• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Ideal Perempuan Hindu

BAB III KONSEPTUALISASI PEMIKIRAN MAHATMA

B. Konsep Ideal Perempuan Hindu

Tuhan Yang Maha Esa menciptakan dua mahluk yang berlainan jenis dan menumbuhkan rasa saling mencintai antara keduanya, sehingga lahirlah perkawinan dan terwujudnya suatu keluarga.15 Perkawinan merupakan suatu

13

Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 100 14

Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 101. 15

Gusti Ayu Kade Jati Laksmi, Wanita Hindu dalam Perluasan Cakrawala Pembangunan, h.45.

sakramen, yang dalam agama Hindu merupakan satu diantara empat ashrama.16 Perkawinan mengesahkan hak untuk berpadu bagi kedua mitra dengan mengucilkan semua orang lain, bila mereka berdua beranggapan bahwa perpaduan itu menyenangkan. Namun tidak diberi hak mutlak kepada masing-masing mitra untuk menuntut kepatuhan terhadap hasratnya untuk berpadu.17

Sakramen perkawinan yang dilakukan biasanya merupakan pengalaman traumatis bagi seorang gadis muda, karena saat perkawinan, Ia diambil dari rumahnya; dimana dia dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Dia dipindah ke keluarga suaminya dengan diawasi secara ketat oleh sanak familinya. Meskipun dirinya beruntung, karena status perkawinannya sesuai dengan ajaran-ajaran agama, namun stereotipe yang berkembang memperlihatkan bahwa keluarga suami seringkali menganggap dirinya sebagai figur yang berbahaya, seorang perempuan penggoda, hingga ia melahirkan anak pertama. Lebih disukai jika anak yang dilahirkan adalah anak laki-laki, dan setelah itu baru ia berada pada posisi aman.18

Dalam sastra-sastra Hindu telah menuliskan bahwa tujuan utama suatu pernikahan yaitu memperoleh keturunan, seperti do’a yang diucapkan ibu rumah tangga baru pada saat pernikahannya, oleh saudari-saudarinya yang lebih tua, yaitu semoga kami dikaruniai banyak anak. Hal ini menguatkan bahwa hidup

16

Empat ashrama merupakan ciri-ciri perkembangan kehidupan beragama manusia, yang terdiri dari Brahmachari (masa menuntut ilmu), Grhastha (masa berumah tangga), Wanaprastha (masa pertapa) dan Sanyasin (masa hidup dengan meninggalkan keduniawian). Lihat:

Djam’annuri, Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-agama (sebuah pengantar) (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2000), h.36-37.

17

Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, terj. Kustiniyati Mochtar (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT. Gramedia, 1988), h. 191.

18

bersama dalam pernikahan harus diperuntukkan bagi tujuan mendapatkan keturunan, tidak pernah untuk memuaskan hasrat seksual atau yang lainnya.19

Gandhi memberikan konsep pernikahan ideal, yaitu pernikahan yang mempunyai syarat bahwa perkembangan spiritual harus diletakkan dalam peringkat pertama sebagai satu alasan pernikahan. Kewajiban ada pada urutan berikutnya, pemahaman keluarga dan pentingnya tatanan sosial diletakkan dalam urutan ketiga dan saling tertarik atau cinta pada urutan keempat. Hal ini berarti bahwa pernikahan tanpa cinta harus dihindari meskipun syarat yang lainnya telah terpenuhi. Di sini Gandhi tidak memasukkan syarat tentang kekuatan genetik, karena menurutnya memperoleh keturunan merupakan tujuan sentral dari

pernikahan. Kekuatan genetik tidak bisa diperlakukan sebagai “syarat” suatu

pernikahan.20

Namun, tidak ada upaya yang dapat memberi pemahaman lebih baik dari pada pemahaman kepada kaum muda yang akan mengarungi kehidupan pernikahan untuk keseriusan hidup yang akan mereka jelang. Hal ini adalah keyakinan dan pendirian yang harus melandasi upacara pernikahan, bukannya pesta-pesta belaka tetapi merupakan upacara-upacara pertasbihan suci. Dalam sebuah ikatan pernikahan suami istri merupakan mitra yang sejajar. Apabila sang suami disebut swamin, maka istri disebut swamini-masing-masing menjadi guru bagi pasangannya, menjadi pasangan bagi yang lainnya, saling bekerja sama dalam menunaikan tugas dan kewajiban hidup.

Gambaran tentang istri yang ideal seperti diungkapkan naskah-naskah suci Hindu. Naskah-naskah Hindu merupakan sumber pokok kedua agama Hindu.

19

Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, terj. Siti Farida (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h.160.

