• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik Tenurial di Kabupaten Lebak (Masyarakat Kasepuhan dengan Taman Nasional Gunung Halimun)

STUDI KASUS PEMISAHAN HUTAN NEGARA DAN HUTAN ADAT DI KABUPATEN LEBAK (MASYARAKAT KASEPUHAN)

C. Konflik Tenurial di Kabupaten Lebak (Masyarakat Kasepuhan dengan Taman Nasional Gunung Halimun)

Masyarakat kasepuhan secara internal memiliki potensi konflik yang kompleks, yaitu konflik antar kasepuhan, konflik antara kasepuhan dengan desa, konflik antara kasepuhan, struktur jabatan dan incuputu-nya. Potensi konflik ini bersifat laten,dan akan mencuat kepermukaan mana kala desakan pengetahuan modern akibat globalisasi dan pembangunan terus-menerus menerpa masyarakat adat kasepuhan.89Selain potensi konflik tersebut, konflik besar dan sudah mulai terbuka sedang terjadi antara warga masyarakat kasepuhan dengan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH).

Pada tahun 1992, Pemerintah mengeluarkan SK Menteri Kehutanan No. 282 tahun 1992 yang mengacu pada UU pokok Kehutanan No.5/1967 dan UU Konservasi dan Sumberdaya Hayati No.5/1990 yang menetapkan kawasan Gunung Halimun seluas 40.000 hektar sebagai kawasan taman nasional di bawah pengelolaan sementara Balai Taman Nasional (BTN) Gunung Gede Pangrango dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun. Sejak berlakunya surat keputusan tersebut, pihak balai taman nasional mulai membatasi segala kegiatan pendayagunaan oleh manusia, termasuk di dalamnya pelarangan pengambilan kayu bakar, tanaman untuk obat-obatan, dan hasil hutan lainnya oleh masyarakat sekitar kawasan. Selain itu,

89 Rita Rahmawati et. al. “Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan: Adaptasi, Konflik dan Dinamika Sosio-Ekologis,” Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, vol. 2 Agustus 2008, h. 178

75

pengusiran secara halus pun dilakukan kepada masyarakat yang wilayah pemukimannya masuk dalam zona-zona taman nasional.

Kemudian, pemerintah menerbitkan SK Menteri Kehutanan No. 175/2003 tentang perluasan taman nasional dari 40.000 ha menjadi 113.357 ha dan dinamakan sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Banyak lahan garapan maupun pemukiman masyarakat, baik masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang akhirnya masuk dalam kawasan konservasi sehingga kegiatan pertanian pun menjadi terbatas. Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dilakukan dengan sistem zonasi, sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.56 Tahun 2006, mengenai Pedoman Zonasi Taman Nasional. Zonasizonasi tersebut adalah zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai kebutuhan.

Masyarakat kasepuhan memandang kawasan Gunung Halimun sebagai wilayah adat mereka. Untuk itu mereka secara turun-temurun membagi wilayah adat itu dengan wewengkon (Zonasi). Zonasi menurut konsep kasepuhan adalah sebagai berikut (1) Hutan titipan, (2) Hutan tutupan, dan (3) Hutan garapan. Masyarakat menggarap lahan pertanian pada lahan yang menurut mereka termasuk hutan garapan. Apabila lahan garapan sudah dianggap tidak subur lagi, maka masyarakat boleh menggarap lahan di hutan titipan (awisan) yaitu hutan leluhur yang dijadikan cadangan persediaan lahan. Namun tentu saja harus seizin abah yang berlandaskan pada adanya wangsit.

Perbedaan konsep ini menyebabkan perbedaan sikap dan perlakuan terhadap hutan. Hal ini mengangkat kembali konflik tenurial antara masyarakat kasepuhan dengan pemerintah. Pemerintah berkeyakinan bahwa status tanahtanah tersebut merupakan kawasan hutan negara dan telah dikuasai serta diselesaikan penataan batasnya sejak tahun 1923. Di lain pihak, masyarakat adat mengaku bahwa mereka telah menggarap tanah-tanah tersebut secara turun-temurun sejak tahun 1910 sebagai tanah-tanah huma. Konflik ini pada dasarnya merupakan perjuangan hak akses masyarakat atas tanah yang diklaim sebagai Taman Nasional sejak diterbitkannya SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 ditahun 2003 tentang perluasan Taman Nasional, sehingga yang tadinya lahan Perhutani sekarang menjadi taman nasional. Untuk mendapatkan gambaran lengkap

76

mengenai konflik ini perlu diketengahkan terlebih dahulu perspektif historisnya.

