• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONTRIBUSI MAHATMA GANDHI BAGI PERGERAKAN

KONTRIBUSI MAHATMA GANDHI BAGI PERGERAKAN

PEREMPUAN HINDU DI INDIA

A. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Mahatma Gandhi dalam Memperjuangkan Kaum Perempuan

Mahatma Gandhi adalah pecinta kemanusiaan sejati, ia sangat gigih menentang setiap ketidakadilan dalam bentuk apapun. Oleh karena itu, Gandhi sangat mendukung perjuangan untuk mengatasi persoalan-persoalan perempuan, terutama menumbuhkan kesadaran kaum perempuan bahwa mereka mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki. Dalam pembaharuan dan penegakan kebenaran, ia memulai karya dan perjuangan bagi emansipasi kaum perempuan secara keseluruhan.

Perjuangan Mahatma Gandhi ini dilandasi dari realitas social perempuan pada masa itu di mana status perempuan lebih rendah dari kaum laki-laki, bahkan di kalangan masyarakat Hindu berkembang pemahaman bahwa seseorang tidak akan masuk surga tanpa anak laki-laki, dan untuk hal itu seorang suami bisa menikahi 2, 3, atau 4 istri.1

Selain itu kebiasaan-kebiasaan di kalangan masyarakat Hindu seperti pernikahan dini, mengungkung perempuan pada bilik-bilik tersembunyi di rumah- rumah, ajaran sati, kondisi yang menyedihkan untuk para janda muda serta masih banyak kaum laki-laki yang memandang rendah kaum perempuan, hal itu semua membuat kaum perempuan India menjadi suatu golongan yang lemah, tertindas,

1

Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, terj. Siti Farida. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 189.

tersingkirkan dan menjadi “warga kelas dua”. Realitas kaum perempuan Hindu

yang sangat mengenaskan tersebut yang akhirnya menyebabkan Gandhi tergerak untuk membuat perubahan-perubahan kearah positif bagi perempuan Hindu di India.

B. Usaha-usaha Gandhi dalam Membangkitkan Pergerakan Perempuan Hindu di India

Melalui tulisan-tulisan dan ceramah-ceramahnya, Gandhi memahami bahwa hidupnya sebagai pengabdian dan kewajiban, ia tidak segan-segan menentang dan meluruskan kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan kepada kaum perempuan yang dilandasi hukum, tradisi bahkan agama. Kontribusi-kontrbusinya untuk memajukan kaum perempuan adalah sebagai berikut:

1. Reinterpretasi baru terhadap ajaran-ajaran Hindu tentang perspektif kesetaraan

a. Ajaran Ahimsa

Sumbangan Gandhi yang terbesar bagi kemanusiaan adalah pesannya mengenai Ahimsa (non-kekerasan) sebagai jalan menuju perdamaian, keadilan dan Tuhan. Gandhi menjalani dengan serius perintah-perintah Alkitab, “Jangan membunuh” dan “Kasihilah musuh-

musuhmu,” bersama-sama dengan tradisi Hindu tentang ahimsa (tidak membunuh), dan menerapkan penolakan terhadap kekerasan ke dalam hati dan kehidupannya demikian pula kepada Afrika Selatan, India dan seluruh dunia. Tetapi dia mengajarkan pula bahwa non-kekerasan bukan hanya menolak membunuh: itu adalah tindakan kasih dan kebenaran sebagai

sebuah kekuatan perubahan sosial yang positif. Malahan, dia menegaskan bahwa non-kekerasan adalah kekuatan yang paling aktif.

Ahimsa berarti cinta tak terhingga dan ini berarti kesanggupan tanpa batas untuk menderita.2 Gandhi menyebutkan bahwa suatu fitnah bila menyebut kaum perempuan sebagai makhluk yang lemah. Tindakan semacam itu merupakan tindakan yang tidak adil dari kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Bila yang dimaksud hanya terbatas pada kekuatan kasar, memang kaum perempuan kurang kasar daripada kaum laki-laki, tetapi bila yang dimaksudkan adalah kekuatan moral, kaum perempuan mengungguli kaum laki-laki. Bukankah intuisi kaum perempuan jauh lebih halus, bukankah kaum perempuan lebih rela mengorbankan diri, lebih kuat bertahan dan lebih berani. Tanpa adanya kaum perempuan kaum laki-laki tidak mungkin ada.3 Gandhi juga mengkritik hak yang tidak sama antara suami dan istri di dalam keluarga yang mana memposisikan wanita sebagai ardhangana, yang mana hanya memilki setengah dari hak suami dan sahadharmini, budak suami. Penggambaran ini sebagai bentuk ketidakpedulian tradisi Hindu terhadap eksistensi perempuan. Gandhi berpendapat, suami dan istri adalah patner yang setara,karena laki-laki dan perempuan adalah satu, masalah mereka harus menjadi satu wujud, yang satu tidak bisa hidup tanpa yang lain aktif

2

Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, terj. Kustiniyati Mochtar (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT. Gramedia, 1988), h. 186.

