POTENSI MODAL SOSIAL BURUH BANGUNAN
(Studi Deskriptif Pada Buruh Bangunan di Lingkungan 12 Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang)
S K R I P S I
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
DIAJUKAN OLEH :
090901057
James Party Samuel
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:
NAMA : JAMES PARTY SAMUEL
NIM : 090901057
DEPARTEMEN : Sosiologi
JUDUL : POTENSI MODAL SOSIAL BURUH
BANGUNAN
(Studi Deskriptif Pada Buruh Bangunan di Lingkungan 12 Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang)
Dosen Pembimbing Ketua Departemen
(Prof. Dr. Badaruddin, M.Si) (Dra. Lina Sudarwati, M.Si) NIP. 196805251992031002 NIP. 196603181989032001
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena dengan kasih karunia dan berkatNya yang melimpah, skripsi saya yang berjudul “ Potensi Modal Sosial Buruh Bangunan (Studi Deskriptif Pada Buruh Bangunan di Lingkungan 12 Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang) ” ini dapat selesai sesuai dengan harapan. Senantiasa saya ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus, beserta keluarga dan para sahabat-sahabat saya semoga kedepannya kita selalu mendapatkan berkat yang melimpah. Penulisan skripsi ini merupakan bagian kerja dan prosedur yang harus dipenuhi oleh setiap manusia untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar kesarjanaan dalam bidang sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Dalam kaitan ini terutama saya sebagai bagian dari mahkluk sosial yang tidak lepas dari bantuan serta pertolongan orang lain, secara umum ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh jajaran civitas akademika USU, khususnya pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang kiranya telah banyak memberikan kontribusi secara langsung maupun tidak langsung kepada saya, sehingga pada saat ini saya bisa menuai semua atau merasakan buah dari kebaikan tersebut diakhir penghujung masa studi saya di kampus Universitas Sumatera Utara tercinta khususnya di Departemen Sosiologi. Petunjuk dan bimbingan yang telah diberikan oleh bapak dan ibu dosen-dosen FISIP-USU terutama departemen sosiologi merupakan kenangan yang tidak pernah saya lupakan sekalipun disana terdapat pahit manis perjalanan proses belajar, akan tetapi saya sangat menikmati masa-masa itu.
Dalam penyelesaian skripsi ini dari awal hingga selesai, saya telah melibatkan berbagai pihak. Untuk itu saya ingin menghaturkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya kepada :
2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dalam perkuliahan sekaligus sebagai ketua penguji yang memberikan arahan dan masukan untuk skripsi ini.
3. Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si, selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. Rizabuana, M.Phil, Phd, selaku dosen wali yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dalam perkuliahan.
5. Para dosen-dosen di Departeman Sosiologi yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu-persatu yang telah membekali, memberikan ilmu, mengarahkan dan membimbing saya selama mengikuti perkuliahan di Departemen Sosiologi sehingga selesainya skripsi ini.
6. Bapak Misno, selaku Kepala Desa Bandar Khalipah yang telah memberikan kemudahan dalam penelitian ini.
7. Kak Fenny, Kak Betty dan Kak Sugi di jurusan sosiologi serta seluruh staf yang berada di FISIP USU yang telah memberikan kemudahan dalam mengurus segala administrasi dalam skripsi ini.
8. Spesial penghargaan beserta terima kasih yang sebesar-besarnya dan rasa sayang serta rasa cinta yang sedalam-dalamnya saya persembahkan kepada kedua orang tua saya. Almarhum P. Gultom dan Mama saya T.R br. Siahaan yang selama ini telah memperjuangkan saya sendirian tanpa mengenal lelah demi keberhasilan anaknya. Terima kasih banyak ya mamaku.
9. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya juga kepada Tulang Freddy, Nantulang Duma, Tante Tuty dan seluruh keluarga dekat SIAHAAN yang selalu memberikan doa, nasehat, perhatian dan dorongan semangat serta bantuan-bantuan lainnya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
10.Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga buat Pak Lek Syamsudin, Bu Lek Legiatik, Dek Kamil dan Dek Aji yang telah memberikan saya tempat tinggal, nasehat, perhatian, semangat dan doa-doanya selama saya penelitian di Lingkungan 12 Desa Bandar Khalipah.
12.Buat teman-teman seperjuangan di Departemen Sosiologi, khususnya stambuk 2009 (walau lambat tapi dapat), Mamen Jupri Tarigan, Dede Adi, Bima, Nela, Sauma, Riya, May Yuliarti, Sarwendah, Mega, Irvin, Ridho, Mira, Adol, Jony, Johan, Sri Maryati, Widya, Onkaruna, Wely, Syahid, Bertha, Melita, Bernita, Noni, Serdita, Siska, Lely, Lilis, May Hermawani, Lae Corry, Lae Riski, Lae Wisnu, Lae Nuel, Lae Risman, Lae Lukas, Nasrullah, Almert, Palty, Arfy, Ricardo, Berry, Edi, Elisabeth besar, Elisabeth kecil, Kiki, Unyu Dewi Keleng, Ledy, Siti, Sopia, Winda, Veronika, Angel, Henny, Rani, Monica, Dina, Willer, Yohan, Christian, Fitria serta semuanya yang belum saya sebutkan satu-persatu. Terima kasih banyak atas semangat, saran dan doanya serta buat pertemanan kita selama ini dan harapannya pertemanan kita sampai masa tua nanti, amien.
13.Buat Abang dan Kakak Senior di Departemen Sosiologi, Bang Gio, Bang Hendra, Kak Judika, Bang Belman, Bang Amos, Bang Ricky, Kak Desi, Bang Aspipin, Bang Prabu, Bang Herbin dan senior lainnya yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu juga beserta Adek-adek Junior. Terima kasih buat saran, semangat dan doa-doanya.
14.Terima kasih buat semua teman-teman Organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia dan teman-teman organisasi cipayung lainnya serta Tourer Community.
Maka dengan menyadari sepenuhnya kekurangan dan keterbatasan yang ada pada diri penulis, skripsi ini masih terdapat kekurangan, kendati demikian adanya, saya berharap agar isi dan penjelasan yang tertulis dalam skripsi ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi ilmu sosiologi terutama ilmu sosiologi ekonomi. Selain itu saya juga berharap agar penelitian yang saya lakukan ini, ada yang mau melanjutkannya ke tahap yang lebih dalam lagi dan mengembangkan kedepannya agar dapat memperluas cakrawala pengetahuan dibidang penelitian ini dan juga dapat memanfaatkannya sebagai bahan bacaan untuk menulis skripsi dalam isu atau penelitian yang sama. Akhir kata terima kasih atas segala perhatian dan semoga bermanfaat.
