkutan untuk memantapkan konsep siswa setelah dihadapkan pada peristiwa anomali dan untuk mengetahui bagaiamana tanggapan siswa bila metode peristiwa anomali ini diterapkan dalam pembelajaran.

(53)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMA Xaverius Pringsewu, Tanggamus, Lampung, pada tanggal 23 Juli – 12 Agustus 2007. Alasan peneliti memilih SMA tersebut sebagai tempat penelitian karena peneliti adalah alumni dari SMA tersebut. Peneliti berharap dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan pendidikan di SMA tersebut.

Siswa-siswi kelas X-1 yang berjumlah 39 orang terpilih sebagai sampel dalam penelitian ini. Dipilih siswa-siswi kelas X-1 sebagai sampel penelitian karena hanya di kelas tersebut jam pelajaran fisika dalam satu kali pertemuannya berlangsung selama 3 JP, sehingga tidak akan banyak waktu yang terbuang untuk mempersiapkan alat. Dari total 39 siswa yang ada di kelas X-1, hanya 37 siswa yang akhirnya dijadikan sampel penelitian karena ada dua orang siswa yang tidak mengikuti salah satu rangkaian kegiatan penelitian dari serangkaian kegiatan yang telah direncanakan.

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini berlangsung dalam tahap-tahap sebagai berikut: mula-mula seluruh sampel diberi pretest. Pretest terdiri dari 10 pertanyaan yang memuat 10 konsep, yaitu: Zat dan Wujudnya, Gerak, Gaya – Hukum Archimedes, Suhu, Kalor, Bunyi, Pemantulan Cahaya, Pembiasan Cahaya, Listrik, dan Magnet. Selanjutnya, dipilih empat (4) orang siswa yang akan diwawancarai untuk memantapkan konsep siswa tersebut dan untuk

(54)

mengetahui pemahaman siswa yang tidak tergali dalam pretest. Tahap selanjutnya adalah pemberian treatment terhadap seluruh sampel berupa percobaan-percobaan yang mengandung data anomali. Untuk melihat apakah terjadi konflik kognitif pada pemikiran siswa, diamati lewat empat orang siswa yang telah diwawancara pada tahap sebelumnya. Setelah diberi treatmen, keseluruhan siswa kembali diberi posttest dengan soal yang sama pada soal pretest. Wawancara kembali dilakukan terhadap empat orang siswa yang menjadi sampel khusus, untuk memantapkan bagaimana konsep akhir mereka.

Berikut jadwal pelaksanaan penelitian: - 23 Juli 2007 : Pretest

- 30, 31 Agustus 2007 : Wawancara awal - 2 Agustus 2007 : Treatmen I - 9 Agustus 2007 : Traetmen II - 10 Agutus 2007 : Posttest

- 12 Agustus 2007 : Wawancara akhir

Untuk kelancaran pelaksanaan penelitian, peneliti membagi siswa dalam 10 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 3 – 4 orang. Pemilihan kelompok tersebut dilakukan secara random. Empat anak dalam satu kelompok yang dipilih sebagai subyek penelitian secara khusus juga dipilih secara random. Pemilihan sanpel khusus dilakukan secara random karena sebagian besar siswa mempunyai konsep yang hampir sama yang masih belum tepat.

(55)

macam percobaan yang terdiri dari lima pokok bahasan, yaitu tentang: Zat dan Wujudnya, Gerak, Gaya (Hukum Archimedes), Bunyi, Magnet. Masing-masing percobaan dilakukan selama 20 – 25 menit. Treatment kedua dilaksanakan tanggal 7 Agustus 2007 pukul 11.30 – 13.45. Pada treatment kedua juga ada lima macam percobaan yang diberikan kepada siswa, yaitu percobaan tentang: Suhu, Kalor, Pemantulan Cahaya, Pembiasan Cahaya, Listrik.

B. Hasil Penelitian

(56)

Berikut ini akan dibahas gambaran umum konsep awal dan konsep akhir siswa pada kelas yang diteliti, yaitu kelas X-1.

