• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Penyusunan Raperda Pengakuan Masyarakat Adat dan Pemisahan Hutan Adat dan Hutan Negara

STUDI KASUS PEMISAHAN HUTAN NEGARA DAN HUTAN ADAT DI KABUPATEN LEBAK (MASYARAKAT KASEPUHAN)

D. Upaya Penyusunan Raperda Pengakuan Masyarakat Adat dan Pemisahan Hutan Adat dan Hutan Negara

Sampai pada saat penelitian ini disusun, belum ada daerah yang mengesahkan peraturan daerah yang mengatur mengenai pemisahan hutan adat dengan hutan Negara. Kabupaten Lebak termasuk salah satu daerah yang terdepan dalam upaya menyusun dan mengesahkan pearturan daerah mengenai hal ini. Bahkan, dapat dikatakan bahwa proses ini tinggal sedikit lagi selesai dimana rancangan peraturan daerah telah selesai disusun dan telah ada proses uji publik sehingga yang dibutuhkan adalah political will dari DPRD Kabupaten Lebak untuk mengesahkan rancangan peraturan daerah.

95 Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa-Madura Tahun 2006.

80

Secara garis besar materi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini menyangkut beberapa hal, yakni: (1) Keberadaan dan kedudukan Kasepuhan sebagai masyarakat hukum adat; (2) Hak-hak masyarakat kasepuhan; (3) Wilayah adat; (4) Lembaga adat; (5) Hukum adat; (6) Pemberdayaan masyarakat kasepuhan. Dari beragam pengaturan itu, ada dua hal yang penting untuk diperhatikan yaitu mengenai pengakuan masyarakat adat serta pemetaan wilayah adat.

Pengukuhan keberadaan msyarakat kasepuhan sebagai masyarakat adat dalam raperda ini adalah atas pertimbangan sebagai perwujudan dari amanat konstitusional yang harus dilaksanakan demi penghormatan atas hak-hak masyarakat kasepuhan. Dalam hal pengakuan masyarakat adat, raperda ini mengambil pendekatan melalui 5 kriteria yang umumnya hadir di dalam masyarakat yang disebut masyarakat hukum adat, serta merupakan penafsiran pada Pasal 18B dan beberapa UU yang mengatur masyarakat hukum adat. Kritera yang disebutkan di bawah ini kumulatif yaitu:

1. Terdiri dari masyarakat yang warganya memiliki perasaan sebagai satu kelompok karena adanya nilai-nilai yang dirawat secara bersama-sama;

2. Memiliki lembaga adat yang tumbuh secara tradisional;

3. Memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;

4. Memiliki norma hukum adat yang masih berlaku; dan 5. Memiliki wilayah adat tertentu.

Kasepuhan mememenuhi hampir semua kriteria yang ditetapkan di atas. Walaupun tersebar dan terpecah-pecah dalam berbagai desa/komunitas, tetapi semua Kasepuhan memiliki akar sejarah, kepercayaan atas Yang Maha Kuasa dan perannya di semesta yang sama, masing-masing memerankan peran tertentu yang saling melengkapi (ada Kasepuhan yang menjadi pembuka jalan, pertanian dan pangan, urusan gaib, penghubung dengn masyarakat luar, dan lainnya), lembaga adat yang sama (mereka menyebut nama yang sama untuk ketua adat dan barisan penasehat adatnya sebagai Olot dan barisan kolot), memiliki benda-benda adat (misalnya, situs Cibedug yang ada di Kasepuhan Cibedug), memiliki norma hukum adat yang masih berlaku dan ditaati oleh masyarakatnya dan tentu saja masing-masing Kasepuhan punya batas-batas wilayah adatnya.

Upaya Pemetaan Wilayah Adat

81

Penegasan subyek hukum Kasepuhan sebagai Masyarakat Hukum Adat tidak dapat dilepaskan dari pengakuan atas wilayah tertentu sebagai wilayah adatnya.Kasepuhan sendiri punya karakteristik tersendiri dalam mengatur lahan yang ada di dalam wilayah adatnya dan disekitarnya. Kasepuhan memiliki pengaturan penggunaan lahan yang ada di wilayah adatnya.Umumnya Kasepuhan membagi wilayah menjadi wilayah pemukiman, wilayah pertanian dan wilayah hutan.Wilayah hutan ini dimiliki secara komunal dan terdiri dari 3 jenis, yakni leuweung kolot, leuweung titipan dan leuweung sampalan. Pengaturan atas penggunaan lahan ini diatur oleh hukum adat yang berlaku di masing-masing Kasepuhan, termasuk di dalamnya siapa dan dengan cara apa lahan bisa dimanfaatkan. Wilayah adat Kasepuhan sudah memiliki batas-batasnya, baik antar Kasepuhan maupun dengan masyarakat luar. Batas-batas tersebut berupa batas alam dan batas persetujuan dengan pihak lain. Penentuan batas ini sendiri menjadi fokus dalam pengaturan wilayah adat di dalam Perda ini.

