Bagian ini akan menjelaskan secara mendetail tentang teori-teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini. Sehubungan dengan hal tersebut, teori yang akan digunakan adalah teori Penerjemahan
Berdasarkan Makna (Meaning-Based Translation); teori Linguistik Sistemik
Fungsional (LSF); teori pergeseran (shift); dan konsep fungsi ujar.
Teori penerjemahan yang akan digunakan di dalam penelitian ini adalah teori
penerjemahan berdasarkan makna (Meaning-Based Translation) yang dikemukakan
oleh Mildred Larson, sedangkan teori LSF (Linguistik Sistemik Fungsional) yakni yang dikemukakan oleh M.A.K Halliday. Selanjutnya, teori lain yang digunakan dalam menganalisis permasalahan penelitian ini yakni teori pergeseran (shift)
menurut Catford dalam bukunya yang berjudul A Linguistic Theory of Translation
yang diterbitkan tahun 1965 (seperti yang dipaparkan pada bagian 2.1) dan konsep
fungsi ujar menurut Abdul Chaer dalam bukunya yang berjudul Kesantunan
Berbahasa yang diterbitkan pada tahun 2010.
Adapun latar belakang penggunaan teori-teori tersebut sebagai landasan dalam penelitian ini yaitu karena beberapa teori tersebut sangat sesuai dalam menganalisis segala permasalahan penelitian ini. Adanya konsep Larson yang dipadukan dengan
konsep LSF menurut Halliday dapat membuktikan bahwa penciptaan teks terjemahan (subtitle) sebuah film itu tidak terlepas dari konteks situasi dan konteks budaya. Sementara itu, teori pergeseran (shift) menurut Catford sesuai digunakan untuk mengungkap jenis pergeseran yang terjadi. Selanjutnya, konsep fungsi ujar menurut Abdul Chaer juga dianggap sesuai untuk digunakan dalam menganalisis bentuk ujaran yang terdapat baik dalam TSu maupun TSa. Di sini, konsep ujar menurut Abdul Chaer yang digunakan yaitu karena Chaer dalam bukunya yang berjudul Kesantunan Berbahasa mengungkap bentuk-bentuk ujaran yang lazim digunakan dalam komunikasi secara lisan. Hal ini sesuai dengan data atau sumber data dalam penelitian ini yakni berupa teks lisan dan tulisan. Selain itu, banyaknya kesesuaian fungsi ujar yang ditemukan dalam data atau sumber data pada penelitian ini dengan fungsi ujar menurut Abdul Chaer juga mendasari pemilihan teori tersebut.
2.2.1 Teori Penerjemahan Berdasarkan Makna (Meaning-Based Translation) Dalam kaitannya dengan definisi penerjemahan, ada banyak pakar atau ahli penerjemahan yang mengemukakan konsep mereka. Salah satu ahli penerjemahan yang cukup terkenal dengan konsepnya adalah Mildred Larson yang mencetuskan
teori Penerjemahan berdasarkan makna (Meaning-Based Translation). Teori ini
sekaligus digunakan menjadi acuan dalam menganalisis unsur tenor (pelibat wacana) pada sumber data (TSu dan TSa). Konsep teori ini diperoleh dari buku Mildred
oleh penerbit University Press of America. Dalam bukunya, Larson (1984:3) menyatakan “translation consists of transferring the meaning of the source language into receptor language.” Larson secara sederhana mendefinisikan penerjemahan sebagai proses pengalihan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Selain itu,
Larson juga menyebutkan ”it is meaning which is being transferred and must be held
constant. Only the form changes”. Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa Larson berpendapat bahwa yang mengalami perubahan dalam penerjemahan hanyalah bentuknya. Makna yang ada dalam bahasa sumber ditransfer ke bahasa sasaran dan makna ini haruslah konstan.
Pendapat Larson mengenai pengalihan makna dalam penerjemahan ini
diperkuat oleh pendapat Newmark yang menyatakan “…it is rendering the meaning
of a text into another language in the way that the author intended the text” (1988:5). Pada kutipan di atas, Newmark menyebutkan bahwa dalam proses penerjemahan, maksud si penulis teks bahasa sumber haruslah dapat tersampaikan pada pembaca bahasa sasaran.
