• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ada beberapa konsep dasar yang berkaitan dengan pembahasan dalam tesis ini yang perlu diuraikan. Konsep-konsep dasar ini kemudian dijadikan sebagai definisi operasional yang merepresentasikan cakupan pembahasan. Di samping itu, konsep- konsep dasar yang diberikan akan dijadikan penegasan atas beberapa ide yang

berkaitan dengan penelitian dalam tesis ini. Konsep-konsep dasar yang dimaksud

adalah (1) Teori penerjemahan; (2) konsep dan teks; dan (3) tenor of discourse

(pelibat wacana).

2.1.1 Teori Penerjemahan

2.1.1.1 Defenisi Penerjemahan

Pada penelitian ini perlu dibedakan antara kata „translasi‟ dan „penerjemahan‟. Kata „penerjemahan‟ mengandung pengertian proses alih pesan, sedangkan kata „translasi‟ sebagai padanan kata translation artinya hasil dari suatu penerjemahan (Nababan, 2003:18). Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan istilah translasi untuk hasil penerjemahan dan istilah penerjemahan untuk proses alih pesan dalam translasi.

Selanjutnya Machali (2000: 9) menyatakan bahwa pembedaan antara produk dan proses ini penting sekali dalam kegiatan penerjemahan. Apabila kita melihat penerjemahan sebagai proses, berarti kita meniti jalan yang dilalui oleh penerjemah untuk sampai pada hasil akhir. Hal ini berarti bahwa kita melihat tahap-tahap apa saja yang harus dilalui seorang penerjemah, prosedur apa yang dilaluinya, metode yang digunakan, dan mengapa ia memilih suatu istilah tertentu untuk menerjemahkan suatu konsep dan bukannya memilih istilah lain yang sama maknanya, dan sebagainya. Semuanya ini tentunya tidak diketahui oleh pembaca hasil terjemahan.

Menerjemahkan pada dasarnya adalah mengubah suatu bentuk menjadi bentuk lain (Larson, 1984:3). Dalam hal ini, bentuk lain yang dimaksud dapat berupa bentuk bahasa sumber atau bahasa sasaran. Misalnya jika kita menerjemahakan kata

Indonesia (seterusnya Ind) saya ke dalam bahasa Ind, maka bentuk yang dapat

dipakai untuk menerjemahkannya adalah aku. Selanjutnya jika kita

menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris (seterusnya Ing) maka terjemahannya adalah I.

Contoh terjemahan kata saya di atas memperlihatkan bahwa menerjemahkan dapat dilakukan dalam bahasa yang sama (intralingual), misalnya dari bahasa Ind ke bahasa Ind, atau dari satu bahasa ke bahasa lain (interlingual), misalnya dari bahasa Ind ke bahasa Ing atau sebaliknya. Apabila kita ingin menerjemahkan teks dari bahasa Ind ke dalam bahasa Ing, maka dalam hal ini bahasa Ind disebut sebagai

bahasa sumber (source language) (seterusnya disingkat dengan BSu) dan bahasa Ing

disebut sebagai bahasa sasaran (target atau receptor language) (seterusnya disingkat

dengan BSa). Sebaliknya bila kita berangkat dari bahasa Inggris, maka bahasa sumber kita adalah bahasa Ing dan bahasa sasaran kita yaitu bahasa Ind.

Dalam menerjemahkan, seseorang dituntut untuk memiliki penguasaan linguistik kedua bahasa yakni BSu dan BSa. Selain itu seorang penerjemah juga dituntut menguasai perbedaan dan persamaan budaya. Dengan kata lain, seorang penerjemah idealnya bukan hanya seorang yang bilingual tetapi juga bicultural (Lubis, 2009: 39).

