• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSELING DAN TES HIV (KTS Dan KTIPK)

BAB V DIAGNOSIS INFEKSI HIV PADA PASIEN TB DEWASA

C. KONSELING DAN TES HIV (KTS Dan KTIPK)

Dalam proses Konseling dan Tes HIV dapat dilakukan melalui dua pendekatan,yaitu:

a. Pendekatan tes HIV dan konseling atas inisiasi petugas kesehatan (KTIPK/Provider Initiated Testing and Counseling = PITC).

b. Pendekatan konseling dan tes HIV atas inisiasi klien atau yang disebut konseling dan tes HIV sukarela (KTS-Voluntary Counselling and Testing/Client Initiated Counseling and Testing = CICT).

Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (KTIPK – PITC = Provider-Initiated Testing and Counseling).

Konseling dan tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan merupakan kebijakan Pemerintah untuk dilaksanakan di layanan kesehatan yang berarti semua petugas kesehatan menginisiasi tes HIV setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis diduga terinfeksi HIV (lihat tabel 10), pasien kelompok berisiko (penasun, PS-pekerja seks dan LSL – lelaki seks dengan lelaki), pasien IMS dan seluruh pasangan seksualnya. Kegiatan memberikan anjuran dan pemeriksaan tes HIV perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah mendapatkan informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan semua pihak menjaga konidensial (prinsip 3C – counseling, consent, conidentiallity).

Konseling dan tes HIV pada dasarnya merupakan tes sukarela. Pada pasien TB konseling dan tes HIV dapat dilakukan dengan pendekatan KTIPK maupun KTS.

Konseling dan tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan merupakan layanan yang terintegrasi di Fasyankes. Konseling dan tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan ketika pasien datang berobat ke Fasyankes dan terindikasi terkait infeksi HIV. Apabila dijumpai pasien TB yang menunjukkan terdapatnya gejala yang mengarah ke AIDS (seperti di atas) maka petugas kesehatan di unit TB menginisiasi tes dan dilanjutkan dengan konseling HIV kepada pasien tersebut sebagai bagian dari tatalaksana klinis. Inisiasi tes HIV oleh petugas kesehatan harus selalu didasarkan atas kepentingan kesehatan dan pengobatan pasien. Untuk itu perlu memberikan informasi yang cukup sehingga pasien mengerti dan mampu mengambil keputusan menjalani tes HIV secara sukarela. Selain itu juga perlu diinformasikan bahwa konidensialitas terjaga, terhubung dengan rujukan ke Pelayanan Dukungan dan Perawatan yang memadai. Tujuan utama KTIPK adalah agar petugas kesehatan dapat membuat keputusan

klinis dan/atau menentukan pelayanan medis secara khusus yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang.

Konseling dan tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan dilaksanakan tidak dengan cara mandatori atau wajib. Prinsip 3C (informed consent, conidentiality, counseling) dan 2 R (reporting and recording) tetap harus diterapkan dalam pelaksanaannya.

Langkah KTIPK di unit DOTS meliputi:

1. Pemberian KIE mengenai kaitan TB dengan HIV.

2. Memeriksa tanda-tanda infeksi oportunistik lain pada kasus TB.

3. Identiikasi faktor risiko yang tampak, misalnya jejas suntikan, tindik berlebihan dan tato permanen.

4. Pemberian informasi dan motivasi pasien TB yang berisiko HIV untuk menjalani tes. 5. Rujukan pasien TB ke layanan tes HIV dengan menggunakan formulir rujukan. 6. Pemberian informasi tentang hasil tes HIV kepada pasien TB dan tindak lanjutnya. 7. Pengisian format pencatatan (rekam medis, register, dll) pada setiap akhir layanan. 8. Kompilasi data pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV.

Pendekatan konseling dan tes HIV atas inisiasi klien atau yang disebut konseling dan tes HIV sukarela (Konseling dan Tes HIV-Voluntary Counselling and Testing/ Client Initiated Counseling and Testing = CICT).

Konseling dan Tes HIV atas inisiasi klien (KTS) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV AIDS berkelanjutan. Konseling dan testing HIV sukarela adalah suatu prosedur diskusi pembelajaran antara konselor dan klien untuk memahami HIV AIDS beserta risiko dan konsekuensi terhadap diri, pasangan dan keluarga serta orang di sekitarnya. Tujuan utamanya adalah perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat dan lebih aman.