Persoalan wilayah adat ini sendiri merupakan persoalan yang cukup pelik karena berhubungan dengan pengaturan pertanahan dan sumber daya alam yang sarat konflik. Penetapan wilayah adat yang dilakukan sekarang akan berhadapan dengan kawasan hutan, berbagai hak atas tanah dan ijin pemanfaatan lahan dan sumber daya alam yang berlaku dan dilindungi secara hukum dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun, bagaimanapun proses untuk menjernihkan persoalan wilayah adat ini harus tetap dilakukan, sebagai ikhtiar untuk menyelesaikan tumpang tindih tersebut. Perda ini hadir dengan mengatur soal kelembagaan dalam pendaftaran wilayah adat.Hal yang diatur dalam pendaftaran wilayah adat adalah jenis pendaftaran, lembaga penerima pendaftaran, tugas lembaga penerima pendaftaran, tahapan pendaftaran, pembiayaan serta perubahan administrasi hukum atas pendaftaran wilayah adat.

Pendaftaran wilayah adat

Pendaftaran wilayah adat dapat dibagi dalam dua jenis pendaftaran, yakni pendaftaran yang berasal dari prakarsa masyarakat adat sendiri dan pendaftaran yang dilakukan bersama pemerintah dan masyarakat.Perbedaan ini dihadirkan sebagai respon atas perbedaan kondisi di dalam Kasepuhan dalam hal penentuan batas wilayah adatnya. Misalnya dalam hal sudah atau belum dilakukan pemetaan wilayah adat. Mengingat banyaknya jumlah Kasepuhan dan luasnya wilayah adat, 82

membuat tidak semua Kasepuhan sudah dipetakan dan memiliki peta wilayah adatnya. Bagi Kasepuhan yang sudah ada peta wilayah adatnya, maka masyarakatnya dapat mendaftarkan wilayah adatnya ke Tim Inventarisasi dan Verifikasi Wilayah Adat yang dibentuk dengan Perda ini yang ada di tingkat Pemerintah Kabupaten.Sedangkan bagi Kasepuhan yang belum sempat dipetakan (walaupun secara internal punya klaim batas wilayahnya) dapat mengajukan diri untuk dipetakan wilayah adatnya bersama dengan pemerintah.Dalam batas tertentu, penentuan bersama wilayah adat antara pemerintah dan masyarakat ini diharapkan sedini mungkin bisa menjernihkan perbedaan pemahaman soal batas wilayah adat.

Tahapan pendaftaran mengikuti jenis pendaftaran wilayah adatnya atau ada dua jenis tahapan pendaftaran wilayah adat, yakni tahapan pendaftaran wilayah adat yang berasal dari inisiatif masyarakat dan tahapan yang berasal dari inisiatif bersama pemerintah dan masyarakat. Perbedaannya lebih pada proses awalnya saja, dimana dalam tahap pendaftaran yang berasal dari inisiatif bersama pemerintah dan masyarakat tidak ada tahapan penerimaan permohonan pendaftaran. Secara garis besar, tahapan pendaftaran ini memiliki 4 kegiatan penting:

a. Proses permohonan dan penerimaan pendaftaran b. Proses analisa dokumen, verifikasi lapangan

c. Proses pengumuman hasil (selama 2 bulan berturut-turut) d. Proses penerimaan keberatan

e. Pemberian rekomendasi

Diagram 2. Alur pendaftaran wilayah adat

83

Ketentuan ini sebagai transisi dalam proses penguasaan lahan di dalam wilayah adat Kasepuhan. Setidaknya tiga kondisi akan diperhatikan:

1. Adanya hak milik tanah. Terhadap pemilik hak milik tanah, maka ia wajib perlindungan, baik dari Kasepuhan maupun dari negara. Ia harus diberikan pemberitahuan jika tanahnya berada di dalam wilayah adat. Ia juga berhak mendapatkan kompensasi jika tidak menginginkan tanahnya ada di dalam wilayah adat, entah dengan bentuk ganti rugi atau digantikan tanahnya seluas dan sejauh mungkin kondisinya sama di luar wilayah Kasepuhan.

2. Izin atau hak atas tanah dan air yang berjangka waktu yang terdapat di dalam wilayah adat yang telah ada sebelum Peraturan Daerah ini berlaku, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa izin atau hak tersebut. Ini merupakan penghormatan pada prinsip ijin yang sudah dijalankan dengan niat baik.