Kemudian, ada paling sedikit empat kelompok besar aturan berbahasa yang perlu diperhatikan untuk mencapai kewajaran dalam penerjemahan, yaitu aturan gramatikal, aturan kolokasi, aturan fonologi, dan aturan tatakrama berbahasa. Di sini menerjemahkan dapat diartikan mengalihkan makna yang terdapat dalam BSu ke dalam BSa dan mewujudkannya kembali di dalam BSa dengan bentuk-bentuk yang sewajar mungkin menurut aturan-aturan yang berlaku dalam BSa. Jadi yang dialihkan

adalah makna bukan bentuk. Contohnya terjemahan bahasa Ing Don’t mention it

sebagai jawaban atas Thank you bukanlah jangan menyebutnya atau jangan

sebutkan itu, akan tetapi terima kasih kembali atau sama-sama. Kewajaran menurut BSa harus diusahakan agar pembaca hasil terjemahan tidak menyadari bahwa dia sedang membaca suatu terjemahan. Jadi, teks terjemahan yang dibacanya itu aslinya seolah-olah ditulis di dalam BSa. Mengenai kewajaran bentuk terjemahan yang dimaksudkan di sini sesuai dengan kutipan dari Finlay dalam Simatupang

(1999:3) berikut ini: “Ideally, the translation should give the sense of of the original

in such a way that the reader is unaware that he is reading a translation”.

Selanjutnya banyak pakar penerjemahan yang mengemukakan definisi penerjemahan, antara lain:

1. Nida dan Taber (1982:12) say that translating consists in reproducing in the

receptor language the closest natural equivalence of a source language message, firstly in terms of meaning and secondly in terms of style. Dalam hal ini, Nida dan Taber menyatakan bahwa “menerjemahkan adalah proses untuk menghasilkan padanan alamai yang paling mendekati dari pesan bahasa sumber (BSu) ke dalam

bahasa sasaran (BSa), pertama pada tingkat makna dan kedua pada tingkat gaya. Menurut mereka penerjemah harus menggunakan padanan alami terdekat baik dalam arti maupun dalam gaya bahasa penerima. Dengan kata lain, hasil terjemahan jangan sampai terdengar seperti terjemahan, tetapi juga tidak melenceng dari makna bahasa sumber (BSu)

2. Catford (1965:20) states that translation may be defined as follows: the

replacement of textual material in one language (Source Language) by equivalent textual material in another language (Target Language). Di sini Catford menyatakan bahwa translasi (penerjemahan) dapat didefinisikan sebagai penggantian bahan tekstual dalam satu bahasa (bahasa sumber/BSu) dengan bahan tekstual bahasa lain (bahasa sasaran/BSa) yang sepadan.

3. Larson (1984: 3) says that translation consists of translating the meaning of the

source language into the receptor language. This is done by going from the form of the first language to the form of a second language by way of semantic structure. It is meaning which is being transferred and must be held constant. Only the form changes. Larson dalam hal ini menyatakan bahwa “penerjemahan meliputi kegiatan menerjemahkan BSu ke dalam BSa, yaitu dimulai dari bentuk bahasa pertama menuju bentuk bahasa kedua dengan menggunakan struktur semantik. Dalam hal ini, maknalah yang dialihkan dan harus dipegang teguh. Hanya bentuknya yang berubah”.

4. Newmark (1981: 7) says that translation is a craft consisting in the attempt to

and/or statement in another language.Di sini menurut Newmark “terjemahan yaitu suatu keahlian yang meliputi usaha mengganti pesan atau pernyataan tertulis dalam suatu bahasa dengan pesan atau pernyataan yang sama dalam bahasa lain”.

5. Brislin (1976), translation is the general term referring to the transfer of thoughts

and ideas from one language (source) to another (target), whether the languages are in written or oral form; whether the languages have established ortographies or do not have such standardization or whether one or both languages is based on signs, as with sign languages of the deaf. Dalam hal ini Brislin mengemukakan

bahwa “Terjemahan adalah istilah umum yang mengacu pada pengalihan pikiran

dan ide dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, baik bahasa tulis atau lisan;baik salah satu atau keduanya membentuk ortografi atau tidak mempunyai standar seperti itu; atau baik salah satu atau keduanya berbentuk tanda, seperti bahasa orang tuli.”

2.1.1.2Kesepadanan dalam Penerjemahan

Konsep kesepadanan dalam penerjemahan telah banyak diperbincangkan oleh pakar Konsep kesepadanan yang lebih terperinci dikemukakan oleh Baker (1992). Dia melihat pengertian kesepadanan dalam berbagai tataran dan hubungannya dengan proses penerjemahan. Baker (1992), menjelaskan bahwa kesepadanan meliputi kesepadanan leksikal, gramatikal, tekstual, dan pragmatis.