Syalom Medan, Juli 2013
DAFTAR ISI
Halaman Persetujuan
Kata Pengantar ... i
Daftar Isi ... iv
Abstrak... vii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 9
1.3. Tujuan Penelitian ... 9
1.4. Manfaat Penelitian ... 10
1.4.1. Manfaat Teoritis ... 10
1.4.2. Manfaat Praktis ... 10
I.5. Definisi Konsep ... 10
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 13
2.1. Modal Sosial ... 13
2.1.1. Dimensi Modal Sosial ... 14
2.1.2. Tipologi Modal Sosial ... 17
2.2. Elemen-elemen Modal Sosial ... 22
2.3. Potensi Modal Sosial ... 27
2.4. Peranan Modal Sosial Dalam Pembangunan ... 28
2.4.1. Modal Sosial dan Pembangunan Manusia ... 29
2.4.2. Modal Sosial dan Pembangunan Sosial ... 30
2.4.3. Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi ... 30
2.5. Modal Sosial Dalam Produktivitas ... 32
2.6. Konsep Buruh Bangunan ... 33
2.7. Penelitian Terdahulu ... 37
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 42
3.1. Jenis Penelitian ... 42
3.3. Unit Analisis dan Informan ... 43
3.3.1. Unit Analisis ... 43
3.3.2. Informan ... 43
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 44
3.4.1. Teknik Pengumpulan Data Primer ... 44
3.4.2. Teknik Pengumpulan Data Sekunder ... 45
3.5. Interpretasi Data ... 46
3.6. Jadwal Kegiatan ... 46
3.7. Keterbatasan Penelitian ... 47
BAB IV : DESKRIPSI WILAYAH DAN INTERPRETASI DATA ... 48
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 48
4.1.1. Sejarah Singkat Desa Bandar Khalipah ... 49
4.1.2. Sarana dan Prasarana Desa ... 50
4.1.3. Profil Informan ... 51
4.2. Struktur Desa Bandar Khalipah ... 54
4.2.1. Pemerintah Desa ... 54
4.2.2. Keamanan dan Ketertiban ... 57
4.2.3. Partisipasi Masyarakat ... 58
4.3. Keberadaan Buruh Bangunan di Lingkungan 12 Desa Bandar Khalipah ... 58
4.3.1. Sejarah Buruh Bangunan ... 61
4.3.2. Perkembangan dan Kondisi Sosial Ekonomi Buruh Bangunan ... 62
4.3.3. Rutinitas Pekerjaan Buruh Bangunan ... 65
4.4. Buruh Bangunan dan Modal Sosial ... 69
4.4.1. Modal Sosial Yang Terdapat Pada Buruh Bangunan ... 73
4.4.2. Kekuatan Modal Sosial Diantara Sesama Buruh Bangunan ... 76
4.5. Menumbuhkembangkan Modal Sosial di Kalangan Buruh Bangunan ... 80
4.5.1. Negosiasi Kesepakatan Kerja Pada Buruh Bangunan ... 83
4.5.2. Nilai dan Norma Pada Buruh Bangunan ... 87
4.5.3. Kepercayaan/Trust Pada Buruh Bangunan ... 89
4.5.3.1. Kepercayaan Antara Sesama Buruh Bangunan ... 91
4.5.3.2. Kepercayaan Antara Buruh Bangunan dengan Si Pemberi Pekerjaan ... 93
BAB V : PENUTUP ... 99
5.1. Kesimpulan ... 99
5.2. Saran ... 101
Daftar Pustaka ... 103
Interview Guide ... 107
Dokumentasi ... 111
Peta Desa Bandar Khalipah ... 122
Lembar Struktur Pemerintahan Desa Bandar Khalipah ... 123
Lembar Bimbingan ... 124
Lembar-Lembar Seminar Proposal ... 125
ABSTRAK
Penelitian ini menyajikan tentang : Potensi Modal Sosial Buruh Bangunan (Studi Deskriptif Pada Buruh Bangunan di Lingkungan 12 Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang). Penelitian ini membahas bagaimana buruh bangunan di Lingkungan XII Desa Bandar Khalipah menumbuhkembangkan modal sosial untuk menjamin kelangsungan pekerjaan mereka sebagai buruh bangunan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi-potensi modal sosial atau sikap dan hubungan kerja sama yang ada pada buruh bangunan dan upaya apa yang dilakukan untuk menumbuhkembangkannya menjadi lebih baik lagi dari yang sebelumnya demi menjamin kelangsungan pekerjaan mereka sebagai buruh bangunan. Untuk mencapai tujuan tersebut tulisan ini menggunakan teori modal sosial yang dikemukakan oleh sosiolog Coleman, Fukuyama, Putnam, Hasbullah dan Lawang. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi partisipasi dan dokumentasi.
Hasil deskripsi dan interpretasi data berupa penggambaran atau penuturan dalam bentuk kalimat menjelaskan bahwa potensi modal sosial yang terdapat pada buruh bangunan di Lingkungan 12 Desa Bandar Khalipah berupa negoisasi, jaringan informasi dan relasi, kepercayaan, nilai dan norma, etos kerja yang tinggi dan gotong royong. Usaha mereka untuk menumbuhkembangkannya dengan tetap berkomunikasi dengan baik, tolong menolong, menjaga kepercayaan dan kejujuran, saling pengertian serta selalu bekerja dengan hasil yang baik. Para buruh bangunan juga sepakat bahwa dengan potensi modal sosial yang mereka miliki dapat menjamin kelangsungan pekerjaan mereka sebagai buruh bangunan.
ABSTRACT
This study presents about: Potential Labor Construction Workers Capital (Descriptive Study On Building Workers in Rural Environment 12 Bandar Sei Tuan Percut Khalipah district of Deli Serdang). This study discusses how the construction workers in the Village Environment XII Bandar Khalipah develop social capital to ensure the continuity of their work as a construction worker.
This study aims to determine the potential of social capital or attitude and cooperative relations that exist in the construction workers trade and what efforts were made to develop to be even better than the previous one to ensure the continuity of their work as a construction workers. To achieve these goals this paper uses social capital theory put forward by sociologists Coleman, Fukuyama, Putnam, Hasbullah and star anise. This study uses a qualitative descriptive approach. Data collection techniques in-depth interviews, observation and documentation of participation.
The description and interpretation of the data is a depiction or narrative in sentences explaining that social capital potential contained in the construction workers in the Village Environment 12 Bandar Khalipah form of negotiation, information networks and relationships, beliefs, values and norms, a high work ethic and mutual cooperation. Their efforts to develop the fixed communicate well, please help, maintain trust and honesty, mutual understanding and always worked with good results. The construction workers also agreed that the potential of social capital at their disposal to ensure the continuity of their work as a construction workers.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagai salah satu provinsi yang besar, Sumatera Utara dengan ibukota Medan sedang
bergiat dalam melakukan pembangunan di segala bidang. Pembangunan dilakukan di bidang
perkantoran, plaza, jalan-jalan, jalan fly over maupun perumahan dan bidang lainnya. Salah
satu bidang yang banyak menyerap tenaga kerja informal adalah bidang konstruksi bangunan.
Hal ini disebabkan tenaga kerja adalah salah satu komponen penting dalam industri jasa
pelaksanaan konstruksi bangunan. Hampir semua bagian dan detail pekerjaan konstruksi
masih memerlukan tenaga kerja manusia. Secara umum terdapat lima macam tenaga kerja
dalam bidang konstruksi yaitu konsultan, arsitektur, pengawas, mandor dan tukang (kenek).
Pada suatu bidang konstruksi bangunan, umumnya yang bekerja disuatu bangunan
tersebut lebih sering disebut buruh bangunan. Buruh bangunan memiliki status pekerjaan
yang tidak tetap dan berpindah-pindah sesuai dengan panggilan proyek kepada buruh
bangunan tersebut. Dimana para pekerja buruh bangunan setiap kali mendapatkan proyek
pekerjaan atau lahan baru untuk dikerjakan, harus melakukan negosiasi kesepakatan kerja,
waktu dan gaji terlebih dahulu dengan pihak yang telah memanggil buruh bangunan tersebut.
Agar proyek bangunan yang dikerjakan baik membangun ataupun memperbaiki suatu
bangunan dapat berjalan sesuai dengan sistem negoisasi dan kesepakatan bersama kedua
belah pihak. Pembangunan proyek bangunan seperti gedung kantor, rumah pribadi, sampai
jalan dan jembatan, tak lepas dari peran buruh bangunan.
Keberhasilan sebuah proyek bangunan dilihat dari segi sumber daya manusia yang
merupakan keberhasilan penggabungan dari berbagai macam profesi yang saling mendukung
proyek bangunan akan dikenal berbagai macam profesi yang salah satunya adalah buruh
bangunan. Seringkali keberadaan buruh bangunan ini diabaikan sehingga hanya
menganggapnya sebagai robot yang siap bekerja dengan upah yang telah disediakan, hal ini
tentu akan sangat berbeda hasilnya jika manajemen proyek dapat memperlakukan seorang
buruh bangunan sebagai manusia yang sesungguhnya. Secara umum pengelompokan buruh
bangunan dapat dibedakan berdasarkan keahliannya menjadi yaitu tukang batu, tukang besi,
tukang cor, tukang bekisting, tukang kayu, tukang las, tukang listrik, tukang plumbing,
tukang mekanikal & elektrikal dan lain-lain.
Buruh bangunan adalah sebuah profesi jasa yang sangat dibutuhkan oleh berbagai
pihak. Buruh bangunan atau ada juga yang menyebut sebagai kuli bangunan dapat dibedakan
menjadi dua tingkat yaitu yang pertama tukang dan yang kedua adalah pembantu tukang atau
kenek. Tukang bertugas mengerjakan proses berdirinya suatu bangunan, sedangkan pembantu
tukang atau kenek bertugas melayani apa saja kebutuhan tukang dalam bekerja. Tentu saja
tukang tingkatnya lebih tinggi dibanding pembantu tukang atau kenek, karena tingkat
kemahiran yang dimiliki dan upah/gaji yang diterima saja sudah tentu berbeda.