1. Gambaran Umum Konsep Awal Siswa dan Konsep Akhir Siswa untuk

Masing-masing Pokok Bahasan

a. Pokok Bahasan Zat dan Wujudnya

Pada pokok bahasan ini siswa dihadapkan pada pertanyaan “Apabila sebuah gelas yang mula-mula tidak penuh berisi air lalu

permukaan gelas tersebut dipenuhi dengan menambah butiran-butiran es,

apakah yang akan terjadi dengan air dalam gelas ketika semua es telah

mencair?”. Dari pertanyaan tersebut ingin diketahui bagaimana pemahaman siswa seputar konsep zat dan wujudnya.

Dari total sampel yang berjumlah 37 orang, hanya satu (1) orang saja atau 2,70 % siswa menjawab benar bahwa ketika semua es dalam gelas mencair, air dalam gelas tidak akan tumpah, dengan alasan:

Es itu akan meleleh/ mencair, tetapi karena es batu yang berbentuk kotak terlalu penuh sehingga air yang mencair sedikit/ tidak penuh sehingga air tidak tumpah.

(57)

Tiga puluh tiga (33) siswa atau sebanyak 89,19 % siswa mengalami miskonsepsi dengan menjawab bahwa pada akhirnya setelah semua es dalam gelas mencair, air akan tumpah, dengan alasan:

- Air dalam gelas akan bertambah dengan air yang mencair.

- Es yang mencair akan berbentuk air sehingga gelas akan mendapat tambahan air. Akibatnya gelas tidak mampu menampung tambahan air tersebut sehingga air akan tumpah atau meluap.

- Air mendapat tekanan dari es sehingga air akan naik dan akhirnya tumpah.

Dari jawaban tersebut dapat dilihat bahwa siswa beranggapan bahwa semakin banyak es yang mencair semakin menambah banyaknya air. Konsep siswa tersebut tidak tepat secara fisika.

Tiga (3) siswa atau sebanyak 8,11 % siswa tidak menjawab pertanyaan, sehingga tidak diketahui bagaimana konsep siswa tersebut.

Selang tiga minggu (setelah melakukan percobaan) siswa kembali diberi posttest dengan soal yang sama. Dari 37 siswa yang mengikuti posttest didapatkan hasil bahwa 29 siswa atau sebanyak 78,38 % siswa menjawab benar bahwa ketika semua es dalam gelas mencair, air dalam gelas tidak akan tumpah, dengan alasan sebagai berikut:

- Es telah mengalami pengembunan pada dinding gelas sehingga air dalam gelas tidak akan tumpah.

- Es hanya mengalami perubahan wujud menjadi air. - Es menempati ruang dalam gelas.

(58)

akan keluar sebagai embun. Alasan siswa tersebut belum benar secara fisika.

Delapan (8) siswa atau sebanyak 21,62 % siswa masih mengalami miskonsepsi dengan menjawab bahwa pada akhirnya air dalam gelas akan tumpah. Alasan siswa tersebut terekam dalam jawaban:

- Air dalam gelas akan mendapat tambahan air dari es.

- Es yang mencair akan menambah volume air di dalam gelas tersebut dan gelas tidak lagi mampu menampung air yang mencair. - Es mendapat udara dari ruangan sekitar.

Berbagai jawaban siswa tersebut mengindikasikan bahwa siswa masih mempunyai pemahaman yang salah bahwa volume es yang telah mencair menjadi air akan sama dengan volume es mula-mula.

b. Pokok Bahasan Gerak

Pada pokok bahasan ini siswa dihadapkan pada pertanyaan “Apabila ada dua batu dengan massa yang berbeda (100 gram dan 50

gram) dijatuhkan dari ketinggian yang sama dan pada waktu yang

bersamaan? Apakah kedua batu akan jatuh secara bersamaan? Bila tidak,

menurut Anda batu manakah yang akan jatuh lebih cepat?”.