Masalah kesepadanan juga terjadi pada tataran gramatikal karena setiap bahasa mempunyai kaidah gramatikal khas. Menurut Baker, perbedaan itu dapat

mengakibatkan perubahan bentuk pada saat pengalihan pesan. Perbedaan kaidah gramatikal terdapat dalam jumlah, gender, persona, kala, aspek, dan kalimat aktif- pasif. Oleh karena itu, kaidah gramatikal BSu tidak dapat dipaksakan ke dalam TSa. Jika tetap dipaksakan, terjemahannya menjadi tidak wajar dan pesan dalam Tsu tidak

dapat dialihkan dengan baik ke dalam Tsa. Dalam contoh penerjemahan conflict

resolution menjadi resolusi konflik, struktur frasa MD dalam BSu disesuaikan dengan

struktur dalam BSa menjadi DM. Tidak hanya itu, pronomina he atau she dalam TSu

diterjemahkan menjadi dia karena kaidah BSa tidak mengenal perbedaan gender.

Selain itu ada juga yang disebut dengan kesepadanan harfiah, idiomatis, kesepadanan leksikal dan kesepadanan makna. Kesepadanan harfiah yang dapat terlihat dalam penerjemahan harfiah yaitu penerjemahan yang lepas konteks. Dalam hal ini, unsur-unsur bahasa yang ada pada teks bahasa sumber (BSu) diterjemahkan tanpa mengaitkannya dengan konteks, dan mempertahankan struktur BSu. Kesepadanan Idiomatis yang kerap kali disamakan dengan jenis penerjemahan Idiomatis adalah penerjemahan yang terikat konteks. Seluruh unsur bahasa yang ada diterjemahkan berdasarkan makna pada konteksnya dengan mengacu pada bentuk atau struktur BSa. Penerjemahan jenis ini hampir sama dengan kesepadanan makna yang dikemukakan oleh Mildred Larson yang berlandaskan kepada tiga jenis makna seperti makna referensial, makna konteks linguistik, dan makna situasional. Sementara kesepadanan leksikal adalah jenis kesepadanan yang sulit atau bahkan tidak mungkin ditemukan dalam dua bahasa. Hal ini disebabkan karena bahasa

merupakan cerminan budaya dan budaya merupakan ciri pembeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lain (Galingging, 1999: 33).

2.1.1.3Pergeseran dalam Penerjemahan

Konsep pergeseran yang dipakai dalam penelitian ini adalah konsep pergeseran menurut Catford karena dipandang konsep Catford dapat menjawab pergeseran-pergeseran yang muncul dalam penerjemahan tenor (pelibat wacana). Catford (1965:20) menegaskan konsep pergeseran bisa dilihat dari dua perspektif yang berbeda tentang translasi: (1) translasi sebagai produk, (2) translasi sebagai suatu proses. Sebagai produk, konsep pergeseran formal identik dengan konsep pergeseran yang mengacu pada suatu peristiwa atau keadaan di mana sebuah padanan di seleksi dari bahasa sasaran dalam proses penerjemahan tidak menunjukkan kesejajaran bentuk teks (unit, struktur, ataupun kelas) dalam bahasa sumber. Sebagai suatu proses, pengertian pergeseran formal sejajar dengan istilah transposisi (transposition) yang dikemukakan oleh Newmark (1988) yaitu suatu cara atau prosedur penerjemahan melalui perubahan bentuk gramatikal dari bahasa sumber ke dalam bahasa target.

Catford (1965:73-82) membedakan pergeseran dalam translasi ke dalam dua jenis sebagai-berikut.

(1) level shift yang muncul di permukaan dalam bentuk item bahasa sumber pada level linguistik tertentu mempunyai padanan dalam level yang berbeda. Misalnya, tataran gramatika berpadanan dengan leksis.