Menurut Media Kompas, karir di dalam pekerjaan sebagai buruh bangunan sama
seperti halnya pada kepegawaian dengan tingkatan pangkat, pada pekerja bangunan juga
mengenal tingkatan karir. Tingkatan terendah adalah kenek atau pembantu tukang. Tingkat
selanjutnya yang lebih tinggi tentu saja tukang. Karir profesi pekerja bangunan rata-rata
hanya sampai pada tingkat tukang. Dimana pada tingkat ini biasanya sudah mempunyai
spesifikasi atau keahlian tersendiri, misalnya spesifikasi pemasangan batu, pemasangan besi,
pemasangan kayu, pemasangan keramik, finishing pengecatan, pemasangan kaca dan
lain-lain. Namun pada dasarnya mereka mempunyai keahlian yang sama dalam pembuatan sebuah
tembok bangunan
Lebih lanjut lagi Media Kompas tersebut menyebutkan sebenarnya karir profesi
sebagai tukang masih bisa berlanjut lagi, tetapi jarang terjadi. Urutan kenaikan karir setelah
tukang adalah kepala tukang, mandor, dan tentu saja pemborong bangunan. Kepala tukang
diambil dari tukang yang nantinya bertanggung jawab terhadap mandor atas apa saja yang
dikerjakan. Mengenai mandor sampai pemborong tidak masuk dalam paparan ini, karena
tidak lagi terkategori pekerja bangunan dan penulisan ini hanya dibatasi pada buruh bangunan
yaitu tukang dan keneknya agar penulisan ini juga tidak meluas dan fokus.
Gaji atau upah buruh bangunan berdasarkan observasi awal yang saya lakukan cukup
bervariasi, antara Rp 50.000–Rp 100.000 tergantung tingkat kemahiran yang dimilikinya.
Untuk pekerja bangunan di wilayah Kota Medan terbagi atas tukang dan pembantu tukang.
Penghasilan pembantu tukang atau kenek saat ini berkisar Rp 50.000–Rp 60.000 perhari.
Penghasilan tukang lebih bervariasi lagi, yang mempunyai spesialis keahlian mempunyai gaji
yang berbeda. Berkisar antara Rp 70.000 – Rp 100.000 perhari. Namun seperti pemasangan
keramik biasanya dihitung meteran, misalnya lantai biasanya Rp 20.000 permeter sedangkan
dinding biasanya Rp 30.000 permeter. Penghasilan tersebut belum dikurangi biaya hidup di
lokasi pekerjaan. Adakalanya untuk makan sudah ditanggung pemborong atau yang
mempunyai pekerjaan.
Bila dihitung penghasilan tukang berkisar Rp 2.100.000–Rp 3.000.000 perbulan dan
pembantu tukang atau kenek berkisar Rp 1.200.000–Rp 1.800.000. Bila dibandingkan dengan
pendapatan buruh pabrik Rp 1.200.000–Rp 2.000.000, pegawai swasta berkisar Rp
2.500.000–Rp 4.500.000 sedangkan wiraswasta tergantung omset mereka perhari dan tidak
dapat dipastikan, dan menurut perkiraan yang ada di lapangan berkisar Rp 1.300.000 atau
bahkan ada yang lebih tergantung bidang usahanya dan tingkat pendidikan mereka
berbeda-beda, untuk buruh itu hanya tamat smp dan paling tinggi sma sedangkan untuk pegawai
menunjukkan kalau sebenarnya pendapatan buruh bangunan khususnya tukang sudah lebih
tinggi dibandingkan buruh pabrik dan wiraswasta dan hampir menyetarai pendapatan
pegawai swasta dan pendapatan kenek menyetarai pendapatan buruh pabrik dan wiraswasta.
Buruh bangunan disini menetap di Lingkungan 12 Desa Bandar Khalipah, ada yang
bekerja di sekitar Lingkungan 12 tetapi kebanyakan bekerja di Kota Medan atau yang biasa
disebut penglaju. Buruh bangunan tersebut umumnya memiliki potensi modal sosial yang
terdapat pada masing-masing individu dan kelompok yang tercipta dan lahir sebagai sistem
sosial dalam masyarakat desa. Modal sosial merupakan sumber daya yang dapat dipandang
sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru yang terdiri dari pengetahuan dan
keterampilan individu.
Selain pengetahuan dan keterampilan terdapat juga kemampuan individu untuk
melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain. Kemampuan ini akan menjadi modal
penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga bagi setiap aspek eksistensi
sosial yang lain. Modal yang demikian ini disebut dengan ‘modal sosial’ (social capital),
yaitu kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama demi mencapai tujuan bersama dalam
suatu kelompok dan organisasi (Coleman, 1990). Penekanannya pada potensi kelompok dan
pola hubungan antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok dengan ruang
perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai dan kepercayaan antar sesama yang lahir dari
anggota kelompok dan menjadi norma kelompok.
Kekuatan dasar berupa modal sosial sebenarnya sudah ada terbangun pada sebagian
kelompok buruh bangunan tersebut, ini terlihat dari keseharian mereka yang saling mengajak
dan memberikan informasi pekerjaan kepada buruh bangunan lainnya ketika ada pekerjaan
ataupun proyek yang mau dikerjakan sehingga hubungan-hubungan dan interaksi sosial
mereka sampai sekarang tetap berjalan. Modal sosial pada kelompok buruh bangunan
dalam masyarakat dengan suatu energi/kekuatan yang ada dalam masyarakat, diantaranya
adalah kebersamaan dan kepercayaan.
Sejumlah buruh bangunan yang menetap di Lingkungan 12 Desa Bandar Khalipah
tersebut memiliki jumlah kerja yaitu selama 6 hari dalam seminggu dari mulai pukul 08.00
pagi sampai pukul 17.00 sore setiap harinya. Setiap harinya mereka pulang bersama dari
tempat mereka bekerja menuju ke rumah dan berkumpul dengan keluarganya masing-masing.
Tidak jarang juga antara buruh bangunan yang satu dengan buruh yang lainnya melakukan
pertemuan atau perkumpulan dengan buruh-buruh bangunan yang lainnya baik di rumah
ataupun di luar, pertemuan ini dimaksudkan untuk tetap saling menjaga ikatan, solidaritas dan
pola hubungan serta peluang pekerjaan mereka sesama buruh bangunan.
Masyarakat yang bekerja sebagai buruh bangunan di Lingkungan 12 Desa Bandar
Khalipah umumnya memiliki kehidupan yang sederhana, keadaan ini disebabkan tidak
tetapnya proyek yang mereka kerjakan. Jika sudah habis mengerjakan suatu proyek bangunan
baik perumahan ataupun suatu tempat bangunan lainnya, kebanyakan dari mereka akan
menganggur atau menunggu sampai adanya lagi panggilan dari proyek bangunan ataupun si
pemberi pekerjaaan yang membutuhkan jasa mereka.
Tidak jarang juga diantara buruh bangunan selalu mencari-cari informasi pekerjaan,
oleh karena itu disela-sela waktu mereka yang kosong mereka juga mencari pekerjaan
tambahan agar dapat menutupi kebutuhan sehari-hari. Namun tidak jarang juga buruh
bangunan memberitahukan proyek pekerjaan kepada buruh bangunan lainnya jika di tempat
proyek pekerjaan mereka lagi membutuhkan buruh bangunan. Hal ini dilakukan agar teman
mereka sesama buruh bangunan dapat kembali bekerja, disinilah letak fungsi jaringan sosial
dan sikap kepercayaan.
Semua ini memberi gambaran bahwa modal sosial buruh bangunan seharusnya
hierarkhi/stratifikasi lebih tinggi, yang artinya modal sosialnya mampu menciptakan
kepercayaan dan hubungan timbal-balik antara buruh bangunan yang strata sosialnya lebih
rendah dengan pihak atau struktur yang lebih tinggi. Buruh bangunan ini juga masih menjaga
norma-norma yang sudah ada di tengah-tengah masyarakat terutama sesama buruh bangunan,
ini karena norma tidak dapat dipisahkan dari jaringan dan kepercayaan serta inilah yang
menjadi suatu kebanggaan bagi mereka yang dapat membuat hubungan sesama mereka lebih
erat dan saling menguntungkan dalam kelompok buruh bangunan tersebut.
Seperti yang dikatakan Suparman dalam membahas modal sosial nelayan, ada tiga
tipe modal sosial yakni sebagai perekat/pengikat (bonding), penyambung/menjembatani
(bridging) dan menciptakan jaringan dan koneksi dan mengait (lingking). Inilah yang menjadi
modal dasar bagi kaum buruh bangunan dalam menumbuhkan pilar-pilar kebersamaan
sebagaimana beberapa fakta yang disebutkan diatas. Bahkan fenomena modal sosial di
kalangan nelayan dapat mengefektifkan modal lainnya seperti modal fisik/infrastruktur,
modal ekonomi, modal manusia (Suparman, 2012).