(59)

Karena kedua batu dijatuhkan secara bersamaan dan benda punya gravitasi yang sama.

Berdasarkan alasan tersebut dapat diketahui bahwa siswa sudah dapat mengerti bahwa gravitasi memegang peranan terhadap jatuhnya benda. Hanya saja konsep siswa tersebut belum jelas, apa maksud dari gravitasi yang sama tersebut? Apakah gaya gravitasinya ataukah percepatan gravitasinya? Dengan demikian dapat dikatakan bahwa siswa masih memiliki pemahaman yang belum tepat.

Dua puluh tujuh (27) siswa atau sebanyak 72,97 % siswa mengalami miskonsepsi dengan menjawab bahwa batu yang lebih berat (yang bermassa 100 gram) akan jatuh lebih dahulu, dengan alasan:

- Batu yang bermassa 100 gram lebih berat dan semakin berat batu, batu akan jatuh semakin cepat.

- Berat benda mempengaruhi gravitasi bumi, semakin berat batu, gravitasinya semakin besar.

- Massa jenisnya lebih besar sehingga batu sampai di tanah lebih dahulu.

(60)

Sembilan (9) siswa atau sebanyak 24,32 % siswa juga mengalami miskonsepsi dengan menjawab bahwa batu yang lebih ringan (yang bermassa 50 gram) akan jatuh lebih cepat, dengan alasan:

- Batu 50 gram lebih ringan sehingga jatuh lebih cepat.

- Massa jenis batu 50 gram lebih kecil sehingga batu jatuh lebih cepat.

Dari kedua alasan tersebut dapat diketahui bahwa siswa mempunyai pemikiran bahwa benda yang memiliki massa lebih kecil akan lebih cepat jatuh karena ringan. Pemikiran siswa yang demikian ini mungkin didasarkan pada pengalaman sehari-hari bahwa suatu benda yang ringan akan lebih mudah jatuh.

Dalam jangka waktu tiga minggu setelah melakukan percobaan, siswa kembali diberi posttest dengan soal yang sama. Hasil posttest menunjukkan 28 siswa atau sebanyak 75,68 % siswa menjawab bahwa kedua benda akan jatuh bersamaan, dengan alasan:

- Massa benda tidak mempengaruhi batu jatuh ke tanah, yang mempengaruhi adalah gaya gravitasi dan jarak atau ketinggian benda.

- Gaya gravitasi kedua benda sama, kecuali bila kedua benda mempunyai bentuk yang sangat berbeda, maka hambatan kedua benda tidak sama, sehingga waktu yang diperlukan untuk mencapai tanah juga tidak sama.

- Bentuk kedua batu sama sehingga gaya tekan udara ke atas yang mendorong batu itu sama maka kedua batu akan jatuh bersamaan.

(61)

terhadap kecepatan jatuh benda. Dalam hal ini siswa mampu melihat bahwa bedua batu akan jatuh bersamaan karena waktu menjatuhkannya bersamaan, dijatuhkan dari ketinggian yang sama dan kedua batu mempunyai bentuk yang hampir sama. Konsep siswa ini sudah tepat. Hanya saja siswa masih ada kekacauan pada pemikiran siswa; siswa menganggap bahwa massa benda tidak mempengaruhi waktu jatuh benda, melainkan gaya gravitasinyalah yang berpengaruh. Padahal besarnya gaya gravitasi sama dengan gaya berat yang mempunyai nilai sebesar massa dikalikan dengan percepatan gravitasinya. Dengan demikian ada hubungan massa dan gaya gravitasi. Pemahaman siswa yang demikian belum tepat secara fisika.

Tiga (3) orang siswa atau sebanyak 8,1 % siswa masih mengalami miskonsepsi dengan menjawab batu yang lebih berat akan jatuh lebih cepat, dengan alasan:

- Batu yang bermassa 100 gram lebih berat. - Semakin berat batu, semakin cepat jatuh.

Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa siswa masih mempunyai anggapan bahwa benda yang lebih berat (yang memiliki massa lebih besar) akan mempunyai waktu lebih cepat untuk sampai ke tanah dibandingkan batu yang bermassa kecil. Pemahaman siswa tersebut belum benar menurut fisika.

(62)

akan jatuh lebih cepat, dengan alasan: batu yang bermassa 50 gram lebih ringan. Berdasarkan alasan siswa tersebut dapat diketahui bahwa pemikiran siswa masih belum benar menurut fisika. Siswa mempunyai anggapan bahwa benda yang memiliki massa lebih kecil akan lebih cepat jatuh karena ringan.

c. Pokok Bahasan Gaya – Hukum Archimedes

Pada pokok bahasan ini siswa dihadapkan pada permasalahan: “Sebuah batu digantung dan ditimbang beratnya dengan menggunakan

neraca pegas. Pertama-tama batu tersebut ditimbang di udara,

selanjutnya batu tersebut ditimbang di dalam sebuah bejana yang berisi

air. Menurut Anda, samakah berat batu tersebut ketika batu tersebut

ditimbang di udara dan di dalam air? Bila tidak, di manakah batu akan

terukur lebih berat?”.

Delapan (8) siswa atau 21,62 % siswa menjawab benar bahwa di udara batu akan terukur lebih berat, tetapi dengan alasan yang kurang tepat, antara lain:

- Air memiliki gaya tekan sendiri dan tekanannya lebih besar daripada tekanan udara.

- Di udara gravitasinya lebih besar daripada di dalam air.

- Siswa memisalkan senapan yang ditembakkan di air maka akan melambat.

(63)

berada di dalam air, hanya saja siswa belum dapat menjelaskan bagaimana pengaruh gaya tersebut. Beberapa siswa yang lain menganalogikan dengan peristiwa senapan yang bergerak lebih lambat ketika ditembakkan ke dalam air. Peristiwa tersebut mugkin didapat siswa dalam pengalaman sehari-hari mereka, hanya saja siswa belum mampu menjelaskan apa yang menyebabkan senapan bergerak lambat ketika ditembakkan di dalam air. Dengan analogi tersebut siswa berpendapat bahwa batu yang ditimbang di dalam air akan lebih ringan daripada ketika di timbang di udara. Ada juga beberapa siswa yang mempunyai konsep tidak tepat bahwa gravitasi benda yang berada di udara dan di air tidak sama.

Sebanyak 28 siswa atau 75,68 % dari keseluruhan siswa mengalami miskonsepsi dengan menjawab bahwa di dalam air batu akan terukur lebih berat, dengan berbagai alasan sebagai berikut:

- Dalam air, berat bertambah karena ditambah dengan air (air berpengaruh terhadap berat batu).

- Air memiliki daya tekan lebih besar daripada di udara, sehingga benda yang ditimbang di air akan jauh lebih berat daripada di udara.

- Batu tersebut kena pengaruh tekanan air. - Di air batu menjadi basah sehingga lebih berat. - Dalam air batu tenggelam.

- Massa jenis batu lebih berat daripada massa jenis air.

Satu (1) siswa atau 2,70 % dari keseluruhan siswa tidak menjawab pertanyaan sehingga tidak diketahui bagaimana konsep siswa tersebut.

(64)

didapatkan hasil 33 orang siswa atau sebanyak 89,19 % siswa menjawab benar bahwa bahwa di udara batu akan terukur lebih berat, dengan alasan:

- Tekanan di udara lebih besar daripada tekanan di dalam air. - Di udara tidak ada hambatan.

- Udara menempati ruang.

- Udara memiliki tekanan ke bawah sedangkan air memiliki tekanan ke atas sehingga seakan-akan memperingan benda itu.

- Air mempunyai sifat menarik.

Berbagai alasan yang diungkapkan siswa menunjukkan bahwa siswa sudah mulai mengerti bahwa suatu benda yang dicelupkan ke air maka benda tersebut akan mendapat gaya yang berarah ke atas. Hanya saja alasan-alasan siswa yang lain belum lengkap dan belum tepat.

