• Tidak ada hasil yang ditemukan

Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-infeksi TB-HIV 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-infeksi TB-HIV 2013"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

PETUNJUK TEKNIS

TATA LAKSANA KLINIS

KO-INFEKSI TB-HIV

DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

(2)
(3)
(4)

PETUNJUK TEKNIS

TATA LAKSANA KLINIS

KO-INFEKSI TB-HIV

DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

2012

(5)

KATA PENGANTAR

Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TB di seluruh dunia yang berdampak pada meningkatnya jumlah kasus TB di masyarakat. Pandemi ini merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan banyak bukti menunjukkan bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak dan penyebab utama kematian pada ODHA (orang dengan HIV-AIDS). Kolaborasi kegiatan bagi kedua program merupakan keharusan agar mampu mengendalikan kedua penyakit tersebut secara efektif dan eiisien.

Dalam melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-HIV maka telah disusun pedoman kebijakan pelaksanaan kolaborasi TB-HIV di Indonesia. Pedoman tersebut merupakan kebijakan tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam kegiatan kolaborasi TB-HIV. Oleh karena itu, masih diperlukan petunjuk lebih lanjut dalam operasionalnya baik dalam aspek manajemen program maupun aspek tatalaksana klinis. Selain itu strategi dan kegiatan yang akan dilaksanakan dijabarkan dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) Kolaborasi TB-HIV 2011-2014.

Penghargaan yang setinggi-tingginya kami sampaikan kepada semua pihak, baik perorangan maupun lembaga yang terlibat dalam penyusunan dan penyempurnaan buku petunjuk teknis ini. Terutama kepada tim penyusun dan para kontributor yang telah memberikan sumbang saran sehingga buku ini dapat diterbitkan.

Semoga dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Direktur Jenderal PP & PL,

Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ... viii

DAFTAR KONTRIBUTOR ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. DASAR HUKUM ... 2

C. TUJUAN ... 2

D. SASARAN... 2

E. RUANG LINGKUP ... 3

BAB II PENGENDALIAN TB-HIV ... 4

A. TUBERKULOSIS ... 4

B. HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS ... 7

C. KO-INFEKSI TB-HIV ... 14

BAB III DIAGNOSIS TB PADA ODHA DEWASA ... 20

A. PENDEKATAN DIAGNOSIS ... 20

B. MANIFESTASI KLINIS ... 20

C. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAHAK ... 21

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG RADIOLOGI ... 21

(7)

F. DIAGNOSIS BANDING ... 38

BAB IV TATALAKSANA KLINIS PASIEN TB-HIV ANAK ... 42

A. DIAGNOSIS TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV ... 43

B. MANIFESTASI PENYAKIT TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV ... 46

C. PENGOBATAN TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV ... 48

D. PENCEGAHAN TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV ... 53

E. INFEKSI HIV PADA TB ANAK ... 55

F. PEMBERIAN ART ... 61

BAB V DIAGNOSIS INFEKSI HIV PADA PASIEN TB DEWASA ... 62

A. FAKTOR RISIKO HIV PADA PASIEN TB ... 62

B. PENGENALAN TANDA KLINIS DARI INFEKSI HIV PADA PASIEN TB ... 63

C. KONSELING DAN TES HIV (KTS Dan KTIPK) ... 64

BAB VI PENGOBATAN KO-INFEKSI TB-HIV ... 74

A. PRINSIP PENGOBATAN ... 74

B. PENGOBATAN PENCEGAHAN KOTRIMOKSASOL (PPK) ... 79

C. EFEK SAMPING DAN INTERAKSI OBAT (OAT DAN ARV) ... 82

D. MEMANTAU KEMAJUAN PENGOBATAN PADA ORANG DEWASA ... 87

E. PENGOBATAN PASIEN KO-INFEKSI TB MDR DAN HIV ... 92

BAB VII PENCEGAHAN PENGENDALIAN INFEKS DAN KEWASPADAAN STANDAR ... 108

DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN A. PENULARAN HIV DI FASYANKES ... 109

B. PENULARAN TB DI FASYANKES ... 109

C. PRINSIP KEWASPADAAN UNIVERSAL DAN PENGENDALIAN INFEKSI ... 110

(8)

E. KECELAKAAN KERJA DAN TATALAKSANA PAJANAN DI TEMPAT KERJA ... 115

BAB VIII PENCATATAN DAN PELAPORAN TB-HIV ... 119

A. PENCATATAN DAN PELAPORAN KEGIATAN KOLABORASI TB-HIV ... 119

B. MEKANISME PENCATATAN DAN PELAPORAN PASIEN TB-HIV ... 122

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Stadium klinis HIV dewasa ... 10

Tabel 2. Stadium klinis HIV anak ... 12

Tabel 3. Gambaran foto toraks “tipikal” atau “tidak tipikal” ... 22

Tabel 4. Kemungkinan diagnosis yang dinilai berdasarkan kelainan pada foto toraks ... 23

yang sering di interprestasikan sebagai TB Paru Tabel 5. Diagnosis banding TB meningen ... 31

Tabel 6. Tampilan klinis yang biasa muncul dan pemeriksaan untuk penegakan ... 32

diagnosis bentuk lain TB ekstraparu yang jarang ditemukan Tabel 7. Ringkasan petunjuk untuk suspek TB ekstraparu dan tanda utama ... 34

TB ekstraparu untuk membantu diagnosis Tabel 8. Diagnosis dan Tatalaksana segera kasus suspek TB Ekstraparu ... 35

Tabel 9. Manifestasi klinis dan gambaran foto toraks PCP dan TB Paru ... 40

Tabel 10. Gambaran klinis dugaan terdapatnya ko-infeksi HIV pada pasien TB ... 63

Tabel 11. Keuntungan dan kerugian dari tes antibodi HIV ... 69

Tabel 12. Obyektiitas, strategi dan intrepretasi dari pemeriksaan HIV ... 70

Tabel 13. Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1 ... 72

Tabel 14. Memulai pengobatan TB pada ODHA di Puskesmas ... 75

Tabel 15. Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB ... 76

Tabel 16. Pemberian Kotrimoksasol sebagai proilaksis primer ... 80

Tabel 17. Protokol desensitisasi kotrimoksasol ... 81

Tabel 18 Protokol desensitisasi cepat kotrimoksasol ... 81

Tabel 19 Tatalaksana efek samping ringan untuk pasien TB yang tidak dalam ... 82

(10)

Tabel 21. Tatalaksana Efek Samping Obat pada pasien dengan pengobatan ... 84

ko-infeksi TB-HIV Tabel 22. Penyakit infeksi dan non infeksi penyebab SPI pada ODHA ... 89

Tabel 23. Gejala dan Penanganan IRIS ... 90

Tabel 24. Pemantauan klinis dan laboratorium yang dianjurkan selama pemberian ... 91

paduan ARV Lini Pertama Tabel 25. Potensi toksisitas OAT MDR dan ART ... 97

Tabel 26. Jadual Pemantauan Pengobatan ko-infeksi TB MDR/ HIV ... 103

Tabel 27. Penatalaksanaan efek samping pengobatan OAT MDR dan ART ... 104

Tabel 28. Lima Langkah Penatalaksanaan Pasien Untuk Mencegah Penularan TB ... 113

di Fasyankes Tabel 29. Penilaian Pajanan untuk Proilaksis Pasca Pajanan HIV ... 117

Tabel 30. Deinisi Operasional pasien TB yang terdaftar ... 126

Tabel 31. Deinisi operasional data konseling dan tes HIV pada pasien TB yang ... 127

belum periksa HIV Tabel 32. Deinisi operasional Data konseling dan tes HIV pada pasien TB yang ... 129

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Faktor Risiko Kejadian TB ... 7

Gambar 2. Alur diagnosis TB paru pada ODHA dengan rawat jalan ... 24

Gambar 3. Alur diagnosis TB paru pada ODHA dengan sakit berat ... 26

Gambar 4. Tatalaksana umum anak terinfeksi HIV ... 60

Gambar 5. Bagan Alur Pemerikaan Laboratorium Infeksi HIV Dewasa ... 71

(12)

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

Low-level HIV epidemis Tingkatan epidemi HIV yang rendah dengan prevalens secara tetap tidak pernah lebih dari 5% yang terbatas pada kelompok tertentu yang berperilaku berisiko seperti penjaja seks komersial, penasun

dan LSL.

Concentrated HIV epidemis Tingkatan epidemi HIV terkonsentrasi dengan prevalens lebih dari 5% secara tetap namun terbatas pada kelompok tertentu yang berperilaku berisiko seperti penjaja seks komersial, penasun dan LSL namun prevalens masih kurang dari 1% pada ibu hamil

di daerah perkotaan.

Generalized HIV epidemis Tingkatan epidemi HIV meluas di masyarakat umum sebagai proksi dinyatakan apabila ditemukan prevalens lebih dari 1% secara

menetap pada kelompok ibu hamil.

