• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK

B. Konsekuensi Pelanggaran Perjanjian Kerja

Indonesia sebagai negara hukum diatur di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945. Pernyataan ini mengandung arti bahwa penyelenggara negara dan rakyat wajib mematuhi hukum. Hal ini berlaku pula bagi pelaku ekonomi (bisnis) terutama sektor formal maupun informal, khususnya para pelaku yang terikat dalam perjanjian kerja yang meliputi penyedia jasa maupun pengguna jasa dalam suatu perusahaan.

Indonesia sebagai penganut aliran kesejahteraan sangat memperhatikan hak hidup warga negaranya, seperti hak atas pekerjaan, hak mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja, hak penghidupan yang layak, maupun hak perlindungan kepastian hukum dan keadilan dalam jaminan sosial tenaga kerja dan bebas perlakuan yang bersifat diskriminatif.138

Kelaziman dalam ikatan hubungan kerja, selalu diawali dengan sepakat kedua belah pihak dimana ketentuan yang melandasinya termaktub dalam Pasal 52 UUK

138

Djoko Heroe Soewono, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu: Tinjauan Dari Perspektif Juridis Sosiologis-Reflektif Kritis, jurnal.unik-kediri.ac.id, diakses pada tanggal 30 Nopember 2012.

dan Pasal 1320 KUHPerdata. Asas perjanjian kerja ini dibuat berdasar kesepakatan kedua belah pihak sebagai syarat pertama dalam hubungan kerja. Syarat kedua, yakni adanya kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, syarat ketiga adanya pekerjaan tertentu yang diperjanjikan, selain yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan maupun perundang-undangan yang berlaku yakni syarat keempat. Keempat syarat tersebut yang terdapat pada perjanjian kerja wajib dipenuhi dalam hubungan kerja. Akibat dari tidak dipenuhinya persyaratan perjanjian kerja, maka membawa konsekuensi batal demi hukum, dan atau dapat dibatalkan. Jika pelanggarannya pada unsur sepakat dan kecakapan, maka perjanjian kerja dapat dibatalkan. Adapun jika unsur ketiga, yakni pekerjaan yang diperjanjikan/ ditentukan jenis serta sifatnya dalam perjanjian kerja dan unsur keempat, yakni tidak bertentangan dengan ketertiban umum serta perundang-undangan yang berlaku, ternyata bertentangan dengan hukum, maka hal tersebut batal demi hukum. Ketentuan Pasal 52 UUK merupakan landasan hukum bagi terbitnya perjanjian kerja pada umumnya.

Dalam suatu hubungan kerja, terkadang tidak selalu berlangsung dengan lancar. Keinginan dari salah satu pihak, misalnya pekerja, tidak selalu dapat dipenuhi oleh pihak lainnya yang dalam hal ini adalah Pengusaha. Selain itu kondisi dalam masyarakat, kehidupan sehari-hari juga berpengaruh terhadap kelanggengan suatu hubungan kerja.

Perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama dengan pekerja sudah semestinya memahami isi perjanjian kerja bersama tersebut. perselisihan dapat

terjadi karena tidak ada kesesuaian pendapat mengenai hal-hal yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan atau perjanjian bersama. Permasalahan- permasalahan yang tidak ditangani sedini mungkin dalam lingkungan kerja dapat menimbulkan adanya perselisihan dalam hubungan kerja, perselisihan ini akan menyebabkan terjadinya pertentangan bahkan pelanggaran-pelanggaran terutama dari pekerja bahkan terkadang dari pihak pemberi kerja baik pengusaha maupun perusahaan.

Adanya pelanggaran-pelanggaran atau kesalahan berat yang dilakukan oleh tenaga kerja maupun perusahaan hingga berakibat terhadap pemutusan hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak. Pemutusan hubungan kontrak dapat dilakukan oleh tenaga kerja itu sendiri ataupun oleh perusahaan. Sebab-sebab yang dapat dijadikan alasan bagi pemutusan hubungan kerja antara TKA dengan perusahaan sama dengan alasan yang ditetapkan oleh Pasal 169 dan Pasal 158 ayat (1) Undang- Undang Ketenagakerjaan.