Strategi Konseling dan tes HIV pada pasien TB:

a. Di wilayah dengan epidemi HIV yang meluas

Seluruh pasien TB di unit DOTS dilakukan konseling dan tes HIV secara rutin. •

Di seluruh Fasyankes di daerah dengan prevalensi HIV pada pasien TB >5%, Konseling dan Tes •

HIV harus ditawarkan secara rutin pada semua pasien TB.

Konseling dan tes HIV dapat dilaksanakan setiap saat selama pengobatan TB sehingga jika •

ada pasien yang pada awalnya menolak tes HIV maka dapat ditawarkan kembali setelah penyuluhan/penjelasan.

b. Di wilayah dengan epidemi HIV yang rendah dan terkonsentrasi

Dilakukan penilaian faktor risiko menggunakan formulir skrining (kuesioner) pada setiap •

Pasien TB dengan faktor risiko ditawarkan untuk konseling dan tes HIV (oleh petugas TB atau •

dirujuk ke unit Konseling dan Tes HIV).

Beberapa Prinsip Layanan Konseling dan Tes HIV:

1. Sukarela dalam melaksanakan tes HIV. Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien, tanpa paksaan dan tanpa tekanan.

2. Saling membangun kepercayaan dan menjaga konidensialitas.

3. Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien/pasien. Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Konidensialitas dapat dibagi sesuai kebutuhan klien/pasien.

4. Mempertahankan hubungan relasi yang efektif.

5. Konselor/Petugas Medis mendorong klien/pasien untuk kembali mengambil hasil tes dan mengikuti konseling pasca tes untuk mengurangi perilaku berisiko. Di dalam Konseling dan Tes HIV dibicarakan juga respon dan perasaan klien ketika menerima hasil tes pada sesi tahapan penerimaan hasil tes positif.

Tahapan Pelayanan Konseling dan Tes HIV dalam KTS 1. Konseling Pra Tes

Konseling pra tes bertujuan membantu klien menyiapkan diri untuk pemeriksaan laboratorium, memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV. Di dalam Konseling pra tes seorang konselor harus dapat membuat keseimbangan antara pemberian informasi, penilaian risiko dan merespons kebutuhan emosi klien. Kebutuhan emosi yang menonjol adalah rasa takut melakukan tes HIV karena berbagai alasan termasuk perlakuan diskriminasi dan stigmatisasi masyarakat dan keluarga. Bersama antara konselor dengan orang yang sedang mempertimbangkan untuk melakukan tes, cari tahu apakah orang: a) kemungkinan memiliki infeksi HIV, b) pengetahuan mengenai HIV, c) kemampuan untuk menghadapi dengan positif dari hasil tes.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam konseling pra tes : 1) Periksa ulang nomor kode klien dalam formulir 2) Perkenalan dan arahan.

3) Membangun kepercayaan klien pada konselor yang merupakan dasar utama bagi terjaganya konidensialitas sehingga terjalin hubungan baik dan terbina sikap saling memahami.

4) Alasan kunjungan dan klariikasi tentang fakta dan mitos tentang HIV.

5) Penilaian risiko untuk membantu klien mengetahui faktor risiko dan menyiapkan diri untuk pemeriksaan darah.

diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV.

7) Di dalam konseling pra tes HIV seorang konselor harus dapat membuat keseimbangan antara pemberian informasi, penilaian risiko dan merespons kebutuhan emosi klien.

8) Melakukan penilaian sistem dukungan.

9) Klien memberikan persetujuan tertulisnya (Informed Concent) sebelum dilakukan tes HIV. Jelaskan juga mengenai konidensialitas berbagi untuk kepentingan kesehatan klien.

2. Penilaian risiko

Penilaian risiko klinis bertujuan untuk melakukan umpan balik risiko klinis, melakukan diskusi terkait dengan topik yang sensitif serta menilai risiko dalam masa jendela (window periode). Dalam penilaian risiko konselor mengajukan pertanyaan yang eksplisit tentang berbagai kegiatan klien yang memiliki risiko akan terjadinya penularan HIV.

Beberapa alasan mengapa perlu penilaian risiko klinis:

1) Mendorong peningkatan kewaspadaan akan infeksi menular seksual dan HIV. 2) Memberi kesempatan untuk konseling dan edukasi.

3) Pemeriksaan kesehatan lain yang diperlukan.