HIV Human Immunodeiciency virus

AIDS Acquired Immunodeiciency Syndrome

PITC - PITC Provider Initiated HIV Testing and Counseling – (lihat KTIPK)

KTIPK - PITC Konseling dan tes HIV atas Inisiasi Petugas Kesehatan (Lihat PITC)

VCT - KTS HIV HIV Voluntary Counseling and Testing (lihat juga KTS)

KTS - VCT Konseling dan Tes HIV secara Sukarela (lihat juga VCT)

PDP Perawatan Dukungan dan pengobatan HIV

ODHA Orang dengan HIV/ AIDS

WHO World Health organization - Organisasi Kesehatan Sedunia

UNAIDS Joint United Nations Programme on HIV AND AIDS

PMTCT Prevention on Mother to Child Transmission

UNGASS United Nation General Assembly Special Session

(13)

three C Azas dalam penyelenggaraan konseling dan tes HIV yang harus selalu diterapkan. Tes HIV hanya akan dilaksanakan setelah mendapatkan informed consent dari klien disertai dengan counselling terutama pada saat pemberian hasil tes HIV dan dengan menjaga conidentiality (hasil tes tidak akan diungkapkan kepada orang lain yang tidak terkait dengan perawatan klien tanpa

seizin klien).

KIA Kesehatan Ibu dan Anak (lihat ANC)

IMS Infeksi menular secara Seksual

ANC Antenatal Care (lihat KIA)

ART Antiretroviral Therapy – terapi HIV dengan obat Antiretroviral

SDM Sumber Daya Manusia

(14)

DAFTAR KONTRIBUTOR

TIM PENYUSUN

Pengarah :

Prof. dr. Tjandra Y Aditama, Sp.P (K), MARS, DTM&H, DTCE Dr. H. Muhammad Subuh, MPPM

Penanggung jawab :

Drg. Dyah Erti Mustikawati, MPH Dr. Siti Nadia Tarmizi, MEpid

Kontributor :

1. Dr. Toni Wandra, M.Kes, Phd

2. Dr. Nani Rizkiyati, M. Kes. (Dit Jen P2M & PL) 3. Dr. Asik Surya, MPPM (Dit Jen P2M & PL)

4. Dr. Triya Dinihari (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB)

5. Naning Nugrahini, SKM, MKM (Dit Jen P2M & PL, Subdit AIDS & PMS) 6. Dr. Endang Budi Hastuti (Dit Jen P2M & PL, Subdit AIDS & PMS) 7. Dr. Vanda Siagian (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB)

8. Dr. Endang Lukitosari (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB) 9. Dr. Novayanti (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB) 10. Dr. Ratih Pahlesia, Sp.P (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB) 11. Dr. Joan Tanumihardja (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB) 12. Dr. Retno Kusuma Dewi (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB) 13. Sulistyo, SKM, M. Epid (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB) 14. Munziarti, SKM, MM. (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB) 15. Suwandi, SKM, M. Epid. (Dit Jen P2M & PL, Subdit TB)

(15)

19. Dr. Indri Oktaria Sukmaputri (Dit Jen P2M & PL, Subdit AIDS & PMS) 20. DR. Dr. Erlina Burhan, MSc, Sp.P(K) (PDPI)

21. Dr. Fathiyah Isbaniyah, Sp.P (PDPI) 22. Dr. Erwin Asta. T, Sp.PD (PAPDI) 23. Dr. H. Soedarsono, Sp.P(K) (PDPI)

24. Dr. Hedy Sampoerno, MPH. (TB Master Trainer) 25. Dr. Anna Uyaina, SpPD, K-P (Pokdisus AIDS - RSCM) 26. Dr. Sri Sudarwati , SpA(K) (UKK Respirologi, IDAI) 27. Dr. Nia Kurniati, Sp.A(K) (Satgas HIV, IDAI) 28. Dr. Darmawan Budi Setyanto, Sp.A(K) (UKK Respirologi, IDAI) 29. Dr. Nastiti Kaswandani, SpA(K) (UKK Respirologi, IDAI) 30. Dr. Carmelia Basri, M. Epid (Konsultan TB)

31. Dr. Sri Retna Irawati, Sp. A (KNCV) 32. Dr. Franky Loprang (WHO TB) 33. Dr. Janto Lingga, SpP (WHO) 34. Dr. Sri Pandam Pulungsih (WHO) 35. Dr. Atiek Anartati, MPH & TM (FHI 360) 36. Dr. Hendra Wijaya (FHI 360)

37. Dr. Niken (FHI 360)

38. Dr. Tiara Mahatmi Nisa, MS (FHI 360)

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan global. Meskipun program pengendalian TB di Indonesia telah berhasil mencapai target Millenium Development Goals (MDG), beban ganda akibat peningkatan epidemi Human Immunodeiciency Virus (HIV) akan mempengaruhi peningkatan kasus TB di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu kolaborasi antara program pengendalian TB dan pengendalian HIV/AIDS.

Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TB di seluruh dunia yang berakibat meningkatnya jumlah kasus TB di masyarakat. Pandemi HIV merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB. Di Indonesia diperkirakan sekitar 3% pasien TB dengan status HIV positif. Sebaliknya TB merupakan tantangan bagi pengendalian Acquired Immunodeiciency Syndrome (AIDS) karena merupakan infeksi oportunistik terbanyak (49%) pada Orang dengan dengan HIV/AIDS (ODHA).

Indonesia berada pada level epidemi HIV terkonsentrasi (concentrated epidemic) kecuali Tanah Papua yang termasuk epidemi HIV yang meluas. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi yaitu pengguna Napza suntik (penasun), hetero dan homoseksual (WPS, waria). Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan RI hingga akhir Desember 2010 secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah 24.131 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar 11.835 kasus (49%).

(17)

B. DASAR HUKUM

Buku Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis ko infeksi TB-HIV di Indonesia berlandaskan pada:

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273);

2. Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS;

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia;

4. Kepmenkes No. 1507/Menkes/SK/V/2005 tentang Pedoman Konseling dan Testing HIV dan AIDS secara sukarela (VCT);

5. Kepmenkes No 832/Menkes/SK/X/2006 tentang Penetapan RS Rujukan ODHA dan standar pelayanan rumah sakit rujukan ODHA dan satelitnya;

6. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

7. Kepmenkes Republik Indonesia No. 364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB);

8. Kepmenkes Republik Indonesia No 1278/Menkes/SK/XII/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV;

9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 565/Menkes/Per/III/2011 tentang Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis Tahun 2011 – 2014;

10. Kepmenkes No 782/Menkes/SK/IV/2011 tentang Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang Dengan HIV AIDS (ODHA);

11. Kepmenkes No 1932/Menkes/SK/IX/2011 tentang Kelompok Kerja Pengendalian HIV/AIDS dan IMS

12. Kepmenkes No 2571/Menkes/SK/XII/2011 tentang Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang Dengan HIV AIDS (ODHA)

C. TUJUAN

Buku Petunjuk teknis ini ditujukan sebagai panduan teknis klinis dalam tatalaksana kolaborasi TB-HIV di Indonesia, sesuai dengan Kebijakan Nasional Kolaborasi TB-HIV.

D. SASARAN

(18)

E. RUANG LINGKUP

(19)

BAB II

PELAKSANAAN PENGENDALIAN

KO-INFEKSI TB-HIV

A. TUBERKULOSIS

1. Pengertian

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

2. Epidemiologi TB

Pada tahun 1990-an, situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency).

Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:

Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat seperti pada negara-negara •

yang sedang berkembang.

Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh: •

Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan.

9

Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh

9

masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar dan sebagainya).

Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang

9

tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis). Salah persepsi terhadap manfaat dan efektiitas

9 Bacillus Calmettee Guerin

(20)

Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi

9

atau pergolakan masyarakat.

Perubahan demograik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur •

kependudukan. Dampak pandemi HIV. •

3. Riwayat Alamiah TB

Pasien TB dapat mengeluarkan kuman TB dalam bentuk droplet yang infeksius ke udara pada waktu pasien TB tersebut batuk (sekitar 3.000 droplet) dan bersin (sekitar 1 juta droplet). Droplet tersebut dengan cepat menjadi kering dan menjadi partikel yang sangat halus di udara. Ukuran diameter droplet yang infeksius tersebut hanya sekitar 1 – 5 mikron.

Pada umumnya droplet yang infeksius ini dapat bertahan dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Pada keadaan gelap dan lembab kuman TB dalam droplet tersebut dapat hidup lebih lama sedangkan jika kena sinar matahari langsung (sinar ultra-violet) maka kuman TB tersebut akan cepat mati.

Pasien TB yang tidak diobati maka setelah 5 tahun akan:

50% meninggal. •

30% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi. •

20% menjadi kasus kronik yang tetap menular. •

(Tuberculosis, A Manual for medical students by Nadia ait-Khaled and Donaldo. Enarson, WHO, 2003).

4. Patogenesis TB

Seseorang akan terinfeksi kuman TB kalau dia menghirup droplet yang mengandung kuman TB yang masih hidup dan kuman tersebut mencapai alveoli paru (catatan: Seseorang yang terinfeksi biasanya asymptomatic/tanpa gejala). Sekali kuman tersebut mencapai paru maka kuman ini akan ditangkap oleh makrofag dan selanjutnya dapat tersebar ke seluruh tubuh.

Orang yang terinfeksi kuman TB dapat menjadi sakit TB bila kondisi daya tahan tubuhnya menurun. Sebagian dari kuman TB akan tetap tinggal dormant dan tetap hidup sampai bertahun-tahun dalam tubuh manusia. Hal ini dikenal sebagai infeksi TB laten. Seseorang dengan infeksi TB laten tidak mempunyai gejala TB aktif dan tidak menular.

