SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh :
HASIHOLAN NIM: 102032124631
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN & FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i
Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas segala
limpahan hidayah, rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga Allah limpahkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia menuju kehidupan
yang lebih berperadaban.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini terdapat banyak uluran tangan dari berbagai pihak. Oleh karena itu
ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada
pihak-pihak tersebut, terutama kepada :
1. Dra. Ida Rosyidah, MA. selaku pembimbing dalam penulisan skripsi ini
yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya serta kesabaran
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga membuka
cakrawala berpikir dan nuansa keilmuan yang baru.
2. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Dr. M. Amin Nurdin, MA; Ketua
Jurusan Perbandingan Agama, Dra. Ida Rosyidah, MA; Sekretaris
Jurusan, Maulana, MA; serta seluruh civitas akademika Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta..
3. Ayahanda apoan (Alm.) dan Ibunda Nur Ainun yang penulis cintai dan
hormati sepanjang hidup, yang dengan rasa cinta dan kasih sayangnya
secara tulus telah mengurus, membesarkan dan mendidik penulis hingga
ii
4. Kakanda tercinta, Fitri Damayanti dan suaminya Sandi Setiawan yang tak
pernah henti memberikan semangat dan motivasi kepada penulis. Mereka
merupakan telaga inspirasi yang tak pernah kerontang.
5. Kawan-kawan pisangan, M. Sidik Asy’ari”Brother”, Ridwan darmawan S.
H “Bang Bogs”, Tomy “Qudqud”,Bang Ozy, Zami, Akbar El-Wasil, Rizki
Syam, Indra. L. Ochid”Bang Buls”, Tri Sula (Awe, Ghalo, Cipluk) yang sangat baik dan selalu memberi dorongan dan motifasi yang tak terhingga,
sehingga sulit untuk membalas kebaikannya. Tak ada yang lebih baik
daripada persahabatan yang ikhlas, teman-temanku yang kukasihi. Terima
kasih atas kebaikan kalian. Tak ada manusia hidup tanpa persahabatan dan
kebaikan, karna yang bukan demikian bukan manusia. penulis sangat
merindukan canda tawa kalian. You Are Best of The Best Friend. Kapan
agenda kuliner selanjutnya?
6. Anton dan Dede “tia” yang selalu meluangkan waktu dan menemani
penulis dalam penyusunan skripsi. Semoga cinta kalian abadi…
7. Teman-teman diskusi, mas Borang, Hambali “joy”, Rifky Arsilan, Pedro, Pippo, yang selalu menggagas sebuah Revolusi dan menginginkan rakyat
Indonesia menjadi Tuan di negerinya sendiri. Sungguh kalian adalah
rengkarnasi para pemimpin PKI.
8. Hilma dan Tilova yang telah banyak berkorban dan direpotkan.
iii
11.kawan-kawan Century 21, Irwan, Sahal, Zengki, Asep “Gele”, Aguz, Bagus,majid, Agung, kapan kita kumpul-kumpul lagi??
12.Pihak-pihak lain yang mungkin belum penulis sebutkan.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga dukungan, bimbingan,
perhatian, dan motivasi dari semua pihak kepada penulis selama perkuliahan
sampai selesainya skripsi ini menjadi amal ibadah dan bisa memberikan manfaat
pada penulis khususnya dan para pembaca karya ini pada umumnya. Amin.
iv DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7
D. Metode Penelitian ... 8
E. Sistematika Pembahasan ... 9
BAB II SEKILAS TENTANG MAHATMA GANDHI A. Riwayat Hidup ... 11
B. Latar Belakang Pemikiran ... 20
C. Garis Besar Pemikiran ... 22
D. Karya-karyanya ... 24
E. Kondisi Perempuan India Pada Masa Mahatma Gandhi ... 25
BAB III KONSEPTUALISASI PEMIKIRAN MAHATMA GANDHI TENTANG PEREMPUAN HINDU A. Perempuan dalam Kitab Suci Hindu ... 31
B. Konsep Ideal Perempuan Hindu ... 36
C. Peran Perempuan dalam Kegiatan Keagamaan ... 43
v
B. Usaha-usaha Gandhi dalam membangkitkan Pergerakan
Perempuan Hindu di India ... 54
1. Reinterpretasi terhadap ajaran-ajaran Hindu tentang
perspektif kesetaran ... 54
a. Ajaran Ahimsa ... 54
b. Ajaran Satyagraha ... 56
2. Pembelaan Mahama Gandhi Terhadap Kekerasan dalam
Rumah Tangga ... 60
a. Penolakan Terhadap Perkawinan Dini ... 60
b. Perkawinan Kembali Para Janda ... 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 68
B. Saran-saran ... 69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perempuan merupakan sesuatu yang selalu menarik untuk dikaji, baik
eksistensinya, karakteristiknya maupun problematikanya yang selalu timbul
seiring dengan laju perkembangan masyarakat. Ia selalu menjadi bahan
pembicaraan baik formal maupun non formal, seolah-olah pembahasan tentang
perempuan tidak akan ada habisnya sejak dahulu hingga sekarang dan terjadi di
seluruh dunia.
Masalah perempuan merupakan masalah yang tidak dapat dipisahkan
dengan kehidupan manusia, baik secara perorangan maupun kelompok dan
masyarakat. Bahkan dalam agama-agama pun wanita merupakan salah satu yang
selalu dipermasalahkan karena secara kodrati kaum wanita memang lain dari pada
kaum pria. Dalam kehidupan sosial, meskipun secara langsung menunjukan
kepada salah satu jenis kelamin, perempuan selalu dinilai sebagai the other sex
yang sangat menentukan mode representasi sosial tentang status dan peran
perempuan.1 Sejarah manusia, baik yang sakral, yaitu yang diambil dari
kitab-kitab suci atau mitos, maupun yang sekuler, yakni yang disusun secara ilmiah,
senantiasa menunjukan diri sebagai sejarah laki-laki. Kaum laki-laki itulah yang
membangun dunia, di mana terdapat perempuan di dalamnya. Dengan kata lain
1
lelaki dan perempuan tidak setara.2 Diskriminasi perempuan yang muncul
kemudian menunjukan bahwa perempuan menjadi the second sex seperti sering
juga disebut sebagai warga “kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu
diperhitungkan3.
Wacana perempuan secara historis, telah banyak menginformasikan
kepada kita bagaimana sesunguhnya perempuan dan posisinya dalam peradaban
dunia. Seperti telah diketahui, peradaban bangsa Arab, Yunani, Romawi, India,
dan Cina. Dunia juga mengenalkan konsepsi-konsepsi perempuan dalam
agama-agama seperti Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, Islam, Zoroaster dan sebagainya.
Dalam sejarah wanita di kalangan bangsa Arab tidak ubahnya bagaikan
barang dagangan yang diperjual belikan. Mereka dipaksa kawin tanpa meminta
pertimbangan dan persetujuannya. Pada beberapa suku, pemaksaan dilakukan
dengan penganiayaan. Wanita merupakan pewaris yang tidak mewarisi, pemilik
yang tidak memiliki. Mereka dilarang melakukan sesuatu atas harta milik
suaminya. Namun sang suami berhak sepenuhnya untuk menggunakan harta
istrinya tanpa meminta izin terlebih dahulu. Bahkan pada sebagian bangsa arab,
seorang ayah diberi hak membunuh putrinya atau menguburnya hidup-hidup.
Mereka berpendapat tidak ada hukuman atau denda bila laki-laki membunuh
wanita. Oleh karena itu kaum lelaki bangsa Arab pada waktu itu banyak
melakukan kekejian.4
Dalam lingkungan masyarakat modern yang telah berbudaya seperti
masyarakat Yunani dan Romawi, nasib kaum wanita justru lebih buruk
2
Imam Ahmad, Perempuan dalam Kebudayaan, dalam Fauzi Ridjal dkk, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia (Yogyakarta: Tiara Wacana,1993), h.49.
3Irwan Abdullah,”Pendahuluan”, Sangkan Paran Gender, h. 9 4
dibandingkan dengan wanita dalam masyarakat biadab yang tingkat sosial dan
peradabannya rendah. Bangsa Athena memperdagangkan wanita di pasar-pasar.
