• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Landasan Teori

2.2.3. Konsep Cold Chain System (CCS)

Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya bahwa ikan dikenal sebagai bahan pangan yang sangat mudah rusak jika dibandingkan dengan produk hewani lainnya. Ketika ikan mati, metabolismenya menjadi tidak terkendali. Enzim di dalam perut yang semula berfungsi mencerna makanan mulai menyerang bagian tubuh ikan, terutama berawal dari dinding perut. Proses itu disebut otolisis dan

akan mengakibatkan daging mulai menurun kesegarannya dan dapat menghasilkan senyawa-senyawa sederhana yang dimanfaatkan mikroorganisme, terutama bakteri pembusuk.

Demikian juga pada ikan yang sehat sekali pun banyak terkandung mikroorganisme, terutama di kulit permukaan (lendir), insang, dan sebagian di perut. Pada saat ikan mati, sistem pertahanan tubuh menjadi tidak bekerja sehingga mikroorganisme yang semula tidak berbahaya mulai menyerang tubuh ikan. Terlebih lagi ketika otolisis telah mencapai tahap lanjut, pertumbuhan

mikroorganisme akan semakin cepat dan menghasilkan senyawa yang membuat ikan menjadi busuk (menjadi lembek atau berair, berbau amis, dan berbau busuk). Jika ada bakteri penyebab penyalit, daging ikan dapat menjadi penyebab penyakit bagi manusia yang mengonsumsinya akibat bakterinya (infeksi) atau racun yang

dihasilkannya (intoksikasi).

Jika tidak ditangani dengan benar dan cepat Ikan akan terus menurun kesegarannya sejak mati dan akan mengarahkan pada kebusukan. Oleh karena itu, sebenarnya penurunan kesegaran atau kebusukan tidak dapat dihentikan total, kecuali memperlambat penurunan kesegaran sehingga kebusukan dapat ditunda.

Reaksi ensimatis atau aktivitas mikroorganisme itu sangat dipengaruhi suhu. Sampai pada batas tertentu, semakin tinggi suhu, semakin cepat laju reaksi enzimatis dan aktivitas mikroorganisme. Berdasrkan hasil penelitian para ahli diketahui pula, setiap kenaikan suhu sebesar 5ºC, laju pembusukan akan meningkat sebesar dua kali. Sebaliknya apabila terjadi penurunan suhu 5ºC maka laju penurunan mutu menurun juga dua kali lipat. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk memprtahankan kesegaran ikan adalah dengan menekan laju reaksi enzimatis dan aktivitas mikroorganisme, yaitu dengan menurunkan suhu serendah mungkin, biasanya mendekati suhu cair es, yaitu sekitar 0ºC.

Gambar 3. Proses Pembekuan Udang

Untuk menghentikan aktivitas mikroorganisme sama sekali, ikan dapat pula dibekukan dan disimpan pada suhu sampai dengan -45ºC. Pada suhu itu, reaksi enzimatis dan aktivitas mikroorganisme praktis berhenti, bahkan hampir semua mikroorganisme mati. Dengan demikian, daya simpannya akan lebih panjang lagi, tetapi beberapa sifat dagingnya akan terpengaruhi. Kegiatan proses penangan ini lazim disebut dengan pembekuan.

Di dalam proses pengolahan ikan, kesegaran ikan adalah mutlak. Jika ikan sebagai bahan baku sudah tidak segar lagi, sebaik apa pun proses pengolahannya tidak akan menghasilkan produk yang baik sehingga nilai tambah yang diperoleh pun tidak optimal. Di samping itu, kesegaran ika pun sangat berpengaruh terhadap keamanan konsumsinya. Salah satu contoh yang sering digunakan untuk menggambarkan hubungan antara kesegaran ikan dan keamanan konsumsi adalah keracunan karena mengkonsumsi ikan jenis scombroid (tuna, tongkol, kembung,

Teknologi yang sudah banyak diterapkan untuk mendinginkan ikan adalah pembekuan dengan es (icing), yaitu mencampur ikan dan es dengan proporsi 1: 2.

Untuk perikanan tangkap, cara itu harus dilakukan sejak ditangkap dan dimasukkan ke kapal. Artinya, es mutlak harus dibawa saat nelayan berangkat melaut. Kapal besar dan modern biasanya punya unit pendinginan (bahkan unit pembekuan) sehingga tidak harus membawa es dari darat.

Agar sistem rantai dingin dapat berjalan dengan baik, sarana untuk mempertahankan suhu ikan agar tetap di bawah 4ºC mutlak adanya. Sarana itu meliputi palka berinsulasi, kotak pendingin (cool box), pemecah es, sarana

distribusi berpendingin, sarana pengeceran, dan sebagianya. Kebutuhan itu sulit dihitung secara detil, tetapi pasti memerlukan investasi yang tidak sedikit.

Susut hasil dalam penanganan ikan tidak selalu akibat tidak tersedianya es, tetapi akibat lain yang kadang tidak bersifak teknis. Berdasarkan defenisi sistem rantai dingin sebelumnya, penyediaan sarana dan prasarana pendinginan tidak serta merta menjamin berjalannya sistem. Ada prasyarat lain yang harus dipenuhi, yaitu adanya prosedur baku yang harus ditaati berupa Praktek Penanganan Ikan yang Baik (GHP, Good Handling Practices). Beberapa prinsip utama GHP, antara

lain cepat, cermat dan bersih.