Lebih lanjut lagi, kaitan dengan penelitian ini sesuai dengan proposal di atas bahwa
modal sosial buruh bangunan dapat juga mengefektifkan dan mengoptimalkan modal
manusia seperti pengalaman dan keterampilan serta kekuatan/kemampuan fisik yang dimiliki
oleh kaum buruh bangunan pada kegiatan yang produktif seperti bekerja pada sektor non
buruh. Modal sosial yang dimiliki mampu menyalurkan dan memanfaatkan modal manusia
yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat kepada yang produktif. Modal sosial kaum
buruh juga mampu menumbuhkan modal ekonomi seperti informasi, biaya transaksi dan
biaya produksi lainnya. Artinya dengan modal sosial yang ada akan mampu mengurangi
biaya bahkan mampu menciptakan sumber penghasilan tambahan bagi warga buruh
bangunan seperti keterlibatan dalam aktivitas ekonomi dan pembangunan serta perbaikan
Buruh bangunan juga memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap sumber
daya di darat yaitu berupa bangunan fisik sebagai sumber daya milik umum. Potensi dan
alternatif lain yang dimiliki oleh buruh bangunan yang membuat kelangsungan hidupnya
tetap bertahan adalah modal sosial. Pemanfaatan modal sosial yang dimiliki dapat menjadi
peletak dasar dalam mengungkap dan mengembangkan potensi modal yang lain. Seperti
potensi modal sosial dapat mengungkap potensi akses, mengefektifkan peran lembaga dan
institusi yang ada, dapat membangun kerjasama dengan pihak luar, dapat mendorong
kepedulian dan solidaritas bahkan dapat menciptakan human capital dan potensi modal
lainnya.
Modal sosial dapat menjadi modal pendorong yang dimiliki oleh buruh bangunan
tersebut untuk terbukanya peluang dan potensi modal lainnya dalam bekerja dan
bermasyarakat dengan individu atau kelompok lainnya yang saling menguntungkan. Konsep
modal sosial pada awalnya hanya dipahami sebagai suatu bentuk dimana masyarakat
menaruh sikap kepercayaan terhadap individu dan kelompok sebagai bagian di dalamnya,
namun selanjutnya mereka juga membuat kesepakatan bersama sebagai suatu nilai di dalam
kelompoknya.
Modal sosial digambarkan sebagai kepercayaan, jaringan dan norma-norma untuk
memudahkan kooperasi untuk manfaat timbal balik (Putnam, 1993:167). Modal sosial
sebagai penentu dan dasar kehidupan masyarakat yang teratur dan sejahtera. Modal sosial ini
merupakan potensi yang dapat menjadi energi dalam menjembatani dan memperkuat bahkan
mendorong potensi modal lainnya dalam suatu kelompok. Pada intinya modal sosial menjadi
potensi yang dapat dioptimalkan oleh individu dalam suatu komunitas untuk keluar dari
permasalahan yang dihadapi.
Menurut Lesser (2000), modal sosial sangat penting bagi kelompok karena (1) dapat
“power sharing” atau pembagian kekuasaan dalam kelompok, (3) mengembangkan
solidaritas, (4) memungkinkan pencapaian bersama, (5) memungkinkan mobilitas sumber
daya kelompok, (6) membentuk perilaku kebersamaan dan berorganisasi kelompok. Modal
sosial merupakan suatu komitmen dari setiap individu untuk saling terbuka, saling percaya
dan memberi kewenangan bagi setiap orang yang dipilihnya untuk berperan sesuai dengan
tanggung jawabnya.
Putnam (2000) memberikan proposisi bahwa suatu entitas masyarakat yang memiliki
kebajikan sosial yang tinggi, tetapi hidup secara sosial terisolasi akan dipandang sebagai
masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial yang rendah. Selanjutnya dikatakan bahwa
peran individual dan keterikatan sosial yang terorganisir dalam memprediksi kemajuan
individu dan tindakan tindakan kolektif mereka, ide asosiasi dan aktifitas masyarakat sipil
sebagai basis bagi terciptanya integrasi sosial dan kesejahteraan. Nilai, norma, jaringan
sosial, kepercayaan yang terpola dalam suatu masyarakat adalah sebagai bentuk modal sosial
yang merupakan kekuatan dan energi dalam mencapai kemajuan bersama. Potensi modal
sosial yang dimiliki oleh kelompok buruh bangunan dapat menumbuhkan kepedulian,
kerjasama, saling membantu, solidaritas sosial, kejujuran termasuk keberpihakan dan
keadilan. Penciptaan kondisi dan harmoni sebagai wujud dari kekuatan modal sosial dalam
suatu kelompok merupakan modal dasar.
Masalah yang dapat di pertanyakan adalah mengapa kelompok-kelompok dan asosiasi
yang ada kurang berfungsi sebagai lokomotif energi sosial dan sebagai pembebas masyarakat,
ini disebabkan karena kurang/tidak berkembangnya kepercayaan (trust) serta tidak
berkembangnya nilai-nilai positif seperti kerjasama, saling membantu dan sejenisnya sebagai
konsekuensi dari konfigurasi nilai dalam sistem sosial masyarakat setempat yang intinya
modal sosialnya melemah dan hilang. Situasi yang lain diperpuruk oleh renggangnya jarak
para elit yang menguasai kelompok-kelompok sosial yang ada. Sejalan dengan hal tersebut,
Fukuyama mengatakan bahwa masyarakat mengalami kebangkrutan karena melemahnya
modal sosial di dalam masyarakat (Fukuyama. 1995. Trust : The Social Virtues and the
Creation of Prosperity NY : Free Press). Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk
membahasnya, sehingga mengangkat judul skripsi yaitu “ Potensi Modal Sosial Buruh Bangunan (Studi Deskriptif Pada Buruh Bangunan di Lingkungan 12 Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang) ”
1.2. Perumusan Masalah
Dalam suatu penelitian, yang sangat signifikan untuk dapat memulai penelitian adalah
adanya masalah yang akan diteliti. Menurut Arikunto, agar dapat dilaksanakan penelitian
dengan sebaik-baiknya maka peneliti haruslah merumuskan masalah dengan jelas, sehingga
akan jelas dimana harus dimulai, kemana harus pergi dan dengan apa (Arikunto, 1996:19).
Berdasarkan uraian tersebut dan berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan,
maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana Buruh
Bangunan di Lingkungan 12 Desa Bandar Khalipah Menumbuhkembangkan Modal Sosial
untuk Menjamin Kelangsungan Pekerjaan Mereka sebagai Buruh Bangunan?.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan yang diharapkan
dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui potensi modal sosial yang ada pada buruh bangunan dan apakah
modal sosial tersebut menjamin kelangsungan pekerjaan mereka sebagai buruh
bangunan.
b. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan buruh bangunan untuk
c. Untuk mempelajari karakteristik elemen modal sosial seperti jaringan sosial,
kepercayaan, nilai dan norma yang ada.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini adalah:
1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dan sumber
informasi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu sosiologi seperti kajian sosiologi
ekonomi dan bagi peneliti serta semua pihak berkaitan dengan kajian modal sosial dalam
buruh bangunan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menambah referensi hasil
penelitian yang juga dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian bagi mahasiswa
sosiologi selanjutnya, serta diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan
memperluas cakrawala pengetahuan.
1.4.2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis mengenai
permasalahan yang diteliti dan kemampuan untuk membuat karya tulis ilmiah. Hasil
penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran terhadap pemerintah,
mengenai informasi modal sosial buruh bangunan yang membantu dalam membuat
kebijakan-kebijakan yang berhubungan di dalamnya.
1.5. Definisi Konsep
Definisi Konsep disini adalah perumusan yang singkat, padat dan jelas tentang makna
dan pengertian yang terkandung dalam penelitian ini. Sebagaimana definisi konsep di bawah
1. Potensi
Potensi diri merupakan kemampuan atau kekuatan baik yang belum terwujud maupun
yang telah terwujud, yang dimiliki oleh seseorang buruh bangunan tetapi belum sepenuhnya
terlihat atau dipergunakan secara maksimal.
2. Modal Sosial
Secara umum modal sosial adalah hubungan-hubungan yang tercipta berupa jaringan,
nilai dan norma, hubungan sosial, kepercayaan dan institusi yang membentuk kualitas dan
kuantitas serta efisiensi masyarakat yang bekerja sebagai buruh bangunan dengan
memfasilitasi tindakan-tindakan yang terkoordinasi serta sebagai perekat sosial (social glue)
yang menjaga kesatuan diantara anggota masyarakat luas secara bersama-sama.
3. Potensi Modal Sosial
Kemampuan masyarakat luas dalam suatu kelompok buruh bangunan untuk bekerja
sama membangun modal sosial yang terdiri dari jaringan, nilai dan norma, hubungan sosial,
kepercayaan dan institusi untuk mencapai tujuan bersama dalam menjamin kelangsungan
pekerjaan mereka.
4. Menumbuhkembangkan Modal Sosial
Yaitu upaya dari individu-individu yang bekerja sebagai buruh bangunan yang
terdapat di dalam masyarakat untuk bekerja sama membangun dan memperluas atau
mengembangkan suatu jaringan, nilai dan norma, hubungan sosial, kepercayaan dan institusi
yang sudah lahir dan tercipta sebelumnya dari kelompok masyarakat buruh bangunan tersebut
agar mencapai tujuan bersama untuk memperbaiki kualitas kehidupan mereka.