(2) category shift yaitu suatu istilah generik yang mengacu pada pergeseran yang mencakup empat kategori sebagai berikut:

a. structure-shifts, yakni pergeseran struktur yang menyangkut perubahan gramatikal antara struktur bahasa sumber dan sasaran.

b. class-shifts, yakni pergeseran kelas bila kata dalam bahasa sumber dipadankan dengan bahasa sasaran mempunyai kelas gramatikal yang berbeda.

c. unit-shifts, yakni pergeseran unit yang menyangkut perubahan „rank‟ misalnya dari kata diterjemahkan menjadi frasa.

d. intra-system-shifts, yakni pergeseran intra sistem yang terjadi bila secara formal bahasa sumber dan target mempunyai kondisi yang kelihatannya sejajar tetapi secara konstituen mempunyai perbedaan. Misalnya, bentuk tunggal dalam bahasa sumber menjadi bentuk jamak dalam bahasa sasaran.

2.1.1.4Terjemahan Film Berbahasa Asing

Film menurut sumber data yang diperoleh dari internet adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di dunia para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar =

citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera (http://bahasfilmbareng.blogspot.com/).

Film dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk fantasi dan figur palsu) dengan kamera, dan/atau oleh animasi. Kamera film menggunakan pita seluloid (atau sejenisnya, sesuai perkembangan teknologi). Butiran silver halida yang menempel pada pita ini sangat sensitif terhadap cahaya. Saat proses cuci film, silver halida yang telah terekspos cahaya dengan ukuran yang tepat akan menghitam, sedangkan yang kurang atau sama sekali tidak terekspos akan tanggal dan larut bersama cairan pengembang.

Definisi Film Menurut UU 8/1992, adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem Proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya.

Film atau dunia perfilman sangat berkembang pesat. Hal ini ditandai dengan banyaknya film yang beredar di masyarakat yakni baik film lokal maupun mancanegara (luar negeri). Film yang bermuatan luar negeri (mancanegara) seperti

film Amerika, Prancis, Korea, Jepang, dan sebagainya juga sudah banyak beredar di masyarakat dalam negeri (Indonesia). Hal ini disebabkan karena film-film tersebut sudah memiliki teks terjemahan atau yang kerap kali disebut sebagai subtitel (subtitle) dalam bahasa Indonesia. Dengan kata lain, banyak film asing yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya.

Film yang berbahasa asing umumnya diterjemahkan dengan dua cara, yaitu dengan dubbing (sulih suara) dan dengan subtitling (teks terjemahan yang tertulis di layar bagian bawah) (http://wikipedia.com/). Dalam hal ini, dubbing atau sulih suara adalah penggantian dialog pada media audio visual dalam bahasa sumber dengan dialog lisan dalam bahasa sasaran yang memerlukan penyesuaian gerakan bibir, jeda pembicaraan serta gerakan non verbal yang ada pada gambar visual. Sedangkan subtitling adalah terjemahan dialog pada media audio visual dalam bentuk tertulis yang biasanya ditayangkan pada layar bagian bawah.

Membuat teks terjemahan film bukanlah pekerjaan yang mudah karena profesi ini tidak sekedar mengalihbahasakan melainkan juga menjembatani dua budaya yang berbeda. Penerjemah harus paham terhadap film dan konteks yang akan diterjemahkan. Selain itu, ada banyak aturan yang harus diperhatikan sehingga teks tidak mengurangi kenikmatan penonton yang menyaksikan sebuah tayangan. Di samping itu, prinsip subtitling adalah membantu penonton memahami isi film, bukanlah membuat penonton sibuk membaca. Oleh sebab itu, bahasa subtitling

haruslah merupakan bahasa yang singkat, padat, dan tepat sasaran (http//bahasfilmbareng.blogspot.com/).

2.1.2 Hubungan Konteks dan Teks dalam Penerjemahan

Dalam melakukan kegiatan penerjemahan, teori bahasa dan linguistik umum tentu akan selalu digunakan. Hal ini didasarkan atas pendapat yang dikemukan

Catford (1965: 1) yang mengatakan bahwa: Translation is an operation performed on

languages: a process of substituting a text in one language for a text on another, translation must make use of a theory of language, general linguistic theory. Artinya adalah bahwa translasi atau penerjemahan merupakan sebuah proses yang dilakukan pada bahasa: yaitu sebuah proses perubahan teks dalam satu bahasa menuju teks bahasa lain, translasi pasti menggunakan teori bahasa dan teori linguistik umum.