Faktor Yang Mempengaruhi Risiko Penularan TB

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemungkinan seorang yang terpajan dengan kuman TB menjadi terinfeksi, yaitu:

Konsentrasi

• droplet-infeksius di udara. Ini dipengaruhi oleh jumlah droplet-infeksius yang dikeluarkan oleh pasien TB maupun keadaan ventilasi di area pajanan dan

Lamanya

(21)

Jika seorang hidup atau tidur sekamar dengan pasien TB maka mereka mempunyai risiko besar untuk menghirup droplet yang infeksius. Hanya droplet halus yang dapat mencapai alveoli paru.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan meningkatnya risiko penularan pasien TB:

Lokasi penyakitnya (di paru, saluran napas atau laring). •

Terdapatnya batuk atau tenaga yang mendorong kuman tersebut keluar. •

Dahak BTA positif. •

Terdapatnya kavitas paru. •

Pasien tidak menutup mulut dan hidung pada waktu batuk atau bersin. •

Biasanya setelah pengobatan TB dimulai maka dalam waktu singkat pasien TB menjadi tidak menular (sekitar 2 minggu). Jadi, seorang petugas kesehatan dapat dikatakan turut berkontribusi pada penularan TB, bila:

Terlambat memulai pengobatan pada pasien TB. •

Tidak memberi pengobatan TB dengan paduan obat yang memadai. •

Melakukan prosedur yang dapat merangsang batuk (misalnya bronkoskopi atau induksi sputum) •

tanpa memperhatikan pengamanan perorangan.

Faktor-faktor lingkungan yang dapat meningkatkan penularan, adalah:

Pajanan terjadi di ruangan yang relatif kecil dan tertutup. •

Kurangnya ventilasi untuk mengalirkan udara sehingga terjadi pengenceran dan pembuangan •

droplet infeksius.

Jadi, makin dekat dan makin lama seorang kontak dengan pasien TB yang menular (Pasien TB paru BTA positif yang belum diobati) maka makin besar risiko yang bersangkutan terinfeksi TB.

Risiko Berkembangnya Penyakit Setelah Infeksi

Tidak semua orang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis akan jadi sakit TB. Hanya sekitar 10% saja yang akan berkembang menjadi sakit TB aktif. Biasanya risiko menjadi sakit TB ini terjadi sebelum 1 tahun setelah terjadinya infeksi.

Ada beberapa faktor yang dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga yang bersangkutan mudah berkembang menjadi sakit TB aktif, misalnya: malnutrisi, kondisi yang menurunkan sistem imunitas (infeksi HIV, diabetes, penggunaan kortikosteroid atau obat-obat imunosupresif lain dalam jangka-panjang).

(22)

INFEKSI

PAJANAN

TB

MATI

SEMBUH

Risiko menjadi TB bila dengan HIV:

•5-10% setiap tahun

•>30% lifetime Jumlah kasus TB BTA+

Faktor lingkungan :

Ventilasi

Kepadatan

Dalam ruangan Faktor Perilaku

HIV(+)

Malnutrisi

Penyakit DM, immuno-supresan

10%

 Keterlambatan diagnosis dan pengobatan

 Tatalaksana tak memadai

 Kondisi kesehatan Konsentrasi Kuman

Lama kontak

transmisi

Gambar 1. Faktor Risiko Kejadian TB

B.

HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS

Sejak kasus AIDS pertama dilaporkan pada tahun 1981 maka para peneliti telah mengidentiikasi dua tipe HIV sebagai penyebab AIDS. Human immunodeiciency virus-I adalah tipe yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia sedangkan HIV-2 biasanya ditemukan di Afrika Barat dan kadang-kadang di Afrika Timur, Eropa, Asia dan Amerika Latin. Kedua tipe ini menyebabkan AIDS dan cara penularannya sama. Meskipun demikian, penularan HIV-2 sedikit lebih sulit dibandingkan dengan HIV-1 dan progresiitas infeksi HIV-2 untuk berkembang menjadi AIDS lebih lambat.

1. Pengertian

a. Human immunodeiciency virus

Human immunodeiciency virus adalah virus RNA yang termasuk family retroviridae dan genus lentivirus yang menyebabkan penurunan imunitas tubuh pejamu. Untuk mengadakan replikasi (perbanyakan) HIV perlu mengubah ribonucleic acid (RNA) menjadi deoxyribonucleid acid (DNA) di dalam sel pejamu. Seperti retrovirus lain, HIV menginfeksi tubuh, memiliki masa inkubasi yang lama (masa laten klinis) dan pada akhirnya menimbulkan tanda dan gejala AIDS.

(23)

b. Acquired Immune Deiciency Syndrome

Acquired Immune Deiciency Syndrome adalah gejala berkurangnya kemampuan pertahan diri yang disebabkan penurunan kekebalan tubuh karena virus HIV.

AIDS adalah singkatan dari

Acquired Immune Deiciency Syndrome. “Acquired”

: Tidak diturunkan dan dapat menularkan kepada orang lain

“Immune”

: Sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit

“Deiciency”

: Berkurangnya kurang atau tidak cukup

“Syndrome”

: Kumpulan tanda dan gejala penyakit

Virus tersebut pertama-tama menyerang limfosit T-Helper dan makrofag yang mempunyai reseptor CD4 dalam tubuh. Sel-sel tersebut memegang peran penting dalam sistem imunitas manusia. Akibatnya, orang yang terinfeksi HIV menjadi rentan terhadap berbagai penyakit yang dikenal sebagai infeksi oportunistik (IO) karena rusaknya sistem imunitas tubuh. Orang terinfeksi virus tersebut menjadi infeksius sepanjang hidupnya dan dapat menularkan HIV melalui cairan tubuh mereka selama tidak mendapatkan terapi Anti Retroviral (ARV).

2. Epidemiologi HIV/AIDS

Pada akhir tahun 2002, diperkirakan sejumlah 42 juta orang dewasa dan anak-anak hidup dengan HIV atau AIDS. Dari jumlah ini sekitar 28,5 juta (68%) tinggal di daerah sub Sahara Afrika dan 6 Juta (14%) hidup di Asia selatan dan Asia Tenggara. Pada tahun 2002, diperkirakan terdapat 5 juta orang dewasa dan anak-anak terinfeksi HIV dan 3,1 juta orang dewasa dan anak-anak meninggal karena HIV/ AIDS. Sekitar 2,4 juta (77,4%) dari 3,1 juta kematian ini terjadi di sub Sahara Afrika. Sub Sahara Afrika merupakan kawasan dengan angka seroprevalensi HIV tertinggi (9% pada akhir tahun 2002) pada populasi orang dewasa (15-49 tahun).

Dari 25 negara dengan seroprevalensi pada orang dewasa di atas 5% pada tahun 2001, 24 negara diantaranya terdapat di kawasan sub Sahara Afrika. Satu-satunya negara di luar sub Sahara Afrika dengan angka seroprevalensi pada orang dewasa di atas 5% adalah Haiti. Di 9 negara (semuanya di Selatan Afrika) seroprevalensi HIV pada orang dewasa adalah 15% atau lebih. Dengan demikian, sub Sahara Afrika merupakan daerah dengan beban epidemi HIV/AIDS terbesar. Beberapa negara di kawasan lain juga mengalami dampak HIV yang berat dengan seroprevalensi HIV pada orang dewasa sektar 1 - 5% misalnya Kamboja, Myanmar dan Thailand (Asia Tenggara) dan Belize, Guatemala, Guyana, Haiti, Honduras, Panama dan Suriname (Amerika). Seroprevalensi HIV tampaknya stabil di kawasan Sub Sahara Afrika namun tetap meningkat di beberapa negara dengan populasi besar seperti Federasi Rusia.

(24)

sebanyak 4449 kasus AIDS dengan proporsi terbanyak menurut jenis kelamin yaitu pada laki-laki sebesar 80,8%, terbanyak pada kelompok umur 20-29 tahun (46,8%) dengan faktor risiko terbanyak pada heteroseksual (71%).

3. Riwayat Alamiah infeksi HIV

a. Infeksi HIV akut

Infeksi HIV akut disebut juga “infeksi HIV primer” atau “sindrom serokonversi akut”. Sekitar 40% - 90% infeksi HIV baru, memiliki gejala. Jangka waktu sejak terpajan sampai timbulnya gejala penyakit biasanya sekitar 2-4 minggu. Beberapa orang mengalami gejala seperti mononukleosis infeksiosa (glandular-fever): demam, ruam, pegal-pegal dan limpadenopati. Terkadang pasien mengalami sindrom saraf akut yang sering kali sembuh sendiri . Sindrom ini mencakup meningitis aseptik, neuropati perifer, ensefalitis dan mielitis. Sebagian besar pasien yang memiliki gejala akan berusaha mencari pertolongan medis. Meskipin demikian, diagnosis jarang dapat ditegakkan karena petugas kesehatan tidak menyangka gejala-gejala tersebut adalah sebagai gejala infeksi HIV; gejala klinis nonspesiik sehingga dipikirkan disebabkan oleh penyebab lain misalnya malaria; tes serologi standar pada tahap infeksi akut ini biasanya negatif. Tes serologis positif biasanya terjadi setelah 4 - 12 minggu setelah terinfeksi dengan lebih dari 95% pasien “serokonversi” dalam waktu 6 bulan. Diagnosis infeksi HIV akut paling baik ditegakkan dengan pemeriksaan HIV RNA pada plasma.