20

Ketaatan perempuan pada suaminya sebagai pati (istri yang setia) diilhami oleh metapor dewi, yang menjadikan pelajaran penting bagi perempuan dalam teks- teks Smrti. Berbagai episode epik tulisan-tulisan metodologis mengenai hubungan suami istri mementingkan orientasi feminine Stri dharma yang menekankan pada kesetiaan, kesucian, kepatuhan, dan kerendahan hati dan juga kekuatan yang dihasilkan melalui tapa.21

Menurut ajaran Hindu, perkawinan dipandang sebagai dharma (kewajiban) tentang dharma tersebut. Maha Rsi Manu dalam Manawa Dharmasastra mengatakan sebagai berikut:

Prajanartha striyah srstah samtanartham ca manawah, Tasmat sadharano dharmah crutau patnya sahaditah Artinya:

Untuk menjadikan ibu, perempuan diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan upcara keagamaan karena itu ditetapkan didalam weda untuk dilakukan oleh suami bersama dengan istrinya, (manawa dharmasastra XI. 96).22

Kedudukan perempuan sebagai istri dalam rumah tangga selalu berkaitan dengan kewajiban-kewajibannya terutama terhadap suami diuraikan dalam kitab:

Asitamaranat ksanta niyata brahmacarini,

Yo dharma ekaptninam kangksanti tamanuttamam. Artinya:

Sampai mati hendaknya ia sabar menghadapi kesulitan-kesulitan hidup, mengendalikan diri sendiri dan tetap suci serta berusaha memenuhi tugas- tugas mulia yang ditentukan untuk istri-istri yang mempunyai satu suami saja, (manawa Dharmasastra V sloka 158)23

Epik-epik mitologi Hindu menunjukkan tokoh-tokoh wanita seperti yang tersebut sebagai Ramayana dan Mahabarata. Di dalam cerita Ramayana dapat

21

Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h.93. 22

Gede Pudja dan Tjokroda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 551. 23

ditemukan sosok dewi Shinta (istri Rama), Sinta sebagai istri yang harus mematuhi suaminya, dia tidak pernah menolak keinginan suaminya.24 Tokoh wanita yang terkenal karena kesetiaannya dan kejujurannya, dengan jiwa besar ia ikhlas untuk mendampingi suaminya dalam pembuangannya selama 14 tahun di hutan. Gambaran tentang Shinta merupakan ilustrasi paling jelas dari konsep perempuan ideal. Epik Ramayana ini lebih menggambarkan tentang kesetiaan perempuan ketimbang kebahagiaan perkawinan, dan dalam setiap episode- episodenya tersisipi kepentingan-kepentingan untuk menjelaskan niali-nilai keutamaan Stridharma, seperti ketika Shinta bersikeras mengikuti Rama ke hutan, ia mengatakan bahwa tempat seorang perempuan adalah di samping suaminya, bahwa seorang istri berbagi keuntungan dan karena suaminya, bahwa naungan kakinya lebih besar daripada istana. Dengan tekadnya untuk mendampingi Rama, ia telah mempersiapkan pikirannya mengahdapi kesulitan di hutan.25

Di India, keberadaan seorang wanita dibawah perlindungan suaminya.

Seorang istri terbiasa memanggil suaminya dengan sebutan “Yang Mulia” bahkan “Tuhan”, karena laki-laki memang dipandang sebagai penguasa bumi.26 Masyarakat menilai seorang istri yang baik adalah seorang wanita yang menyerahkan segenap pikiran, ucapan dan tubuhnya.27 Selalu bersikap simpatik terhadap suami, sehingga suami senantiasa merasa senang, patuh melaksanakan

24

Ida Rosyidah, Gandhi’s Ideas of Women in Hinduism, h. 266 25

Arvin Sharma, “Perempuan dalam Agama-agama Dunia”, h.94. 26

Said Abdullah Seif Al Hatimi, Citra Sebuah Identitas Wanita dalam Perjalanan Sejarah, terj. Hamid Abud (Surabaya: Risalah Gusti, 1994), h.4.

27

. Said Abdullah Seif Al Hatimi, Citra Sebuah Identitas Wanita dalam Perjalanan Sejarah, h.4.

kehendak suami dan etik serta mampu mengatur harta benda dan milik suami. Istri yang terpuji adalah istri yang selalu menjaga kehormatan suaminya.28

Dharma seorang istri yang setia (Pativrata) adalah memuja dan melayani suaminya sebagai dewa. Sebagai seorang Pativrata, ia dapat digambarkan dalam Padma Purana yaitu idealnya ia harus seperti seorang budak yang melayani, seorang perempuan sundal dalam bercinta, seorang ibu dalam memberi makan dan seorang penasehat saat diperlukan suaminya.29

2. Perempuan Sebagai Ibu

Tingkatan hidup kaum perempuan di muka bumi ini mengalami tiga peredaran masa yaitu perempuan sebagai puteri, perempuan sebagai istri dan perempuan sebagai ibu. Perempuan sebagai ibu merupakan tugas istimewa seorang perempuan dan merupakan tugas mulia yang diberikan oleh Tuhan di samping posisi yang lainnya.