Pemerintah Belanda menerbitkan Agrarische Wet 1870 (AW 1870) yang bertujuan untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pengusaha swasta agar membuka hutan dan menjadikannya perkebunan besar. Azas yang dikandung UU tersebut adalah domeinverklaring (deklarasi kawasan), dimana semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya adalah domain (milik) negara, maka pemerintah selaku perwakilan negara memiliki landasan hukum dan pembuktian kepemilikan untuk memberikan tanah-tanah tersebut kepada perkebunan-perkebunan swasta. Namun, azas ini juga mengandung ketentuan pengakuan atas keberadaan hak-hak masyarakat adat. Kondisi ini menciptakan kebingungan dan penafsiran berbeda diantara para ahli-ahli hukum dimasa itu akibat kegagalan mereka untuk memahami hukum tanah masyarakat adat atas hutan.90

Di satu sisi, rumusan mengenai aturan agrariakolonial yang memastikan keberadaan tanah bagi para pengusaha swasta dalam membuka kebun-kebun tanaman keras telah menyebabkan adopsi keliru mengenai prinsip kewenangan raja dalam bentuk domein-verklaring. Onghokham telah menegaskan bahwa dalam prinsip pra-kolonial, klaim raja-raja tradisional terhadap tanah lemah saja sifatnya dibanding kontrol mereka terhadap penduduk.91 Problem yang muncul dengan penerapan undang-undang tersebut adalah pertama, sifat pengakuan yang lemah terhadap bentuk penguasan individu petani dan tanah-tanah garapan di dalam lingkungan masyarakat perdesaan. Kedua adalah penerapan prinsip domain verklaring yang menegaskan sebuah kedaulatan hukum negara atas lahan-lahan yang tidak digarap secara langsung oleh penduduknya, khususnya berkait dengan sumberdaya hutan yang luas.

90 Berdasarkan penafsiran Nolst Trenite, mengklaim tanah-tanah yang tidak dibudidayakan tersebut sebagai tanah negara. Namun, berdasarkan penafsiran Van Vollenhoven, tanah- tanah tersebut walaupun tidak dibudidayakan masih berada dibawah wilayah kekuasaan desa. Lihat Gamma Galudra, Op.cit

91 Onghokham, 1980, Rakyat dan Negara, Sinar Harapan, Jakarta: LP3ES

77

Pada tanggal 30 Juli 1896, pemerintah Keresidenan Banten menerbitkan Peraturan Huma. Peraturan ini berusaha membatasi pertanian huma terhadap beberapa desa dengan memberikan batas-batas yang jelas mana tanah-tanah hutan yang diperuntukkan bagi pertanian huma dan mana yang tidak. Tanah-tanah baik sengaja maupun tidak yang ditinggalkan termasuk ke dalam wilayah kekuasaan desa.

Nampak dengan tegas peraturan ini mengesahkan sistem huma dan memasukkan tanah-tanah hutan sebagai wilayah kekuasaan desa dan bukan sebagai tanah negara. Namun, desakan-desakan dari Pemerintah Hindia Belanda untuk menghapuskan pertanian huma memaksa Pemerintah Keresidenan Banten mengubah peraturan huma tersebut. Dalam Peraturan Huma Kedua,disebutkan bahwa tanah-tanah huma tersebut digolongkan sebagai tanah negara bebas dan residen berhak melepaskan tanah-tanah tersebut dalam bentuk hak sewa. Peraturan ini diperkuat oleh Keputusan Pemerintah (Gouvernement Besluit) No.6 tanggal 11 April1900.92

Perubahan besar kemudian terjadi atas status hukum tanah huma tersebut.