5. Desa
Desa adalah merupakan perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur
fisiografis, sosial, ekonomis politik, kultural setempat dalam hubungan dan pengaruh timbal
6. Buruh Bangunan
Undang-undang No.13 tahun 2003 (tentang ketenagakerjaan) mendefinisikan pekerja
atau buruh adalah setiap orang yang bekerja pada si pemberi pekerjaan dan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain. Pekerja yang saya maksud disini adalah pekerja bangunan,
tukang atau kenek yang pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan fisik
yang kuat, kemampuan dan keahliannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Modal Social (Social Capital)
Menurut para ahli modal sosial dapat didefinisikan sebagai kemampuan masyarakat
untuk bekerja bersama, demi mencapai tujuan-tujuan bersama, di dalam berbagai kelompok
dan organisasi (Coleman, 1999). Sedangkan Burt (1992) mendefinisikan, modal sosial adalah
kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain dan
selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi
akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Adapun Putnam (2000)
mendefinisikan, modal sosial adalah penampilan organisasi sosial seperti jaringan-jaringan
dan kepercayaan yang memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan
bersama.
Fukuyama (1995) mendefinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau
norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang
memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Adapun Cox (1995) mendefinisikan,
modal sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh
jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya
koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama.
Sejalan dengan pendapat dari Fukuyama dan Cox, Partha (1999) mendefinisikan,
modal sosial sebagai hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk
kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu
sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara
bersama-sama. Pada jalur yang sama Solow (1999) mendefinisikan, modal sosial sebagai
mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk
menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas.
Adapun menurut Cohen dan Prusak (2001), modal sosial adalah sebagai setiap
hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), kesaling pengertian (mutual
understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok
untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif.
Sependapat dengan penjelasan dari Cohen dan Prusak, Hasbullah (2006) menjelaskan, modal
sosial sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau
bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma
yang menjadi unsur-unsur utamanya seperti trust (rasa saling mempercayai), hubungan
timbal balik dan aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya.
Dari pengertian para ahli di atas, maka menurut saya modal sosial (social capital)
secara umum adalah hubungan-hubungan yang tercipta berupa jaringan, nilai dan norma,
hubungan sosial, kepercayaan dan institusi yang membentuk kualitas dan kuantitas serta
efisiensi masyarakat yang bekerja sebagai buruh bangunan dengan memfasilitasi
tindakan-tindakan yang terkoordinasi serta sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan
diantara anggota masyarakat luas secara bersama-sama. Modal sosial juga adalah sebuah
potensi yang dimana dapat meningkatkan kesadaran bersama tentang banyaknya
kemungkinan peluang yang bisa dimanfaatkan dan juga kesadaran bahwa nasib bersama akan
saling terkait dan ditentukan oleh usaha bersama yang dilakukan.
2.1.1. Dimensi Modal Sosial
Dimensi modal sosial disini membahas bahwa sebenarnya Modal sosial (social
capital) berbeda definisi dan terminologinya dengan modal manusia (human capital)
(Fukuyama, 1995). Bentuk human capital adalah ‘pengetahuan’ dan ‘keterampilan’manusia.
atau universitas, pelatihan programmer computer, kursus bahasa atau menyelenggarakan
bentuk-bentuk pendidikan lainnya. Sedangkan modal sosial adalah kemampuan atau keahlian
yang muncul dari adanya kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian
tertentu didalamnya. Modal sosial juga dapat dilembagakan dalam bentuk kelompok sosial
paling kecil atau paling mendasar dan juga kelompok-kelompok masyarakat paling besar
seperti halnya negara(bangsa).
Modal sosial diterapkan atau dihubungkan melalui mekanisme-mekanisme kultural
atau budaya seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000). Akuisisi atau
bentuk positif dari modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral
sebuah komunitas yang dalam konteksnya sekaligus dapat mengadopsi nilai-nilai kebajikan
seperti kesetiaan dan kejujuran serta menjadi suatu hal yang dapat dipercayai dan
dipertanggungjawabkan serta pada akhirnya modal sosial lebih didasarkan pada
kebajikan-kebajikan sosial umum.
Dimensi modal sosial tumbuh di dalam suatu masyarakat yang didalamnya berisi nilai
dan norma serta pola-pola interaksi sosial dalam mengatur kehidupan keseharian anggotanya
(Woolcock dan Narayan, 2000). Oleh karena pendapat itu Adler dan Kwon (2000)
menyatakan, dimensi modal sosial adalah merupakan gambaran dari keterikatan internal yang
mewarnai struktur kolektif dan memberikan keterkaitan satu sama lain dan
keuntungan-keuntungan bersama dari proses dinamika sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
Sejalan dengan pendapat di atas maka dimensi modal sosial juga dapat
menggambarkan segala sesuatu yang membuat masyarakat dapat membentuk sebuah
kelompok untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan dan perasaan senasib yang
di mana didalamnya diikat oleh nilai-nilai kepercayaan dan norma-norma yang tumbuh dan
dipatuhi. Dimensi modal sosial berhubungan erat dalam struktur hubungan sosial dan
sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi dan menetapkan
norma-norma serta sanksi-sanksi sosial bagi para anggota masyarakat tersebut (Coleman,
1999).
Namun demikian Fukuyama (1995, 2000) dengan tegas menyatakan, belum tentu
norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dipedomi sebagai acuan bersikap, bertindak dan
bertingkah laku itu otomatis menjadi modal sosial. Akan tetapi hanyalah norma-norma dan
nilai-nilai bersama yang dibangkitkan oleh kepercayaan (trust). Dimana kepercayaan ini
adalah harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran dan perilaku kooperatif yang muncul
dari dalam sebuah komunitas masyarakat yang didasarkan pada norma-norma yang dianut
bersama oleh para anggotanya. Norma-norma tersebut bisa berisi pernyataan-pernyataan yang
berkisar pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan.
Dengan mendasarkan konsepsi-konsepsi di atas sebelumnya, maka dapat ditarik suatu
kesimpulan pengertian bahwa dimensi dari modal sosial adalah sebuah proses yang dimana
memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki
kualitas hidup kedepannya agar senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara
terus menerus kearah yang lebih baik lagi dari yang sebelumnya. Di dalam proses suatu
perubahan dan upaya dalam mencapai tujuan tersebut, masyarakat senantiasa terikat pada
nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini sebagai acuan dalam bersikap, bertindak dan
bertingkah laku serta berhubungan atau membangun jaringan dengan pihak lain.
Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan modal sosial antara lain: sikap yang
partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya
mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang mendukungnya. Unsur
lain yang memegang peranan penting adalah kemauan masyarakat untuk secara terus
dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Inilah bentuk dari jati diri modal sosial yang
sebenarnya yang mampu menopang kekuatan dalam kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena itu menurut Hasbullah (2006), dimensi inti dari modal sosial terletak
pada bagaimana kemampuan masyarakat untuk bekerja sama membangun suatu jaringan
guna mencapai tujuan bersama. Kerja sama tersebut diwarnai oleh suatu pola hubungan
timbal balik dan saling menguntungkan antara sesama individu yang dibangun di atas
kepercayaan dan ditopang oleh aturan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan
kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat proaktif membuat
jalinan hubungan di atas prinsip-prinsip sikap yang partisipatif, sikap yang saling
memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat
oleh nilai-nilai dan norma-norma yang mendukungnya.
2.1.2. Tipologi Modal Sosial
Para ahli yang memiliki perhatian terhadap modal sosial pada umumnya tertarik untuk
mengkaji kedekatan kaitan hubungan sosial dimana sebuah kelompok masyarakat terlibat
didalamnya, terutama kaitannya dengan pola-pola interaksi sosial atau hubungan sosial antar
anggota masyarakat atau kelompok dalam suatu kegiatan sosial. Cara dan ciri perbuatan dari
keanggotaan dan aktivitas mereka dalam suatu hubungan sosial merupakan hal yang selalu
menarik untuk dikaji.
Dimensi lain yang juga sangat menarik perhatian adalah yang berkaitan dengan
tipologi modal sosial, yaitu bagaimana perbedaan pola-pola interaksi berikut konsekuensinya
antara modal sosial yang berbentuk terikat (bonding/exclusive) atau menjembatani
(bridging/inclusive). Keduanya memiliki pengertian, pemahaman dan implikasi yang berbeda
pada hasil-hasil yang dapat dicapai dan pengaruh-pengaruh yang dapat muncul dalam sebuah
(a) Modal Sosial Terikat (Bonding Social Capital)
Modal sosial terikat adalah modal sosial yang cenderung bersifat eksklusif
(Hasbullah, 2006), dimana yang menjadi karakteristik dasar, ciri khas, konteks ide, relasi dan
perhatian pada tipologi ini adalah lebih berorientasi ke dalam (inwardlooking) dibandingkan
dengan berorientasi keluar (outward looking). Beraneka ragam masyarakat yang menjadi
anggota kelompok ini pada umumnya serba sama (homogeneous) atau cenderung bersifat
homogen.