Infeksi HIV asimtomatis (tanpa gejala)

Pada orang dewasa terdapat periode laten yang berlangsung lama dan bervariasi dari terinfeksi HIV hingga onset gejala HIV dan AIDS. Seseorang yang terinfeksi bisa tidak memiliki gejala sampai 10 tahun atau lebih. Sebagian besar anak terinfeksi HIV pada periode perinatal. Periode tanpa gejala pada anak-anak tidak diketahui. Beberapa bayi akan sakit di minggu-minggu pertama setelah lahir. Sebagian besar anak-anak mulai sakit sebelum mencapai usia 2 tahun. Hanya sedikit yang tetap sehat selama beberapa tahun awal kehidupan.

Perjalanan sejak infeksi HIV sampai timbul penyakit terkait HIV dan AIDS

Hampir semua orang yang terinfeksi HIV jika tidak diobati akan mengalami penyakit terkait HIV dan AIDS. Berapa orang mengalami ini lebih cepat dari yang lain. Laju perkembangan menjadi AIDS tergantung pada karakteristik virus maupun orang yang terinfeksi. Karakteristik virus adalah tipe dan subtipe HIV-1 dan beberapa subtipe HIV-1 bisa menyebabkan progresivitas yang lebih cepat. Karakteristik orang yang bisa mempercepat progresi ini antara lain berumur kurang dari 5 tahun, berumur lebih dari 40 tahun, terdapat ko-infeksi dan faktor genetik.

Immunosupresi yang terus berlanjut

(25)

Beberapa penyakit terkait HIV terjadi terutama karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang sangat berat. Hal ini termasuk beberapa infeksi oportunistik (misalnya meningitis kriptokokus) dan beberapa tumor (misalnya Sarkoma Kaposi). Pada stadium lanjut jika pasien tidak mendapat ART maka mereka biasanya meninggal dalam waktu kurang dari 2 tahun. Stadium lanjut ini kadang dikenal sebagai full-blown AIDS.

b. Stadium Klinis

Sistem klasiikasi stadium klinis WHO untuk infeksi HIV dan penyakit terkait HIV

WHO telah mengembangkan sistem stadium klinis (awalnya untuk menentukan prognosis) berdasarkan kriteria klinis. Kondisi klinis menunjukkan apakah pasien berada pada stadium 1, 2, 3 atau 4. Stadium klinis merupakan hal yang penting sebagai kriteria untuk memulai terapi ARV.

Dewasa

Stadium klinis WHO dapat membantu untuk memperkirakan tingkat deisiensi kekebalan tubuh pasien. Pasien dengan gejala pada stadium klinis 1 atau 2 biasanya tidak mempunyai gejala deisiensi kekebalan tubuh yang serius. Pasien yang mempunyai gejala dan tanda stadium klinis 3 atau 4 biasanya mempunyai penurunan kekebalan tubuh yang berat dan tidak mempunyai cukup banyak sel CD4 sehingga memudahkan terjadinya infeksi oportunistik (IO).

Beberapa kondisi IO memerlukan pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut sehingga mungkin perlu dirujuk untuk penegakan diagnosis dan pengobatan yang sesuai. Kondisi tersebut diberi tanda bintang* di dalam tabel berikut ini.

Tabel 1. Stadium klinis HIV dewasa

Stadium klinis 1: Asimtomatik

Stadium klinis 2: Sakit ringan

Stadium klinis 3: Sakit sedang

Stadium 4 : Sakit berat (AIDS)

Gejala/ tanda

Tidak ada gejala atau hanya: Limfadenopati generalisata persisten: Kelenjar multipel berukuran kecil tanpa rasa nyeri

Berat badan turun 5-10% Luka pada sudut mulut (keilitis angularis) Dermatitis Seboroik: Lesi kulit bersisik pada batas antara wajah dan rambut serta sisi hidung

Berat badan

turun > 10% Kandidiasis

mulut:

Bercak putih yang menutupi daerah di dalam mulut

Oral hairy

leukoplakia:

Garis vertikal putih di samping lidah, tidak nyeri, tidak hilang jika dikerok

HIV wasting syndrome:

Sangat kurus disertai demam kronik dan/ atau diare kronik

Kandidiasis esofagus:

Nyeri hebat saat menelan

Lebih dari 1 bulan:

Ulserasi Herpes simpleks:

(26)

Stadium klinis 1: Asimtomatik

Stadium klinis 2: Sakit ringan

Stadium klinis 3: Sakit sedang

Stadium 4 : Sakit berat (AIDS)

Prurigo:

Lesi kulit yang gatal pada lengan dan tungkai Herpes zoster: • Papul disertai nyeri pada satu sisi tubuh, wajah atau ekstremitas ISPA berulang: • Infeksi tenggorokan berulang, sinusitis atau infeksi telinga Ulkus pada mulut berulang

Lebih dari 1 bulan: Diare: kadang-kadang intermiten Demam tanpa sebab yang jelas:

kadang-kadang intermiten Infeksi bakteri yang berat: Pneumonia, piomiositis dan lain-lain TB paru

HB < 8 g, Lekosit

< 500, Trombosit < 50.000 Gingivitis/periodontitis ulseratif nekrotikan akut Limfoma*: Sarkoma Kaposi:

Lesi berwarna gelap (ungu) dikulit dan/ atau mulut, mata, paru, usus dan sering disertai edema Kanker serviks invasif*: Retinitis CMVPneumonia pneumosistis*: Pneumonia berat disertai sesak napas dan batuk kering

TB Ekstraparu*:

Contoh : pada tulang atau meningitis

Meningitis

kriptokokus*:

Meningitis dengan atau tanpa kaku kuduk

Abses otak

Toksoplasmosis* Ensefalopati HIV *:

(Gangguan neurologis yang tidak disebabkan oleh faktor lain, seringkali membaik dengan pengobatan ARV)

Catatan:

(27)

Tabel 2. Stadium klinis HIV pada anak

Stadium Klinis 1

Asimtomatik •

Limfadenopati generalisata persisten •

Stadium Klinis 2

Hepatosplenomegali persisten tanpa penyebab yang jelas •

Papular pruritic eruptions •

Infeksi virus kutil yang meluas •

Moluskum kontagiosum yang meluas •

Ulserasi di mulut yang berulang •

Pembesaran parotis persisten tanpa penyebab yang jelas •

Lineal gingival erythema •

Hespeszoster •

ISPA kronis atau berulang (otitis media, otorea, sinusitis, tonsilitis) •

Infeksi jamur pada kuku •

Stadium Klinis 3

Malnutrisi sedang tanpa penyebab jelas dan tidak respon dengan baik terhadap terapi standar •

Diare persisten tanpa penyebab jelas (14 hari atau lebih) •

Demam persisten tanpa penyebab jelas (di atas 37.5º C, interminten atau konstan, lebih lama •

dari satu bulan

Kandidiasis oral persisten (setelah usia 6 minggu) •

Oral hairy leukoplakia •

Acute necrotizing ul cerative gingivitis/periodontitis •

TB kelenjar •

Pneumonia bakteri rekuren berat •

Symptpmatic lymphoid interstitial pneumonitis •

Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk bronkiektasis •

Anemia tanpa penyebab jelas (<8.0 g/dl), neutropenia (<0.5x10

• 9

/L3

) atau trombositopenia kronik (<50x109

(28)

Stadium Klinis 4

Wasting, stunting tanpa penyebab jelas dan berat atau malnutrisi berat dan tidak respon •

terhadap terapi standar Penumosistis pneumonia •

Infeksi bakteri berat dan berulang (empyema pyomiositis, infeksi tulang atau sendi, meningitis •

tidak termasuk pneumonia)

Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial, atau kutaneus selama lebih dari satu bulan, atau •

viseral) TB Ekstraparu •

Sarkoma kaposi •

Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis trakea, bronki atau paru) •

Toksoplamosis sistem saraf pusat (setelah periode neonatus) •

Ensefalopati HIV •

Sitimegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV yang mengenai organ lain, pada umur kurang •

dari satu bulan

Kriptokokosis ektraparu termasuk meningitis •

Mikosis endemik meluas (histoplasmosis ekstraparu, koksidiodomikosis, penisiliosis) •

Kriptospori diosis jronik (dengan diare) •

Isosporidiosis kronik •

Infeksi mikrobakterium non-TB meluas •

Limfoma non-Hodgkin sel B atau serebral •

Leukoensefalopati multifokal progresif •

Nefropati atau kardiomiopati terkait-HIV •

Beberapa keadaan spesiik tambahan dapat juga dimasukkan di dalam klariikasi regional (misal, penisiliosis di Asia, istula rektovagina terkait-HIV di Afrika Selatan, reaktivasi tipanosomiasis di Amerika Latin)

Ref: http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/HIVstaging150307.pdf)

4. Imunopatogenesis Infeksi HIV

Bagaimana HIV menyerang sel

(29)

pada permukaan sel dan berguna untuk masuk ke dalam sel. Pasien yang tidak memiliki beberapa kemokin spesiik ini (misalnya CCR5) lebih resisten terhadap infeksi HIV. Pada pasien lain yang memiliki perubahan molekul pada reseptor kemokin ini akan lebih lambat mengalami progresivitas menuju AIDS.

Bagaimana HIV menghancurkan sistem kekebalan tubuh

Akibat paling penting dari infeksi HIV adalah penurunan jumlah limfosit-T CD4+ yang progresif. Di samping itu limposit-T CD4+ yang tersisa tidak mempunyai kinerja yang sama seperti ketika belum terinfeksi. Dengan demikian infeksi HIV yang progresif akan mengakibatkan penurunan sistem kekebalan tubuh yang progresif pula.