Selain itu, Larson (1984:17) menyatakan bahwa saat menerjemahkan sebuah teks, tujuan penerjemah adalah mencapai translasi idiomatik yang sedemikian rupa, berusaha untuk mengkomunikasikan makna teks bahasa sumber (BSu) ke dalam bentuk alami dari bahasa sasaran (BSa). Oleh karena itu, penerjemahan merupakan kegiatan yang berkenaan dengan studi tentang leksikon, struktur tata bahasa, situasi komunikasi, dan konteks budaya teks bahasa sumber yang dianalisis dengan maksud
untuk menentukan maknanya. Makna yang ditemukan kemudian diungkapkan dan dikonstruksikan kembali dengan menggunakan leksikon dan struktur tata bahasa dan konteks budayanya.
Dengan kata lain, sebuah penerjemahan tidak semata-mata memfokuskan perhatian pada ketepatan makna saja tetapi juga harus memperhatikan situasi komunikasi dan konteks budaya kedua bahasa tersebut. Situasi komunikasi dalam hal ini berkaitan erat dengan field (medan wacana), tenor (pelibat wacana), dan mode (sarana). Adanya keterkaitan konsep Larson dengan topik penelitian ini mendasari peneliti dalam memilih konsep Larson tersebut sebagai acuan menganalisis segala permasalahan penelitian ini.
2.2.2 Kesepadanan Makna
Kemudian, penelitian ini juga berfokus kepada konsep kesepadanan makna menurut Larson. Larson (1984: 36-37) mengemukakan bahwa ada tiga jenis makna, yaitu makna referensial, makna konteks linguistik, dan makna situasional. Makna referensial adalah makna yang terkandung pada struktur semantis yang merujuk langsung pada unsur tertentu yang dapat dilihat atau dibayangkan. Makna konteks linguistik adalah makna yang diperoleh dari kombinasi atau gabungan makna referensial yang tersusun secara semantis, dan makna situasional adalah makna yang diperoleh berdasarkan situasi komunikasi tertentu yaitu yang berhubungan dengan hubungan antar partisipan seperti usia dan status sosial, situasi komunikasi seperti
tempat dan waktu berlangsungnya komunikasi serta latar belakang budaya partisipannya. Pemilihan konsep kesepadanan makna menurut Larson ini yang akan digunakan yaitu karena didasarkan pada jenis makna yang dikemukakan oleh Larson tersebut sangat sesuai dalam menganalisis topik dalam penelitian ini (konsep pelibat wacana atau partisipan).
Dalam kaitannya dengan makna referensial pelibat wacana bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, pada dasarnya kedua bahasa mempunyai makna referensial yang sama, yaitu dalam hal merujuk. Pelibat wacana di sini selalu dimunculkan dengan penggunaan pronomina baik pronomina persona, pronomina penunjuk, dan pronomina penanya yang merujuk kepada pembicara, lawan bicara, dan orang yang dibicarakan. Demikian juga halnya dengan makna konteks linguistik seperti dalam hal fungsi sintaksis, dan makna situasional seperti situasi, tempat, serta waktu komunikasi berlangsung.
Meskipun terdapat kesamaan di antara ketiga-tiganya, terdapat juga perbedaan yang mendasar. Perbedaan tersebut muncul karena adanya perbedaan jumlah pelibat yang diaplikasikan melalui pemakaian pronomina dalam kedua bahasa. Dalam bahasa Inggris, pembicara yang dinyatakan dengan pronomina persona untuk setiap kategori hanya memiliki satu bentuk, sedangkan dalam bahasa Indonesia ada beberapa bentuk
yang masing-masing mengandung makna khusus. Misalnya persona I (B.Ing) dalam
bahasa Indonesia menjadi saya, aku, hamba, ku- dan lain-lain. Selain itu, perbedaan
pemakaian pronomina persona bahasa Indonesia sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur sosial, misalnya pronomina kedua bahasa Indonesia tidak lazim digunakan pada lawan bicara yang usianya atau status sosialnya lebih tinggi dari pembicara. Oleh karena itu, untuk mendapatkan padanan yang tepat diperlukan kecermatan dalam hal memilih bentuk yang dapat mencerminkan makna yang sama dengan yang dimaksud oleh penulis atau pengarang teks bahasa sumber (BSu) dan sesuai dengan aturan- aturan yang ada dalam bahasa sasaran (BSa).