Mereka dinyatakan sebagai hasil kotoran perbuatan setan. Pada waktu itu para ahli
pikir Yunani banyak yang berselisih paham tentang pandangan mereka terhadap
wanita. Mereka mempertanyakan apakah benar wanita merupakan insan yang
memiliki ruh dan nafsu sebagaimana halnya kaum pria? Apakah wanita dapat
mengerti bila diberi pelajaran agama? Apakah diakhirat kelak mereka akan dapat
masuk surga? Perhimpunan pastur di Roma yang dijadikan panutan oleh
masyarakatnya menetapkan bahwa sebenarnya wanita adalah binatang najis yang
tidak mempunyai roh dan tidak diperkenankan bertapa. Tetapi wajib beribadat dan
berbakti dengan syarat harus menutup mulutnya. Mereka dilarang berbicara dan
tertawa karena hal itu merupakan perangkap setan.5
Sikap masyarakat India terhadap kaum wanita sebagaimana di Arab pada
jaman Jahiliah, pernah tumbuh adat sangat merendahkan martabat wanita. Hal ini
dapat diketahui dari kitab-kitab kuno India seperti Veda dan Manu. Dalam Veda
dinyatakan bahwa wanita dianggap seperti benda belaka, yang hanya sebagai
barang pelengkap bagi kaum pria dan karena itu mereka hanya mengerjakan
pekerjaan rumah tangga saja, bahkan hanya sebagai alat produk saja, selain itu
terdapat sekelompok pertapa kasta Brahmana yang telah menikah tetapi tidak mau
mengkonsumsi makanan yang dimasak oleh isteri mereka masing-masing, karena
menurut mereka makanan-makanan yang dimasak itu kotor dan tidak baik bagi
kemajuan batiniah, mereka juga berpendapat bahwa perempuan merupakan
manusia yang penuh dosa, oleh sebab itu cara yang terbaik untuk memperlakukan
5
mereka adalah dengan memberi tugas sebagai ibu dari anak-anak dan
pekerjaan-pekerjan rumah tangga lainnya.6 Lebih dari itu, kadang-kadang wanita disembelih
sebagai korban kepada tuhan-tuhan mereka, agar tuhan-tuhan itu merestui
kehidupan mereka, dan di beberapa daerah di India ada pohon yang oleh rakyat
disuguhi seorang gadis setiap tahunnya untuk makanannya.7
Salah satu tokoh India yang memperjuangkan nasib dan hak-hak
perempuan adalah Mahatma Gandhi. Mahatma Gandi adalah seorang pahlawan
pembebas India yang memilik nama asli Mohandas Karamchand Gandhi. Dalam
sejarah tidak ada seorang pemimpin yang memiliki pengikut sedemikian besar
dalam masa hidupnya, baik di negerinya sendiri maupun di seluruh dunia seperti
Gandhi. Dan tidak ada seorang pria yang bisa mebangkitkan pengabdian dengan
segenap ketulusan hati bagi kaum perempuan, selain Gandhi alasan dari semua ini
tidaklah sulit dicari. Gandhi memiliki kapasitas yang pantas diteladani atas
kesediannya untuk menjadikan dirinya sebagai alas kaki bagi orang lain, terutama
bagi orang-orang yang tengah berada dalam ketertindasan dan ketidakberdayaan.8
Gandhi memberikan penghormatan kepada kaum perempuan dengan
penghormatan terbesar yang paling mungkin, ketika dia mengatakan “kaum
perempuan adalah perwujudan dari pengorbanan dan penderitaan”. Akan tetapi,
dengan segenap penghormatannya kepada persoalan kaum perempuan dan
perhatiannya terhadap kesulitan-kesulitan, beliau tidak menyembunyikan
kritisisme atas beberapa kelemahan perempuan. Dalam persoalan kontrol
6
Adi Suhardi, Status Wanita di dalam Agama Budha Suatu Uraian Singkat, (Jakarta: Yayasan Dharma Duta Carika, 1986), h. 8
7 Musthofa As Siba’y, Wanita di antara Hukum Islam dan Perundang-undangan , terj. Chodijah Nasution (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 32
8 Amrit Kaur, “Kata Pengantar” dalam Mahatma Gandhi, Perempuan dan Ketidakadilan
kelahiran, tulisan-tulisan Gandhi banyak mendapat perlawanan dari
pemimpin-pemimpin gerakan kaum perempuan. Akan tetapi dia mengajukan persoalan
mengenai moralitas dalam level yang tinggi dan Gandhi menyerukan kepada
kaum perempuan untuk tidak menjual hak melahirkan. Hal ini bukan karena
Gandhi kurang bersimpati terhadap penderitaan-penderitaan kaum perempuan
yang disebabkan karena sering melahirkan anak, yang disuarakan dengan tegas
dalam penentangannya terhadap penggunaan alat-alat kontrasepsi tetapi karena
beliau ingin melindungi kaum perempuan dalam keseluruhan aspek kehidupan.9
Selain Gandhi dikenal sebagai nasionalis besar India, ia juga dikenal
sebagai pendiri tradisi agama India asli10 dan tokoh yang paling berjasa
membangun dunia barat. Karena jasa-jasanya membawa reformasi di dalam
agama Hindu di India dan memperkenalkan India ke dunia Barat. Prestasinya
yang diakui dunia adalah penarikan mundur Inggris dari India secara damai, yang
tidak kenal umum adalah bahwa dalam masyarakatnya sendiri beliau
menyingkirkan rintangan yang lebih dahsyat daripada rintangan rasial di Amerika
Serikat dengan memberikan nama baru bagi golongan yang tidak boleh disentuh
dengan nama Harijan, Umat Tuhan, dan mengangkat mereka ke taraf yang
manusiawi sebagaimana dikatakan jendral Marshall sewaktu mendengar beliau
terbunuh:” Mahatma Gandhi adalah corong hati nurani umat manusia”. Orang
-orang Kristen dengan sendirinya memandang beliau sebagai manusia yang
hidupnya paling mirip dengan Kristus, dan memang benar bahwa beliau sangat
dipengaruhi oleh Khotbah di atas Bukit. Namun inspirasinya yang paling dasar
9 Amrit Kaur, “Kata Pengantar” dalam Mahatma Gandhi,
Perempuan dan ketidakadilan sosial, h. x-xi
10
berasal dari tanah airnya India. Dalam awal Autobiographi-nya Gandhi menulis,
“kekuatan seperti yang saya miliki untuk berkarya dalam bidang politik
bersumber dari latihan-latihanku di bidang rohani, sambil menambahkan bahwa
dalam bidang rohani ini kebenaran merupakan asas yang tertinggi”,dan bahwa
Baghavad-Gita adalah “buku terbaik untuk pengetahuan akan kebenaran.
Menarik untuk dilihat bagaimana peran perempuan dalam agama Hindu
menurut Mahatma Gandhi. Perempuan ideal dalam tradisi Hindu adalah sati, yaitu
perempuan yang menikah dan berkorban serta mengabdikan diri untuk kewajiban
terhadap suaminya, keluarga dan bangsanya. Pernikahan dalam Hindu menurut
Mahatma Gandhi merupakatan ikatan spiritual bukan hanya ikatan fisik saja.
Perwujudan cinta manusia yang dimaksudkan untuk berfungsi sebagai batu
loncatan mencapai Tuhan atau cinta yang menyeluruh.
Mengingat pemikiran-pemikiran Gandhi banyak terinspirasi dari agama
Hindu serta begitu pentingnya kedudukan Mahatma Gandhi dalam gerakan
pembebasan di India dan dunia pada umumnya, maka penulis mengangkat judul “ Perempuan Hindu dalam Pemikiran Mahatma Gandhi”, judul ini dimaksudkan
sebagai upaya untuk mengeksplorasi pemikiran dan pandangan Mahatma Gandhi
tentang perempuan dalam agama Hindu serta kontribusinya dalam memberi
perubahan pada pergerakan perempuan Hindu di India.
B. Perumusan Masalah
Pembahsan skripsi ini dimaksudkan untuk mengkaji pemikiran Mahatma
Gandhi tentang perempuan dalam agama Hindu yang tertuang dalam beberapa
yaitu jenis kelamin yang dibedakan dari laki-laki, yang kemudian lebih dititik
beratkan pada perannya dalam keagamaan khususnya agama Hindu. Berdasarkan
latar belakang masalah tersebut di atas, maka masalah pokok yang dapat
dirumuskan untuk penelitian ini selanjutnya adalah:
1. Bagaimanakah peran perempuan dalam agama Hindu menurut Mahatma
Gandhi?
2. Apa kontribusi Mahatma Gandhi terhadap pergerakan perempuan Hindu di
India?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan di antaranya:
1. Mengetahui pemikiran Mahatma Gandhi tentang peran perempuan dalam
agama Hindu.
2. Untuk mengetahui apa kontribusi yang dilakukan Mahatma Gandhi untuk
pergerakan perempuan Hindu di India.
Sedang kegunaannya adalah:
1. Memberikan sumbang saran terhadap pemikiran Mahatma Gandhi
terutama dalam pemikiran tentang perempuan dalam agama Hindu dan
kontribusi bagi pergerakan perempuan Hindu di India.
2. Dalam rangka menyelesaikan program kesarjanaan Strata 1 dalam bidang
Ilmu Perbandingan Agama di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan sejarah atau
histories. Pendekatan sejarah yakni membaca, menafsirkan dan mensintesa
dengan menggunakan sumber dokumen masa lalu sesuai dengan kondisi
sosial-politik. Pendekatan sejarah tidak semata-mata deskriptif tapi juga analitis
sehingga harus jujur dan kritis. Jadi penulis melalui pendekatan histories,
berusaha meneliti pemikiran Mahatma Gandhi tentang peran perempuan dalam
agama Hindu serta kontribusinya bagi perempuan Hindu di India. Melalui
buku-buku atau tulisan-tulisan pengarang lain yang berkaitan dengan pemikiran
Mahatma Gandhi, untuk memperoleh uraian yang obyektif tentang pandangan
Mahatma Gandhi tentang perempuan dalam agama Hindu.