Transmisi HIV

Transmisi HIV yang paling lazim di seluruh dunia adalah melalui hubungan seksual. Infeksi menular seksual lainnya (terutama yang menyebabkan ulkus genital) akan meningkatkan risiko penularan HIV. Jalur penularan HIV sangat beragam. Penularan HIV di sub Sahara Afrika terutama adalah melalui hubungan seksual, darah dan dari ibu ke bayi. Di sebagian besar negara dengan pendapatan perkapita yang rendah, kira-kira jumlah laki-laki dan perempuan yang terinfeksi HIV seimbang. Virus ini juga dapat ditularkan melalui transfusi darah, injeksi dengan alat suntik yang terkontaminasi dan penggunaan peralatan tindik yang tidak steril, serta penggunaan napza suntik.

Sekitar sepertiga bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi juga terinfeksi HIV dengan cara penularan yang terjadi terutama pada saat proses kelahiran. Risiko penularan pada saat menyusui tetap ada namun lebih kecil. Meskipun demikian, di banyak negara dengan pendapatan perkapita yang rendah ASI dianggap lebih aman dibandingkan susu formula.

Tidak ada bukti bahwa HIV menular melalui kontak yang terjadi sehari-hari seperti berpelukan, berciuman, makanan atau minuman, gigitan nyamuk atau serangga lain.

C. KO-INFEKSI TB-HIV

1. Pengertian

Pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Ko-infeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signiikan. Di samping itu TB merupakan penyebab utama kematian pada ODHA (sekitar 40-50%). Kematian yang tinggi ini terutama pada TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru yang kemungkinan besar disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi TB.

(30)

sedangkan pada ODHA, sekitar 60% ODHA yang terinfeksi kuman TB akan menjadi sakit TB aktif. Dengan demikian, mudah dimengerti bahwa epidemi HIV tentunya akan menyulut peningkatan jumlah kasus TB dalam masyarakat.

Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia diperkirakan ada sebanyak 14 juta orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut dijumpai di Sub-Sahara Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat di Asia Tenggara. Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB; sebagai contoh, beberapa bagian dari Sub Sahara Afrika telah memperlihatkan 3-5 kali lipat angka perkembangan kasus notiikasi TB pada dekade terakhir. Jadi, pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Hal ini berarti bahwa upaya-upaya pencegahan HIV dan perawatan HIV haruslah juga merupakan kegiatan prioritas bagi pengelola program TB.

a. Tuberkulosis pada perjalanan infeksi HIV

Tuberkulosis dapat terjadi kapanpun saat perjalanan infeksi HIV. Risiko berkembangnya TB meningkat secara tajam seiring dengan semakin memburuknya sistem kekebalan tubuh.

b. Konsekuensi ko-infeksi HIV dan M.tuberculosis

Dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV maka orang yang terinfeksi HIV berisiko 10 kali lebih besar untuk mendapatkan TB. Notiikasi TB telah meningkat pada populasi di mana infeksi HIV dan M.tuberculosis merupakan hal yang biasa. Seroprevalensi HIV pada TB pasien ini di atas 70%.

c. Dampak pada pengendalian TB

Prinsip pengendalian TB tetap sama meskipun terdapat banyak pasien ko-infeksi TB-HIV. Meskipun demikian, di populasi yang banyak terdapat pasien ko-infeksi TB-HIV maka layanan kesehatan berjuang untuk menanggulangi meluasnya dan meningkatnya jumlah pasien TB. Konsekuensinya sebagai berikut:

Overdiagnosis TB paru BTA negatif (karena kesulitan dalam diagnosis). •

Underdiagnosis TB paru BTA positif (karena beban kerja petugas laboratorium). •

Pengawasan terhadap OAT tidak adekuat. •

Angka kesembuhan yang rendah. •

Angka kesakitan tinggi selama perawatan. •

Angka kematian tinggi selama perawatan. •

Angka kegagalan tinggi karena efek samping. •

Tingginya angka pasien TB yang kambuh. •

Meningkatnya penularan strain M.tb yang resisten obat pada pasien yang terinfeksi HIV pada •

(31)

d. Pola ko-infeksi TB-HIV

Ketika infeksi HIV berkembang maka jumlah dan fungsi limfosit-T CD4+ menurun. Sel-sel ini mempunyai peran yang penting untuk melawan kuman TB. Dengan demikian, sistem kekebalan tubuh menjadi kurang mampu untuk mencegah perkembangan dan penyebaran lokal kuman ini. Tuberkulosis ekstraparu dan diseminata (meluas) menjadi lebih lazim ditemukan.

e. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru masih merupakan penyakit yang paling sering ditemukan pada orang yang terinfeksi HIV. Gambaran klinisnya tergantung tingkat kekebalan tubuh. Tabel di bawah ini menunjukkan bagaimana gambaran klinis, hasil mikroskopis TB dan gambaran foto toraks seringkali berbeda antara stadium awal dan lanjutan infeksi HIV.

f. Perbedaan TB Paru pada stadium awal dan lanjutan infeksi HIV

TB Paru

Tahap infeksi HIV

Awal Lanjutan

Gambaran klinis Sering menyerupai TB paru post-primer

Sering menyerupai TB paru primer

Hasil pemeriksaan dahak Sering positif Sering negatif

Gambaran radiologi Sering tampak kavitas Iniltrat tanpa kavitas

g. Tuberkulosis ekstraparu

Bentuk yang paling sering ditemukan pada TB ekstraparu adalah efusi pleura, limpadenopati, penyakit perikardium, milier, meningitis, TB diseminata/meluas (dengan mikobakteriemia).

h. TB-HIV pada anak

Seperti pada orang dewasa, riwayat alamiah TB pada anak yang terinfeksi HIV tergantung pada stadium infeksi HIV. Pada awal infeksi HIV, ketika sistem kekebalan masih bagus maka gejala TB mirip dengan anak-anak yang tidak terinfeksi HIV. Ketika infeksi HIV berkembang dan kekebalan menurun maka penyebaran TB menjadi hal yang biasa terjadi. Dapat terjadi meningitis TB, TB milier dan limfadenopati TB yang meluas.

i. Dampak TB pada HIV

(32)

2. Strategi Pelaksanaan Kegiatan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia

Indonesia berada pada tingkat epidemi HIV terkonsentrasi (concentrated epidemic) kecuali Tanah Papua yang termasuk epidemi HIV yang meluas. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi yaitu pengguna Napza suntik (penasun), hetero dan homoseksual (WPS, waria). Di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan RI hingga akhir Desember 2010, secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan berjumlah 24.131 kasus dengan infeksi penyerta terbanyak adalah TB yaitu sebesar 11.835 kasus (49%). Sedangkan infeksi HIV pada pasien TB di Indonesia diperkirakan sekitar 3%; di Tanah Papua dan di populasi risiko tinggi termasuk populasi di Lapas/Rutan angkanya diperkirakan lebih tinggi.

Strategi pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia, meliputi kegiatan sebagai berikut:

a. Membentuk mekanisme kolaborasi

Membentuk kelompok kerja. •

Melaksanakan surveilans HIV pada pasien TB. •

Melaksanakan perencanaan bersama TB-HIV. •

Melaksanakan monitoring dan evaluasi. •

b. Menurunkan beban TB pada ODHA

Mengintensifkan penemuan kasus TB dan pengobatannya. •

Menjamin pengendalian infeksi TB pada layanan kesehatan dan tempat orang terkumpul •

(rutan/lapas, panti rehabilitasi napza).

c. Menurunkan beban HIV pada pasien TB

Menyediakan konseling dan tes HIV. •

Pencegahan HIV dan IMS. •

Pengobatan preventif dengan kotrimoksasol (PPK) dan IO lainnya. •

Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) ARV untuk HIV/AIDS. •

2.1. Kegiatan membentuk mekanisme kolaborasi TB-HIV

Kolaborasi TB-HIV di Indonesia diinisiasi pada tahun 2004 oleh kelompok ahli TB dan HIV. Dengan berkembangnya isu terkait TB-HIV, pada tahun 2007 dikeluarkanlah buku Kebijakan Nasional Kolaborasi TB-HIV yang menjadi acuan pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia.

Sejak tahun 2008 sampai saat ini telah dilakukan sosialisasi Kebijakan Kolaborasi TB-HIV ditandai dengan terbentuknya kelompok kerja TB-HIV di tingkat Pusat, Provinsi bahkan sampai tingkat Kabupaten/Kota.

(33)

kolaborasi secara paralel dan beberapa menggunakan model pelayanan secara terintegrasi (pelayanan satu atap).

Pelatihan kolaborasi TB-HIV untuk petugas diawali dengan disusunnya Modul Pelatihan Kolaborasi TB-HIV untuk petugas KTS dan PDP. Menyusul kemudian dengan pelatihan untuk petugas TB dengan menggunakan modul pelatihan kolaborasi TB-HIV yang telah disusun bersama.

Konselor, manajer kasus HIV dan kelompok penjangkau dari LSM yang bekerja pada komunitas risiko tinggi (misalnya pengguna napza suntik, waria, penjaja seks) telah mendapatkan pelatihan untuk mengenali dan mencari gejala dan tanda TB serta membantu mengawasi kepatuhan pengobatan TB pada ODHA melalui pelatihan TB-HIV dengan menggunakan modul khusus yang telah dikembangkan.