Pemutusan hubungan kerja yang didasarkan pada alasan yang terletak pada diri tenaga kerja artinya adalah bahwa pengakhiran hubungan kerja yang dimaksud dikehendaki oleh pengusaha karena terdapat peristiwa hukum yang dilakukan atau melibatkan tenaga kerja dimana peristiwa hukum yang dilakukan atau melibatkan tenaga kerja tersebut dapat berakibat diakhirinya hubungan kerja. Peristiwa hukum yang dimaksud bisa dalam bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh tenaga kerja terhadap perjanjian kerja, ketentuan perundang-undangan, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang didalamnya secara tegas menyebutkan bahwa

pelanggaran dimaksud dapat berakibat putusnya hubungan kerja antara tenaga kerja dengan pengusaha atau perusahaan.

Menurut Pasal 158 ayat (1) UUK, terdapat beberapa alasan bagi pengusaha atau perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap tenaga kerja yang telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :

1. Penipuan, pencurian dan penggelapan barang atau uang milik perusahaan; 2. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan

perusahaan;

3. Mabuk, minum minuman keras yang memabukkan, memakai dan atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;

4. Melakukan perbuatan asusila atau melakukan perjudian di lingkungan kerja; 5. Menyerang, menganiaya, mengancam atau mengintimidasi pengusaha atau

teman sekerja di lingkungan kerja;

6. Membujuk pengusaha atau teman sekerja untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

7. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;

8. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

9. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan Negara;

10. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Jenis pelanggaran-pelanggaran sebagaimana yang dimaksud di atas oleh UUK diklasifikasikan sebagai pelanggaran berat yang dapat dikenakan sanksi pemutusan hubungan kerja. Pengusaha yang mengajukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan-alasan sebagaimana yang dimaksud di atas harus menyertakan bukti-bukti pendukung. Bukti-bukti dimaksud terdiri dari :

a. Tenaga kerja tertangkap tangan;

b. Ada pengakuan dari tenaga kerja yang bersangkutan;

c. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi;

Selain alasan pelanggaran berat sebagaimana yang disebutkan di atas, pengusaha juga dapat mengakhiri hubungan kerja dengan tenaga kerja dengan alasan tenaga kerja melakukan perbuatan-perbuatan tertentu dan atau untuk alasan kondisi tertentu yang terletak pada diri tenaga kerja sebagaimana yang diatur dalam Undang- Undang Ketenagakerjaan, Peraturan Perusahaan dan atau Perjanjian Kerja Bersama. Perbuatan atau kondisi tertentu yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Tenaga kerja tidak masuk kerja (mangkir) selama 5 (lima) hari berturut-turut tanpa keterangan dan bukti yang sah;

2. Tenaga kerja melakukan serangkaian pelanggaran disiplin kerja dan yang bersangkutan telah mendapatkan sanksi surat peringatan, mulai dari tingkat pertama hingga terakhir (ketiga);

3. Tenaga kerja terlibat tindak pidana dan ditahan oleh pihak berwajib;

4. Tenaga kerja mengalami sakit lebih dari 12 (dua belas) bulan secara berturut- turut;

5. Tenaga kerja dalam masa percobaan; 6. Tenaga kerja meninggal dunia; 7. Tenaga kerja memasuki usia pensiun;

Dalam menghadapi kasus-kasus pelanggaran tata tertib kerja dan peraturan perusahaan, PT Toyo Kanetsu Indonesia terlebih dahulu akan melakukan langkah- langkah sebagai berikut :139

1. Perusahaan akan memberikan peringatan lisan atau teguran terhadap kasus- kasus pelanggaran kode etik, tata tertib yang dapat dikategorikan sebagai kesalahan ringan. Peringatan ini diberikan oleh atasan langsung atau para manajer di perusahaan.

139

Peraturan Perjanjian Kerja Bersama PT. Toyo Kanetsu Indonesia, Bab VIII mengenai Sanksi-sanksi dari perusahaan Pasal 54.

2. Perusahaan akan memberikan peringatan tertulis berdasarkan keseringan serta besar dan kecilnya serta macam tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh tenaga kerja. Jenis-jenis peringatan tertulis yaitu :

a. Peringatan pertama dan/atau peringatan terakhir. b. Peringatan kedua dan/atau peringatan terakhir, c. Peringatan ketiga dan terakhir.