2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, yaitu pengumpulan
data dengan cara membaca dan menghimpun keterangan-keterangan dari buku
literature dalam hal ini karya-karya Mahatma Gandhi sebagai pustaka utama atau
sumber primer, hasil-hasil penulisan yang telah dipublikasikan maupun
dokumen-dokumen lain yang relevan dengan permasalahan yang ada dan karya-karya
penulis lain mengenai Mahatma Gandhi sebagai pustaka pendukung atau sumber
3. Pengolahan dan Analisis Data
Semua data yang terkumpul dari pengumpulan data baik yang primer
maupun sekunder, kemudian data yang telah terkumpul dan tersusun tersebut
diolah.
E. Sistematika Pembahasan
Mengacu pada metode penelitian di atas, maka pembahasan dalam
penelitian ini disusun menjadi lima bab dengan sub bab untuk mendapatkan hasil
yang utuh dan sistematis sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodelogi penelitian dan
diakhiri dengan sistematika pembahasan.
Bab kedua, mengulas tentang kehidupan Mahatma Gandhi secara
menyeluruh. Dalam bab ini, penulis akan memberikan deskripsi tentang riwayat
hidup Mahatma Gandhi, latar belakang pemikirannya, garis besar pemikirannya,
karya-karyanya dan kondisi perempuan India pada masa Mahatma Gandhi.
Pembahasan ini dimaksudkan untuk mengetahui kehidupan dan landasan
pemikiran Mahatma Gandhi, sehingga penyusun mendapat formulasi yang jelas
tentang konsep-konsep yang akan dibahas selanjutnya.
Bab ketiga akan menggambarkan konsep pemikiran Mahatma Gandhi
tentang perempuan dalam agama Hindu. Penulis meneliti melalui
dokumen-dokumen yang ditulis oleh Mahatma Gandhi yang membahas tentang perempuan
dalam kitab suci Hindu, konsep ideal perempuan Hindu, peran perempuan dalam
Pembahasan ini merupakan analisis pemikiran Mahatma Gandhi tentang
perempuan dalam agama Hindu.
Bab keempat berisikan kontribusi-kontribusi yang dilakukan Mahatma
Gandhi bagi perempuan Hindu di India yang meliputi faktor-faktor yang
melatarbelakangi Mahatma Gandhi dalam memperjuangkan kaum perempuan dan
usaha-usaha Mahatma Gandhi dalam membangkitkan pergerakan perempuan
Hindu di India, dengan menumbuhkan kesadaran perempuan akan kesetaraan
kaum perempuan dan kaum laki-laki melalui ajaran Ahimsa dan Satyagraha,
usaha Mahatma Gandhi dalam pembelaan terhadap penindasan perempuan dalam
rumah tangga yang meliputi penolakan terhadap perkawinan pada anak-anak dan
mengusahakan perkawinan kembali para janda.
Bab kelima berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan akhir dari
11
BAB II
SEKILAS TENTANG MAHATMA GANDHI
A. Riwayat Hidup
Nama lengkap Mahatma Gandhi adalah Mohandas Karamchand Gandhi,
lahir tanggal 2 oktober 1869 di Porbandar, kota kecil di pantai laut Semenanjung
Kathiawad, India Barat, kira-kira setengah jalan antara Bombay dan Karachi.
Kathiawad letaknya terpencil, jauh dari pengaruh Eropa.1
Gandhi dilahirkan di tanah yang banyak terdapat dataran rumput,
sungai-sungai, rawa-rawa, dataran tinggi kering, hutan-hutan lebat, dan pegunungan
tertinggi di dunia. Iklim di India, panas di daerah dataran rendah dan dingin di
dataran tinggi. Begitu luasnya wilayah India sehingga terciptalah
perbedaan-perbedaan. Rakyat India saling terpisah tidak hanya karena kesulitan hubungan
antara satu daerah dengan daerah yang lain, namun juga karena perbedaan
kebiasaan, agama, dan memiliki lebih dari 300 bahasa. Bahkan orang-orang yng
ras dan agamanya sama pun terbagi dalam kelompok-kelompok berdasarkan kasta
atau tempat tinggalnya.2
Pada masa itu India masih di jajah Inggris. Gandhi lahir dalam lingkungan
India yang di kuasai Inggris dengan kemegahan, keagungan, dan
perayaan-perayaan bahasa Inggris membawa organisasi dan tekhnik bagi India, namun
kemajuaan itu seringkali terasa kejam bagi rakyat India.
1
Lois Fischer, Gandhi Penghidupannya dan Pesannya Untuk Dunia, terj. Trisno Sumardjo (Jakarta: PT Pembangunan, 1967), h. 10.
2
Dalam kultur masyarakat seperti itulah Gandhi di lahirkan. Keluarga
Gandhi termasuk dalam kasta bania3 dan tampaknya menurut asal usulnya mereka
adalah pedagang bahan pangan. Tetapi sejak tiga generasi ini mulai, kakek
Gandhi, mereka adalah perdana menteri di berbagai Negara bagian Kathiawad.4 Ia
merupakan bungsu dari empat bersaudara dari istri yang keempat dari ayah yang
bernama Karamchand Gandhi, yang lebih dikenal dengan nama Kaba Gandhi.
Kaba Gandhi menikah empat kali berturut-turut disebabkan istrinya meninggal
satu demi satu.
Karamchad Gandhi, yang lebih dikenal dengan Kaba Gandhi, ia adalah
seorang anggota Pengadilan Rajasthanik, yang kemudian menjadi Perdana
Menteri yang disegani di Rajkot. Tidak lama kemudian, ia pinddah ke Vankaner
dan tetap menjadi Perdana Menteri di sana. Kaba Gandhi dikenal sebagai orang
yang berwatak jujur, berani, murah hati, tidak dapat disuap dan cepat naik darah.
Masa pendidikannya hanya sampai kelas lima SD, namun ia cukup banyak
pengalaman karena banyak belajar tentang pengetahuan-pengetahuan praktis,
hingga akhirnya ia dapat menjadi orang yang cukup berpengaruh di daerahnya.5
Ibu Gandhi bernama Putlibai. Ia penganut Hindu yang shaleh. Ia tidak
akan makan sebelum menjalankan puja sehari-hari. Ia selalu mengunjungi
haveli-kuil yang merupakan salah satu bentuk kewajiban agama yang dilakukannya. Ia
tidak pernah melewatkan untuk menjalankan chaturmas.6 Ia tidak hanya setia
3
Bania merupakan seorang warga kasta ketiga pada system perkastaan Hindu, yang secara tradisional berkecimpung dalam dunia perusahaan dan perdagangan.
4
Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, terj. Kustiniyati Mochtar (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, 1988), h. 2.
5
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), h. 9. 6
Eksperimen-dalam hidup rohani saja tetapi ia juga seorang istri yang setia kepada suami dan
anak-anak. Semenjak usia dini, kehidupan religious ibunya berpengaruh pada diri
Gandhi yang kemudian menjadi pemimpin spiritual India terbesar.7
Di tengah suasana keluarga yang demikian, Gandhi tumbuh dan dibentuk
karakter pribadi dan pemikiran-pemikirannya. Sebagai seorang yang nantinya
menjadi tokoh besar, ternyata pada masa kecilnya, ia tidak banyak menunjukan
kelebihan-kelebihan yang menonjol. Selama menjadi murid dari sekolah rendah
dan dari Kathiwad High School, tidak ada bakat yang luar biasa kelihatan pada
diri Gandhi. Dalam soal-soal pelajaran ia tidak pernah melebihi kawan-kawannya.
Dalam garis-garis besarnya ia tidak mempunyai barang sesuatu yang istimewa,
sama saja dengan ratus-ribuan anak-anak di India pada zamannya itu.8
Pada masa belajar di sekolah dasar, Gandhi termasuk anak yang sulit
belajar, terutama dalam berhitung perkalian. Walau begitu Gandhi tetap tekun
dalam belajar. Pekerjaan rumahnya selalu dikerjakan dengan baik dan rapih.9
Gandhi sangat pemalu dan tidak suka berteman. Hanya buku-buku dan
pelajaran sajalah teman akrabnya. Tepatnya pada waktu lonceng berbunyi Gandhi
telah tiba di sekolah, kemudian setelah pelajaran selesai, secepatnya ia berlari
pulang. Itulah kebiasaanya sehari-hari. Dan memang, Gandhi benar-benar lari
pulang, karena ia tidak dapat berbicara dengan siapapun. Gandhi merasa takut,
jangan-jangan ada orang yang mau mempermainkannya.10
eksperimen dalam Mencari Kebenaran, terj. Gd. Bagus Oka (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 1982), h. 24.