2.2.3 Teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF)
Teori lain yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori Linguistik Sistemik
Fungsional (LSF) yang dikemukakan oleh Halliday. Hal ini didasarkan oleh karena
teori LSF ini merupakan teori linguistik yang paling relevan dengan penerjemahan. Di samping itu, fungsi bahasa menurut Halliday juga akan dikemukakan pada bagian ini mengingat bahwa kajian penerjemahan dan teori LSF melibatkan bahasa.
Selain itu, teori Linguistik Sistemik Fungsional merupakan teori yang memandang bahwa kajian bahasa tidak dapat terlepas dari konteksnya. Konsep LSF yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan pandangan M.A.K. Halliday
dalam bukunya yang berjudul Language as Social Semiotics yang diterbitkan tahun
1978. Buku lain yang dirujuk yaitu buku Halliday dan Hassan yang berjudul Language, Context, and Text: Aspect of Language in a Social Semiotic Perspective yang diterbitkan pada tahun 1985.
Halliday (1978:2) mengemukakan bahwa konteks sebagai wadah makna dipertukarkan tidak terlepas dari nilai-nilai sosial; dan konteks bahasa itu sendiri merupakan konstruk semiotik. Menurut Halliday bahasa sebagai semiotik sosial terdiri dari tiga unsur (tingkatan), yakni „arti‟, „bentuk‟, dan „ekspresi. Secara teknis, ketiga unsur tersebut dinamakan semantik, tata bahasa (lexicogrammar), dan fonologi (lisan), grafologi (tulisan), atau isyarat (sign).
Selanjutnya, Halliday juga memandang bahasa wujud dalam konteks sosial yang mencakup unsur situasi, budaya, dan ideologi. Dalam hal ini, hubungan bahasa dengan konteks sosial adalah hubungan yang timbal balik dengan pengertian bahwa konteks sosial menentukan bahasa dan pada gilirannya bahasa menentukan konteks sosial. Dengan kata lain, Halliday menganggap bahwa terdapat hubungan yang erat antara bahasa dan konteks.
Konteks sebagai wadah terjadinya peristiwa bahasa terdiri dari tiga lapisan,
yakni konteks situasi, konteks budaya, dan konteks ideologi” (Martin dalam Lubis,
2009:23). Sehubungan dengan hal itu, Lubis menegaskan bahwa “ketiga konsep ini
mengitari teks secara bertingkat dan membentuk hubungan semiotik bertingkat. Oleh sebab itu makna sebuah teks akan dipahami dengan pertama-tama memahami konteks situasi, kemudian konteks budaya, dan pemahaman terhadap konteks budaya
ditentukan oleh ideologi” (Lubis, 2009: 31). Dengan demikian maka hubungan
Ideologi
Budaya
Situasi
Teks
Sebuah teks menurut Halliday dan Hasan (1985:8-9) adalah bahasa yang fungsional dalam konteks. Dengan kata lain, bahasa yang memberi arti kepda pemakainya disebut bahasa yang fungsional. Hal ini berarti sebuah teks merupakan unit arti atau unit semantik dan bukan unit tata bahasa. Jadi, bahasa itu berfungsi di dalam konteks sosial.
Sehubungan dengan hal tersebut, Lubis dalam disertasinya memberikan contoh sebuah tulisan pendek pada rambu lalu lintas di sebuah persimpangan jalan “Turn left at any time with care” adalah sebuah teks yang sedang berfungsi dalam konteks. Di sini konteksnya ialah jalan itu sendiri dan pemakai jalan. Namun bila tulisan yang sama ditulis pada papan tulis oleh seorang guru bahasa untuk menganalisis strukturnya, tulisan itu tentu saja bukanlah sebuah teks karena tidak sedang berfungsi (Lubis, 2009: 26). Dengan kata lain, sebuah teks itu berfungsi dalam konteks. Maka setiap teks dibentuk oleh konteks situasi. Dalam hal ini, seorang penutur dapat berbicara secara ringkas atau panjang lebar dengan cara memaksa
ataupun membujuk, tegas atau ragu-ragu, kasar atau lembut, dengan bahasa umum atau teknis dan sebagainya, masing-masing pilihan ditentukan oleh konteks situasi.
