• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KASUS PEMISAHAN HUTAN NEGARA DAN HUTAN ADAT DI KABUPATEN LEBAK (MASYARAKAT KASEPUHAN)

A. Asal Usul Masyarakat Kasepuhan

Nama kasepuhan yang diberikan kepada kelompok sosial ini relatif baru, dan juga hanya nama sebutan dari orang luar terhadap kelompok sosial ini. Sebutan kasepuhan bagi masyarakat sunda adalah universal, berasal dari kata sepuh (tua), dari kata tersebut muncul pengertian sesepuh, yaitu orang yang di-tua-kan. Dalam bahasa Sunda, kata sepuh berarti 'kolot' atau 'tua' dalam bahasa Indonesia.

Berdasarkan pengertian ini, muncullah istilah kasepuhan, yaitu tempat tinggal para sesepuh. Sebutan kasepuhan ini pun menunjukkan model sistem kepemimpinan dari suatu komunitas atau masyarakat yang berasaskan adat kebiasaan para orang tua (sepuh atau kolot). Kasepuhan berarti 'adat kebiasaan tua' atau 'adat 57

kebiasaan nenek moyang'.72 Nama kasepuhan hanya merupakan istilah atau sebutan orang luar terhadap kelompok sosial ini yang pada masa lalu kelompok ini menamakan dirinya dengan istilah keturunan Pancer Pangawinan. Pancer berarti lulugu atau asal usul, sementara pangawinan berarti ngawin yaitu membawa tombak dalam upacara perkawinan.73 Pancer memiliki arti akar utama yang yang tumbuh sedangkan pangawinan adalah mengawinkan antara bumi dengan langit/semesta, manusia dengan kemanusiaannya, dan mengawinkan raga dengan hati, yang ghaib dengan lahir, ucap dan lampah atau tingkah laku. Keselarasan ini merupakan sebuah cerminan relasi langit dan bumi karena menurut kepercayaan mereka. Upacara perkawinan pun dipandang sebagai menyatunya manusia dengan tanah yang menghidupinya. Sekalipun ada keterikatan terhadap tanah, namun masyarakat Kasepuhan tidak bersikeras untuk menjadikan tanah sebagai kepemilikan. Bagi mereka pengakuan atas tanah adalah adanya akses untuk mengolah tanah tersebut.74

Kisah mengenai sejarah masyarakat kasepuhan bukanlah hal yang mudah ditelusuri. Masyarakat kasepuhan telah berkembang sehingga terdiri dari beberapa kasepuhan yang mendiami beberapa desa. Bila merujuk pada catatan resmi yang dilakukan oleh Rimbawan Muda Indonesia (RMI) pada tahun 2015, terdapat 65 kasepuhan anggota Kesatuan Banten Kidul (SABAKI) yang hidupnya bergantung pada sumberdaya alam, dimana 57 kasepuhan diantaranya terdapat di Kabupaten Lebak, 6 kasepuhan di Kabupaten Bogor dan 3 kasepuhan di Kabupaten Sukabumi.

Selain itu, masyarakat kasepuhan lekat dengan tradisi lisan yang menyiratkan kisah-kisah leluhur dan asal mula mereka. Para pimpinan kasepuhan, terutama, memiliki kemahiran dalam mengutip pantun, syair dan pepatah yang memberikan keindahan bentuk narasi dan argumentasi. Kemahiran ini menjadi sangat berguna ketika mereka berpidato atau menyampaikan pokok-pokok pikiran berkait dengan nilai-nilai

72 Danasasmita, Saleh & Djatisunda, Anis, 1986, Kehidupan Masyarakat Kenekes, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Depdikbud, Bandung.

73 Ibid

74Adimihardja, K. 1989. Manusia Sunda dan Lingkungannya: Suatu Kajian Mengenai Kehidupan Sosiobudaya dan Ekologi Komuniti Kasepuhan Desa Sirnarasa Jawa Barat Indonesia.

Thesis Ph.D. Tidak dipublikasikan. Fakulti Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan. University Kebangsaan Malaysia. Bangi.

58

kearifan dan filosofi masyarakat kasepuhan, dan termasuk juga kutipan-kutipan tentang warisan nenek-moyang berkait dengan aturan-aturan adat yang didalamnya termasuk tentang bagaimana menentukan batas-batas diantara kasepuhan yang tinggal di wilayah Gunung Halimun.Masing-masing kasepuhan memiliki cerita sejarah sendiri-sendiri yang menjelaskan bagaimana parapemukim awal membentuk komunitas tempat mereka tinggal sekarang. Uraian sejarah tentang bagaimana asal-usul tersebut dalam kaitan ini telahdisampaikan dalam nilai budaya setempat dalam konstruksi tatali paranti karuhun atau kesetiaan mengikuti arahan nenek-moyang.