Di dalam bahasa lain bonding social capital ini dikenal pula sebagai ciri dari
masyarakat yang memeiliki aturan atau tempat keramat yang dianggap suci dan harus
senantiasa dipatuhi dan dijaga nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Menurut Putnam
(1993), pada masyarakat sacred society dogma tertentu mendominasi dan mempertahankan
struktur masyarakat yang bersangkutan dengan pemerintah setempat, hierarkis dan tertutup.
Di dalam pola interaksi sosial sehari-hari selalu dituntun oleh nilai-nilai dan norma-norma
yang menguntungkan level tingkatan kedudukan kelompok tertentu dan feodal. Hasbullah
(2006) menyatakan, pada mayarakat yang bonded atau inward looking maupun sacred,
meskipun hubungan sosial yang tercipta memiliki tingkat kaitan satu sama lain yang kuat,
akan tetapi kurang merefleksikan kemampuan masyarakat tersebut untuk menciptakan dan
memiliki modal sosial yang kuat. Kekuatan yang tumbuh sekedar dalam batas kelompok
dalam keadaan dan kondisi tertentu, struktur tingkatan kedudukan yang feodal serta tingkatan
yang berkaitan satu sama lain yang bersifat terikat (bonding).
Secara umum gambaran pemahaman yang diatas akan lebih banyak membawa
pengaruh negatif dibandingkan dengan pengaruh positifnya. Kekuatan interaksi sosial
terkadang berkecenderungan untuk menjauhi, menghindar bahkan pada situasi yang luar
biasa mengandung unsur kebencian terhadap masyarakat lain yang di luar dari kelompok
upaya pembangunan masyarakat di negara-negara berkembang saat ini, mengidentifikasi dan
mengetahui secara teliti tentang kecenderungan dan konfigurasi modal sosial di
masing-masing daerah menjadi salah satu kebutuhan utama.
Dapat ditarik suatu asumsi hubungan bahwa terdapat kekeliruan jika pada masyarakat
tradisonal yang socially inward looking kelompok-kelompok masyarakat yang terbentuk
dikatakan tidak memiliki modal sosial. Modal sosial itu ada, akan tetapi kekuatannya terbatas
pada satu dimensi saja, yaitu dimensi yang berkaitan satu sama lain dalam kelompok.
Keterkaitan satu sama lain dalam kelompok tersebut terbentuk karena adanya faktor keeratan
hubungan emosional ke dalam yang sangat kuat. Keeratan tersebut juga disebabkan oleh pola
nilai yang melekat dalam setiap proses hubungan interaksi yang juga berpola tradisional.
Kelompok tersebut juga kurang atau sama sekali tidak paham dengan prinsip-prinsip
kehidupan masyarakat modern yang mengutamakan efisiensi produktivitas dan kompetisi
yang dibangun atas prinsip pergaulan yang bersifat sederajat dan bebas. Konsekuensi lain
dari sifat dan tipologi ketertutupan sosial ini adalah sulitnya mengembangkan ide baru,
orientasi baru dan nilai-nilai serta norma baru yang memperkaya nilai-nilai dan norma yang
telah ada. Kelompok bonding social capital yang terbetuk pada akhirnya memiliki resistensi
kuat terhadap perubahan. Pada situasi tertentu, kelompok masyakakat yang demikian bahkan
akan menghambat hubungan yang kreatif dengan negara, dengan kelompok masyarakat lain,
serta menghambat pembangunan masyarakat itu sendiri secara keseluruhan.
Dampak negatif lain yang sangat menonjol di era moderen ini adalah masih kuatnya
dominasi kelompok masyarakat bonding social capital yang mewarnai kehidupan masyarakat
atau bangsa (Putnam, dkk: 1993). Konsekuensi yang kuat pula akan tingkat akomodasi
masyarakat terhadap berbagai perilaku penyimpangan yang dilakukan oleh anggota
(b) Modal Sosial yang Menjembatani (Bridging Social Capital)
Menurut Hasbullah (2006), bentuk modal sosial yang menjembatani ini ini biasa juga
disebut bentuk moderen dari suatu pengelompokan, group, asosiasi atau masyarakat.
Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada Prinsip-prinsip-Prinsip-prinsip universal tentang;
persamaan, kebebasan serta nilai-nilai yang terdiri dari beberapa bagian dan merupakan
kesatuan (kemajemukan) dan sifat kemanusiaan (humanitarian) yang terbuka dan mandiri.
Prinsip persamaan, bahwasannya setiap anggota dalam suatu kelompok masyarakat
memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama. Setiap keputusan kelompok pada dasarnya harus
berdasarkan kesepakatan yang sederajat dari setiap anggota kelompok. Pimpinan kelompok
masyarakat hanya menjalankan kesepakatan-kesepakatan yang telah ditentukan oleh para
anggota kelompok. Prinsip kebebasan, bahwasannya setiap anggota kelompok bebas
berbicara, mengemukakan pendapat dan ide yang dapat mengembangkan kelompok tersebut.
Suasana kebebasan yang tercipta memungkinkan ide-ide kreatif muncul dari dalam tubuh
kelompok, yaitu dari beragam pikiran anggotanya yang kelak akan memperkaya ide-ide
kolektif yang tumbuh dalam kelompok tersebut.
Prinsip kemajemukan dan humanitarian yang pada dasar bahwasannya nilai-nilai
kemanusiaan, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain yang
merupakan prinsip dasar dalam pengembangan asosiasi, group, kelompok suatu masyarakat.
Maksud kuat untuk membantu orang lain, merasakan penderitaan orang lain, memahami
perasaan dan situasi yang dihadapi oleh orang lain merupakan dasar-dasar ide humanitarian.
Sebagai konsekuensinya, masyarakat yang menyandarkan pada bridging social
capital biasanya cenderung bersifat berlainan jenis (heterogen) dari berbagai ragam unsur
latar belakang budaya dan suku. Setiap anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk
membuat jaringan atau koneksi keluarkelompoknya dengan prinsip persamaan, kemanusiaan
berkembang dengan kemampuan menciptakan akses jaringan yang kuat, menggerakkan
identitas yang lebih luas dan hubungan timbal balik yang lebih variatif serta akumulasi ide
yang lebih memungkinkan untuk berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan
yang lebih diterima secara universal.
Bila dibandingkan dengan Coleman (1999), tipologi masyarakat bridging social
capital dalam gerakannya lebih memberikan tekanan pada dimensi berjuang untuk (fight for).
Yaitu mengarah kepada pencarian jawaban bersama untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi oleh suatu kelompok (pada situasi tertentu, termasuk problem di dalam kelompok
atau problem yang terjadi di luar kelompok tersebut). Pada keadaan tertentu jiwa gerakan
lebih diwarnai oleh semangat berjuang melawan (fight against) yang bersifat memberi
perlawanan terhadap ancaman berupa kemungkinan runtuhnya simbul-simbul dan
kepercayaan-kepercayaan tradisional yang dianut oleh kelompok masyarakat. Pada kelompok
masyarakat yang demikian ini, perilaku kelompok yang dominan adalah sekedar pengertian
dan perasaan kesetiakawanan (solidarity making).
Bentuk modal sosial yang menjembatani (bridging capital social) umumnya mampu
memberikan kontribusi besar bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan masyarakat.
Hasil-hasil kajian di banyak negara menunjukkan bahwa dengan tumbuhnya bentuk modal sosial
yang menjembatani ini memungkinan perkembangan di berbagai dimensi kehidupan,
terkontrolnya korupsi, semakin efisiennya pekerjaan-pekerjaan pemerintah, mempercepat
keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan, kualitas hidup manusia akan meningkat dan
bangsa menjadi jauh lebih kuat (Suparman, 2012).