Kemudian, selain bersifat fungsional, dalam perspektif LSF, bahasa juga adalah kontekstual. Prinsip kontekstual bahasa mengimplikasikan bahwa bahasa merealisasikan dan direalisasikan oleh konteks yang berada di luar bahasa tempat bahasa itu digunakan. Halliday dan Hassan (1985:10) menambahkan bahwa bahasa adalah kontekstual karena pemahaman tentang bahasa terletak dalam kajian teks. Jadi ada teks, dan ada teks lain yang menyertainya. Teks lain inilah yang disebut dengan konteks.
Konteks dalam teori LSF terbagi atas konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks linguistik merujuk pada bahasa itu sendiri, sedangkan konteks sosial terdiri dari konteks situasi, konteks budaya, dan konteks ideologi.
Konteks situasi menurut Halliday (1978:110) terdiri atas tiga unsur yakni: field (apa yang sedang dibicarakan); dalam situasi atau peristiwa apa partisipan
terlibat, tenor atau siapa yang sedang berbicara atau siapa yang terlibat dalam
peristiwa termasuk peranan dan status mereka, mode yaitu bagaimana pembicaraan
itu dilakukan, misalnya secara lisan atau tulisan.
Dengan menggunakan kata tanya apa, siapa, dan bagaimana dapat mendeskripsikan konteks situasi menurut Halliday. Apa mengacu kepada peristiwa yang sedang terjadi, aktivitas verbal dan non verbal apa yang sedang dilakukan oleh
partisipan pada saat itu misalnya musyawarah, proses belajar-mengajar di dalam kelas, dan sebagainya. Siapa mengacu kepada partisipan apa yang terlibat dalam peristiwa verbal tersebut, bagaiman status masing-masing partisipan, peran dan sifat hubungan antara satu partisipan dan partisipan lainnya. Misalnya hubungan hirarkis seperti antara atasan dengan bawahan atau hubungan horizontal seperti antara dua
orang sejawat yang memiliki hubungan yang setara. Bagaimanamengacu kepada cara
apa partisipan melakukan aktivitas verbal tersebut, misalnya dengan menggunakan bahasa lisan atau tulis, hanya satu orang yang berbicara (monolog) seperti pidato, khotbah, dalam bentuk interaksi di antara sesama partisipan (dialog), dan gaya bahasa yang dipakai (formal atau tidak formal). Dalam hal ini, yang menjadi objek kajian
penelitian adalah konteks situasi yang terfokus kepada unsur tenor
(siapa/pelibat/partisipan). Untuk meneliti unsur tenor atau pelibat wacana ini perlulah
kita mengetahui fungsi bahasa.
Selanjutnya peneliti memilih menggunakan teori LSF ini adalah pertama-tama karena teori ini merupakan teori yang memandang bahwa kajian bahasa itu tidak terlepas dari konteksnya. Berkaitan dengan penelitian ini, kajian penerjemahan (translasi) juga tidak terlepas dari kajian terhadap teks dan konteks. Selain itu, topik penelitian ini berfokus kepada unsur tenor (pelibat wacana) yang mana unsur tersebut terdapat dalam bahasa dilihat dari konteks sosialnya, yakni konteks situasi. Selanjutnya adanya konsep yang menyatakan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari konteksnya dan kajian penerjemahan adalah kajian yang melibatkan dua bahasa
yang juga berkaitan erat dengan konteks bahasa tersebut membuat peneliti menjadikan teori LFS ini sebagai teori pendukung dalam penelitian ini. Dengan kata lain, menurut peneliti, untuk memahami bahasa dan penerjemahan, maka sebaiknyalah memahami konteksnya terlebih dahulu.
2.2.4 Teori Fungsi Ujar
Teori lain yang digunakan pada penelitian ini adalah teori fungsi ujar menurut
Abdul Chaer dalam bukunya yang berjudul Kesantunan Berbahasa. Konsep fungsi
ujar yang dipakai adalah berdasarkan teori Abdul Chaer karena konsep fungsi ujar menurut Chaer ini dinilai lebih sesuai digunakan untuk menganalisis sumber data yang berupa data lisan (film). Selain itu, konsep fungsi ujar yang dipaparkan oleh Chaer ini lebih banyak ditemukan di dalam film yang menjadi sumber data penelitian ini.
