• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Konsep Buruh Bangunan

Sebelum membahas lebih lanjut tentang potensi modal sosial buruh bangunan, perlu

diperjelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan pengertian buruh bangunan itu sendiri.

Undang-undang No.13 tahun 2003 (tentang ketenagakerjaan) mendefinisikan pekerja atau

buruh adalah setiap orang yang bekerja pada si pemberi pekerjaan dan menerima upah atau

imbalan dalam bentuk lain. Pekerja yang saya maksud disini adalah pekerja bangunan, tukang

kuat, kemampuan dan keahliannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik

berupa uang maupun bentuk lainnya dari si pemberi kerja, pengusaha atau majikan.

Menurut ILO, buruh adalah seseorang yang bekerja pada orang lain/badan hukum dan

mendapatkan upah sebagai imbalan atas jerih payahnya menyelesaikan pekerjaan yang

dibebankan padanya, dengan kata lain semua orang yang tidak memiliki alat produksi dan

bekerja pada pemilik alat produksi maka bisa dikatakan sebagai buruh. Konsepsi ini juga

sejalan dengan pemikiran Karl Marx tentang borjuis dan proletar, pada hakikatnya di dunia

ini hanya ada dua kelas yaitu borjuis dan proletar, borjuis adalah pemilik alat produksi dan

proletar adalah orang yang tidak memiliki alat produksi. Tidak ada kelas menengah karena

sebenarnya kelas menengah adalah pecahan dari kelas proletar.

Dari berbagai sumber definisi, buruh bukan hanya pekerja kasar bangunan tetapi juga

semua orang yang bekerja di bawah perintah kekuasaan orang lain dan menerima upah. Jadi

pegawai negeri sipil maupun eksekutif pun sebenarnya adalah buruh juga. Tapi definisi ini

sengaja dikaburkan di jaman Orde Baru sebagai upaya pengkotak-kotakan dan pemecah

belahan, sehingga definisi terpecah menjadi buruh, pekerja, pegawai, kaum profesional dan

sebagainya. Tujuannya supaya kekuatan buruh tidak bersatu sehingga tidak bisa

mempengaruhi kekuasaan politik penguasa saat itu.

Di Indonesia, pada tataran praktis ketika kita berbicara tentang buruh, maka yang

dimaksud adalah pekerja “berkerah biru” (blue collar) yang selalu diidentikkan dengan

kemiskinan, kumuh, untuk makan harus “gali lobang tutup lobang” dan selalu terpinggirkan.

Buruh inilah yang kemudian dilihat dari tingkat kesejahteraannya berada pada level bawah

masyarakat.

2.6.1. Mandor/kepala tukang

Mandor atau kepala tukang adalah orang yang membawahi belasan hingga ratusan

gaji tukang yang ditagih ke kontraktor sebagai pelaksana. Pada prakteknya, seorang mandor

akan mencari tukang dan kenek untuk dipekerjakan. Hubungan kerja antara mandor dan

tukang tidak mempunyai ikatan formal atau tidak ada kontrak hitam di atas putih.

2.6.2. Tukang

Tukang adalah pekerja atau buruh bangunan yang pekerjaannya membangun rumah

atau bangunan. Keahliannya juga berbeda-beda mulai dari tukang batu, tukang kayu, tukang

besi, tukang cor, tukang listrik, finishing dan lain-lain. Untuk membantu tugas tukang

biasanya seorang mandor atau tukang akan mempekerjakan seorang kenek. Kenek adalah

pekerjaan di bawah tukang yang bertugas membantu apa saja pekerjaan tukang.

2.6.3. Kriteria pencarian proyek kerja

Seorang mandor ketika mendapatkan pekerjaan akan mencari tukang untuk

dipekerjakan. Dalam prakteknya, seorang mandor akan mencari tukang berdasarkan kriteria-

kriteria tertentu. Diantaranya yaitu spesifikasi keahlian tukang, upah tukang dan wilayah

proyek kerja.

2.6.4. Spesifikasi Keahlian Tukang

Tenaga kerja tukang yang dibutuhkan dalam suatu proyek konstruksi untuk berbagai

jenis pekerjaan yang ada di lapangan akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Menurut

Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) perbedaan ini disebabkan karena setiap jenis pekerjaan

konstruksi yang dilakukan membutuhkan keahlian tenaga kerja yang berbeda-beda. Untuk itu

seorang mandor akan mencari tukang berdasarkan keahlian yang dibutuhkan di lapangan.

Adapun pembagian spesifikasi tukang berdasarkan keahliannya adalah sebagai berikut:

a. Tukang Rangka Baja b. Tukang Kayu

c. Tukang Listrik / Instrumen d. Tukang Besi

e. Tukang Keramik f. Tukang Batu g. Tukang Cat h. Tukang Batu

i. Tukang Pemasang Pipa j. Dan lain sebagainya

Biasanya seorang tukang hanya dapat mendalami satu keahlian saja, namun ada juga

tukang yang dapat menguasai lebih dari satu keahlian atau biasa disebut multifungsi.

Contohnya tukang keramik dapat mengerjakan tugas dari tukang batu namun tidak semua

tukang batu dapat mengerjakan tugas seorang tukang keramik. Keahlian-keahlian ini

didapatkan dari pendidikan formal maupun non formal. Sebuah lembaga pemerintah yaitu

Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJK) bertugas menyelenggarakan

pendidikan dan pelatihan keterampilan kerja jasa konstruksi.

Pendidikan formal tersebut akan membentuk suatu Badan Sertifikasi Keterampilan

Institusi Diklat yaitu Badan penyelenggara sertifikasi yang independen dan mandiri, yang

menyelenggarakan pengujian keterampilan kerja untuk proses sertifikasi keterampilan kerja

tertentu. Dengan itu seorang tukang yang telah mendapatkan sertifikasi suatu bidang keahlian

telah mendapat pengakuan tertulis tentang keahliannya tersebut. Selain dari pendidikan

formal keahlian ini juga bisa didapatkan dari pendidikan non formal seperti pengalaman

kerja. Biasanya sebelum menjadi seorang tukang, seorang buruh bangunan dipekerjakan

sebagai kenek terlebih dahulu. Lama kelamaan kenek akan mahir dan bisa naik menjadi

tukang dengan keahlian tertentu (skripsi buruh.pdf diakses pada tanggal 17 oktober 2012

pada jam 14:05).

2.6.5. Upah kerja

Biasanya seorang mandor akan membayar tukang dan kenek dengan upah yang

antara kedua pihak. Salah satu pertimbangan tukang menerima suatu pekerjaan dari seorang

mandor ataupun sebaliknya yaitu berdasarkan kesepakatan besar upah harian yang diberikan

mandor kepada tukang. Belum adanya standarisasi upah terkadang dapat membuat adanya

kemungkinan salah satu pihak dirugikan.

2.6.6. Wilayah kerja

Terkadang seorang mandor tetap mempertahankan tukang yang pernah dipekerjakan

untuk melaksanakan proyek kerja baru. Tak jarang jika ada proyek di luar kota mandor akan

memboyong tukang-tukang ini untuk dipekerjakan. Biasanya para tukang ini akan

mendapatkan upah lebih karena wilayah kerja yang berada di luar kota. Wilayah kerja

merupakan salah satu kriteria dalam pencarian kerja. Karena tak selamanya seorang tukang

bersedia kerja diluar kota karena berbagai alasan diantaranya upah kerja yang tak dapat

menutupi biaya hidup di luar kota, jauh dari keluarga dan lain sebagainya.

Dokumen terkait