Sebanyak empat (4) orang siswa atau 10,81 % siswa masih mengalami miskonsepsi dengan menjawab di dalam air batu akan terukur lebih berat, dengan alasan:

Air punya tekanan sedangkan udara tidak. Tekanan air tersebut membuat batu lebih berat diukur.

Jawaban siswa tersebut belum benar secara fisika. Siswa menganggap tekanan yang diberikan oleh air berarah ke bawah. Sehingga dapat menambah berat batu.

d. Pokok Bahasan Suhu

(65)

Sebanyak 33 orang siswa atau 89,19 % dari keseluruhan siswa menjawab benar tetapi dengan alasan yang kurang lengkap, yaitu bahwa es dapat berubah suhu, dengan alasan:

- Pada saat mencair suhu es pasti berubah. - Setiap zat pasti mengalami perubahan suhu.

- Es yang berada di tempat dingin akan mencair dan cairan itu lama-lama tidak terasa dingin yang artinya suhunya turun.

- Sewaktu es masih dalam keadaan beku, es tersebut dingin. Sedangkan jika es mencair suhunya akan normal. Jadi es dapat berubah suhu.

- Es akan berubah menjadi lebih dingin jika ditempatkan dalam ruangan es.

- Es terbuat dari air, jadi mulanya suhunya tinggi lalu waktu dipindahkan es akan berubah suhu.

- Setiap benda yang berbentuk es pasti mempunyai suhu. Jika es diletakkan di tempat yang panas maka es akan mencair dan cairannya itu hangat.

- Suhu es saat berada di lemari es lebih tinggi daripada saat es berada di luar lemari es sehingga kemungkinan besar jika es tidak berada di lemari es akan mencair dan suhunya berubah.

Berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan siswa tampak bahwa sebagian besar siswa mempunyai konsep bahwa es dapat berubah suhu pada saat es tersebut mencair. Konsep siswa tersebut tidak tepat secara fisika.

Empat (4) orang siswa atau 10,81 % dari keseluruhan siswa menjawab salah (mengalami miskonsepsi) bahwa es tidak dapat berubah suhu, dengan alasan sebagai berikut:

- Es hanya dapat berubah suhu dingin dan tidak dapat berubah suhu menjadi suhu-suhu lain.

- Karena es tidak berpindah ke tempat lain maka suhunya tidak berubah.

- Es hanya bisa mencair dan membeku, bukan berubah suhu.

(66)

Berbagai alasan tersebut mengungkapkan anggapan bahwa es adalah suatu benda yang bersuhu dingin. Menurut mereka es hanya akan berubah suhu setelah es tersebut mencair dan setelah es mencair maka ia tidak disebut es lagi melainkan disebut air.

Dalam jangka waktu tiga minggu setelah melakukan percobaan, siswa kembali diberi posttest dengan soal yang sama. Hasil posttest menunjukkan 32 siswa atau sebanyak 86,49 % siswa menjawab benar bahwa es dapat berubah suhu, dengan alasan:

- Es dapat mengalami kenaikan suhu bila diberi kalor (diletakkan di ruangan) misalnya dari -2oC ke 0oC.

- Selama proses akan mencair sehunya berubah, tetapi saat mencair suhunya tidak berubah.

Jawaban siswa yang demikian ini benar menurut fisika, bahwa es dapat berubah suhu sampai es tersebut mencapai titik leburnya (pada suhu 0oC). Meskipun demikian ada juga beberapa siswa yang masih memberikan alasan yang kurang tepat yaitu:

- Karena es bisa mencair maka suhunya berubah.

- Es dapat berubah suhu seperti suhu panas ke suhu dingin. - Es dapat berubah suhu setiap setengah menit.