Sementara itu, Halliday dan Hassan dan sejumlah pakar lainnya yang dikutip dalam Choliludin (2005: 16-41) berkenaan dengan hal di atas menjabarkan tentang teks dan konteks, mengemukakan bahwa cara memahami bahasa terletak pada kajian sebuah teks yang memiliki konteks di dalamnya. Maka dalam proses yang sama, konteks dan teks adalah aspek. Gagasan tentang sesuatu yang menyertai teks yang melewati batas yang dikaitkan dan ditulis meliputi non-verbal lain yang muncul dalam lingkungan total yang diungkap. Maka lingkungan total berlaku sebagai penghubung antara teks dan situasi, yaitu tempat teks yang sebenarnya muncul dan

dan Hassan (1985:13) secara sederhana mendefinisikan teks sebagai bahasa yang fungsional. Maksud fungsional di sini berarti bahasalah yang melakukan pekerjaan yang sama dalam suatu konteks dan bukan kata-kata atau kalimat yang terisolir yang mungkin dituliskan seseorang di atas papan tulis. Contoh bahasa sehari-hari yang memainkan peran yang sama dalam konteks situasi disebut teks. Teks tersebut bisa dalam bentuk teks lisan atau tulisan maupun dalam bentuk media ungkapan lainnya.

Oleh karena itu, sesorang tidak dapat begitu saja menganggap sebuah teori teks sebagai sebuah ekstensi teori gramatikal untuk menentukan jenis suatu teks. Menurut Halliday dan Hassan (1985: 14) karena hakekat teks sebagai entitas semantik, sebuah teks harus dipertimbangkan dari dua perspektif sekaligus, baik sebagai produk maupun sebagai sebuah proses.

Selain itu, teks menghasilkan sebuah makna yang berlaku sebagai hasil yang dapat direkam dan dipelajari dan memiliki konstruksi pasti yang dapat ditampilkan dalam bentuk sistematis. Selanjutnya, teks merupakan prosedur dalam substansi proses berkelanjutan yang mewakili lingkungan yang digunakan untuk perangkat berikutnya. Dengan demikian, perlulah memandang lebih jauh struktur, kata, dan teks sebagai proses dalam sebuah sistem yang menghubungkannya dengan bahasa secara bersama. Teks dalam aspek prosesnya, merupakan peristiwa interaktif yaitu sebuah pertukaran makna sosial.

Menurut Halliday dan Hassan (1985: 15), teks adalah sebuah bentuk pertukaran dan bentuk teks yang fundamental adalah dialog interaksi antar pembicara. Hal ini berarti bahwa setiap teks memiliki makna karena dapat dihubungkan dengan interaksi antar pembicara dan satu-satunya alat bagi percakapan umum sehari-hari yang spontan. Oleh sebab itu, teks merupakan produk lingkungan yang dapat diwakili dalam bahasa.

Kemudian untuk memahami jenis teks, seseorang harus terbiasa dengan ciri konteks situasi, yaitu konteks yang memiliki teks yang mengungkap dan memiliki lingkungan tempat makna itu dipertukarkan. Halliday dan Hassan (1985:16) mengajukan suatu prinsip yang dapat digunakan untuk memilih cara yang sesuai dalam menggambarkan konteks situasi sebuah teks. Adapun tiga variabel konteks situasi menurut Halliday dan Hassan yaitu:

1.Field of Discourse

Merupakan istikah abstrak bagi pernyataan „apa yang sedang terjadi‟ yang mengacu pada pilihan substansi linguistik si pembicara. Pilihan linguistik yang berbeda dibuat oleh pembicara yang berbeda tergantung pada jenis tindakannya, selain tindakan berbicara langsung yang mereka pandang sendiri saat ikut andil di dalamnya. Misalnya: pilihan linguistik akan beragam menurut andil pembicara masing-masing apakah ikut dalam pertandingan sepak bola atau membahas tentang

sepak bola, berpidato politik atau membahas tentang politik, melakukan operasi atau membahas tentang obat-obatan.