Hal ini sesuai dengan konsep CCS yang disarankan oleh pemerintah dimana jenis sarana dan prasarana CCS yang sebaiknya tersedia di setiap tahap penanganan ikan antara lain:

1. Di atas kapal: cool box (kapal 5-10 GT), palkanisasi (kapal 10-20 GT),

2. Di Tambak/Kolam Ikan: tempat/ruang penanganan ikan (handling space),

trays/ keranjang, cool box, air bersih, ice storage, ice crusher dan sarana

sanitasi dan higiene.

3. Di TPI/PPI: trays/keranjang, kereta dorong, pabrik es skala kecil (mini ice

plant), ice crusher, ice storage, kereta dorong, air bersih, sarana sanitasi dan

hygiene, cool box dan cold storage.

4. Di UPI SKM: freezer, cold storage, cool room, ice crusher, ice storage,

trays/keranjang dan sarana sanitasi dan higiene

5. Distribusi dan Transportasi CCS: truk berrefrigerasi (refrigerated truck),

Truk berinsulasi (insulated truck), mobil angkut pick up, sepeda motor

dilengkapi box berinsulasi, becak dilengkapi box berinsulasi, cool box,

trays/keranjang dan sarana sanitasi dan higiene.

6. Di Pasar Hygienis dan Tradisional: showcase, cool box, trays/keranjang, ice

tube/ice flake, air bersih serta sarana sanitasi dan hygiene.

Selain itu, faktor ketidakpastian mengakibatkan tidak semua nelayan membawa es dalam jumlah besar karena, selain memakan tempat di palka, hal itu perlu biaya tinggi. Praktek yang sering dilakukan adalah mengawetkan ikan hasil tangkapan awal dengan garam dan hanya menggunakan es untuk tangkapan akhir menjelang pendaratan. Penanganan seperti itu membuat ikan tangkapan awal keadaan fisiknya sudah tidak bagus karena tergencet tangkapan berikutnya dan pada akhirnya harus dilelang sebagai bahan baku ikan asin dengan harga yang tidak tinggi.

Penggunaan es untuk mengawetkan tangkapan akhir menunjukkan, sebenarnya nelayan sadar bahwa es dapat mempertahankan kesegaran ikan dan

pada saat lelang akan mendapatkan harga tinggi. Beberapa nelayan demersal dengan hasil tangkapan ikan kakap ternyata melakukan pembekuan dengan es terhadap hasil tangkapannya dengan benar karena mereka mengetahui ikan kakap tangkapan mereka akan dihargai sangat tinggi dalam keadaan segar.

Di pelelangan, GHP belum diterapkan dengan benar meskipun sarana dan prasaranannya telah dilengkapi. Itu kembali menunjukkan betapa sikap atau

attitude pelaku perikanan kita, termasuk pengelola pelelangan, belum tepat dalam

menangani ikan hasil tangkapannya.

Kedua contoh itu memperlihatkan berapa ketersediaan es saja tidak cukup untuk mempertahankan kesegaran ikan yang didaratkan. Ada faktor lain yang harus dicermati, yaitu kedisiplinan para pelaku dalam menerapkan GHP yang ternyata masih sangat kurang walaupun sejumlah Petunjuk Teknis atau Praturan Menteri terkait dengan itu sudah banyak diterbitkan dan disosialisasikan. Selain itu, pngakan aturan masih merupakan salah satu titik lemah. Itu menjadi tantangan bagi pemerintah atau para pemangku kepentingan untuk mengatasinya. Hasil investigasi tim Uni Eropa berdasarkan pada dua kali peninjauan lapangan (April 2004 dan September 2005) untuk mendukung kenyataan itu. Salah satu temuan mereka adalah tidak bagusnya praktem penanganan ikan selama di atas kapal, saat pelelangan, atau di unit pengolahan, serta kurangnya kendali aparat. Tidak heran jika kemudian Uni Eropa melalui CD (Council Directive) No. 236 tahun 2006

baru-baru ini memberlakukan Systematic Border Control terhadap produk

perikanan Indonesia. Salah satunya terhadap kandungan histamin sebagai indikator kesegaran ikan scombroid.

Melihat kenyataan di lapangan dan pemberlakuan Systematic Border

Control, harus segera diambil langkah untuk memperbaiki penerapan sistem rantai

dingin di lapangan. Langkah yang harus diambil merupakan komitmen bersama dan serentak (cencerted efforts) antara pemerintah dan pelaku usaha, termasuk

kelompok nelayan dan asosiasi. Oleh karena tingginya investasi yang dibutuhkan untuk penerapan sistem rantai dingin, pemerintah dan dunia usaha harus bahu- membahu mengadakannya. Aturan yang telah dibuat harus segera dikuatkan penerapannya di lapangan. Selain itu, fasilitas dari pemerintah seperti pelatihan, sosialisasi petunjuk teknis, dan sejenisnya harus sesering mungkin dilaksanakan. Penyediaan es murah merupakan salah satu alternatif yang dapat diambil pemerintah untuk merangsang penggunaan es lebih baik lagi.

Dokumen terkait