(67)

Lima (5) orang siswa atau sebanyak 13,51 % siswa masih mengalami miskonsepsi dengan mengatakan bahwa es tidak dapat berubah suhu. Siswa tersebut masih bertahan pada pendapat mereka bahwa suhu es tidak bisa berubah, baru bisa berubah setelah es tersebut mencair, dan setelah es mencair maka tidak disebut es lagi.

e. Pokok Bahasan Kalor

Pada pokok bahasan ini siswa dihadapkan pada pilihan untuk menyetujui atau tidak menyetujui atas pernyataan “Kalor yang diberikan pada suatu benda akan selalu menaikkan suhu benda”. Dalam soal tersebut siswa juga diminta untuk memberi contoh peristiwa yang dapat mendukung jawaban mereka.

Satu (1) orang siswa atau 2,70 % dari keseluruhan siswa menjawab benar bahwa kalor tidak selalu menaikkan suhu benda, dengan alasan:

Karena suatu benda kalau dipanaskan suhunya tidak selalu naik, tetapi ada juga benda bila dipanaskan suhunya naik. Misalnya, es yang dipanaskan akan mencair, bukannya suhunya naik.

(68)

Empat (4) orang siswa atau sebanyak 10,81 % siswa menjawab benar yaitu bahwa kalor tidak selalu menaikkan suhu benda, tetapi dengan alasan yang tidak tepat, dengan alasan:

- Kalor dapat juga menurunkan suhu benda.

- Misalnya kalor yang dialirkan ke kayu. Itu tidak bisa karena kayu tidak mudah dialiri kalor.

Dari alasan yang telah diungkapkan tampak bahwa siswa mempunyai konsep yang salah tentang kalor yaitu bahwa kalor dapat menurunkan suhu benda. Padahal kalor adalah energi yang mengalir dari benda yang bersuhu tinggi ke benda yang rendah, sehingga tidak mungkin kalor dapat menurunkan suhu benda.

Sebanyak 32 orang siswa atau 86,49 % dari keseluruhan siswa menjawab salah (mengalami miskonsepsi) bahwa kalor selalu menaikkan suhu benda, dengan alasan sebagai berikut:

- Semakin banyak kalor yang diberikan semakin tinggi suhu benda itu.

- Kalor yang diberikan pada benda akan memanaskan benda sehingga suhu benda itu pasti akan naik.

- Kalor memang berfungsi untuk menaikkan suhu benda. - Kalor mengandung zat yang dapat menaikkan suhu benda. - Kalor adalah penghantar panas.

- Misalkan besi yang dipanaskan maka besi tersebut pasti akan panas.

Gambar

Tabel 1: Hasil Penelitian Miskonsepsi Fisika pada level SMP
Gambar keadaan pada saat es terapung:
gambar berikut:

Referensi

Dokumen terkait

SCF - H Dengan meningkatkan kompetensi SDM melalui pelatihan, dan pedidikan sesuai kebutuhan Menciptakan STI pengelolaan SDM terpadu yang mampu menganalisis

membujur pegunungan Meratus Utara dari barat ke timur yang juga menjadi.. batas wilayah Provinsi

19 (2) Orang itu berada dalam keadaan keracunan yang merusak kemampuan orang tersebut untuk menilai ketidak-absahan atau sifat dari perbuatannya, atau kemampuan untuk

Pilates (diucapkan: puh-lah-teez) meningkatkan mental dan kesejahteraan fisik, meningkatkan fleksibilitas, serta memperkuat otot- otot melalui gerakan yang terkontrol, dilakukan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Dua orang solo sopran pemeran karakter Kleting Abang dan Kleting Ijo menyanyikan bagian ini secara solo maupun duet. Tonalitas yang digunakan adalah A mayor

Ini sangkaan yang tidak benar (Blanchard dan Thacker:2004). Jika rasio kurang dari 100 persen, dari biaya program lebih dari itu kembali ke organisasi. Program-program tersebut perlu

Dalam studi manajemen, kehadiran konflik pendidikan tidak bisa terlepas dari permasalahan keseharian yang dirasakan oleh pengelola lembaga pendidikan. Konflik tersebut