Penyelidikan yang dilakukan oleh Inspektur Urusan Agraria pada tahun 1909 membuktikan bahwa penduduk tidak memiliki hak atas tanah. Atas dasar penyelidikan ini, pemerintah mengeluarkan keputusannya (Gouvernement Besluit 9 November 1909) untuk mencabut perizinan huma ditanah-tanah hutan. Namun, Residen Banten menolak keputusan ini dan akibat penolakan tersebut, pemerintah mempertimbangkan dan meninjau keputusannya kembali. Selain berpedoman bahwa tanah-tanah huma berada di wilayah hukum kekuasaan desa, Residen Banten juga khawatir seandainya keputusan penghapusan huma diterapkan, maka timbul pergolakan dan perlawanan dari masyarakat.

Pada tanggal 22 Juni 1933, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Komisi Huma yang diberi tugas untuk mempelajari kemungkinan penghapusan huma.

Sebelumnya, Jawatan Kehutanan telah menata batas dan memetakan tanah-tanah hutan sebagai kawasan hutan negara.Sejak tahun 1914 hingga tahun 1935, sekitar 137.837 ha tanah-tanah hutan telah ditata batas dan disahkan oleh Gubernur Jenderal sebagai kawasan hutan negara. Proses penataan batas dan pengesahan ini dipersoalkan oleh Residen Banten karena ada sekitar 79.154 ha tanah-tanah

92 Ibid.

78

hutan yang disahkan tersebut tumpang-tindih dengan huma-huma penduduk.93 Residen Banten menilai bahwa proses penataan batas dan pengesahan kawasan hutan negara seluas 79.154 ha tersebut adalah cacat hukum. Perdebatan tentang status hukum tanah-tanah huma dan kawasan hutan negara dicoba diselesaikan oleh Gubernur Jawa Barat. Gubernur memutuskan agar kedua belah pihak memetakan kembali mana tanah-tanah hutan yang diperuntukkan bagi huma dan mana tanah-tanah hutan yang diperuntukkan bagi kawasan hutan negara.

Sayangnya, hingga akhir penjajahan Belanda tahun 1942, perdebatan atas status hukum tanah-tanah huma di dalam hutan negara masih belum jelas.

Status tanah-tanah huma diangkat kembali paska kemerdekaan. Pada tahun 1979, pemerintah menerbitkan SK Menteri Pertanian No .40/Kpts/Um/1/1979 dimana beberapa kelompok-kelompok hutan negara, yaitu Gunung Halimun, Gunung Kendang Kulon, Gunung Sanggabuana, Gunung Nanggung, Jasinga dan Ciampea ditunjuk sebagai Cagar Alam Halimun seluas 40.000 ha. Pada tahun 1982, pemerintah membentuk tim tata batas, seluruhnya terdiri dari pegawai kehutanan, untuk merekonstruksi tata batas hutan-hutan di Lebak yang ditunjuk sebagai cagar alam tersebut. Tim ini melaporkan bahwa tidak ditemukan sama sekali tanah-tanah garapan dan pemukiman masyarakat sepanjang 70,626 km panjang tata batas cagar alam tersebut.94

Pada tahun 1992, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.282/II/1992, cagar alam ini kemudian beralih menjadi Taman Nasional Gunung Halimun. Selama kawasan hutan tersebut berada dibawah pengelolaan taman nasional, tidak ada satupun bentuk penyelesaian tanah-tanah huma tersebut ke dalam bagian dari pengelolaan taman nasional. Kemudian, ditahun 2003 pemerintah,berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 175/II/2003, menggabungkan taman nasional ini dengan kawasan hutan di Gunung Salak seluas 113,357 ha menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan tersebut maka kawasan hutan negara seluas 73.357 hektar yang merupakan kawasan hutan lindung dan hutan produksi pada Kelompok Hutan Gunung Halimun serta Kelompok Hutan Gunung Salak yang

93 Ibid.

94 Ibid.

79

sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani, berubah fungsi menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak dibawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun. Perubahan fungsi hutan negara bekas Perhutani menjadi TNGHS di Kabupaten Sukabumi adalah seluas 16.785,22 ha, di Kabupaten Bogor seluas 18.378,68 ha dan di Kabupaten Lebak seluas 27.049,04 ha. Kawasan TNGHS tetap sebagai hutan negara dengan tidak memasukkan tanah hak.95

Gambar 6. Peta Lokasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

D. Upaya Penyusunan Raperda Pengakuan Masyarakat Adat dan Pemisahan