7
Michael Nicholson, Mahatma Gandhi Pahlawan yang Membebaskan India dan Memimpin Dunia dalam Perubahan Tanpa Kekerasan, h. 16.
8
Kejujurannya ia pupuk setelah ia membaca sebuah buku drama yang dibeli
ayahnya berjudul Shavana Pitribhakti Nataka. Buku ini mengisahkan pengabdian
Shavana terhadap orang tuanya. Lain waktu lagi, ia menonton sandiwara dari
buku tersebut dan sandiwara lain yang terkenal waktu itu, yakni Harischandra.
Gandhi sangat terkesan oleh tokoh Harischandra yang bersifat jujur dan tekun,
bahkan Gandhi sampai bermimpi menjadi tokoh ini. Sejak itulah rupanya
bibit-bibit keutamaan yaitu bhakti dan kejujuran mulai menjadi bagian dan cita-cita
Gandhi yang kelak akan diwujudkannya.11
Tatkala Gandhi berumur 7 tahun ia telah dipertunangkan oleh orang
tuanya dengan Kasturbai, kemudian dinikahkan sesudah berusia 13 tahun dalam
tahun 1883.12 Tanpa sepengetahuan dan persetujuan Gandhi terlebih dahulu.
Gandhi dinikahkan dengan Kasturbai, anak perempuan seorang pedagang di
porbandar. Ia tidak diajak berunding tentang pernikahannya. Sebagaimana adat
yang masih berlangsung hingga kini dibanyak daerah India, kedua orang tua
mempelai mengatur segalanya, dan mempelai perempuan dan laki-laki tidak dapat
bertemu hingga hari pernikahan. Kita barang kali bertanya-tanya apakah
pernikahan semacam itu berhasil, namun bagi Gandhi dan Kasturbai adat
pernikahan seprti itu tidak tampak aneh dan pernikahan mereka berlangsung
selama enam puluh dua tahun.13
Pada usianya yang sangat muda itu, ia berpikiran perkawinan berarti tidak
lebih daripada sekedar harapan untuk memakai pakaian lebih bagus,
berdentamnya tambur, arak-arakan pengantin, jamuan makan yang melimpah dan
11
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 10. 12
O. D. P. Sihombing, India, Sejarah dah Kebudayaannya, h. 96. 13
seorang dara yang belum dikenal untuk teman bermain. Soal gairah seksual, itu
baru timbul kemudian.14
Dua anak berjiwa murni terlempar tanpa sadar kelautan penghidupan,
boleh jadi hanya dituntun oleh pengalaman-pengalaman mereka dalam penitisan
yang terdahulu. Demikian Gandhi menggambarkan kebiasaan kejam dalam
perkawinan kanak-kanak.15
Namun setelah semuanya berlalu, sadarlah Gandhi bahwa kedudukannya
sudah tergeser, yakni sebagai suami. Itu berarti bahwa ia dituntut suatu tanggung
jawab terhadap isterinya. Maka sebagai konpensasi dari kekacauan pikirannya, ia
mulai menggunakan kekuasaannya sebagai suami, antara lain dengan
mengharuskan isterinya minta izin kepadanya kalau akan berpergian. Ia menjadi
demikian karena ia sangat mencintai isterinya.16
Kedisplinan Gandhi pada Kasturbai dilakukan karena ia sangat
mencintainya, ia ingin menjadikannya istri yang ideal. Ambisinya adalah untuk
memaksa istrinya agar hidup bersih, belajar apa yang dia pelajari, serta
menjadikan hidup dan pikiran istrinya seperti hidup dan pikirannya.17
Kasturbai adalah buta huruf, maka Gandhi bersemangat untuk
mengajarinya, tetapi cinta penuh birahi menghabiskan waktunya. Pertama dia
harus memaksa belajar dan itu dilakukan pada waktu malam, apalagi Gandhi tidak
berani menjumpai Kasturbai di hadapan orang-orang tua. Keadaan demikian jadi
tidak membantu. Maka sebagian besar dari usahanya untuk mengajar istrinya
14
Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi, h. 4.
15
Lois Fischer, Gandhi Penghidupannya dan Pesannya Untuk Dunia, h. 13. 16
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 10. 17
tidaklah berhasil. Usaha untuk mengajar melalui guru-guru pribadi pun tidak
berhasil. Alhasil sekarang Kasturbai dengan susah payah dapat menulis surat
sederhana serta mengerti bahasa Gujarat sekedarnya. Gandhi berkeyakinan andai
kata rasa cintanya sama sekali tidak ternodai nafsu, sekarang istrinya pasti
menjadi wanita yang terpelajar. Menurutnya tak ada sesuatu yang tidak dapat
diatasi oleh cinta sejati.18 Perkawinan di bawah umur sempat menghalangi
kelancaran studi Gandhi selama satu tahun.
Setelah lulus sekolah menengah ia mengikuti tes masuk Universitas
Samaldas College di Ahmedabad. Karena tidak puas di sana, ia mulai mencari
informasi bagaimana kalau melanjutkan studinya di Inggris. Banyak tantangan
datang dari keluarga, tetapi ia bersikeras untuk membuktikan bahwa kekhawatiran
keluarganya tidak beralasan, ia bersumpah untuk tidak akan menyentuh wanita,
tidak akan minum anggur dan tidak akan makan daging selama di Inggris.19
Selama di Inggris ia belajar menjadi ahli hukum.
Gandhi belajar ilmu hukum di Inggris dalam waktu yang sangat relatif
cepat. Sebagai seorang mahasiswa, Gandhi adalah seorang yang produktif dan
cara belajarnya metodis. Di sana ia tidak hanya belajar menjadi hakim, tetapi juga
belajar cara hidup Eropa, namun ia tetap berpegang teguh pada sumpahnya.
Perubahan perhatian itu menunjukan berakhirnya masa pertama kehidupannya di
Inggris, selajutnya membuka priode kesungguhannya dalam studi. Dalam
benaknya ia menanamkan upaya untuk segera selesai, dan nantinya bisa diterima
bekerja di pengadilan. Dalam rangka mendukung kegiatan belajarnya, ia
18
Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi, h. 31. 19
mengambil pelajaran tambahan dalam bahasa Latin dan Prancis. Dalam waktu
yang relatif singkat selama tiga tahun ia dapat menyelesaikan belajar ilmu hukum.
Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1891, ia kembali ke India dan
mencoba menjadi pengacara di Bombay dan Rajkot, tetapi tidak banyak berhasil.
Kebetulan sekali ia mendapat tawaran dari seorang muslim fanatik intuk menjadi
penasehat hukum dalam suatu firma di Afrika. Maka pada bulan April tahun 1893,
berlayar ia menuju Durban. Dalam perjalanan ke Pretoria, ia naik kereta api dan
membeli tiket kelas I dengan pakaian cara inggris. Tetapi ia diusir oleh
orang-orang Inggris yang ada disitu dan disuruh pindah ke gerbong barang. Ia menolak
dan akhirnya turun Maritzburg. Sejak saat itu bangkitlah niatnya untuk berjuang
melawan prasangka rasial, terlebih karena hal itu dialami oleh bangsanya sendiri.
Perjuangannya ini bukan berbentuk suatu revolusi fisik melainkan suatu
perjuangan yang menggunakan kekuatan jiwa, yang nanti lebih dikenal dengan
sebutan satyagraha.20
Sebelum Gandhi pergi ke Afrika Selatan, sudah ribuan orang-orang India
hidup di sana. Sebagaimana diketahui, sampai pada dewasa ini, orang-orang kulit
berwarna di Afrika Selatan dianggap oleh orang-orang kulit putih yang
memerintah di sana sebagai manusia kelas kambing. Dengan demikian
orang-orang India yang hidup di sana juga merasakan penghinaan dan penindasan dari
orang-orang kulit putih.21
Gandhi bertekad akan memperjuangkan nasib bangsanya di Afrika
Selatan. Ia menjadi advokad di Supreme Nourt of Natal, mengadakan aksi petisi,
menuntut supaya undang-undang yang menyatakan dicabutnya hak milik
20
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 11. 21
orang India di Afrika Selatan dicabut oleh legislatif Counsil. Didirikan Natal
Indian Congress di Afrika Selatan dan kemudian tuntutan tersebut terpaksa harus
diterima oleh pemerintah. Dengan berhasilnya Gandhi dalam aksi pertamanya itu,
keyakinan orang India di Afrika Selatan pun bertambah besar terhadap Gandhi. Ia
berjuang terus membela kepentingan orang-orang India.22
Dasar perjuangan Gandhi yaitu sifat keras tidak boleh dilawan keras, tetapi
dengan tidak melawan (perlawanan secara pasif). Menurut keyakinan Gandhi,
dengan sikap demikian musuh akan tunduk, walaupun bagaimana kuatnya. Teori
demikian itulah yang disebut Ahimsa yang kemudian dipraktekkan di dalam
Satyagraha.23
Untuk usahanya menegakkan hak-hak asasi, ia mulai dengan mendirikan
sebuah ashram di Sabarmati. Di sini ia hidup dengan sangat sederhana, segala
kebutuhan dicukupi sendiri, segala pekerjaan dikerjakan sendiri, berkebun,
memintal benang, memasak, dan lain-lain, tidak ada babu, tidak ada pelayan
semua anggota beranggotakan sama. Gandhi mengajarkan bagaimana manusia
harus menghadapi hidup, yakni dengan sikap ahimsa-tanpa kekerasan. Dalam
seluruh kehidupannya, Gandhi tidak hanya berkhotbah, ia selalu memulai
perubahan dari dala dirinya dan keluarganya sendiri. Ia membuktikan bahwa
ajarannya tidak sia-sia dan tidak mustahil untuk dilakukan setiap orang.