Terdapat perbedaan pola-pola interaksi berikut konsekuensinya antara modal sosial
yang berbentuk terikat (bonding/exclusive) atau menjembatani (bridging/inclusive).
yang dapat dicapai dan pengaruh-pengaruh yang dapat muncul dalam sebuah proses
kehidupan dan pembangunan masyarakat yang dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1
Modal Sosial Terikat dan Modal Sosial Menjembatani
Sumber: Hasbullah (2006)
2.2. Elemen-Elemen Modal Sosial
Dilihat dari aspek sosiologis maka elemen-elemen modal sosial terdiri dari :
1. Jaringan Sosial (Social Networks)
Jaringan (network) diartikan sebagai berikut (1) adanya ikatan antar simpul (orang
atau kelompok) yang dihubungkan dengan media (media sosial). Hubungan ini diikat dengan
kepercayaan; (2) adanya kerja antar simpul (orang atau kelompok) yang melalui media
hubungan sosial menjadi satu kerjasama, bukan kerja bersama-sama; (3) seperti halnya
sebuah jaringan (yang tidak putus) kerja yang terjalin antar simpul itu pasti kuat menahan
beban bersama dan lebih banyak; (4) dalam kerja jaringan itu ada ikatan (simpul) yang tidak
dapat berdiri sendiri, malah kalau satu simpul saja putus, maka keseluruhan jaringan itu tidak
bisa berfungsi lagi, sampai simpul itu diperbaiki lagi. Semua simpul itu menjadi satu
kesatuan dan ikatan yang kuat; (5) media (benang dan kawat) dan simpul tidak dapat
Bonding Social Capital Bridging Social Capital
• Terikat/ketat, jaringan yang eksklusif.
• Perbedaan yang kuat antara orang kami dan orang luar.
• Hanya ada satu alternatif jawaban.
• Sulit menerima arus perubahan.
• Kurang akomodatif terhadap pihak luar.
• Mengutamakan kepentingan kelompok.
• Mengutamakan solidaritas kelompok
• Terbuka.
• Memiliki jaringan yang lebih fleksibel.
• Toleran.
dipisahkan. Atau antara orang-orang dan hubungannya tidak dapat dipisahkan; (6) ikatan atau
pengikat (simpul) dalam kapital sosial adalah norma yang mengatur dan menjaga bagaimana
ikatan dan medianya itu dipelihara dan dipertahankan (Lawang, 2004:50).
Jaringan sosial terjadi berkat adanya keterkaitan (connectedness) antara individu dan
komunitas. Keterkaitan terwujud di dalam beragam tipe kelompok pada tingkat lokal maupun
pada tingkat yang lebih tinggi. Jaringan sosial yang kuat antara sesama anggota dalam
kelompok, mutlak diperlukan dalam menjaga sinergi dan kekompakan. Apalagi jika
kelompok sosial kapital itu bentuknya kelompok formal.
Adanya jaringan-jaringan hubungan sosial antara individu dalam modal sosial
memberikan manfaat dalam konteks pengelolaan sumber daya milik bersama, karena hal
tersebut dapat mempermudah koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan yang bersifat
timbal balik, itulah yang dikatakan Putnam dalam Lubis (2001) tentang jaringan sosial
sebagai salah satu elemen dari modal sosial.
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa jaringan sosial merupakan media sosial
yang dimana menghubungkan dan mengikat antara individu dengan individu atau individu
dengan kelompok agar dapat berdiri dan menjadi satu. Melalui jaringan sosial sesama
individu atau kelompok akan saling tahu, saling menginformasikan sesuatu yang bermakna
dan menguntungkan, saling mengingatkan satu sama lain, saling bantu dalam melaksanakan
atau mengatasi suatu masalah.
2. Nilai dan Norma Timbal Balik
Setiap kehidupan sosial senantiasa ditandai dengan adanya aturan-aturan pokok yang
mengatur perilaku anggota-anggota masyarakat yang terdapat di dalam lingkungan sosial
tersebut. Dalam kehidupan manusia terdapat seperangkat pola hubungan yang tertata dengan
baik yang tidak disamai dengan mahluk lain. Pola-pola tersebut meliputi; (a) segala sesuatu
dalam realitas sosial tersebut; (b) Sesuatu yang menjadi pola-pola pedoman untuk mencapai
tujuan dari kehidupan sosial, yang didalamnya terdapat seperangkat perintah dan larangan
berikut sanksinya yang dinamakan sistem norma.
Nilai dan norma merupakan susunan imajinasi artinya sebuah susunan yang hanya ada
karena dibayangkan di dalam pikiran-pikiran dan banyak dipengaruhi oleh daya kreatif
mental. Nilai-nilai yang menjadi kesepakatan bersama di dalam kehidupan sosial adalah
konsep-konsep umum tentang sesuatu yang dicita-citakan, diinginkan atau dianggap baik.
Adapun norma merupakan penjabaran dari nilai-nilai secara terperinci ke dalam bentuk
pola-pola kehidupan sosial yang berisi perintah, anjuran dan larangan yang dijabarkan baik dalam
bentuk tata aturan yang bernilai informal maupun nonformal. Menurut lawang nilai adalah
gambaran mengenai apa yang diinginkan, pantas, berharga dan mempengaruhi perilaku sosial
dari orang yang memiliki nilai itu.
Norma tidak dapat dipisahkan dari jaringan dan kepercayaan, kalau struktur jaringan
itu terbentuk karena pertukaran sosial yang terjadi antar dua orang. Sifat norma adalah
muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan (Blau 1963 dan Fukuyama 2000), artinya
kalau dalam pertukaran itu keuntungan hanya dinikmati oleh salah satu pihak saja, pertukaran
sosial selanjutnya pasti tidak akan terjadi. Karena itu norma yang muncul bukan hanya satu
pertukaran saja. Kalau dari beberapa kali pertukaran prinsip saling menguntungkan dipegang
teguh, maka dari situlah muncul norma dalam bentuk kewajiban sosial, yang intinya
membuat kedua belah pihak merasa diuntungkan dari pertukaran, dengan demikian hubungan
pertukaran itu dipelihara (Blau dalam Lawang, 2004).
3. Hubungan antar Individu/Interaksi Sosial
Interaksi sosial merupakan suatu hubungan timbal balik antara individu dengan
individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok. Perilaku individu
sebagai interaksi sosial (Here dalam Outhwaite, 2008:397). Interaksi berarti semua kata,
simbol dan isyarat yang dipakai orang untuk saling merespon atau menanggapi suatu hal
yang saling berhubungan satu sama lain.
Teori pertukaran sosial (social exchange) menjelaskan interaksi sosial dalam bentuk
imbalan dan biaya. Teori ini lebih banyak berhubungan dengan interaksi dua orang. Interaksi
terjadi jika dua orang bertemu, kemudian ia saling menegur sapa, berjabat tangan saling
berbicara, bahkan sampai terjadi perkelahian, pertengkaran dan sebagainya. Interaksi sosial
merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial bahkan interaksi merupakan inti
dari suatu kehidupan sosial, artinya tidak ada kehidupan yang sesungguhnya apabila tidak ada
interaksi.
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis dan terjadinya
interaksi sosial adalah karena adanya kesadaran masing-masing pihak sehingga dari
kesadaran tersebut menyebabkan adanya perubahan-perubahan diantara mereka seperti reaksi
terhadap suatu bau keringat bau parfum atau kesan tentang diluar dirinya terhadap orang lain.
Jika dua orang saling mengadakan interaksi maka dalam proses sosial tersebut akan bertemu
dua kepribadian yang berbeda. Dalam proses interaksi sosial akan ditemukan kepentingan,
pemikiran, sikap, cara-cara bertingkah laku keinginan, tujuan dan sebagainya yang
dipertemukan dalam suatu wadah yang namanya komunitas sosial.
4. Kepercayaan (Trust)
Menurut Fukuyama (1995) kepercayaan adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah
masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur dan kerjasama berdasarkan
norma-norma yang dianut bersama. Menurut Cox (1995) bahwa dalam masyarakat yang
memiliki tingkat kepercayaan tinggi, aturan-aturan sosial cenderung bersifat positif,
hubungan-hubungan juga bersifat kerjasama. Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan
Kepercayaan/trust sebagai salah satu elemen paling penting dan pokok dalam modal
sosial, yang diartikan sebagai keyakinan atau juga rasa percaya. Rasa percaya ini mutlak
menyangkut akan orang, akan kelompok, akan keluarga, masyarakat bahkan negara.
(Lawang, 2004:36) menyebutkan bahwa inti kepercayaan antar manusia terdapat tiga hal
yang saling terkait yaitu; (a) Hubungan sosial antara dua orang atau lebih, termasuk dalam
hubungan ini adalah institusi yang dalam pengertian ini diwakili orang; (b) Harapan yang
akan terkandung dalam hubungan itu, yang kalau direalisasikan tidak akan merugikan salah
satu atau kedua belah pihak; (c) Interaksi sosial yang memungkinkan hubungan dan harapan
itu terwujud.
5. Institusi dan Asosiasi
Institusi adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga
masyarakat melakukan interaksi menurut pola-pola yang sudah terstruktur di dalam
masyarakat dalam sosiologi disebut pranata sosial, bangunan sosial atau lembaga
kemasyarakatan.