Menurut Abdul Chaer, fungsi utama pertuturan itu jika dilihat dari pihak penutur adalah fungsi menyatakan (deklaratif), fungsi menanyakan (interogatif), fungsi menyuruh (imperatif) termasuk fungsi melarang, fungsi meminta maaf, dan fungsi mengeritik. Dilihat dari pihak lawan tutur adalah fungsi komentar, fungsi menjawab, fungsi menyetujui termasuk fungsi menolak, fungsi menerima atau menolak maaf dan fungsi menerima atau menolak kritik (Chaer, 2010: 79). Karena fungsi untuk lawan tutur sifatnya berpasangan dengan fungsi untuk penutur, maka keduanya akan dibahas sekaligus sebagai berikut:
1.Fungsi Menyatakan (Deklaratif)
Fungsi menyatakan di dalam kajian gramatikal dilakukan dalam bentuk kalimat deklaratif, yakni kalimat yang hanya menyampaikan berita atau kabar tentang keadaan di sekeliling penutur. Dengan tuturan dalam kalimat deklaratif ini penutur tidak mengharapkan adanya komentar dari lawan tutur. Namun, bukan berarti lawan tutur tidak boleh mengomentarinya. Komentar bisa saja disampaikan sehubungan dengan informasi yang disampaikan penutur.
Contohnya:
A: Tetangga kita yang baru itu kemarin ditangkap KPK
B: (tidak ada komentar)
He, kenapa?
Apa salahnya, ya?
Wah, dia kan orang baik, suka menyumbang.
Komentar lawan tutur bisa bermacam-macam sesuai dengan pengetahuan lawan tutur berkenaan dengan tuturan penutur. Dilihat dari maksud tuturannya, fungsi menyatakan ini digunakan untuk beberapa keperluan: pertama, untuk menyatakan atau menyampaikan informasi faktual saja; kedua, untuk menyatakan keputusan atau penilaian; ketiga untuk menyatakan ucapan selamat atau ucapan duka kepada lawan tutur; dan keempat, untuk menyatakan perjanjian, peringatan atau nasihat.
2.Fungsi Menanyakan (Interogatif)
Tuturan dengan fungsi menanyakan dilakukan dalam bentuk kalimat bermodus interogatif. Ciri utama kalimat interogatif dalam bahasa Indonesia adanya intonasi naik pada akhir kalimat. Bila ada intonasi, meskipun kalimatnya tidak lengkap, maka kalimat tersebut sudah sebagai kalimat interogatif atau tuturan yang mengemban fungsi menanyakan. Kemudian, semua tuturan yang berfungsi menanyakan (interogatif) menghendaki adanya jawaban, terutama jawaban lisan; meskipun kemungkinan jawaban dilakukan dalam bentuk tindakan. Contohnya tuturan berikut ini yang diujarkan oleh seorang ibu pagi hari kepada anaknya yang sudah harus segera berangkat sekolah.
A: Kamu belum mandi, Nak?
B: (tidak berkata apa-apa; melainkan langsung mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi).
Dilihat dari jawaban yang dikehendaki atau yang diberikan oleh lawan tutur, dibedakan tuturan dengan fungsi menanyakan (interogatif) yang (a) meminta pengakuan “ya” atau “tidak” dan “ya” atau “bukan”; (b) meminta keterangan mengenai objek yang ditanyakan; (c) meminta alasan atas buah pikiran lawan tutur; (d) meminta pendapat atau buah pikiran lawan tutur; (e) menyungguhkan yang ditanyakan.
3.Fungsi Memerintah (Imperatif)
Tuturan dengan fungsi memerintah dilakukan dalam kalimat bermodus imperatif. Ciri umum kalimat bermodus imperatif adalah digunakan verba dasar atau verba tanpa prefik me-. Misalnya: baca!, baca yang keras!, coba baca baik-baik!, pergi!, pergi cepat!, silahkan pergi dari sini!. Tuturan dengan fungsi memerintah ini yang disampaikan oleh penutur kepada lawan tutur dengan harapan agar lawan tutur melaksanakan isi tuturan itu. Namun, dalam kenyataan bertutur, fungsi memerintah ini tidak selalu dilakukan dalam kalimat bermodus imperatif, tetapi dilakukan juga dalam berbagai bentuk lain seperti tuturan di bawah ini:
a) Kalimat bermodus imperatif seperti yang disebutkan dalam buku-buku tata bahasa. Contoh: Pindahkan kotak ini! Usir anjing itu!