Walaupun gerakan Satyagraha di Afrika cukup berhasil, namun ia merasa
bahwa perjuangannya akan sangat dibutuhkan di India. Maka pada tahun 1915 ia
kembali ke negerinya dan segera menjadi pemimpin gerakan kemerdekaan,
22
Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi, h. 143. 23
bahkan beberapa kali ia dipilih menjadi pemimpin kongres nasional di India.24
Perjuangannya di India adalah sambungan perjuangannya di Afrika Selatan,
tempatnya berlainan dan jumlah bangsa yang dipimpinnya berlipat ganda
besarnya, tetapi dasarnya, metodenya dan tehniknya adalah sama.
Pada waktu Gandhi berusia 60 tahun, Gandhi menuntut Dominion Status
buat India sedangkan Jawrhal Nehru dan Subhas Candra Bose menuntut
kemerdekaan penuh, kalau Inggris tidak memberikan Dominion Status pada
penghabisan tahun 1929. akan tetapi kedua tuntutan tersebut ditolak
mentah-mentah oleh Inggris. Kemudian pada bulan desember 1929 diadakan persidangan
kongres yang dikuasai oleh Nehru, akhirnya mengambil keputusan bahwa
tuntutan India tidak hanya Dominion Status, akan tetapi kemerdekaan
sepenuhnya. Gandhi dan Nehru sepakat pada keputusan tersebut, hingga pada
tanggal 15 Agustus 1947 di seluruh India diadakan sumpah setia kepada cita-cita
India untuk merdeka, dan pada hari itu dijadikan hari nasional, hari kemerdekaan,
yang tetap dirayakan sampai sekarang.
Sampai kemerdekaan India tercapai, perjuangan Gandhi tidak berhenti,
mengajar rakyat, berpuasa, hidup berkorban dengan memberi contoh sendiri.
Perkataan dan perbuatan selalu selaras pada diri Gandhi. Juga setelah India
merdeka pada tanggal 15 Agustus 1947, Gandhi berjuang terus untuk persatuan
Hindu-Muslim, sampai akhir hayatnya.
Sepanjang sejarah perjalanan hidup Gandhi, ia senantiasa mengapdikan
dirinya untuk kepentingan umum, yang ditutup dengan pengorbanan jiwanya.
Pada tanggal 30 Januari 1984, ketika ia hendak melakukan puja bersama, tiba-tiba
24
seorang fanatik Hindu bernama Nathuram Vinayak Godse membunuhnya dengan
sepucuk pistol. Kata-kata terakhir yang diuvapkan Gandhi sebelum meninggal
dunia ialah “He Rama”.25
Dengan kematian Gandhi, dunia betul-betul kehilangan
seorang tokoh yang telah memberi tonggak penting bagi sejarah umat manusia
dan khususnya bagi India, sehungga sejarah dapat dibagi menjadi zaman sebelum
dan sesudah Gandhi.
B. Latar Belakang Pemikirannya
Mahatma Gandhi dikenal sebagai seorang yang taat beragama. Ia banyak
dipengaruhi oleh lingkungan masa kecilnya yakni orang tuanya, desanya,
masyarakat sekitarnya dan lebih-lebih suasana religius Hinduisme yang menjiwai
pada setiap orang India. Sifat-sifat Gandhi banyak dipengaruhi dari orang tuanya,
seperti sifat keras kepala, mempunyai kemauan yang kuat, keras dalam berusaha,
suka damai, jujur dan setia, ia tiru dari ayahnya. Sedangkan sikap-sikap religius
lebih dipengaruhi oleh ibunya, yang merupakan seorang wanita yang taat
beragama.26
Sejak masih kanak-kanak Gandhi telah mengenal sastra-sastra Hindu yang
umumnya berisi kebijakan-kebijakan dan bernada religius, seperti puisi
Vaishnawa, Ramayana dan kesenian sandiwara seperti cerita Harischandra. Selain
itu, Gandhi sangat gemar membaca sehingga banyak buku-buku yang ia baca
mempengaruhi pemikiran dan kehidupannya. Seperti Gandhi sampai berulang kali
membaca Baghavad Gita. Bagi Gandhi Baghavad Gita merupakan buku penuntun
25“He Rama” adalah bahasa Sansekerta. “He” berarti seruan, dan ”Rama” merupakan nama Tuhan. Jadi ”He Rama” artinya ”Oh Tuhan” hal ini berarti menunjukan hubungan pribadinya dengan Tuhan.
26
kehidupan rohani, sehingga setiap saat dalam kehidupannya merupakan usaha
yang sadar untuk menghayati kitab Bhagavad Gita.
Buku lainnya yaitu Civil Disobedience karya Henry David Thoreau dan
The Kingdom Of God Is Within You karangan Leo Tholstoy. Kedua buku ini
mempengaruhi Gandhi dalam melaksanakan Satyagraha. Civil Disobedience telah
membuka mata Gandhi bagaimana ahimsa dapat digunakan dalam menghadapi
persoalan-persoalan politik. Sedangkan dalam The Kingdom Of God Is Within
You Gandhi mendapatkan dukungan yang meyakinkan atas kepercayaannya pada
kebenaran dan tanpa perlawanan, juga yang lebih menarik ia mendapatkan suatu
ungkapan tentang keindahan dan kebesaran penderitaan. Bahwa penderitaan tidak
selalu „didalam dirinya sendiri’bernilai negatif, penderitaan ternyata mampu
mengangkat manusia ketaraf keutamaan yang lebih tinggi. Disebutkan dalam
buku itu bahwa melalui penderitaan, manusia bisa membebaskan diri dan
menetralisasi kekuatan-kekuatan jahat yang ada di dalam dirinya.27
Gandhi tertarik mempelajari moralitas Kristen, terutama kekuatan cinta
kasih dari Khotbah Yesus di atas bukit pada Al-kitab Perjanjian Baru. Pada
khotbah di bukit mengajarkan bahwa manusia harus saling mencintai. Keharusan
itu bukan karena ada perintah untuk mencintai, melainkan manusia pada
hakikatnya memerlukan itu. Hukum yang diletakan Yesus bukanlah sesuatu yang
berada di luar diri manusia, melainkan sesuatu yang berada di dalam (hati)
manusia, inheren dalam setiap pribadi.28
27
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 15. 28
C. Garis Besar Pemikirannya
Gandhi dikenal sebagai seorang yang taat beragama, ketaatan
baragamanya tidak lepas dari dari pengaruh ibunya yang rajin menjalankan
peribadatan, dan adanya kitab-kitab agama yang dibacanya. Dikatakan oleh
Thekkenedath: sesungguhnya ketika berada di Afrika Selatan Gandhi mempelajari
bahasa Sansekerta, menghafal Gita, membaca karya-karya Ruskin, Tolstoy dan
Thoreau, meninggalakan keduniaan dan menjadi Mahatma (berjiwa besar).
Pemikiran Gandhi sebenarnya tidak kompleks, justru sebaliknya, Gandhi
dengan tegas memilih kesederhanaan, tidak hanya dalam menjelaskan
ajaran-ajarannya, tetapi juga oleh praktek hidupnya. Hal ini nampak terutama dalam
konsepnya tentang dunia, Tuhan, alam dan kehidupan manusia.
Sebagai seorang Mahatma, pemikirannya tentang Tuhan tidaklah terlalu
rumit. Menurutnya Tuhan merupakan wujud universal yang meliputi segala
sesuatu, dan manusia adalah salah satu bagian kecil, Tuhan juga menciptakan
hukum, dimana antara pencipta hukum dan hukum itu tidak dapat dibedakan
antara satu dengan lainnya.