3. Masing-masing surat peringatan berlaku untuk 6 (enam) bulan.

4. Apabila setelah surat peringatan ketiga (terakhir) karyawan masih melakukan pelanggaran/kesalahan lagi, maka kepada tenaga kerja tersebut dapat diajukan untuk pemutusan hubungan kerja.

5. Setiap tenaga kerja yang mangkir, akan diberikan surat peringatan, dan terhadap upahnya dapat dilakukan pemotongan yang besarnya proporsional dengan jumlah hari mangkirnya.

6. Apabila tenaga kerja tidak masuk kerja selama 5 (lima) hari kerja terus menerus tanpa disertakan keterangan tertulis dan bukti-bukti yang sah dimana perusahaan telah berusaha menghubungi yang bersangkutan maka tenaga kerja tersebut dinyatakan telah mengundurkan diri secara sepihak.

Surat Peringatan Pertama dapat diberikan kepada tenaga kerja yang melakukan pelanggaran-pelanggaran seperti :

1. Tidak memakai lencana/badgedi lingkungan perusahaan

2. Tidak hadir bekerja selama 1 (satu) hari tanpa ada kejelasan dan alasan yang dapat diterima.

3. Meninggalkan pekerjaan dalam jam kerja tanpa ijin dari atasan. 4. Tidak memakai pakaian kerja yang telah disediakan perusahaan.

5. Sering terlambat meskipun telah diperingatkan sebelumnya dan tidak melaporkan keterlambatan.

6. Tidak mempergunakan peralatan pelindung keselamatan yang telah disediakan oleh perusahaan ketika sedang bekerja walaupun telah diperingkatkan oleh atasan.

7. Menolak rotasi kerja atau pertukaran departemen tanpa penjelasan dan alas an yang dapat diterima.

8. Keluar/masuk lokasi perusahaan tidak melalui tempat yang telah ditentukan. 9. Menggunakan waktu istirahat (break) atau waktu makan lebih lama dari

waktu yang ditentukan.

Menurut Pasal 56 Peraturan Perjanjian Kerja Bersama pada PT. Toyo Kanetsu Indonesia,Surat peringatan kedua dapat diberikan untuk pelanggaran di bawah ini :

1. Melakukan lagi pelanggaran-pelanggaran yang tersebut di atas, sementara Surat Peringatan Pertama masih berlaku.

2. Tidak hadir selama 3 (tiga) hari kerja meskipun tidak berturut-turut dalam periode satu bulan.

3. Ceroboh atau memanipulasi alat pencatat kehadiran yang mengakibatkan kerusakan.

4. Tidak mematuhi atau mengikuti petunjuk dari atasan dalam mencegah kecelakaan kerja dan kecacatan hasil produksi.

5. Mempergunakan barang milik perusahaan bagi kepentingan pribadi.

6. Menyobek atau membuat tulisan pada pengumuman resmi perusahaan dan lain sebagainya dari papan pengumuman yang berada di lingkungan perusahaan.

7. Memindahkan/menyimpan peralatan atau perlengkapan dari tempat yang telah ditentukan ke tempat lain tanpa seijin atasan yang bersangkutan.

8. Menolak menjalani investigasi atau pemeriksaan oleh petugas keamanan ketika diminta.

9. Melakukan perbuatan atau tindakan yang menurut pertimbangan perusahaan bobotnya sama dengan yang telah digambarkan dalam pasal ini.

Surat Peringatan Ketiga dapat diberikan untuk pelanggaran-pelanggaran di bawah ini :

1. Melakukan lagi pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas, sementara Surat Peringatan Kedua masih berlaku.

2. Tidur/merebahkan diri di lokasi kerja dalam jam kerja di areal perusahaan. 3. Membuat coretan/tulisan atau merusak barang milik perusahaan.

4. Menjalankan mesin, peralatan atau mempergunakan bahan/peralatan tidak sesuai perintah dari atasan atau prosedur operasi standar yang ditetapkan. 5. Menjalankan kendaraan, truck, forklift atau alat transportasi lainnya yang

bukan merupakan tugasnya.