Disadari atau tidak seorang perempuan setelah berumah tangga atau mulai memasuki masa grahasta mempunyai tugas dan tanggung jawab lebih berat dari masa sebelumnya dan diikat oleh dharmanya sebagai seorang grahastin (ibu rumah tangga), pendamping suami untuk melaksanakan tugas pengabdian dan mempunyai tanggung jawab berat untuk putera-puterinya. Bagaimana cara melahirkan, mengasuh dan mendidik secara baik lahir dan bathin, sehingga dikemudian hari dapat menciptakan putera-puteri yang bijaksana, berbudi luhur

28

Gusti Ayu Kade Jati Laksmi, Wanita Hindu dalam Perluasan Cakrawala Pembangunan, h.45.

29

Vasudha Narayanan, Persepsi-persepsi Hindu tentang Keberuntungan dan Seksualitas dalam Becher Jeanne, Perempuan, Agama dan Seksualitas, terj. Indriani Bone (Jakarta: Gunung Mulia, 2001), h. 99.

serta dapat mengabdikan diri kepada bangsa, negara dan agama.30 Menjadi seorang perempuan yang sempurna bukanlah tugas yang ringan. Mengadakan keturunan harus dilakukan dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya. Seorang ibu harus menyadari kewajibannya mulai dari saat pembuahan sampai saat lahirnya anak.31

Ibu adalah seorang yang amat dekat dengan anak-anaknya, sehingga apa yang diajarkan oleh ibu selalu melekat dan melandasi alam pikiran si anak.32 Semenjak dalam kandungan sang ibu hingga lahir dan perkembangan selanjutnya, peranan ibu sangat menentukan terhadap perkembangan jiwa serta perangai anak- anaknya. Hubungan ibu-anak merupakan ikatan simbiotik yang kuat di Hindu India. Pada tingkat personalitas, ini berarti bahwa anakakan mengembangkan ketergantungan yang kuat dan kebutuhan-kebutuhan pemeliharaan; kebutuhan- kebutuhan ini tetap harus dipenuhi hingga dalam kehidupan dewasa, karena ibu selalu hadir dalam keluarga. Kehadiran ibu secara fisik yang terus menerus dalam keluarga berarti bahwa ia tetap merupakan orang yang dominan bagi anaknya. Seorang ibulah yang selalu memberikan pemeliharaan dan cinta pada anaknya.33

Dalam kegiatan rumah tangga yang menyangkut tugas dan kewajiban sehari-hari, seorang perempuan jika sebagai “ibu rumah tangga” maka dia mempunyai tanggung jawab agar dapat tercipta solidaritas dan stabilitas keluarga. Jika perempuan sebagai “ibu yang melahirkan anak” maka itu dianggap sebagai

30

Tjo Rai Sudharta, Manusia Hindu: Dari Kandungan Sampai Perkawinan, (Bali: Yayasan Dharma Naradha, 1997), h. 89.

31

Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 191. 32

Gusti Ayu Kade Jati Laksmi, Wanita Hindu dalam Perluasan Cakrawala Pembangunan, h. 45-46.

33

Tuhan, dan pada posisi yang demikian itu perempuan dihormati melebihi penghormatan terhadap ayah dan guru.34

Tugas dan kewajiban seorang ibu dijelaskan dalam Manu Smrti sebagai berikut:

Apatyam dharma karyani cucrusa ratih uttama. Daradhinastatha suargah pitri rramat manaccaha.

Artinya:

Anak-anak, upacara agama, pengabdian (kepatuhan), kebahagiaan rumah tangga, sorga untuk leluhur maupun untuk diri sendiri semuanya didukung oleh kaum perempuan.35

Kedudukan seorang ibu di dalam rumah tangganya sebagai penyangga ciat-cita rohani (spiritual ideals) dan menjadi guru pertama anak-anaknya. Seorang ibu mempunyai kewajiban memberi contoh, anjuran dan ajaran yang baik, mengajarkan disiplin kepada anak-anaknya. Tentang keberhasilan pribadi, rendah hati, ramah tamah, berkelakuan baik dan pelayanan yang sopan santun serta memuja Tuhan dengan sepenuh hati. Setiap ibu harus selalu mengambil bagian dalam usaha untuk mengembangkan kesadaran tentang Tuhan dalam diri anak-anaknya, karena anak-anak merupakan tunas bangsa, tiang dan dasar sebuah negara.36

Dokumen terkait