Adapun mengenai sifat Tuhan, Gandhi melihatnya bahwa Tuhan tidak
personal yang mempribadi, melainkan yang impersonal yang hanya di tangkap
melalui pemahaman. Keyakinan terhadap kesempurnaan-Nya tidak diragukan
lagi, dan manusia karena keterbatasannya hanya menangkap bagian dari
kesempurnaan itu. Sedang kehadiran Tuhan dapat dirasakan melalui fenomena
alam yang teratur. Keteraturan itu bukanlah suatu hukum yang buta, sebab
keteraturan itu mempunyai arah yang jelas, dan hukum semacam itu dipahami
Gandhi memaknai kebenaran sebagai sesuatu yang sama dengan suara di
dalam bathin setiap orang. Maka kebenaran itu bukan semata-mata obyektif tetapi
subyektif. Jika kebenaran itu bersifat subyektif maka akan tampak berbagai
kebenaran dari individu-individu, dan hal itu bukan masalah bagi pencari
kebenaran. Ia menyatakan:
“Namun, meskipun mengabdi pada apa yang tampak sebagai kebenaran bagi
seseorang, akan tampak sering bagi orang lain sebagai ketidakbenaran. Tetapi hal itu tidak perlu menggusarkan bagi seorang pencari kebenaran. Di mana ada ikhtiar-ikhtiar yang jujur, disana akan kita sadari bahwa tampaknya kebenaran yang berbeda-beda hanya merupakan daun-daun dari satu pohon yang tak terhitung banyaknya dan kelihatannya
berbeda.”
Konsepsi semacam ini timbul karena Gandhi memahami bahwa Tuhan
menampakan diri pada manusia dengan berbagai bentuk, tetapi ia meyakini
kebenaran adalah sebutan tepat bagi Tuhan.
Jalan untuk melihat Tuhan yaitu dengan melihat ke dalam ciptaannya
dan bersatu dengan ciptaan-Nya itu, inilah kebenaran yang dimaksud Gandhi. Dan
cara bersatu, berdamai serta selaras dengan ciptaan itu adalah sebagai ahimsa.
Ahimsa yang diajarkan Gandhi merupakan suatu keseluruhan hidup yang meliputi
pikiran tindakan dan kata-kata. Ahimsa ditujukan kepada mereka yang kuat
jiwanya, bukan kepada mereka yang lemah dan suka kompromi. Hanya mereka
yang mampu mengalahkan ketakutannyalah yang sunguh-sungguh dapat memiliki
kekuatan ahimsa, sehingga ia benar-benar menjadi seorang yang seluruh hidupnya
hanya mau berpegang pada kebenaran atau Satyagraha.29
Menjadi Satyagrahi atau orang yang melakukan Satyagraha, seorang
dituntut mengadakan tindakan disiplin diri dan sikap pengabdian, karena
penekanannya pada pencapaian ketinggian moral. Untuk itu perlu melatih diri
29
terus menerus dalam disiplin, kesadaran diri dan kebersihan lahir batin
(Bracmacharya).
Mahatma Gandhi juga banyak mempelajari agama-agama lain di luar
agama Hindu. Gandhi belajar agama-agama lain lewat membaca buku,kitab-kitab
suci, dan dialog dengan teman-temannya. Sehingga banyak dari temen-temennya
yang mengajak Gandhi untuk masuk dalam agama mereka, namun keyakinan
Gandhi tetap pada ajaran Hindu. Banyak yang menarik dalam ajaran kitab kitab
suci dalam agama lain, seperti, dalam agama Budha, ketika Sidharta Gautama
menggendong anak kecil yang terkena penyakit biri-biri, begitu bahagianya anak
kecil itu. Juga pada kitab perjanjian baru, Gandhi sangat terkesan pada Khotbah di
atas Bukit30, yaitu:
Tetapi aku berkata padamu: janganlah kamu Melawan orang yang berbuat jahat kepadamu. Melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, Berilah juga kepadanya pipi kirimu.
Dan kepada orang yang hendak mengadu engkau,
Karena menginginkan bajumu, serahkanlah juga jubahmu,
Disini Gandhi melihat bahwa ada kesamaan dalam ajaran pada
agama-agama lain yaitu tentang kasih sayang, semua agama-agama mengajarkan untuk toleransi,
kasih sayang, dan kejujuran.
D. Karya-karyanya
Mahatma Gandhi termasuk penulis artikel yang produktif.
Artikel-artikelnya dimuat pada tabloid-tabloid mingguan dan ia pun mengasuh beberapa
rubrik mingguan seperti Indian Opinion, Young India, Navajiva dan Harijan.
30
Selain Gandhi menulis buku-buku karangannya, artikel-artikelnya juga banyak
yang dibukukan. Buku-buku karya Gandhi adalah sebagai berikut:
1. Guide to Healt, Madras, S. Gamsan, 1921.
2. Basic Education, Ahmedabad, Navajivan Publishing House, 1951.
3. Christian Mission, Ahmedabad, Navajivan Press, 1941.
4. Economic of Khadi, Ahmedabad, Navajivan Press, 1941.
5. Ethical Religion, Madras, S. Ganesam, 1922.
6. Hind Swaraj, Ahmedabad Navajivan Press, 1938
7. Non Violence in Peace and War, Ahmedabad Navajivan Publishing
House, Part I, 1945, Part II, 1949.
8. Sarvodaya, Ahmedabad Navajivan Publishing House, 1951.
9. Satyagraha In South Africa, Madras, S. Ganesam, 1928.
10.The Story of eksperiments With Truth, Ahmedabad Navajivan Publishing
House, 1940.
11.Swadesi, True and False, Poona, 1939.
12.Women and Social In Justice, Ahmedabad Navajivan Press, 1942.
13.Towards Non-Violence Socialisme, Ahmedabad Navajivan Publishing
House, 1951.
E. Kondisi Perempuan India Pada Masa Gandhi
India pada zaman kuno oleh penduduknya disebut: Jambu dwipa, yang
artinya: benua pohon jambu, atau disebut Bharatwarsa, yang artinya adalah tanah
keturunan Bharata. Nama India dijabarkan dari nama sungai Sindhu yang
Hindu. Kemudian nama ini diambil oleh orang-orang Gerika, sehingga nama
itulah yang terkenal di dunia Barat. Akhirnya nama itu diambil-alih oleh
pemerintahan India sekarang ini. Ketika agama Islam dating di India nama yang
diberikan oleh bangsa Persia timbul kembali dengan bentuk Hindustan, sedangkan
penduduknya yng masih memeluk India asli disebut orang Hindu.31
Penduduk India yang tertua tergolong bangsa Negrito, yang kemudian
bercampur dengan bangsa-bangsa yang mendatangi India. Maka bangsa India
sekarang ini merupakan bangsa campuran. Di antara bangsa-bangsa yang
memasuki India dan yang berpengaruh besar atas kebangsaan India yaitu bangsa
Dravida yang terkenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban yang tinggi dan
bangsa Arya yang merupakan bangsa yang pandai berperang karena hidup mereka
mengembara.
Sebagian besar penduduk India menganut agama Hindu. Sebenarnya
agama Hindu bukanlah agama seperti pada umumnya. Agama Hindu adalah suatu
bidang keagamaan dan kebudayaan. Yang meliputi zaman sejak kira-kira 1500
SM. Hingga sekarang. Di dalam perjalanannya di sepanjang abad-abad itu agama
Hindu berkembang sambil berubah dan berbagi-bagi, sehingga memiliki ciri yang
bermacam-macam, yang oleh penganutnya kadang-kadang diutamakan namun
kadang-kadang juga tidak diindahkan sama sekali. Berhubungan dengan itu maka
Govinda Das mengatakan, bahwa agama Hindu sesungguhnya adalah suatu proses
antropologis, yang hanya karena nasib yang ironis saja diberi nama agama dengan
berpangkal kepada Weda-weda yang mengandung di dalam dirinya adat istiadat
dan gagasan-gagasan salah satu atau beberapa suku bangsa, agama Hindu sudah
31
berguling-guling terus di sepanjang abad-abad hingga kini, sehingga seperti bola
salju yang makin lama makin menjadi besar, karena menghisabkan adapt istiadat
dan gagasan-gagasan bangsa-bangsa yang dijumpainya di dalam dirinya.32
Bangsa India kuno terkenal dengan kebudayaannya yang tak tertandingi
dan pemikiran-pemikirannya yang tinggi, tetapi kini India telah mengalami
kenyataan lain. India telah terjatuh sedemikian jauh dari keadaan yang
membahagiakan, dan barang kali tidak ada aspek kehidupan yang terjatuh
sedemikian hebat sebagaimana kejatuhan yang menimpa kehidupan perempuan.
Dari status kaum perempuan yang setara dan sebagai istri serta mitra sejajar
kemudian berubah menjadi lebih rendah dari kaum pria, derajatnya turun menjadi
hanya sekedar tempat yang bisa digunakan saat diinginkan oleh kaum pria untuk
pemuas keinginan, tanpa memiliki hak-hak atau kehendak. Adat dan kebiasaan
telah memperlakukan kaum perempuan dengan kasar.33
Pada saat ini, hampir di seluruh masyarakat Hindu di India memiliki
keinginan untuk mendapatkan keturunan laki-laki dan menyesalkan anak
perempuan. Ada sebuah pemahaman yang mendorong masyarakat Hindu untuk
melakukan ini yaitu bahwa seseorang tidak bisa mencapai surga tanpa anak
laki-laki, bahkan untuk semata-mata ingin memperoleh keturunan laki-laki seorang
suami menikah lagi hingga memiliki 2, 3, dan 4 orang istri.34 Hal ini merupakan
diskriminasi yang menyakitkan yang harus diterima oleh kaum perempuan.