Prinsip seperti ini yang menjadi dasar bagaimana bangunan konstruksi makna mengenai asal-usul nenek-moyang mereka dibentuk dan penafsiran sejarah dikaitkan dengan organisasi sosial bagaimana masyarakat kasepuhan yang tinggal di wilayah Halimun. Penduduk masing-masing kasepuhan umumnya tidak mampu mengingat dan menjelaskan kembali bagaimana rangkaian silsilah mereka dengan leluhur-leluhur pertama yang menetap di wilayah tersebut.

Soal bagaimana masyarakat kasepuhan sampai tinggal dan menetap di wilayah Halimun, terdapat tiga ragam tafsiran yang memberi penjelasan tentang asal-usul dan riwayat sejarahnya. Tafsiran pertama menyebutkan bahwa masyarakat ini kemungkinan berasal dari sisa-sisa pasukan atau laskar kerajaan Sunda Pajajaran dalam era akhir kekuasaan Sri Baduga Maharaja (1482-1521) setelah kekalahan mereka menghadapi serangan kesultanan Banten. Para pelarian tersebut kemudian bermukim di wilayah bagian selatan Halimun yang dalam waktu tersebut merupakan kawasan yang sulit dijangkau dan memberi perlindungan alamiah bagi para pemukim baru tersebut. Kedua adalah penafsiran yang menyebutkan bahwa mereka adalah sisa-sisa keturunan dari pasukan Mataram yang setelah serangan mereka yang gagal terhadap kekuasaan VOC di Batavia pada tahun 1684. Setelah upaya serangan yang gagal, laskar pasukan tersebut tidak kembali lagi ke wilayah asal mereka dan memilih untuk menetap di tempat-tempat dalam wilayah Jawa Barat.

Kisah seperti ini memiliki kaitan dengan penjelasan tentang berkembangnya pertanian sawah irigasi yang merupakan adaptasi dari sistem pertanian yang telah berkembang di wilayah Jawa Tengah. Penafsiran ketiga menyebutkan bahwa

59

mereka adalah keturunan dari pelarian faksi keluarga kerajaan kesultanan Banten sebagai akibat dinamika konflik internal di dalam tubuh kerajaan.75

Pada dasarnya, masyarakat kasepuhan merupakan adalah kelompok pendatang dari wilayah dan masyarakat yang menjadi pusat kerajaan pra-kolonial di wilayah Jawa Barat. Hal ini juga didukung dengan aturan tempat tinggal dan bangunanrumah tinggal penduduk kasepuhan mendapatkan kaitan kesejarahannya terhadap obilitas penduduk yang terus bergerak mencari lahan pertanian dan pemukiman baru dan juga kewaspadaan menghadapi kemungkinan serangan.

Mengutip dokumentasi sebuah pantun Bogor berjudul ‘Dadap Malang Sisi Cimandiri’

yang disampaikan juru pantun Ki Baju Rembeng pada tahun 1908, Adimiharja memberikan penghargaan terhadap bentuk pantun tersebut yang memberikan penjelasan tentang asal-usul masyarakat yang melarikan diri:76

Urang kucapkeun bae:

Anu tiluan narindak deui Unggah gunung, turun gunung, unggahna lempeng ka kidul Nya anjog ka puncek nu luhur!

Nyi Putri:

Gunung Naon ieu teh

Mana panjang-panjang teuing Ti kulon ngebat ka wetan

Teu pegat-pegat nyambung ngaruntuy

Ceuk Rakean:

Gunung Kendeng,

Dikisahkan:

Ketiga orang itu berjalan terus Naik gunung, turun gunung Naik terus menuju ke arah selatan Hingga sampailah ke puncak tertinggi!

Nyi Putri bertanya:

Gunung apakah ini Begitu panjang,

Dari barat sampai ke timur Beruntun tidak terputus

Kata Rakean:

Gunung Kendeng

75 Hanafi, I. Ramdhaniaty, N., Nurjaman, B, 2004. Nyoreang Alam Ka Tukang, Nyawang Anu Bakal Datang. Penelusuran Pergulatan di Kawasan Halimun, Jawa Barat-Banten. Cetakan Pertama.