b) Kalimat performatif eksplisit. Misalnya saya minta Saudara memindahkan kotak ini.
c) Kalimat performatif berpagar (hedge). Contohnya saya sebenarnya mau meminta Saudara memindahkan kotak ini.
d) Kalimat menyatakan keharusan. Contohnya Saudara harus memindahkan kotak ini.
e) Kalimat menyatakan keinginan. Misalnya saya ingin kotak ini dipindahkan.
f) Kalimat dengan saran. Misalnya: bagaimana kalau kotak ini dipindahkan?
h) Kalimat dengan isyarat kuat. Misalnya: dengan kotak ini di sini, ruangan kelihata sesak.
i) Kalimat dengan isyarat halus. Misalnya: ruangan ini kelihatan sesak.
Tuturan dengan fungsi memerintah secara garis besar dapat dibagi dua yaitu tuturan yang berfungsi suruhan dan tuturan yang berfungsi larangan.
4. Melarang
Tuturan dengan fungsi larangan atau melarang juga dilakukan dalam kalimat bermodus imperatif. Misalnya:
• Dilarang keras parkir di sini!
• Dilarang parkir di sini!
• Parkirlah kendaraan Anda di tempat lain!
• Sebaiknya Anda parkir di tempat lain.
• Mohon agar tidak parkir di sini.
5.Menyetujui dan Menolak
Tuturan menyetujui atau menolak pada dasarnya adalah tuturan yang disampaikan oleh lawan tutur sebagai reaksi atas tuturan yang dikeluarkan oleh seorang penutur. Contohnya:
A: Tolong pindahkan kotak ini!
B: Baik, Pak! Sebentar saya pindahkan!
Tuturan di atas menunjukkan tuturan yang berfungsi menyetujui. Sementara itu, tuturan berikut ini merupakan tuturan dengan fungsi menolak:
A: Tolong, pindahkan kotak ini.
B: Tidak mau, Pak. Saya masih sibuk.
6.Fungsi Meminta Maaf
Pertuturan dengan fungsi meminta maaf biasanya dilakukan oleh penutur atau lawan tutur karena penutur atau lawan tutur merasa punya kesalahan atau telah dan akan melakukan “ketidaknyamanan” terhadap mitra tuturannya. Di dalam bahasa Indonesia hanya sebuah kata untuk meminta maaf, yaitu kata maaf. Berbeda dengan bahasa yang memiliki beberapa variasi kata yaitu be sorry, apologize, excuse, pardon, regret, dan forgive. Menurut Yanti dalam Chaer, ada tiga macam tindak tutur maaf dalam bahasa Indonesia, yaitu (a) tindak tutur maaf langsung yang dilontarkan tanpa basa-basi yang terbagi lagi atas dua jenis, yaitu (1) langsung dengan kesantunan positif dan (2) langsung dengan kesantunan negatif; (b) tindak tutur maaf yang tidak dilontarkan tetapi dapat diketahui secara tersirat; dan (c) hanya dengan diam saja (tanpa ujaran). Berikut ini disertai dengan contoh:
• Tindak tutur maaf yang dilontarkan secara langsung dengan kesantunan positif. Contoh: Maaf, ya Bu, saya tidak sengaja.
• Tindak tutur maaf yang dilontarkan secara langsung dengan kesantunan negatif. Contoh: Maaf, saya lupa!
• Tindak tutur maaf yang hanya tersirat, tidak secara eksplisit menyebutkan maaf. Contoh: Aduh gimana, ya, saya tidak sengaja.
7. Fungsi Mengeritik
Dalam pertuturan sehari-hari mengeritik berarti menyebutkan keburukan, kekurangan, kekeliruan, atau kesalahan seseorang. Misalnya:
• Masakan ini sangat luar biasa enaknya, hanya agak pedas sedikit rasanya.
• Apa yang kurang dari gadis itu? Dia cantik, pandai, dan menarik; hanya kadang- kadang dia agak angkuh kepada kita.