Bahkan ketika anak perempuan telah tumbuh menjadi seorang gadis, dia akan
selalu diperlakukan berbeda dengan anak laki-laki yang diberi kebebasan penuh.
32
Harun Hadiwiyono, Agama Hindu dan Budha, h. 11.
33 Amrit Kaur,”Kata Pengantar” dalam Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan
Ketidakadilan Sosial, h. Viii. 34
Seorang gadis akan selalu dijaga ketat oleh orang tuanya dan seorang gadis
dituntut kesucian hingga ia menikah.
Anak putri yang suci, mempunyai status sangat tinggi dalam keluarga
Hindu dan dipuja sebagai dewi perawan. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat
Hindu sangat mempertimbangkan pentingnya kesucian mendorong para orang tua
untuk merencanakan perkawinan anak-anaknya sedini mungkin. Sementara
minimnya pendidikan serta keinginan untuk memilki anak memberi andil dalam
perkawinan dini gadis-gadis Hindu, faktor lain disebabkan oleh meningkatnya
rigiditas sitem kasta dan keinginan untuk menjamin kesucian kasta dan stabilitas
tata sosial.35
Kebiasaan masyarakat Hindu untuk menikahkan anak-anaknya pada usia
yang relatif masih muda atau pernikahan di bawah umur, pada hal ini telah
menimbulkan keadaan yang merusak akar perkembangan fisik, intelektual dan
bahkan spiritual. Seorang anak perempuan yang masih sangat muda diharuskan
menghadapi kenyataan bahwa ia kini telah berstatus sebagai seorang istri dan ibu
dari anak-anaknya. Istri-istri yang masih anak-anak dan anak-anak yang telah
menjadi ibu harus menunaikan tugas sucinya secara benar-benar dengan
sungguh-sungguh dan mendidik, membimbing serta membentuk karakter anak-anaknya.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat India, di mana masih banyak
suami yang menganggap istri mereka sebagai milik mereka seperti hewan ternak
atau perlengkapan rumah tangga. Oleh karena itu, mereka berpikir bahwa mereka
memilki hak untuk memukul istrinya seperti memukul hewan ternaknya. Ternyata
para suami yang terpelajar pun tidak terbebas dari kepercayaan yang meyakini hak
35
suami untuk memperlakukan istri-istri mereka seperti ternak dan memukulnya
kapan pun mereka terdorong untuk melakukannya.
Di beberapa daerah India sistem purdah masih berlaku sangat ketat dan
masih dipertahankan bahkan dalam rumah tangga orang terpelajar. Kaum
perempuan dibiarkan terkurung dan ditahan dirumah-rumah mereka yang
berhalaman sempit. Mereka tidak pernah diberi kesempatan menghirup udara
segar kebebasan. Bahkan hanya sedikit kaum perempuan yang diberi kesempatan
untuk mengenyam pendidikan yang memadai, perkembangan jasmani dan rohani
dan ekspresi diri yang sepenuhnya. Individualitas mereka telah ditekan secara
semena-mena di bawah beban-beban kebudayaan dan hukum-hukum tak tertulis.36
Pada sisi lain, ketika seorang perempuan yang masih muda yang ditinggal
mati oleh suaminya, ia harus mengalami penderitaan-penderitaan yang tak
tertanggungkan sebagai janda-janda. Pada masyarakat Hindu telah
memperlakukan seorang janda dengan tidak terhormat. Seorang janda tidak
beruntung, pertanda buruk bagi siapapun yang berjumpa dengan dia, bahkan pada
janda kasta Brahma harus menjalani Tonsure (pencukuran seluruh kepala), warna
putih polos pada pakaian diasosiasikan dengan status menjanda, maka seorang
janda diharapkan menghindari pakaian berwarna, gelang, pemakaian bunga dan
perhiasan yang diasosiasikan dengan status kawin. Bagi seorang janda tidak boleh
berpartisipasi aktif dalam kesempatan-kesempatan yang menjanjikan
kesejahteraan. Seorang janda tidak diperbolehkan kawin lagi dan dibatasi cara
hidupnya dengan hanya mendapatkan sedikit saja kesenangan hidup dan
hasrat-hasrat alamiahnya ditekan.
36
Hal semacam itu dialami oleh kaum perempuan, baik oleh seorang anak
perempuan, oleh seorang muda atau bahkan oleh perempuan berusia lanjut yang
bahkan terjadi dalam rumahnya sendiri. Semasa kanak-kanak seorang perempuan
harus tunduk kepada ayahnya, dalam masa muda kepada suaminya, bila tuanya
mati, pada anak laki-lakinya , seorang perempuan tidak boleh bebas.
Sebagai akibat dari tatanan sosial yang menindas dan tirani, kaum
perempuan India telah kehilangan semangat kekuatan dan keberanian, kehilangan
kemampuan untuk berpikir dan berinisiatif secara independen, dikarenakan di
India masih berkembang sistem yang memaksakan status janda, purdah,
persembahan gadis-gadis kepada kuil (devidasi), perbudakan ekonomi dan
31
BAB III
KONSEPTUALISASI PEMIKIRAN
MAHATMA GANDHI TENTANG PEREMPUAN HINDU
A. Perempuan dalam Kitab Suci Hindu
Agama Hindu merupakan agama yang banyak didasarkan pada beberapa
kitab-kitab suci. Agama Hindu memiliki pustaka suci yang terbesar jumlahnya
dibandingkan kitab-kitab suci agama lain.1 Selain agama itu Hindu adalah agama
yang sudah tua dan merupakan agama yang di anut di kawasan India. Agama
Hindu sering disebut Sanata Dharma, yang berarti agama yang kekal atau Maidika
Dharma yang berarti agama yang berdasarkan kitab suci Weda.
Sumber keterangan tentang persoalan-persoalan yang menyangkut dunia
dan manusia di dalam agama Hindu terdapat dalam kitab yang disebut Kitab
Weda, yang menurut keyakinan dalam Hindu isinya diwahyukan oleh dewa
tertinggi kepada para resi, para Brahmana dan para guru, yang berabad-abad
kemudian dibukukan menjadi Kitab Weda tersebut. Pewahyuan menurut
keyakinan Hindu bahwa pada waktu-waktu tertentu dewa tertinggi berfirman
secara langsung di dalam hati sanubari pada orang-orang tadi mengenai
kejadian-kejadian yang sedang di hadapi. Wahyu itu semula disebarkan oleh para
penerimanya kepada orang lain atau generasi berikutnya secara lisan yang
kemudian ada upaya untuk dibukukan dalam Kitab Weda tadi, pembukuan itu
tidak secara langsung melainkan bertahap. Pertama-tama terkumpulah bagian
1
Weda yang disebut Weda Samhita kemudian kedua bagian Weda yang disebut
Brahmana dan akhirnya bagian Weda yang disebut Upanishad.2
Pada zaman Weda (1500 SM hingga 600 SM) yang meliputi zaman
kedatangan bangsa Arya dan penyebarannya di India, serta penyebaran
kebudayaan dan peradaban Arya itu.3 Orang-orang Arya datang ke India pada
millenium kedua sebelum Masehi membawa tradisi Indo-Eropa yang patrineal dan
patrilokal. Agama mereka memiliki ciri patriarkal, etnis berorientasi keluarga dan
mempertahankan hidup. Tujuan hidupnya adalah mempertahankan dominasi
laki-laki dan identitas bangsa Arya di samping itu juga untuk memenuhi hasrat
memperoleh keturunan, kemakmuran sampai usia lanjut, dan ritual-ritual
keagamaan yang semua itu didasarkan terutama pada keluarga.4
Pada zaman Weda memberikan penghargaan yang baik terhadap feminitas
maupun komplementaritas antara suami istri, meskipun masih dalam struktur yang
patriarkal. Penghargaan ini merupakan suatu pembaharuan sistem patriarki yang
terdapat dalam konteks tradisi Indo-Eropa sebelumnya.5 Hal ini terlihat dalam
perubahan istilah dampati yang pada awalnya di kalangan orang-orang
Indo-Eropa diartikan “tuan rumah” kemudian di India berubah menjadi “pasangan”
suami istri.
Pada masa ini anak perempuan (duhita) dan gadis (kanya) dipuji karena
cantik, wajah berseri, dandanan menarik, senyum yang manis, pinggul yang sintal
dan paha yang besar. Deskripsi yang semacam ini menunjukkan adanya interest
Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, terj. Syafa’atun Al-Mirzanal. Dkk (Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA, Mc Gill Project, 2002), h. 72.