4) Umpan balik diberikan kepada klien agar klien memahami bahwa aktivitasnya berisiko. 5) Implikasi terapi.

a) assessment dari risiko memiliki infeksi HIV

berganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seks. •

berhubungan seks dengan pekerja seks komersial. •

untuk laki-laki, berhubungan seks dengan sesama laki-laki. •

menindik dengan jarum yang tidak steril, tato. •

transfusi darah yang pernah dilakukan sebelumnya. •

penggunaan obat dengan cara suntik. •

pasangan seksual/suami atau istri merupakan orang dengan risiko. •

b) assessment pengetahuan tentang HIV

apa saja yang malibatkan tes dan arti dari tes tersebut? •

bagaimana transmisi HIV terjadi? •

apa yang dimaksud dengan perilaku berisiko tinggi? •

c) assessment untuk menghadapi dengan positif hasil tes

reaksi yang diharapkan dari seseorang yang melakukan tes siapakah yang akan menyediakan dukungan emosional? dampak dari hasil tes yang positif pada:

hubungan social. •

isu sosial, seperti pekerjaan. •

kesehatan di masa yang akan datang. •

3. Konidensialitas

Persetujuan untuk mengungkapkan status HIV seorang individu kepada pihak ketiga seperti institusi rujukan, petugas kesehatan yang secara tidak langsung melakukan perawatan kepada klien yang terinfeksi dan pasangannya harus senantiasa diperhatikan. Persetujuan dituliskan dan dicantumkan dalam catatan medik. Konselor dan petugas kesehatan yang menginisiasi tes mengkomunikasikan secara jelas perluasan konidensialitas yang ditawarkan kepada klien. Penjelasan rinci seperti ini dilakukan dalam konseling pra tes atau sebelum saat penandatanganan persetujuan pemeriksaan tes HIV. Berbagi konidensialitas, artinya rahasia diperluas kepada petugas kesehatan yang akan membantu pemulihan kesehatan klien. Konidensialitas juga dapat dibuka jika diharuskan oleh hukum (statutory) yang jelas. Contohnya ketika kepolisian membutuhkan pengungkapan status untuk perlindungan kepada korban perkosaan. Korban perkosaan dapat segera dirujuk ke layanan pengobatan untuk mendapatkan ART agar terlindung dari infeksi HIV.

4. Tes Dan Diagnosis HIV

Hubungan antara HIV dan TB perlu disosialisasikan kepada anggota masyarakat sehingga pasien TB dapat waspada terhadap kemungkinan ko-infeksi HIV. Penting untuk menawarkan konseling dan tes HIV terhadap pasien TB.

Keuntungan dari konseling dan tes HIV yang dicapai adalah:

a. pasien bisa mendapatkan kesempatan mengetahui status HIV mereka. b. diagnosis yang lebih baik dan manajemen dari penyakit terkait HIV.

c. penghindaran pemakaian obat yang diasosiasikan dengan risiko tinggi dari efek samping obat tersebut.

d. meningkatkan pemakaian kondom dan menurunkan transmisi HIV.

e. kemungkinan penggunaan kemoproilaksis dengan kotrimoksasol untuk mencegah infeksi oportunistik dan mengurangi angka mortalitas.

f. kemungkinan penggunaan ART untuk pengobatan HIV.

g. kesempatan untuk berkonsultasi dengan pasien dan anggota keluarga mengenai infeksi HIV dan mengenai perkiraan kondisi.

h. kesempatan untuk memberi saran kepada pasien dan anggota keluarganya mengenai cara yang tepat untuk mencegah transmisi HIV lebih jauh.

Dianjurkan untuk melaksanakan konseling dan tes HIV pada hari yang sama menggunakan tes cepat. Hal ini juga penting untuk menjaga kerahasiaan klien.

Kebijakan untuk mewajibkan pasien TB melakukan tes HIV (bahkan walaupun hal ini adalah legal) bisa menjadi kontraproduktif. Tipe kebijakan seperti ini akan menimbulkan hasil sebagai berikut:

a. pasien akan dihalangi dalam mencari pengobatan.

b. akan terjadi penurunan penemuan kasus baru pada kelompok berisiko. c. turunnya kredibilitas dari pelayanan kesehatan.