2.Tenor of Discourse

Tenor of discourse adalah istilah abstrak untuk hubungan antara orang-orang yang ikut andil dalam berbicara. Bahasa yang digunakan orang beragam tergantung pada jenis hubungannya, seperti hubungan interpersonal antara ibu dan anak, dokter dan pasien, atau derajat orang atas dan yang rendah. Seorang pasien tidak akan memakai kata sumpah serapah untuk menyebut seorang dokter di hadapannya dan seorang ibu tidak akan memulai permintaan pada anaknya dengan mengatakan, “Maaf, apakah bisa kalau kamu...”

Menerjemahkan tenor of discourse secara benar dalam terjemahan dapat

cukup menyulitkan. Hal ini tergantung pada apakah seseorang itu memandang tingkat formalitas tertentu sebagai hal yang benar dari sudut pandang budaya bahasa sumber (BSu) atau dari sudut pandang budaya bahasa sasaran (BSa). Misalnya: seorang anak remaja Amerika boleh menggunakan tenor yang sangat informal dengan orang tuanya dengan menggunakan nama depan dan bukan dengan panggilan ibu atau ayah. Dalam hal ini, tingkat formalitas ini akan sangat tidak dapat diterima oleh kebanyakan kebudayaan lain. Berkaitan dengan hal tersebut, seorang penerjemah harus memilih antara mengganti tenornya untuk disesuaikan dengan budaya pembaca sasaran atau tetap seperti aslinya, yaitu mentransfer tenor informalnya untuk memberikan kesan

jenis hubungan yang biasa dilakukan oleh para anak remaja dengan orangtuanya di masyarakan Amerika. Apa yang dipilih oleh penerjemah pada situasi tertentu tentunya akan tergantung pada apa yang dia lihat sebagai tujuan penerjemahan secara menyeluruh.

3.Mode of Discourse

Mode of discourse mengacu pada jenis peran yang dimainkan bahasa (bicara/pidato, esai, kuliah, intstruksi, dan sebagainya), yaitu jenis peran yang diharapkan partisipan terhadap bahasa dalam suatu situasi: organisasai teks yang simbolik, status yang dimiliki, dan fungsinya dalam konteks termasuk alat penghubung (lisan atau tulisan ataupun suatu gabungan dari keduanya), dan juga mode retorika, apa yang sedang dicapai oleh teks dalam kondisi kategori berikut ini,

yaitu persuasif, paparan, didaktis, dan hal senada. Misalnya seperti kata re adalah

kata yang diterima dalam surat bisnis, tetapi sangat jarang digunakan dalam bahasa lisan.

Langkah pertama dalam menerjemah adalah menemukan makna yang terkandung melalui analisis makna. Menganalisis teks dengan menggunakan seperangkat framework yang dikemukakan oleh Halliday dalam Choliludin (2005: 12) akan memberi gagasan komprehensif pada para pembaca untuk menghasilkan sebuah hasil terjemahan. Setiap teks baik lisan maupun tulisan mengungkap makna dalam konteks penggunaannya. Jadi, bersamaan dengan konteks yang ada di

sekitarnya, sebuah teks menciptakan makna. Selain dari konteks situasi, konteks budaya juga perlu diperhatikan oleh seorang penerjemah dalam mengalihkan makna sebuah teks ke dalam bahasa sasaran (BSa).

2.1.3 Pelibat ( Tenor )

Halliday (1985: 12) menyatakan bahwa pelibat merupakan peran struktur yang berkaitan dengan siapa yang berperan, hubungan peran apa yang berlaku di antara partisipan yang secara sosial penting dalam hal ini mereka terlibat di dalamnya.

Pelibat wacana (tenor of discourse) adalah konteks situasi yang merujuk pada

hakikat relasi antarpartisipan, termasuk pemahaman peran dan statusnya dalam konteks sosial dan lingual. Untuk menganalisis pelibat wacana ada tiga hal yang perlu diungkap; peran agen atau masyarakat, status sosial, dan jarak sosial.

Peran status, dan jarak sosial dapat bersifat sementara dan dapat pula

Dokumen terkait