5
melahirkan anak terutama anak laki-laki. Seorang gadis yang belum menikah
diawasi dan dijaga ketat oleh orang tuanya, karena seorang pengantin perempuan
dituntut harus perawan.6
Di dalam Rg-Weda digambarkan secara jelas tentang upacara perkawinan
di India dijelaskan bahwa pengantin perempuan merupakan “keberuntungan”
(sumangali) dan “menguntungkan” (siva). Dalam upacara tersebut doa-doa dipanjatkan untuk para dewa-dewa agar pasangan pengantin mendapatkan
kebahagiaan (saubhagatva), bersama-sama mencapai usia lanjut, makmur,
memiliki keturunan dan kesatuan hati, serta ditujukan kepada Visvavasu, yang
merupakan pelindung gadis-gadis perawan, agar memindahkan penjagaannya
kepada yang lain. Selain itu, pengantin perempuan diberikan nasehat-nasehat agar
ia tidak boleh marah atau benci kepada suaminya; harus lembut, ramah, gembira,
melahirkan anak laki-laki, mengasihi para dewa, memberikan kebahagiaan,
membawa keberkahan dan menjadi ratu bagi iparnya. Semua nasehat praktis yang
diberikan kepada pengantin perempuan dalam Rg-Weda diistilahkan sebagai Jaya
(orang yang ikut merasakan perasaan suami), Jani (ibu anak-anak), dan patni
(partner dalam melakukan berbagai ritual atau yajna). Istilah-istilah tersebut
dalam Rg-Weda merupakan ciri peranan perempuan Hindu.7
Ritual-ritual keagamaan di pusatkan di rumah, yaitu dewa-dewa diundang
untuk mengunjungi dan menerima hadiah di sana-maka istri hadir dalam
peristiwa-peristiwa ini serta berpartisipasi di dalamnya melalui hymne-hymne
pujian dan sikap-sikap yang ramah. Dalam ritual domestik maupun ritual publik
menekankan kehadiran bersama suami dan istri. Kehadiran seorang istri
6
Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 73. 7
diperlukan untuk menghadirkan dewa-dewa dan rumah dipandang
menguntungkan (subha) apabila adanya kebrsamaan suami istri. Kesempurnaan
hidup (kebahagiaan, kekayaan dan kesejahteraan), pencapaian keabadian (versi
syurgawi hidup ini), dan bahkan tata tertib alam dan masyarakat pun diperoleh
karena adanya keharmonisan suami istri.8
Bagaimanapun seorang istri dan ibu pada zaman ini dimuliakan, namun
suamilah yang tetap memiliki peranan yang dominan. Perempuan menurut Weda
tidak lebih dari seorang patner yang ikut membantu, meskipun tidak terlibat
secara aktif dalam ritual-ritual Weda. Hal ini disebabkan karena alasan bahwa
para dewa tidak mungkin diabaikan dan perhatikan. Jadi, jika semua laki-laki
tidak berada di rumah, maka istri melakukan peran ritual menjamu tamu
menggantikan suaminya di samping tugas rutinnya sebagai penjaga api rumah.9
Dengan demikian perempuan mempunyai andil yang sangat kecil dalam
kegiatan-kegiatan ritual keagamaan.
Sebagian besar naskah Hindu seperti “the law of manu”, Smriti,
Yajnavalkyis, atri dan Vahista meletakan wanita pada posisi terbawah
dibandingkan laki-laki di dalam keluarga, ritual, umum, wanita selalu berada
dibawah pengawasan laki-laki, tanpa laki-laki, wanita berpotensi terkena
bahaya.10
Kehidupan suami-istri biasanya memerlukan perlindungan dari suaminya
dan begitupun suami memerlukan kasih sayang dari isterinya. Dalam ajaran
agama Hindu disebut “tattwamasi” maksudnya: saya adalah engkau atau engkau
8
.Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 74. 9
Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 74 10
adalah saya.11biasanya suami istri dalam ajaran Hindu memilki pedoman yang
dijadikan acuan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Seperti dalam pustaka
suci Manawa Dharmasastra III dalam sloka 60, 61, 62.
Samtusto bharyaya bharta tathaiwa ca,
Yasminnewa kule nityam kalyanan tatra wai dhruwam
Artinya:
Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal.
Yadi hi stri na roceta pumamsam na pramodayet, Apramodat punah pumsah prajanan na prawartate
Artinya:
Karena kalau istri tidak mempunyai wajah berseri, ia tidak akan menarik suaminya, tetapi jika seorang istri tidak tertarik pada suaminya tidak akan ada anak yang lahir.
Striya tu rocamanayam sarwam tadrocate kulam, Tasyam twarocamanayam sarwmena na rocate
Artinya:
Jika seorang istri selalu berseri-seri seluruh rumah akan kelihatan bercahaya, teapi jika ia tidak berwajah demikian semuanya akan kelihatan suram.12
Dalam agama Hindu terdapat praktek Sati yang merupakan dharma
(kebaikan) dari pada menjanda yang merupakan suatu adharma (kejahatan). Jadi,
ketika seorang suami meninggal dunia seorang istri harus memilih antara
melakukan Sati dengan predikat kemuliaannya ataukah menjadi janda dengan
predikat kesialannya. Bagi seorang perempuan yang memilih Sati, Sati adalah
pelaksanaan upacara keagamaan yang dilakukan seorang istri demi kesetiaan
terhadap suaminya. Seorang perempuan dengan penuh ketenangan dan
penyerahan jiwa dan raga, rela ikut dibakar bersama jasad suaminya yang telah
11
Ni Made Sri Arwati, Swadarma Ibu dalam Keluarga Hindu, h. 7. 12
meninggal dunia. Masyarakat memandang seorang perempuan yang berani
melakukan Sati, dianggap seorang istri yang baik atau seorang Sati sejati, yang
mendatangkan kehormatan dan kemuliaan bagi diri, keluarga dan masyarakatnya.
Masyarakat pun mengungkapkan rasa terima kasih terhadap perempuan tersebut
karena memperoleh kesempatan menyaksikan pengorbanan mulia itu.13
Sedangkan perempuan yang memilih tetap menjadi janda, ia ditandai
dengan “garis-garis ketidak beruntungan” tertulis di kening putihnya sebab di situ
sudah tidak ada lagi titik merah (tilaka). Rambut kepalanya dicukur atau dibiarkan
terurai tanpa hiasan bunga, hal ini memperlihatkan keadaannya yang sengsara.
Tidak ada satu pun perhiasan menghiasi bagian-bagian tubuhnya, tubuhnya hanya
dibalut kain Sari dari kain kapas berwarna buruk, sering kali tanpa blous dan
seperti biasa ia berjalan tanpa alas kaki. Dalam masyarakat, ia dikucilkan seperti
tidak boleh mengikuti pertemuan-pertemuan, perayaan-perayaan, pesta-pesta
perjamuan bahkan kesenangan atau kenikmatan dalam bentuk apapun. Sebagai
seorang manusia, ia dipandang sebagai seorang perempuan yang telah gagal
dalam melakukan perbuatan dan tujuan keagamaannya.14
B. Konsep Ideal Perempuan Hindu
1. Perempuan sebagai istri
Tuhan Yang Maha Esa menciptakan dua mahluk yang berlainan jenis dan
menumbuhkan rasa saling mencintai antara keduanya, sehingga lahirlah
perkawinan dan terwujudnya suatu keluarga.15 Perkawinan merupakan suatu
13
Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 100 14
Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 101. 15
sakramen, yang dalam agama Hindu merupakan satu diantara empat ashrama.16
Perkawinan mengesahkan hak untuk berpadu bagi kedua mitra dengan
mengucilkan semua orang lain, bila mereka berdua beranggapan bahwa perpaduan
itu menyenangkan. Namun tidak diberi hak mutlak kepada masing-masing mitra
untuk menuntut kepatuhan terhadap hasratnya untuk berpadu.17
Sakramen perkawinan yang dilakukan biasanya merupakan pengalaman
traumatis bagi seorang gadis muda, karena saat perkawinan, Ia diambil dari
rumahnya; dimana dia dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Dia dipindah ke
keluarga suaminya dengan diawasi secara ketat oleh sanak familinya. Meskipun
dirinya beruntung, karena status perkawinannya sesuai dengan ajaran-ajaran
agama, namun stereotipe yang berkembang memperlihatkan bahwa keluarga
suami seringkali menganggap dirinya sebagai figur yang berbahaya, seorang
perempuan penggoda, hingga ia melahirkan anak pertama. Lebih disukai jika anak
yang dilahirkan adalah anak laki-laki, dan setelah itu baru ia berada pada posisi
aman.18
Dalam sastra-sastra Hindu telah menuliskan bahwa tujuan utama suatu
pernikahan yaitu memperoleh keturunan, seperti do’a yang diucapkan ibu rumah tangga baru pada saat pernikahannya, oleh saudari-saudarinya yang lebih tua,
yaitu semoga kami dikaruniai banyak anak. Hal ini menguatkan bahwa hidup
16
Empat ashrama merupakan ciri-ciri perkembangan kehidupan beragama manusia, yang terdiri dari Brahmachari (masa menuntut ilmu), Grhastha (masa berumah tangga), Wanaprastha (masa pertapa) dan Sanyasin (masa hidup dengan meninggalkan keduniawian). Lihat:
Djam’annuri, Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-agama (sebuah pengantar) (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2000), h.36-37.
17
Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, terj. Kustiniyati Mochtar (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT. Gramedia, 1988), h. 191.
18