Memang Kasepuhan bisa meminta pemendekan masa berlaku atau bahkan mungkin pencabutan ijin jika dirasa ijin tersebut mengganggu keutuhan dan menghalangi Kasepuhan menjalankan hak-hak tradisionalnya. Hanya saja proses ini jangan sampai merugikan kedua belah pihak. Pada titik ini, pendampingan dan fasilitasi mediasi dari pemerintah dibutuhkan adanya.

3. Adanya kawasan hutan (negara), maka ada dua kondisi, jika wilayah itu masih berfungsi hutan, maka bisa ditetapkan menjadi hutan adat.

84

Sementara jika sudah difungsikan sebagai pemukiman dll, maka direkomendasikan dikeluarkan dari kawasan hutan. Dua opsi ini dirasakan lebih baik baik dari segi perlindungan hak dan perlindungan lingkungan hidup.

Sehingga bagi kawasan yang rentan secara ekologi, perpindahan hak itu (dari sebelumnya dikuasai oleh negara menjadi oleh masyarakat Adat) diharapkan tidak mengganggu fungsi lingkungan hidup baik bagi lingkungan sekitarnya maupun bagi lingkungan yang jauh dan tergantung pada keberadaannya.

85

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Putusan MK nomor 35/PUU-X/2012 membawa dampak luas dalam berbagai hal termasuk penataan ruang dan otonomi daerah, maka perlu pula dilakukan sebuah proses harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait. Dari sisi perundang-undangan, langkah-langkah yang diperlukan untuk menindaklanjuti putusan tersebut, yaitu menerbitkan atau menginisiasi dikeluarkannya peraturan yang dapat mewadahi berbagai isu hukum terkait hutan adat seperti tata cara mengidentifikasi hutan adat, mekanisme pengakuan dan perlindungannya, perlindungan atas hak/izin yang sudah diberikan berdasarkan peraturan yang berlaku, mekanisme dan kelembagaan penyelesaian konflik, aturan untuk mencegah dan membatasi penyalahgunaan pengakuan atas hutan adat untuk kepentingan pribadi, serta mandat memetakan wilayah adat.

a. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ada respon positif, meskipun demikian dalam kenyataannya komitmen mendukung pendaftaran dan pengakuan hak masyarakat hukum adat itu belum terwujud. Presiden, misalnya, tidak mengeluarkan instruksi apapun kepada Kementeria/Lembaga terkait untuk menjalankan pendaftaran dan pengakuan tersebut. Produk hukum yang dibuat oleh pemerintah SBY setelah Putusan MK 35 adalah

- Surat Edaran Menteri Kehutanan No. SE.1/Menhut-II/2013 yang menjelaskan kembali amar putusan dan pendapat MK dalam perkara pengujian konstitusionalitas pasal‐pasal dalam UU No. 41 Tahun 1999 terkait hutan adat dan masyarakat hukum adat. Namun, secara eksplisit Surat Edaran ini menegaskan bahwa: “hutan adat itu harus ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, dengan syarat keberadaan masyarakat hukum adat terlebih dahulu ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.

- Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 62/Menhut‐II/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

P.44/Menhut-86

II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Peraturan ini secara eksplisit menyatakan tujuannya untuk menjalankan Putusan MK.

- Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 522/8900/SJ tanggal 20 Desember 2013 tentang Pemetaan Sosial Masyarakat Hukum Adat.

Surat Edaran ini mengusulkan definisi baru mengenai tanah ulayat yaitu “Tanah adat -yang dipersamakan oleh surat ini dengan tanah ulayat- disebutkan sebagai bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu; tanah ulayat termasuk tanah kerajaan, kraton maupun kesultanan (Sultan Ground).”

- Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dimana Undang-Undang ini mengatur secara khusus mengenai desa adat.

- Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 79 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada Di Dalam Kawasan Hutan. Peraturan tersebut mengatakan bahwa dalam rangka penyelesaian hak ulayat dan penguasaan tanah yang berada di dalam kawasan hutan di daerah, Bupati/Walikota membentuk Tim IP4T yang terdiri dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, Unsur Dinas Kabupaten/Kota yang menangani urusan di bidang kehutanan, Unsur Balai Pemantapan Kawasan Hutan, Unsur Dinas/Badan Kabupaten/Kota yang menangani urusan di bidang tata ruang, Camat dan Lurah setempat.

b. Kemudian, pemerintahan Joko Widodo menegaskan komitmennya untuk melindungi Masyarakat Adat. Kebijakan yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Joko Widodo adalah

- Peraturan Menteri Agrari dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu. Permen ini potensial memunculkan persoalan hukum, yaitu saling tumpang tindih antara masyarakat hukum adat dengan masyarakat yang berada pada kawasan tertentu pada objek yang sama.