Infeksi HIV biasanya didiagnosis melalui deteksi dari antibodi terhadap virus. Produksi dari antibodi biasanya dimulai 6 - 12 minggu setelah infeksi. Periode setelah infeksi tetapi antibodi masih belum terdeteksi dikenal dengan istilah window period. Diagnosis dari infeksi HIV juga dimungkinkan dengan mendeteksi virus (p24 antigen, berbasis tes nucleic-acid atau pembiakan) namun alat ini belum tersedia luas dan cukup mahal. Strategi pemeriksaan antibody ataupun virus HIV secara lengkap terdapat dalam buku Pedoman Tes HIV.

a. Tes antibodi HIV

Cara luas yang tersedia dalam mendeteksi individu terinfeksi HIV adalah dengan deteksi antibodi HIV dengan serum atau contoh plasma. Tabel di bawah menunjukkan dua metode utama dari tes antibodi HIV. Tes serogikal tersedia untuk kedua HIV-1 dan HIV-2. Tes diagnosis HIV sangat bisa diandalkan, sangat sensitif dan spesiik. Kinerja dengan kualitas yang tinggi dari tes oleh staf laboratorium adalah hal yang penting.

Tabel 11. Keuntungan dan kerugian dari tes antibodi HIV

Metode tes HIV Keuntungan Kerugian

EIA (secara resmi lebih dikenal dengan ELISA)

Lebih murah dari pada immunoblot •

Jumlah sera yang lebih banyak dapat di •

tes setiap hari Sensitif dan spesiik •

Dibutuhkan peralatan •

laboratorium khusus Staf teknis yang •

mempunyai kemampuan khusus (skill)

Power

• pasokan yang harus selalu tersedia

Keseluruhan kotak (90-100 •

contoh) harus digunakan

Sederhana/ rapid (misalnya rapid immunobinding assay) Sederhana/ cepat •

Lebih murah dibandingkan •

immunoblot

Tidak dibutuhkan peralatan khusus •

Dipasok sebagai penggunaan sendiri •

b. Tes untuk mendeteksi virus HIV

Tes pertama yang bisa mendeteksi sirkulasi bebas dari partikel HIV adalah antigen HIV p24 EIAs. Ukuran kuantitatif dari plasma HIV RNA (viral load) sekarang telah menggantikan tes EIAs ini. Pengukuran viral load saat ini merupakan hal yang standar pada negara maju untuk pentahapan dan monitoring merespons terapi antiretroviral. Bagaimanapun, beberapa faktor membatasi kegunaan dari metode ini pada negara-negara berkembang berupa mahalnya peralatan yang dibutuhkan dan diperlukan kondisi laboratorium, pengawasan kualitas dan staf yang sangat terlatih.

c. Strategi untuk tes antibodi HIV pada pasien

WHO merekomendasikan beberapa strategi tes HIV tergantung pada tujuan tes. Tujuan dari rekomendasi adalah akurasi dan minimalisasi biaya. Tabel di bawah menunjukkan strategi yang diperlukan untuk setiap obyektiitas dari tes.

Tabel 12. Obyektiitas, strategi dan intrepretasi dari pemeriksaan HIV

Obyektiitas Strategi tes Intrepretasi hasil

Manajemen pasien individu

Tes sampel dengan menggunakan EIA atau dengan tes sederhana/cepat

Tes pertama negatif = pasien HIV negatif atau tes harus diulang Tes pertama positif + tes kedua positif = pasien HIV positif

Tes pertama positif dan tes kedua negatif – ulangi kedua tes

Hasil tetap terjadi perbedaan – ulangi pengambilan sampel dan ulangi tes

Surveilans (pada populasi dengan prevalensi HIV > 10%)

Tes sampel dengan menggunakan EIA atau dengan tes sederhana/cepat

Tes negatif = pasien HIV negatif Tes positif = pasien HIV positif

d. Pemeriksaan Laboratoris Untuk Tes HIV

Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitiitas yang tinggi (>99%) sedangkan untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesiisitas tinggi (>99%).

Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu - 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil ”negatif” maka perlu dilakukan tes ulang terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko.

Gambar 5. Bagan Alur Pemerikaan Laboratorium Infeksi HIV Dewasa

Ya

Tidak Tidak Ya

Orang yang bersedia Menjalani tes HIV

Tes Antibodi HIV A1 Antibodi HIV Positif? Adakah manifestasi klinis? Antibodi HIV Positif pada kedua nya Antibodi HIV Positif?