Perencanaan bersama antara program pengendalian TB dan program pengendalian AIDS juga telah dilaksanakan yang menghasilkan luaran rencana kegiatan TB-HIV tahunan. Namun kegiatan monitoring evaluasi kegiatan kolaborasi TB-HIV hingga saat ini belum dilaksanakan secara rutin di setiap tingkatan.

Sebagai bahan edukasi kepada pasien TB dan ODHA maka telah dikembangkan dan didistribusikan media KIE TB-HIV berupa lembar balik, poster dan brosur. Pelaksanaan pemberian KIE TB-HIV dilaksanakan di masing-masing fasyankes.

2.2. Kegiatan menurunkan beban TB pada ODHA

Kegiatan intensiikasi penemuan kasus TB pada ODHA yang dimulai dengan penerapan skrining gejala dan tanda TB pada ODHA telah dijalankan secara rutin di klinik Konseling dan tes HIV secara sukarela (KTS) dan PDP di beberapa RS rujukan ARV dan Puskesmas dengan menggunakan formulir skrining TB. Dari 18 provinsi yang telah melaporkan data TB-HIV pada tahun 2011, ditemukan bahwa sebanyak 63% ODHA telah diskrining untuk gejala dan tanda TB; 9,2% di antaranya didiagnosis TB. Untuk menjamin penegakan diagnosis TB yang berkualitas pada ODHA dengan suspek TB telah dibangun jejaring antara unit KTS/PDP dengan unit DOTS. Beberapa unit KTS/PDP sudah dapat memulai dan atau meneruskan pengobatan TB termasuk mengisi dan melengkapi formulir TB.01.

(34)

2.3. Kegiatan menurunkan beban HIV-AIDS pada pasien TB

(35)

BAB III

DIAGNOSIS TB PADA ODHA DEWASA

A. PENDEKATAN DIAGNOSIS

Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan pengendalian TB. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasiikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan dan penyembuhan pasien TB secara bermakna akan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.

Penegakan diagnosis TB pada umumnya didasarkan pada pemeriksaan mikroskopis dahak namun pada ODHA dengan TB seringkali diperoleh hasil sputum BTA negatif. Di samping itu, pada ODHA sering dijumpai TB ekstraparu di mana diagnosisnya sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis, bakteriologi dan atau histologi spesimen yang didapat dari tempat lesi. Oleh karena itu, untuk mendiagnosis TB pada ODHA perlu menggunakan alur diagnosis TB pada ODHA.

B. MANIFESTASI KLINIS

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Di samping itu, dapat juga diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, berkeringat pada malam hari tanpa aktiitas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise dan badan terasa lemas. Gejala sesak napas dan nyeri dada dapat ditemukan bila terdapat komplikasi (efusi pleura, pneumotoraks dan pneumonia).

(36)

C. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAHAK

1. Mikroskopis

Pada ODHA meskipun sulit menemukan kasus TB paru hanya dengan mengandalkan pemeriksaan mikroskopis dahak karena dahak dari ODHA yang menderita TB paru biasanya BTA negatif, namun pemeriksaan mikroskopis dahak tetap perlu dilakukan. Pemeriksaan mikroskopis dahak cukup dilakukan dengan dua spesimen dahak (Sewaktu dan Pagi = SP) dan bila minimal salah satu spesimen dahak hasilnya BTA positif maka diagnosis TB dapat ditegakkan.

2. Biakan

Pemeriksaan biakan dahak merupakan baku emas untuk mendiagnosis TB. Ada dua macam media yang digunakan dalam pemeriksaan biakan yaitu media padat dan media cair. Waktu pemeriksaan dengan media cair lebih singkat dibandingkan dengan media padat. Namun, kuman TB merupakan kuman yang lambat dalam pertumbuhan sehingga biakan memerlukan waktu sekitar 6 – 8 minggu. Pemeriksaan biakan memerlukan waktu cukup lama sehingga bila penegakan diagnosis TB pada ODHA hanya mengandalkan pada pemeriksaan biakan maka dapat mengakibatkan angka kematian TB pada ODHA meningkat.

Pada ODHA yang hasil pemeriksaan mikroskopis dahaknya BTA negatif sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat membantu penegakan diagnosis TB bila hasil-hasil pemeriksaan penunjang lainnya negatif. Pemeriksaan biakan dahak dilakukan pada laboratorium yang telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan (BPPM dan SK).

Catatan:

Pada saat ini untuk mendiagnosis TB pada ODHA, WHO merekomendasikan pemeriksaan Uji Cepat/Rapid Test, yang memerlukan waktu lebih singkat dan sekaligus dapat dimanfaatkan untuk mengetahui lebih awal kemungkinan ODHA resisten terhadap Rifampisin. Namun ketersediaan alat ini masih terbatas hanya pada beberapa Fasyankes dan belum menjadi kebijakan nasional.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG RADIOLOGIS

Pemeriksaan foto toraks pada ODHA memegang peranan penting dalam penegakan diagnosis TB paru khususnya BTA negatif.

1. Indikasi pemeriksaan foto toraks pada ODHA: a. BTA positif

Foto toraks diperlukan pada:

(37)

pasien hemoptisis. •

pasien yang dicurigai terdapat infeksi paru lainnya. •

b. BTA negatif

Lakukan foto toraks pada pasien TB paru BTA negatif.

Kelainan gambaran radiologis yang ditemukan pada TB Paru

Tabel 3. Gambaran foto toraks “tipikal” atau “ tidak tipikal”

TIPIKAL TIDAK TIPIKAL

Iniltrat di apeks paru

Iniltrat di interstitial (selain apeks paru) Iniltrat bilateral

Kavitas Limfadenopati intratoraks

Fibrosis dan pengerutan/atelektasis Tidak terdapat kavitas

PETUNJUK PRAKTIS

Perubahan gambaran foto toraks pada pasien TB/HIV menggambarkan derajat tingkat kekebalan. Pada penurunan tingkat kekebalan tubuh yang ringan gambaran foto toraks masih menunjukkan gambaran tipikal (kavitas, iniltrat di apeks paru). Jika penurunan tingkat kekebalan sudah lebih berat maka gambaran foto toraks menjadi tidak tipikal.

2. Diagnosis banding berdasarkan foto toraks

(38)

Tabel 4. Kemungkinan diagnosis yang dinilai berdasarkan kelainan pada foto toraks yang sering dinterpretasikan sebagai TB Paru

Hasil temuan foto toraks Kemungkinan Penyebab

Kavitas Infeksi

Pneumonia bakterial Nokardiosis

Melioidosis Paragonimiasis Abses paru

Beberapa infeksi jamur

Penyakit non-infeksi

Karsinoma bronkus Penyakit jaringan kolagen Penyakit paru akibat kerja

Iniltrat satu sisi Pneumonia

Karsinoma bronkus

Iniltrat dua sisi Pneumonia

Penyakit jaringan kolagen Penyakit paru akibat kerja Sarkoidosis

Limfadenopati mediastinal Limfoma

Karsinoma bronkus Sarkoidosis

E. ALUR DIAGNOSIS

1. Diagnosis TB Paru pada ODHA

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA, antara lain:

Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi

Penggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian ODHA. Oleh karena itu, pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi.

(39)

tersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan infeksi bakteri lain. Hindarilah penggunaan antibiotik golongan luorokuinolon karena memberikan respons terhadap M.tuberculosis dan dapat menimbulkan resistensi terhadap obat tersebut.

Pemeriksaan foto toraks

Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam mendiagnosis TB pada ODHA dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa gambaran foto toraks pada ODHA umumnya tidak spesiik terutama pada stadium lanjut.

Pemeriksaan biakan dahak

Jika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka ODHA yang BTA negatif, sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat membantu untuk konirmasi diagnosis TB.

Alur diagnosis TB Paru BTA negatif pada ODHA di bawah ini merupakan langkah kegiatan yang harus dilakukan dalam penegakan diagnosis TB di daerah dengan prevalens HIV tinggi dengan sarana terbatas. Alur diagnosis ini hanya untuk ODHA yang dicurigai menderita TB. Perlu diperhatikan, alur diagnosis TB pada ODHA rawat jalan (tanpa tanda bahaya) berbeda dengan pada ODHA rawat inap (dengan tanda bahaya). Alur diagnosis dimaksud dapat dilihat pada gambar 3 dan gambar 4.

(40)

Keterangan:

a. Tanda-tanda kegawatan yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan tanpa

bantuan.

b. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif = bila 2 sediaan hasilnya negatif.

c. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol = PPK.

d. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV.

e. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangi sehingga mempercepat penegakan diagnosis.

f. Pemberian antibiotik (jangan golongan luorokuinolon) untuk mengatasi bakteri tipikal dan atipikal.

g. Pneumonia Pneumocystis jirovecii = PCP.

h. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA rawat jalan adalah sebagai berikut:

Kunjungan pertama:

• Pemeriksaan mikroskopis dahak harus dikerjakan pada kunjungan pertama. Jika hasil pemeriksaan dahak BTA positif maka pengobatan TB dapat diberikan kepada pasien tersebut.