87

2. Implementasi Putusan MK Nomor 35 terhambat di lapangan karena banyak dipengaruhi oleh UU yang mensyaratkan pengakuan keberadaan masyarakat adat harus dengan Paraturan Daerah. Namun, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, pengakuan keberadaan masyarakat adat bisa hanya dengan keputusan kepala daerah. Sebagian kepala daerah lebih memilih untuk menggunaka keputusan kepala daerah tetapi justru terkendala dengan tidak diterima oleh Kementerian Kehutanan.

Beberapa inisiatif penyusunan Perda tengah dilakukan. Sejumlah Perda telah terbit sebelum Putusan MK 35. Namun keberadaan Perda-perda itu belum secara sigifikan menghasilkan perubahan. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Pertama, sifat Perda sebagian besar adalah Perda yang mengatur mengenai masyarakat hukum adat, hak atau wilayahnya.

Kedua, sangat jarang ditemukan Perda yang berisikan pengukuhan atau penetapan keberadaan masyarakat hukum adat dan wilayahnya dengan disertai peta yang jelas. Ketiga, kelembagaan pelaksana Perda di daerah bukan lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi yang relevan

3. Sampai pada saat penelitian ini disusun, belum ada daerah yang mengesahkan peraturan daerah yang mengatur mengenai pemisahan hutan adat dengan hutan Negara. Kabupaten Lebak termasuk salah satu daerah yang terdepan dalam upaya menyusun dan mengesahkan pearturan daerah mengenai hal ini.

Bahkan, dapat dikatakan bahwa proses ini tinggal sedikit lagi selesai dimana rancangan peraturan daerah telah selesai disusun dan telah ada proses uji publik sehingga yang dibutuhkan adalah political will dari DPRD Kabupaten Lebak untuk mengesahkan rancangan peraturan daerah.

Secara garis besar materi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini menyangkut beberapa hal, yakni: (1) Keberadaan dan kedudukan Kasepuhan sebagai masyarakat hukum adat; (2) Hak-hak masyarakat kasepuhan; (3) Wilayah adat;

(4) Lembaga adat; (5) Hukum adat; (6) Pemberdayaan masyarakat kasepuhan.

Dari beragam pengaturan itu, ada dua hal yang penting untuk diperhatikan yaitu mengenai pengakuan masyarakat adat serta pemetaan wilayah adat.

Pengukuhan keberadaan masyarakat kasepuhan sebagai masyarakat adat dalam raperda ini adalah atas pertimbangan sebagai perwujudan dari amanat

88

konstitusional yang harus dilaksanakan demi penghormatan atas hak-hak masyarakat kasepuhan.

B. Saran

1. Pemerintah pusat perlu dapat membuat keputusan yang dapat di ikuti oleh seluruh instansi pemerintah atau dari kementerian kehutanan tidak mempermasalahkan bentuk dari peraturan yang diberikan oleh masyarakat adat dalam melakukan klaim wilayahnya.

2. Prosedur penetapan masyarakat hukum adat sebagai subjek hak, baik itu dalam bentuk desa adat maupun masyarakat hukum adat melalui Peraturan Daerah dan atau Surat Keputusan Kepala Daerah menggunakan mekanisme yang beragam. Oleh karena itu, penetapan masyarakat hukum adat oleh Perda dan atau Surat Keputusan Kepala Daerah dalam pelbagai peraturan perundang-undangan yang ada tidak lagi menjadi prasyarat untuk penetapan hak masyarakat hukum adat dalam konteks hak komunal, sehingga Penetapan hak komunal sekaligus penetapan masyarakat hukum adat sebagai subjek haknya secara bersamaan.

3. Pemerintah daerah perlu didorong untuk:

a. Berinisiatif melakukan penyusunan peraturan daerah yang mengakui keberadaan hak penguasaan bersama atas tanah adat, dengan memperhatikan karakteristik masyarakat hukum adat setempat untuk menentukan perbedaan tingkat pengakuan penguasaan bersama atas tanah adat tersebut.

b. Mewujudkan pemetaan dan pendaftaran tanah sistematis secara berkala, dengan melakukan kerjasama operasional dan pendanaan pendaftaran tanah.

c. Melakukan penguatan keberadaan kelompok masyarakat hukum adat, dengan melestarikan nilai-nilai adat di dalam kehidupan masyarakat melalui berbagai upaya kelembagaan dan pelembagaan, bersamaan dengan upaya menerbitkan pengakuan hukum bagi masyarakat hukum adat.

89