Publikasi RMI. Bogor, h. 38-40

76 Adimihardja, 1992 sebagaimana dikutip dalam Andi Achdian, Leuweung Hejo Masyarakat Ngejo: Kajian Terhadap Siasat dan Politik Budaya Masyarakat Kasepuhan dalam Pertarungan Sumberdaya di Kawasan Konservasi Halimun Salak, Jawa Barat & Banten, Tesis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011, h. 48

60

Sabab ngendengan sapanjang jagat!

Ari bagian-bagianna Nu raruhur jaradi gunung, Sewang-sewang baroga ngaran.

Tuh, anu di kulon awun-awunan, Eta teh Gunung Halimun

Urut ngarereb batur-batur nu ti heula Nu marundur nuturkeun Raja... Nah, itu di sebelah barat Bernama gunung Halimun

Salah satu contoh versi penelusuran asal usul sejarah yang “resmi” adalah untuk masyarakat kasepuhan Cisitu. Yang dimaksudkan dengan “resmi” adalah dengan merujuk pada penetapan narasi sejarah tersebut dalam pengakuan formal melalui SK Bupati Lebak nomor 430/Kep.298/Disdikbud/2013 yang memberi status kasepuhan tersebut sebagai masyarakat adat. Dalam runutan sejarah resmi itu dikisahkan bahwa asal-usulpenduduk kasepuhan cisitu berasal dari keturunan Mbah Eyang Maharaja Ratu Hajiyang bersama para pengikutnya membangun pemukiman awal di wilayah ekosistem Halimun-Salak. Disini tidak ada penjelasan tentang kapan periode Ratu Haji dan para pengikutnya mulai menetap di wilayah yang sekarang bernama Desa Cisungsang (yang juga merupakan satu kesatuan adat kasepuhan Cisungsang disebelah selatan kasepuhan Cisitu). Selain itu, juga sulit untuk

61

menentukanapakah Ratu Haji adalah sosok historis atau sebuah rekaan kontemporer terhadapleluhur yang pernah adat. Tetapi arti terpenting dari sosok Ratu Haji ini dalamnarasi sejarah yang dibentuk adalah ia menjadi sosok penghubung komunitas kasepuhan tersebut dengan garis keturunan keluarga-keluarga kerajaan Pakuan diJawa Barat pada abad 16 dan 17. Ratu Haji diceritakan memiliki delapan orang putra yang dalam perkembangan waktu masing-masing membangun wilayah kasepuhan tersendiri seperti CiptaGelar, Cisungsang, Cisitu, Citorek, Bayah, Cicarucub dan Ciherang. Dari keterangan ini terdapat sebuah paralelisme sejarah dalam analisis tentang pemecahan kasepuhan Sirna Resmi di Cisolok yang kemudian menjadi tiga kasepuhan berbeda di Cisolok, Sukabumi. Ratu Haji sendiri dalam suatu waktu memutuskanuntuk berpindah membuka pemukiman baru, yang menjadi kasepuhan Cisitusekarang ini, dan menyerahkan kepemimpinan di kasepuhan Cisungsang kepadasalah satu putranya, uyut Sailun. Berdasarkan cerita seperti ini kasepuhan Cisitumemiliki klaim sebagai keturunan langsung pendiri pertama masyarakat kasepuhan yang berada di wilayah kecamatan Cibeber, kabupaten Lebak. Setelah Ratu Haji meninggal, ia mewariskan kepemimpinan kasepuhan di Cisitu kepada Olot Harumanjaya yang lebih dikenal dengan sebutan Uyut Janggot. Dalam kaitan ini, para pemimpin di kasepuhan Cisitu sekarang adalah keturunan langsung Ratu Haji dan diteruskan oleh Uyut Jenggot. Sebagai keturunan langsung Ratu Haji, maka kasepuhan Cisitu menyandang sebutan sebagai kelompok kasepuhan yang termasuk sebagai Pangawinan Guru Cucuk Pangutas Jalan, yang bermakna sebagai orang tua pembuka jalan dan perintis ke depan.

Konsekuensi dari garis keturunan sejarah ini menjadikan kasepuhan Cisitu sebagai yang dituakan di antara kasepuhan lainnya, dan menjadi kelompok kasepuhan yang memberi restu dan ijin terhadap kegiatan-kegiatan ritual adat dari kasepuhan lainnya.