Kunjungan kedua:

• Jika hasil pemeriksaan dahak BTA negatif maka pada kunjungan kedua perlu dilakukan pemeriksaan lain, misalnya foto toraks, ulangi pemeriksaan mikroskopis dahak, lakukan pemeriksaan biakan dahak dan pemeriksaan klinis oleh dokter. Pemeriksaan pada kunjungan kedua ini sebaiknya dilakukan pada hari kedua dari kunjungan pasien di Fasyankes tersebut. Hasil pemeriksaan dari kunjungan kedua ini sangat penting untuk memutuskan apakah pasien tersebut perlu mendapat pengobatan TB atau tidak. Penentuan stadium klinis HIV harus dikerjakan dan pemberian PPK harus diberikan sesuai pedoman nasional.

Kunjungan ketiga:

• dilakukan secepat mungkin setelah ada hasil pemeriksaan pada kunjungan kedua. Pasien yang hasil pemeriksaannya mendukung TB (misalnya gambaran foto toraks mendukung TB) perlu diberi OAT. Pasien dengan hasil yang tidak mendukung TB perlu mendapat antibiotik spektrum luas (jangan menggunakan golongan luorokuinolon) untuk mengobati infeksi bakteri lain atau pengobatan untuk PCP. Juga perlu dilakukan penentuan stadium klinis HIV dan PPK harus diberikan sesuai pedoman nasional.

Kunjungan keempat:

(41)

(superimposed tuberculosis). Bagi pasien yang mempunyai respons yang kurang baik atau tidak baik pada pengobatan PCP atau pengobatan pneumonia karena bakteri lainnya, perlu dilakukan pemeriksaan ulang untuk TB baik secara klinis maupun pemeriksaan dahak.

Pasien dengan sakit berat dan batuk lebih 2 minggu disertai tanda kegawatana

Dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap

Tidak mungkin untuk segera dirujuk

Antibiotik suntikan untuk infeksi bakterib,d Sputum BTA dan kulturb

Foto toraksb

Antibiotik suntikan untuk infeksi bakterib,d Dipertimbangkan pengobatan untuk

PCPeSputum BTA dan kulturb

Bukan TB Diobati TB

Periksa ulang

h

Tidak ada perbaikan Perbaikan

setelah 3-5 hari

Periksa ulang untuk penyakit-penyakit lain yg

berhubungan dgn HIV

Tidak mendukung TB

BTA positifg BTA negatifg

Mulai pengobatan TB Selesaikan antibiotik Rujuk ke unit layanan Mendukung TB

Gambar 3. Alur Diagnosis TB Paru pada ODHA dengan Sakit Berat

Keterangan:

a. Tanda-tanda kegawatan yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 390C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila

tdk dibantu.

b. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara bersamaan (bila memungkinkan) untuk mengurangi jumlah kunjungan sehingga dapat mempercepat penegakan diagnosis.

(42)

tes HIV. Untuk pasien suspek TB yang telah diketahui status HIV-nya maka tidak lagi dilakukan tes HIV.

d. Pemberian antibiotik (jangan golongan luorokuinolon) untuk mengatasi bakteri tipikal dan atipikal.

e. Pneumonia Pneumocystis jirovecii = PCP.

f. Bila tidak tersedia test HIV atau status HIV tidak diketahui (misalnya pasien menolak untuk diperiksa) penentuan tingkat klinis HIV tergantung kebijakan nasional.

g. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif = bila 2 sediaan hasilnya negatif.

h. Periksa kembali untuk TB termasuk pemeriksaan BTA dan penilaian klinis.

Jika di Puskesmas dijumpai ODHA yang menderita sakit berat (mempunyai salah satu dari tanda bahaya) maka pasien tersebut harus segera dirujuk ke Fasyankes yang mempunyai sarana lebih lengkap. Jika rujukan tidak dapat segera dilaksanakan, upaya berikut harus dilakukan:

Segera berikan antibiotik spektrum luas suntikan selama 3 – 5 hari untuk mengatasi infeksi bakteri •

kemudian lakukan pemeriksaan mikroskopis dahak (BTA).

Bila diagnosis TB ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis dahak (BTA positif), mulailah •

pengobatan TB dengan pemberian OAT. Pengobatan dengan antibiotik tetap terus dilanjutkan sampai selesai.

Bila hasil pemeriksaan dahak BTA negatif maka harus diperhatikan bagaimana respons pemberian •

antibiotik suntikan setelah pengobatan 3 – 5 hari. Jika tidak ada perbaikan maka pengobatan TB dapat dimulai dengan pertimbangan dokter, misalnya kemungkinan terdapatnya TB ekstraparu. Penentuan stadium klinis HIV harus dilakukan dan selanjutnya pasien perlu dirujuk ke Fasyankes yang lebih lengkap untuk penegakan diagnosis TB maupun untuk layanan HIV. Bila tetap tidak memungkinkan untuk dirujuk maka pengobatan TB diteruskan sampai selesai.

Bila rujukan ke Fasyankes yang lebih lengkap memungkinkan maka unit penerima rujukan harus •

memberikan tatalaksana pasien tersebut sebagai pasien gawat darurat dan semua pemeriksaan harus segera dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan untuk mendiagnosis TB.

2. Diagnosis TB Ekstraparu pada ODHA

(43)

Untuk pasien yang dicurigai TB ekstraparu yang pengobatan TB-nya sudah dimulai tanpa konirmasi bakteriologi atau histopatologi (diagnosis secara presumtif), respons klinis dari pengobatan tersebut harus dinilai setelah 1 bulan. Jika tidak terjadi perbaikan maka harus dilakukan penilaian klinis ulang dan harus dipikirkan alternatif diagnosis lainnya.

a. Tuberkulosis Kelenjar limfe

Tuberkulosis kelenjar limfe dicurigai pada pasien dengan pembesaran kelenjar limfe, tidak simetris, kenyal, berdiameter > 2 cm, teraba luktuasi atau terbentuk istula dalam beberapa bulan. Pada umumnya menyerang kelenjar limfe di leher dan sulit dibedakan secara klinis dengan penyebab-penyebab lain pembesaran kelenjar limfe, misalnya pembesaran kelenjar limfe terkait HIV, keganasan dan infeksi kelenjar limfe lainnya.

Aspirasi dengan jarum halus (Fine Needle Aspiration = FNA) perlu dilakukan segera saat ditemukan terdapatnya pembesaran kelenjar limfe. Spesimen yang didapat dari aspirasi ini dilakukan pemeriksaan bakteriologi dan sitologi karena mempunyai nilai diagnostik yang tinggi dengan spesiisitas lebih dari 85%.

b. Tuberkulosis Perikard, Tuberkulosis Pleura, Tuberkulosis Abdomen

Infeksi TB dapat terjadi pada rongga tubuh yang mengandung cairan serosa seperti: rongga pleura, perikardial atau peritoneal. Hal ini lebih sering terjadi pada orang dewasa dengan HIV positif dibandingkan dengan HIV negatif.

Penegakan diagnosis

Tanda dan gejala klinis umumnya bersifat sistemik dan lokal. Pada pemeriksaan cairan aspirasi secara mikroskopis jarang ditemukan BTA karena cairan berasal dari reaksi peradangan.

Tuberkulosis Perikard

Bentuk TB ini lebih sering dijumpai pada ODHA dibandingkan pada orang dewasa dengan HIV negatif.

Umumnya ditemukan gejala-gejala seperti: nyeri dada, sesak napas, batuk dan fatigue.

Tanda-tanda kardiovaskular yang ditemukan diantaranya adalah: Takikardia, tekanan darah rendah, pulsus paradoksus, meningkatnya tekanan vena jugular (JVP), bunyi jantung jauh dan tanda tanda gagal jantung kanan (seperti, hepatomegali, asites, edema tungkai)

PETUNJUK PRAKTIS

(44)

Perikardiosentesis

Perikardiosentesis diperlukan jika terdapat tamponade jantung (cardiac tamponade) dan harus dilakukan oleh pakar/dokter spesialis terkait.

Tuberkulosis Pleura

Gambaran klinis dapat bersifat sistemik dan lokal (nyeri dada; sesak napas; pergeseran trakea, pernapasan dangkal, penurunan pergerakan dada). Pada pemeriksaan isis ditemukan terdapatnya fremitus yang melemah pada palpasi, redup pada perkusi dan penurunan suara pernapasan pada auskultasi).

Gambaran foto toraks menunjukkan radiopaque pada satu atau dua sisi. Tuberkulosis pleura biasanya unilateral.

Jika tersedia pemeriksaan ultrasonography (USG) dan terdapat penebalan pleura serta efusi yang terlokalisir dapat dilakukan pengambilan cairan dengan bantuan USG. Untuk membedakan apakah bayangan opaque tersebut cairan atau penebalan pleura atau massa maka dapat dilakukan foto dekubitus lateral.

Sifat cairan aspirat TB pleura dapat dilihat pada tabel 8. Diagnosis dan Tatalaksana segera kasus suspek TB Ekstraparu

Diagnosis Banding

Diagnosis banding efusi pleura eksudat termasuk diantaranya adalah efusi pada pneumonia, keganasan dan abses amuba pada hati.

Tuberkulosis Abdomen

Tuberkulosis abdomen dapat bermanifestasi sebagai TB peritoneal atau TB intestinal. Gejala utama TB peritoneal berupa asites disertai pembesaran kelenjar limfe para-aorta dan mesenterik. Gejala TB abdomen umumnya bersifat kronik dan sebagian kecil menimbulkan keadaan akut abdomen. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa distensi abdomen, nyeri perut, mual, muntah, diare, konstipasi, perdarahan gastrointestinal (haemato-schezia lebih sering dibandingkan dengan hematemesis). Selain gejala TB peritoneal, ditemukan pula gejala sistemik TB.