6. Mengedarkan berita/rumor di dalam perusahaan yang dapat menimbulkan kegelisahan bagi tenaga kerja lainnya.

7. Merokok ditempat terlarang.

8. Menentang atau menolak pekerjaan yang layak diberikan oleh atasan tanpa alasan yang dapat diterima.

9. Hasil pekerjaan yang tidak memuaskan meskipun telah diberikan kesempatan untuk mencoba beberapa pekerjaan lain yang dianggap sesuai dengan kemampuannya.

10. Tanpa persetujuan dari atasan memindahkan atau menyimpan barang-barang milik perusahaan yang bukan pada tempatnya dengan maksud memilikinya. 11. Melakukan praktek peminjaman uang dengan bunga yang tinggi di

perusahaan.

12. Menjual atau mengedarkan kupon undian berhadiah tanpa ijin dari perusahaan.

13. Melakukan perbuatan/tindakan lain berdasarkan pertimbangan perusahaan berbobot sama dengan tindakan yang digambarkan dalam pasal ini.

14. Mencaci/memaki-maki bawahan, atasan atau rekan kerja.

15. Membawa bahan-bahan berbahaya seperti bahan peledak yang digunakan untuk tujuan pembuatan bom atau ledakan.

16. Berkelahi di lingkungan perusahaan baik sesama rekan kerja ataupun dengan atasan.

17. Menghilangkan barang-barang milik perusahaan.

18. Melakukan sabotase terhadap hasil produksi yang mengakibatkan hasil produksi tersebut menjadi cacat/gagal.

Sesuai besar kecilnya pelanggaran, perusahaan PT. Toyo Kanetsu Indonesia dapat memberikan sanksi-sanksi lainnya seperti tersebut di atas yaitu berupa pelepasan jabatan, penurunan jabatan dan mutasi jabatan.

Konsekuensi dari pelanggaran terhadap perjanjian kerja dan ketentuan lainnya selain pemecatan atau pemutusan hubungan kerja terhadap TKA oleh PT. Toyo Kanetsu Indonesia adalah pemulangan diri TKA yang bersangkutan ketempat negara dimana TKA tersebut berasal. Pemulangan TKA sepenuhnya menjadi tanggung jawab perusahaan yang memperkerjakannya, sesuai kehendak Pasal 84 UUK bahwa pemberi kerja wajib memulangkan TKA ke negara asalnya setelah hubungan kerja nya berakhir. Pengurusan tersebut dari mulai urusan administrasi, izin kerja dan izin tinggal yang dicabut dan lainnya yang berkaitan dengan imigrasi.

TKA yang dipulangkan atau menunggu proses pemulangan ke negara nya, selama proses tersebut dapat ditempatkan di rumah atau ruang khusus yang disebut Ruang Detensi atau Rumah Detensi Imigrasi oleh pejabat Imigrasi. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Keimigrasian tentang Pelaksanaan Detensi Pasal 83.

Akibat dari pemutusan hubungan kerja dan pemulangan terhadap TKA tentunya jabatan yang dipegang oleh TKA pada saat itu menjadi kosong, hal ini mengharuskan perusahaan untuk mencari pengganti TKA yang lain. Menurut Pasal 42 UUK TKA yang habis masa kerja nya dan tidak dapat diperpanjang lagi dapat diganti oleh TKA lainnya. Dalam hal pelanggaran yang dilakukan TKA terhadap perjanjian kerja mengakibatkan pada pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh

perusahaan, dan oleh sebab itu perusahaan berhak mengganti TKA tersebut dengan TKA lainnya.

Bentuk lain dari konsekuensi yang terjadi dari pelanggaran perjanjian kerja dapat berupa penurunan pangkat. Kebijakan tersebut biasa diambil oleh pihak perusahaan dengan pertimbangan terlebih dahulu akan kepentingan perusahaan yang masih membutuhkan pekerja dan bahwa pemutusan hubungan kontrak tidaklah semata-mata jalan akhir dalam penyelesaian masalah. Penurunan pangkat terhadap pekerja atau TKA biasa merupakan kebijakan perusahaan akan pemberian sanksi atau hukuman atas ke indisplineran pekerja (TKA) terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan. Biasanya tindakan yang dilakukan masih tergolong dalam pelanggaran ringan di perusahaan selain daripada yang ditentukan pada Pasal 158 UUK. Dalam kasusnya yang terjadi di PT. Toyo Kanetsu Indonesia belum permah ada kasus TKA yang diturunkan pangkatnya sebagai konsekuensi daripada melakukan pelanggaran akan perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, maupun perundang-undangan.