Contoh versi sejarah “resmi” mengenai asal usul kasepuhan adalah yang dimuat dalam naskah akademis raperda tentang Kasepuhan yang menceritakan asal usul kasepuhan. Dikisahkan bahwa di Banten Kidul pada terbagi kedalam tujuh garis keturunan, diantaranya Somang, Bongbang, Sajira, Parungkujang, Parahyang, Menes dan Binuangeun. Dan disebutkan bahwa keturunan yang kedelapan merupakan keturunan yang disebut ”sang membuat”, yakni Pangawinan. Sedangkan pancer Mandiri memiliki garis keturunan langsung dari Jasinga. Secara khusus

62

mengenai sejarah Pancer Pangawinan ini akan dibahas secara singkat dibawah ini.

Pada waktu jayanya kerajaan Pajajaran Tengah (Bogor), yang diperintah oleh raja Kandahyang atau Galuh Wening Brama Sakti atau yang sering disebut Prabu Siliwangi. Dalam struktur organisasi pemerintahan kerajaan tersebut, terdapat suatu kelompok yang bertugas mengawal raja (pameger raja) yang disebut Bareusan Pangawinan. Yang menjadi anggota kelompok ini terdiri dari orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi, seperti bupati, camat, patih, puun, guru alas. Yang kesemua anggota harus mempunyai kriteria antara lain punya pengaruh, kesaktian dan punya banyak pengalaman. Dalam kelompok tersebut terdapat 3 orang tokoh yaitu Demang Haur Tangtu, Guru Alas Lutang Kendengan dan Puun Buluh Penunjang. Dari folklore yang pernah berkembang, diceritakan bahwa mereka ditugaskan oleh rajanya untuk membawa suatu pohon ajimat. Pada saat itu, di kerajaan Pajajaran sedang diserang oleh kerajaan Banten. Pohon ajimat itu diselamatkan oleh ketiga tokoh tersebut. Ketiga tokoh tersebut ikut mundur dari Pakuan (ibu kota Pajajaran) dengan rombongan raja sampai ke pesisir selatan Sukabumi, di daerah yang disebut Tegal Buled. Setelah itu raja membagi-bagi rombongan yang ingin menentukan nasibnya masing-masing, tetapi ketiga orang itu ingin kembali ke kaler (utara), atau ke dayeuh (kota) yang digambarkan dalam folklore ungkapan Prabu Siliwangi77

Duwuh Eyang Prabu Geura ieu darengekeun Nu tetep milu jeung ngaing misah ka belah kidul Nu hayang baralik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun Geura marisah ka belah kaler Ari nu rek kumawula

ka nu keur jaya geura marisah parindah ka belah wetan

Kepada yang (mau) jaya (coba) pisah pindah kesebelah timur

Yang (ingin) membawa diri sendiri

77Ibid, h. 36

63

Marisah ka belah kulon Berpisah kesebelah barat

Dengan membawa pohon tersebut, lalu ditanam dan mereka mengambil bibitnya masing-masing. Ketiga orang tersebut berpisah, salah seorang diantaranya, yaitu Ki Demang Haur Tangtu ke daerah Guradog, yang sekarang ini lokasinya terletak diantara Jasinga dan Rangkasbitung. Dan turunan Ki Demang ini beranak-cucu yang ada di Citorek, Bayah. Menurut dugaan cikal-bakal berkembangannya kelompok sosial kasepuhan ini di daerah ini.Nama Pancer Pangawinan yang disebut sebagai nama keturunan dari kelompok kasepuhan ini, merupakan suatu bentuk penggantian nama untuk menghormati leluhur mereka yang asli dari pengertian Barisan Pangawinan.Kelompok sosial kasepuhan yang masih ada hingga kini tersebar di daerah Bogor Selatan, Sukabumi Selatan dan Banten Selatan. Di daerah Banten Selatan terdapat kasepuhan Bayahdan Cibedug yang menjadi keturunan Pancer Mandiri. Barisan Pangawinan membagi kedalam fungsi-fungsi tertentu, diantaranya sebagai pangutas jalan atau disebut sebagai Guru Cucuk yang tersebar di daerah Selatan. Kelompok sosial yang termasuk dalam Pancer Pangawinan yang berada di daerah Bogor Selatan adalah kasepuhan Urug. Di daerah Banten Selatan Kasepuhan Citorek, Ciherang, Cicarucub, Cisungsang dan Cisitu. Cisungsang dan Cisitu merupakan kasepuhan yang berfungsi sebagai Guru Cucuk. Di Sukabumi kasepuhan Cipatagelar, Sirnaresmi dan Ciptamulya.