Cara penyebaran TB Abdomen adalah sebagai berikut: a) dari KGB yang terdapat di sepanjang mesenterium b) melalui darah

c) secara perkontinuitatum (melalui organ terinfeksi yang terdekat)

d) dari TB intestinal (pasien TB Paru dapat berkembang menjadi TB Usus karena tertelannya dahak yang infeksius)

Penegakan diagnosis

(45)

toraks dapat dilakukan untuk mencari kemungkinan terdapatnya TB Paru. Pada pemeriksaan USG, dapat ditemukan gambaran TB berupa pembesaran KGB mesenterik atau paraaorta dan ditemukannya cairan asites yang terlokalisir.

Diagnosis

Diagnosis biasanya bersifat presumtif. Diagnosis deinitif berdasarkan pada biopsi peritoneal yang hanya tersedia pada beberapa RS. Biopsi peritoneal melalui kulit mempunyai nilai diagnostik yang rendah sedangkan melalui laparoskopi mempunyai nilai diagnostik yang tinggi. Diagnosis TB kolitis melalui biopsi kolon. Pemeriksaan tersebut sebaiknya dilakukan oleh dokter spesialis terkait.

Diagnosis Banding

Diagnosis banding TB abdomen tergantung pada jenis cairan asites:

Transudat:

• gagal jantung, gagal ginjal, sirosis, hepatosplenic schitisomiasis, hipoproteinaemia, sindrom nefrotik;

Eksudat:

• infeksi lain yang menyebabkan peritonitis.

c. TB Susunan saraf pusat

TB Susunan saraf pusat (SSP) dapat bermanifestasi menjadi 3 bentuk yaitu meningitis (paling banyak), tuberkuloma dan arakhnoiditis spinalis. Gejala klinis meningitis dibagi menjadi fase prodromal (selama 2-3 minggu berupa malaise, sefalgia, demam tidak tinggi, muntah, deisit neurologis) dan fase meningitis (gejala prodromal makin hebat) dan fase paralitik (penurunan kesadaran).

Pada pemeriksaan ditemukan kaku kuduk tanda Kernig’s positif dan kelumpuhan saraf kranial yang disebabkan oleh karena terdapatnya eksudat di dasar otak. Tuberkuloma dan penyumbatan pembuluh darah dapat menyebabkan gangguan neurologi. Dapat juga terjadi penyumbatan pada aliran cairan serebrospinal yang menyebabkan terjadinya hidrosefalus. Lesi TB pada spinal meningeal dapat menyebabkan paraplegia (spastic atau laccid).

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasar gejala klinis dan pemeriksaan analisis cairan serebrospinal (CSS). Pada pemeriksaan cairan serebrospinal memberikan gambaran khas berupa penurunan kadar glukosa kurang dari 50% glukosa darah, peningkatan kadar protein > 100 mg/dL, hitung sel 10-1000 atau ditemukan M. tuberculosis.

(46)

Tabel 5. Diagnosis banding TB meningen

Kelainan pada CSS

Penyakit Sel putih Protein Glukosa Mikroskopis

TB meningen Meningkat L > PMN

Meningkat Menurun BTA

Meningitis Kriptokokkus*

meningkat L > PMN

Meningkat Menurun Indian ink spot positif

Perawatan parsial meningitis bakterial*

Meningkat Meningkat Menurun Ditemukan bakteri pada pewarnaan Gram (jarang)

Meningitis virus Meningkat L > PMN

Meningkat Normal (rendah pada parotitis atau H. simplex)

Siphilis akut Meningkat L > PMN

Meningkat

Tripanosomiasis stadium akhir

Meningkat L > PMN

Meningkat Menurun Motile trypanosomes

Tumor (Karsinoma/ limfoma)

Meningkat L > PMN

Meningkat Menurun Pemeriksaan sitologi menunjukkan terdapatnya sel ganas

Leptospirosis Meningkat L > PMN

Meningkat Menurun Leptospira

Meningitis Amuba

Meningkat L > PMN

Meningkat Menurun Amuba

PMN = polymorphonuclear leukocytes; L = lymphocytes

(47)

d. Tuberkulosis Tulang

Dapat bermanifestasi sebagai TB tulang belakang/spondilitis (paling sering), TB sendi panggul/koksitis dan TB sendi lutut/ghonitis. Selain gejala sistemik TB, dapat ditemukan gejala spesiik berupa bengkak, kaku, kemerahan dan nyeri pada pergerakan. Perjalanan penyakit bersifat kronik, sering ditemukan setelah terjadi trauma. Tuberkulosis tulang belakang disebut gibbus, berupa tonjolan pada tulang belakang berupa abses dingin. Tuberkulosis sendi panggul umumnya menunjukkan gejala berjalan pincang atau kesulitan berdiri. Tuberkulosis sendi lutut ditandai dengan sulit berjalan dan berdiri serta atroi otot paha dan betis.

Diagnosis banding

Tuberkulosis tulang belakang adalah keganasan dan Infeksi bakteri lain.

e. TB ekstra paru yang jarang ditemukan

Tabel 6.Tampilan klinis yang biasa muncul dan pemeriksaan untuk penegakan diagnosis bentuk lain TB ekstraparu yang jarang ditemukan

Area penyakit Tampilan klinis Diagnosis

Tulang belakang Sakit punggung Gibbus

Abses psoas Sakit pada radikular

Kompresi saraf tulang belakang

Foto toraks

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Biopsi jaringan

Tulang Osteomielitis kronik Biopsi jaringan

Peripheral joints Biasanya monoartritis khususnya pinggul atau lutut

Foto toraks Biopsi sinovial

Gastrointestinal Abdominal mass Diare

Pemeriksaan barium

Liver Nyeri kuadran kanan bagian atas

(48)

Area penyakit Tampilan klinis Diagnosis

Sistem ginjal dan urine

Urinary frequency Disuria

Hematuria

Pinggang terasa sakit

Piuria steril Biakan urine Intravena Pielogram USG

Kelenjar adrenal Gambaran hipoadrenal (hipotensi, hiponatremia, hiperkalemia/ normal, uremia, hipoglikemia)

Foto polos (kalsiikasi) USG

Sistem pernapasan bagian atas

Hoarseness dan stridor. Sakit pada telinga, sakit ketika menelan

Biasanya akibat komplikasi penyakit paru

Sistem kelamin wanita

Ketidak suburan

Penyakit peradangan pelvis Kehamilan ektopik

Pemeriksaan pelvis Foto rontgen pada saluran genitalia wanita

Ultrasound pelvis Biopsi jaringan

Sistem kelamin laki-laki

(49)

Tabel 7. Ringkasan petunjuk untuk suspek TB ekstraparu dan tanda utama TB ekstraparu untuk membantu diagnosis

Suspek TB ekstraparu pada pasien-pasien dengan

Pembesaran kelenjar limfe •

leher / aksila yang terkadang disertai batuk 2 minggu atau lebih atau

Berat badan menurun dengan •

Berkeringat malam dan •

Suhu badan > 37,5

• 0C atau

merasa demam atau

Sesak napas (efusi pleura/ •

perikarditis) Foto toraks: •

Bayangan milier atau difus •

Jantung besar (terutama •

jika simetris dan bundar) Efusi pleura

Pembesaran kelenjar limfe •

dalam toraks atau

Sakit kepala kronik atau •

gangguan mental

Curigailah TB desiminata pada semua ODHA yang mengalami penurun

Gambar

Tabel 3.  Gambaran foto toraks  “tipikal” atau “ tidak tipikal”
gambar 3 dan gambar 4.
Gambar 3.  Alur Diagnosis TB Paru pada ODHA dengan Sakit Berat
Tabel 5. Diagnosis banding TB meningen
+7

Referensi

Dokumen terkait

dini pada infeksi HIV primer dapat menghasilkan perubahan perilaku pada orang-orang dengan HIV yang akan meminimalkan penularan selanjutnya dari infeksi ini.

Hasil luaran terapi TB paru pada pasien ko-infeksi TB-HIV di instalasi rawat inap dan rawat jalan di RSUP dr.Hasan Sadikin yang banyak adalah putus pengobatan dibandingkan

Berapapun jumlah CD4 atau apapun stad klinis WHO KO-INFEKSI HIV/TB Penyakit TB aktif, berapapun.

TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak yang ditemukan pada ODHA dan penyebab kematian utama pada pengidap HIV. Angka TB pada ODHA 40 kali lebih tinggi

Gambar 5.12 Diagram Batang Proporsi Jumlah CD4 Berdasarkan Jenis TB Terhadap Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik TB di Rumah Sakit Umum PusatH.Adam Malik

Tabel 4.8 Distribusi Proporsi Jumlah TB Berdasarkan Stadium HIV terhadap Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik (IO) di Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik. Tahun

Gambar 5.12 Diagram Batang Proporsi Jumlah CD4 Berdasarkan Jenis TB Terhadap Penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Oportunistik TB di Rumah Sakit Umum PusatH.Adam Malik

Pada uji T tidak berpasangan didapatkan perbedaan antara rerata jumlah leukosit, trombosit dan hemoglobin pada pasien TB HIV dan TB non HIV dengan nilai p masing-masing 0,001; 0,005;dan