Tes Antibodi HIV A2

Tes Antibodi HIV A3 Ya Ulangi Tes A1 dan A2 A1 +, A2+, A3+? Diagnosis Pasti infeksi HIV Antibodi HIV Positif pada salah satu? A1 +, dan sala satu A2/

A3 +? A1 +, A2+, A3+? A1 +, A2+, A3+? Anggap indeterminate Anggap tidak ditemukan antibodi HIV Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Ya Ya Ya Ya Tidak

Tabel 13. Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1

Hasil Interpretasi Tindak Lanjut

A1 (-) atau A1 (-) A2 (-) A3 (-)

Non-reaktif • Bila yakin tidak ada faktor risiko dan atau perilaku berisiko dilakukan LEBIH DARI tiga bulan sebelumnya maka pasien diberi konseling cara menjaga tetap negatif.

Bila belum yakin ada tidaknya faktor •

risiko dan atau perilaku berisiko dilakukan DALAM tiga bulan terakhir maka dianjurkan untuk TES ULANG dalam 1 bulan.

A1 (+) A2 (-) A3 (-) Atau A1 (+) A2 (-) A3 (-)

Indeterminate Ulang tes dalam 1 bulan.

Konseling cara menjaga agar tetap negatif ke depannya.

A1 (+) A2 (+) A3 (-) Atau A1 (+) A2 (-) A3 (-)

Indeterminate Ulang tes dalam 1 bulan.

A1 (+) A2 (+) A3 (+) Reaktif atau Positif

Lakukan konseling hasil tes positif dan rujuk untuk mendapatkan paket layanan PDP.

5. Konseling Pasca Tes

Konseling pasca tes membantu klien memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil tes. Isi dari konseling paska tes tergantung dari hasil pemeriksaan HIV. Tujuannya adalah untuk mendiskusikan hasil, berbagi informasi, menyediakan dukungan dan mendorong untuk perilaku seks yang aman di masa yang akan datang. Selalu pastikan kerahasiaan. Beritahu hasil secara terbuka dan dengan cara yang simpatik. Ketika seseorang mendapat hasil tes HIV reaktif, reaksi yang umum pada beberapa waktu yang berbeda bisa termasuk syok, marah, merasa bersalah dan depresi. Seseorang akan membutuhkan dukungan secara terus menerus.

Konselor melakukan :

a. Penjelasan hasil tes. b. Pembacaan hasil tes.

d. Rujukan klien ke fasilitas layanan lain jika diperlukan. e. Diskusi strategi untuk menurunkan penularan HIV.

Kunci utama dalam menyampaikan hasil tes:

a. Periksa ulang seluruh hasil tes klien dalam data klien/catatan medik. Lakukan hal ini sebelum bertemu klien untuk memastikan kebenarannya.

b. Sampaikan hasil hanya kepada klien secara tatap muka di ruang konseling.

c. Seorang konselor tidak diperkenankan memberikan hasil pada siapapun di luar layanan kesehatan yang dibutuhkan klien tanpa seijin klien.

d. Hasil tes tertulis tidak diberikan kepada klien/pasien. Jika klien memerlukan dapat diberikan salinannya dan dikeluarkan dengan tandatangan dokter.

Bentuk dari konseling pasca tes tergantung dari hasil tes:

a. Jika hasil tes antibodi HIV reaktif, konselor harus berusaha untuk menyampaikan hasil sedemikian rupa sehingga klien memahami arti hasil tes. Selanjutnya memberikan dukungan emosional dan membimbing klien untuk mengembangkan strategi-strategi mengatasi masalah.

b. Jika hasil tes non reaktif, konseling tetap diperlukan untuk menekankan dan menjelaskan beberapa isu penting. Konselor dapat membimbing klien untuk membangun strategi berikutnya agar tes HIV dipertahankan tetap negatif.

c. Jika klien kemungkinan berada dalam periode jendela, klien perlu diberi tahu tentang kebutuhan untuk mengikuti tes ulang pada tanggal dan bulan tertentu.

Dasar keberhasilan konseling pasca tes dibangun pada saat konseling pra tes. Bila konseling pra tes berjalan baik maka dapat terbina hubungan baik antara konselor-klien. Dasar hubungan ini akan mempermudah untuk terjadinya perubahan perilaku di masa datang dan memungkinkan pendalaman akan masalah klien. Sangatlah diharapkan, konselor yang memberikan konseling pra tes dan konseling pasca tes adalah orang yang sama.

Dokumen terkait