Dalam Bahasa Indonesia institusi adalah lembaga yang seringkali disamakan artinya
dengan konsep pranata atau institution. Padahal antara pranata dan lembaga memiliki
perbedaan yang tajam, yakni pranata adalah sistem norma atau aturan-aturan yang mengenai
aktivitas masyarakat khusus yang berupa perilaku yang diwujudkan dalam bentuk tingkah
laku, sedangkan lembaga atau institute adalah badan atau organisasi yang melaksanakan
aktivitas itu (Setiadi dan Kolip, 2010). Jika istilah lembaga diperhatikan lebih mendalam dan
dihubungkan dengan istilah kelompok atau perkumpulan, maka lembaga adalah perkumpulan
yang khusus.
Wadah sebagai tempat manusia beraktivitas dalam rangka hidup bersama adalah
lembaga atau institusi. Jadi lembaga bermanfaat bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan
yang kokoh, yang apabila dijalankan secara baik akan meringankan biaya pembangunan.
Selama ini kita sering salah kaprah terhadap peran uang dalam pembagunan pedesaan. Uang
memang dibutuhkan, tapi uang memberi sumbangan yang paling sedikit dalam memperbaiki
proses (Cernea, 1988). Penunjang berupa uang tidak pernah secara ampuh menggantikan
yang bukan uang. Variabel yang terlewatkan misalnya adalah variabel sosiobudaya dan
kelembagaan.
2.3. Potensi Modal Sosial
Kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerja sama
membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerja sama tersebut diwarnai
oleh suatu pola hubungan satu sama lain yang timbal balik dan saling menguntungkan
(resiprocity dan dibangun di atas kepercayaan (trust) yang ditopang oleh norma-norma dan
nilai-nilai sosial yang positif dan kuat (Hasbullah, 2006).
Kajian empiris tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan
dengan para perempuan manajer. Responden dalam penelitian tersebut adalah para
perempuan manajer di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kesuksesan perempuan manajer terkait dengan beberapa hal. Pertama, nilai-nilai
spiritual yang menjadi fondasi bisnis yang dijalankannya. Kedua, perempuan manajer
memiliki kemampuan komunikasi interpersonal yang baik. Ketiga, mereka memiliki
kemampuan menjaga hubungan dengan orang lain atau pelanggan. Hal keempat adalah
bahwa para perempuan manajer cenderung memiliki tingkat kepedulian sosial yang tinggi.
Mereka mempunyai naluri berempati dan bersimpati atas masalah-masalah yang dialami
orang lain. Secara umum potensi-potensi untuk peduli, bersimpati, berempati, bermultiperan,
berinteraksi dan berelasi dengan lingkungan merupakan potensi-potensi yang lebih dekat
dengan sosok perempuan. Potensi-potensi tersebut dikenal dengan istilah modal sosial. Modal
modal sosial seperti Coleman, Putnam, Fukuyama, Nahapiet dan Ghoshal menjelaskan bahwa
mereka yang memiliki modal sosial tinggi cenderung memiliki kinerja yang tinggi. Dalam
konteks di Indonesia, Djamaludin Ancok dan Wisnu Prajogo melihat bahwa modal sosial
yang tinggi konsisten meningkatkan kinerja.
Masyarakat bisnis melihat kemampuan, keterampilan dan sikap profesionalisme
menjadi hal yang lebih penting. Sesungguhnya, para perempuan manajer memiliki potensi
luar biasa yang tidak kalah dengan laki-laki untuk berperan menjadi manajer-manajer bisnis
yang handal. Dengan kekayaan modal sosial yang dimilikinya, perempuan manajer
berpotensi untuk semakin berperan dalam mengelola bisnis. Hal ini juga dimiliki oleh seluruh
individu baik yang bekerja dimanapun tak terkecuali buruh bangunan, yang diharapkan juga
mampu menciptakan dan mengembangkan sikap dan potensi modal sosial yang mereka
miliki.
2.4. Peranan Modal Sosial Dalam Pembangunan
Perkembangan paradigma dan teori pembangunan telah mengalami perubahan sejak
30 tahun lalu. Perubahan ini dipicu oleh ketidakpuasan pada perkembangan pembangunan di
banyak negara berkembang dan negara miskin di benua Asia dan Afrika. Paradigma
pembangunan yang ada sebelumnya telah menjerumuskan negara-negara tersebut dalam
kemiskinan akibat lemahnya kontrol negara terhadap pengaruh dan intervensi negara asing
dalam bidang perekonomian, perdagangan, industri, budaya dan politik yang berimbas pada
lemahnya kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah yang berpihak pada kepentingan
masyarakat.
Perubahan paradigma yang terjadi kemudian, banyak negara belum juga berdampak
positif bagi masyarakat. Upaya penanggulangan kemiskinan dan upaya membebaskan bangsa
dari keterbelakangan senantiasa tidak menghasilkan sesuatu yang optimal. Hal ini erat
mempengaruhi efisiensi dan efektivitas kebijakan. Kenyataan ini menumbuhkan kesadaran
akan pentingnya dimensi kultural dan pendayagunaan peran lembaga-lembaga yang tumbuh
dalam masyarakat untuk mempercepat dan mengoptimalkan proses-proses pembangunan.
Fukuyama (2002) misalnya menyebutkan faktor kultural, khususnya modal sosial menempati
posisi yang sangat penting sebagai faktor yang menentukan kualitas masyarakat (Inayah 2012
dalam Jurnal Pengembangan Humaniora hal 46-47).
2.4.1. Modal Sosial dan Pembangunan Manusia
Putnam dalam Hasbullah (2006) menyatakan bahwa bangsa yang memiliki modal
sosial tinggi cenderung lebih efisien dan efektif dalam menjalankan berbagai kebijakan untuk
mensejahterakan dan memajukan kehidupan rakyatnya. Modal sosial dapat meningkatkan
kesadaran individu tentang banyaknya peluang yang dapat dikembangkan untuk kepentingan
masyarakat.
Dalam konteks pembangunan manusia, modal sosial mempunyai pengaruh yang besar
sebab beberapa dimensi pembangunan manusia sangat dipengaruhi oleh modal sosial antara
lain kemampuan untuk menyelesaikan kompleksitas berbagai permasalahan bersama,
mendorong perubahan yang cepat di dalam masyarakat, menumbuhkan kesadaran kolektif
untuk memperbaiki kualitas hidup dan mencari peluang yang dapat dimanfaatkan untuk
kesejahteraan. Hal ini terbangun oleh adanya rasa saling mempercayai, kohesifitas, tindakan
proaktif, dan hubungan internal-eksternal dalam membangun jaringan sosial didukung oleh
semangat kebajikan untuk saling menguntungkan sebagai refleksi kekuatan masyarakat.
Situasi ini akan memperbesar kemungkinan percepatan perkembangan individu dan
kelompok dalam masyarakat tersebut. Bagaimanapun juga kualitas individu akan mendorong
peningkatan kualitas hidup masyarakat itu berarti pembangunan manusia paralel dengan
2.4.2. Modal Sosial dan Pembangunan Sosial
Masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi akan membuka kemungkinan
menyelesaikan kompleksitas persoalan dengan lebih mudah. Dengan saling percaya,
toleransi, dan kerjasama mereka dapat membangun jaringan baik di dalam kelompok
masyarakatnya maupun dengan kelompok masyarakat lainnya.
Masyarakat tradisional diketahui memiliki asosiasi-asosiasi informal yang umumnya
kuat dan memiliki nilai-nilai, norma, dan etika kolektif sebagai sebuah komunitas yang saling
berhubungan. Hal ini merupakan modal sosial yang dapat mendorong munculnya
organisasi-organisasi modern dengan prinsip keterbukaan, dan jaringan-jaringan informal dalam
masyarakat yang secara mandiri dapat mengembangkan pengetahuan dan wawasan dengan
tujuan peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup bersama dalam kerangka pembangunan
masyarakat.
Berkembangnya modal sosial di tengah masyarakat akan menciptakan suatu situasi
masyarakat yang toleran, dan merangsang tumbuhnya empati dan simpati terhadap kelompok
masyarakat di luar kelompoknya. Hasbullah (2006) memaparkan mengenai jaringan-jaringan
yang memperkuat modal sosial akan memudahkan saluran informasi dan ide dari luar yang
merangsang perkembangan kelompok masyarakat. Hasilnya adalah lahirnya masyarakat
peduli pada berbagai aspek dan dimensi aktifitas kehidupan, masyarakat yang saling memberi
perhatian dan saling percaya. Situasi yang mendorong kehidupan bermasyarakat yang damai,
bersahabat dan tenteram.
2.4.3. Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi
Modal sosial sangat tinggi pegaruhnya terhadap perkembangan dan kemajuan
berbagai sektor ekonomi. Fukuyama (2002) menunjukkan hasil-hasil studi di berbagai negara