Sedangkan pelanggaran yang dilakukan oleh pemberi kerja yaitu baik pengusaha maupun perusahaan seperti yang terdapat pada Pasal 95 ayat (2) UUK yang menyatakan pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah dikenakan denda sesuai persentase tertentu dari upah pekerja. Ketentuan lebih lanjut mengenai persentase ini diatur sesuai ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah adalah sebagai berikut:

a. Dihitung sejak hari keempat keterlambatan membayar upah sampai hari kedelapan pengusaha wajib menambah 5% dari total upah yang diterima dalam satu bulan

b. Setelah hari kedelapan atau mulai hari ke sembilan ditambah 1% untuk tiap hari keterlambatan, dan maksimum berlaku satu bulan dan nilainya tidak boleh melebihi dari 50% dari upah yang seharusnya dibayar.

c. Bila setelah 1 bulan pengusaha belum juga membayar upah pekerja tersebut maka pengusaha wajib membayar bunga yang ditetapkan bank yang nilainya sebesar bunga kredit yang bersangkutan.

Dari situ dapat dilihat bahwa pemerintah telah memberikan perlindungan atas hak normatif pekerja akan upah terhadap pengusaha yang terkadang dapat dikatakan nakal, dan hanya mementingkan keuntungan dan kepentingan perusahaanya saja.

Dengan adanya bunyi Pasal 95 ayat (2) UUK dan ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 menjadikan dasar hukum dan perlindungan bagi pekerja/buruh terhadap pengusaha ataupun perusahaan untuk tidak mengabaikan nasib pekerja akan upah yang seharusnya diterima pekerja.

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga telah mengatur mengenai bentuk pelanggaran apa saja dan konsekuensinya berupa sanksi yang dapat dikenakan pengusaha yaitu sebagai berikut:

a. Bila pengusaha membayar upah pekerja lebih rendah dari upah minimum yang ditentukan (Pasal 90 ayat (1)), sanksinya adalah sesuai ketentuan Pasal

185 yaitu pidana penjara paling singkat 1 tahun, paling lama 4 tahun, dan/atau denda sedikitnya 100 juta dan paling banyak 400 juta

b. Bila pengusaha tidak membayar upah pekerja yang tidak melakukan tugas karena alasan-alasan pada Pasal 93 yang seharusnya pengusaha wajib membayarnya, dikenakan sanksi sesuai Pasal 186 yaitu pidana paling singkat 1 bulan dan paling lama 4 tahun, dan/atau denda sedikitnya 10 juta dan paling banyak 400 juta.

c. Bila pengusaha tidak membayar upah pekerja untuk kerja lembur (pasal 78) maka sanksinya adalah sesuai ketentuan Pasal 187 yaitu pidana kurungan paling singkat 1 bulan dan paling lama 1 tahun dan/atau denda sedikitnya 10 juta atau paling banyak 100 juta.

d. Bila pengusaha tidak membayar upah pekerja lembur untuk kerja lembur yang dilakukan pada hari libur resmi (Pasal 85), dikenakan sanksi Pasal 187 yaitu pidana kurungan paling singkat 1 bulan dan paling lama 12 bulan, dan/atau denda sedikitnya 10 juta dan paling banyak 100 juta.

e. Bagi pengusaha yang tidak membayar upah pesangon pekerja karena mencapai usia pensiun (Pasal 167 ayat (5)), dikenakan sanksi sesuai Pasal 184 yaitu pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun,dan/atau denda sedikitnya 100 juta dan paling banyak 500 juta.

Beberapa ketentuan tersebut diatas merupakan sanksi-sanksi bila melanggar ketentuan membayar upah bagi pihak perusahaan.

Sayangnya ketentuan tersebut seperti yanng disebutkan diatas tidak ikut serta dimasukkan dan menjadi suatu ketentuan dalam Peraturan Kerja Bersama yang dibuat antara perusahaan dengan pekerja/serikat pekerja. Padahal hal ini salah satu bentuk perlindungan terhadap tenaga kerja dalam hal pembayaran upah. Dan bila kejadian tersebut menimpa salah satu pekerja maka setidaknya pekerja memiliki dasar untuk menuntut perusahaan agar membayar upahnya berdasarkan peraturan Perjanjian Kerja Bersama. Disamping itu ketentuan tersebut memang telah diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 yang memperkuat sebagai dasar hukum.

Pada hubungan kerja denda dan ganti rugi juga dapat dikenakan pada pekerja, bukan hanya pada pengusaha. Pertanyaanya kapan denda dan ganti rugi pada pekerja diberlakukan? Jawabnya adalah Pasal 95 ayat (1) UUK yang mengatakan pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.

Denda dapat berupa ganti rugi atau pemotongan upah terhadap pekerja yang melakukan kesalahan atau kelalaian. Ganti rugi yang dapat dimintakan oleh perusahaan dari pekerja apabila terjadi kerusakan barang atau kerugian lainnya milik perusahaan karena kesengajaan atau kelalaian akibat perbuatan pekerja.

Hal mengenai ganti rugi dan denda ini tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja antara perusahaan dengan pekerja, tetapi diatur dalam peraturan kerja bersama perusahaan. Biasanya atas pelanggaran yang dilakukan pekerja sebelum dikenakan sanksi, oleh perusahaan diberikan Surat Peringatan (SP) pada tiap pekerja yang

melakukan kesalahan. SP diberikan sesuai jenis dan tingkat kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan.

Tanggung jawab tenaga kerja atas kerugian yang timbul karenanya, umumnya terbatas pada kerugian yang terjadi karena perbuatan yang disengaja atau karena kelalaiannya. Disengaja maksudnya jika perbuatan atau tidak berbuatnya bermaksud untuk merugikan kepentingan orang lain (majikan) yang dapat terjadi karena kurang berhati-hati sehingga merugikan kepentingan orang lain.

Jika kerugian yang diderita pihak majikan (perusahaan) tidak dapat dinilai dengan uang, pengadilan akan menetapkan sejumlah uang menurut keadilan sebagai ganti rugi. Bunyi Pasal 1601w KUH Perdata menentukan:

“Jika salah satu pihak dengan sengaja atau dengan kesalahannya berbuat berlawanan dengan salah satu kewajibannya dan kerugian yang karenanya diderita pihak lawan tidak dapat dinilai dengan uang. Pengadilan akan menetapkan sejumlah uang sebagai ganti rugi.”

Jadi jelas bahwa hal pembayaran ganti rugi dan denda ini juga didasarkan atas KUH Perdata yang bersifat liberalistik. KUH Perdata khususnya Bab 7A masih memberikan kedudukan yang lemah bagi buruh, malah masih menganggapnya sebagai barang, sehingga sedikit saja kesalahan dilakukan majikan sedikit-sedikit menuntut ganti rugi. Hal ini tidak lahrasional sebab memaksa pekerja/buruh yang sudah sedemikan rendahnya upah untuk membayar ganti rugi. Apalagi jika kesalahan itu tidaklah begitu berat dengan kerugian yang tidak begitu besar.

Ganti rugi juga dapat dikenakan kepada pekerja dan pengusaha dalam konteks perjanjian kerja. Yaitu apabila salah satu pihak mengingkari perjanjian kerja waktu tertentu. Seperti yang diatur dalam Pasal 62 UUK bahwa apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum jangka waktu berakhirnya hubungan kerja maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja tersebut diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya hubungan kerja. Hal ini merupakan ketentuan umum yang harus dipatuhi para pihak, namun ada klausul-klausul lain yang diperjanjikan dan disepakati untuk mengakhiri hubungan kerja secara sepihak tanpa harus membayar ganti rugi.

C. Perlindungan Hukum Para Pihak Terhadap Perselisihan Pemutusan