3

Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, h 189

membantu.4 Hal ini dapat dibuktikan yaitu tatkala perempuan mengandung janin selama Sembilan bulan lamanya dan ia merasakan bahagia karena penderitaannya itu. Ia mesti berjuang antara hidup dan mati ketika melahirkan, menanggung nyeri setiap hari agar sang bayi bertumbuh terus, ini merupakan penderitaan terbesar buat perempuan, namun ia melupakan penderitaan itu karena kebahagiaan dan kehidupan yang diciptakannya. Dengan tulus ia melimpahkan rasa cintanya dan ia pun merasa bangga menerima kedudukan di sisi pria sebagai ibunda, sebagai pencipta dan pemimpinyang diam.

b. Ajaran Satyagraha

Perlawanan pasif dipandang orang sebagai senjata bagi pihak yang lemah. Namun perlawanan pasif yang Gandhi ciptakan adalah istilah baru dan sesungguhnya merupakan senjata bagi pihak yang terkuat.5 Perlawanan pasif tersebut dinamakan Satyagraha (sat: kebenaran, agraha: tekad),6 istilah ini kemudian dipakai sebagai senjata perjuangannya.

Inti dari Satyagraha adalah berpegang pada kebenaran, atau kekuatan jiwa. Dalam pelaksanaan Satyagraha, Gandhi menentang terhadap praktek kekerasan kepada lawan, sebaliknya ia harus menghentikan kesalahan lawan dengan kesabaran dan simpati, karena apa yang dianggap benar bagi seseorang dapat dianggap salah oleeh orang lain. Kesabaran berarti pengorbanan diri, jadi dalam ajaran Satyagraha berarti

4

Ida Rosyidah, Gandhi’s Ideas of Women in Hinduism, REFLEKSI Jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Vol. VIII, No. 3, 2006, h. 268

5

Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, h. 193

6

Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi; Kisah Eksperimen-eksperimenku dalam Mencari Kebenaran, terj. Gd. Bagoes Oka (Bali: Yayasan Bali Canti Sena, 1978), h. 296.

mempertahankan kebenaran bukan dengan membebani orang lain dengan penderitaan melainkan dengan membebani penderitaan kepada diri sendiri. Pada Satyagraha perlawanannya dilakukan dengan menderita sendiri atau pengendalian diri, seperti melalui puasa. Semenjak perlawanan dalam Satyagraha dialami melalui penderitaan diri sendiri yang merupakan senjata yang paling sesuai bagi kaum perempuan, banyak kaum perempuan di India di banyak instansi melebihi kaum lelaki mereka dalam menderita dan memainkan bagian yang mulia dalam kampanye.7 Pada masa perjuangan melawan pengusaan Inggris dapat disaksikan bahwa wanita India dalam banyak peristiwa mengungguli kaum prianya dalam menahan penderitaan dan bersama-sama kaum laki-laki.

Dalam pandangan Gandhi, perwujudan kebenaran baru mungkin jika manusia bersih, artinya kebenaran tidak mungkin terwujud jika hati manusia penuh dengan dendam, dengki dan kebohongan. Maka manusia harus bersih dan murni, dan sebagai imbalan bagi mereka yang mendapatkan kebenaran, mereka akan merasakan adanya semangat dan keberanian, semangat untuk mengarungi kehidupan dan dorongan untuk merealisasikan diri lebih penuh lagi. Hal ini membuktikan kebenaran bukanlah sesuatu yang terletak di luar diri kita melainkan berada dalam diri kita, inheren dalam hidup kita. Kebenaran bukanlah sesuatu nilai yang abstrak, yang tak terbayangkan, tetapi sungguh-sungguh nyata, asalkan kita setia mempertaruhkan hidup kita sebagai kebenaran itu.8

7

Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h.407 8

Kebenaran juga merupakan hakekat moralitas manusia, yang merupakan pelaku moral, ia menghayati dan terus mencari kebenaran selama hidupnya. Hidup manusia seluruhnya harus mengarah pada titik konvergensi di mana manusia bertindak sesuai hukum kebenaran. Tanpa kebenaran tidak mungkin seseorang menghayati aturan-aturan dalam hidupnya.

Kebenaran yang dipahami Gandhi adalah kenenaran abstrak. Menurutnya sebuah baru bernilai bagi kehidupan dan berdaya guna jika menjelma dalam kehidupan manusia setiap harinya. Usaha untuk menjelmakan kebenaran berarti pula suatu kegiatan untuk merealisasikan diri, usaha ini tidak pernah boleh berhenti. Dalam konteks pemahaman inilah kebenaran dikatakan bersifat kekal.9

Perlawanan tanpa kekerasan merupakan satu asas semesta dan pelaksanaannya tidak terbatas pada suatu lingkungan yang saling bermusuhan saja, namun manfaatnya hanya dapat diuji bila diterapkan dalam lingkungan dan ditentang oleh pihak lawan. Keberhasilan perjuangan ini tidak bernilai jika tergantung pada kemurahan hati pihak penguasa.

Satu-satunya syarat dari perjuangan tanpa kekerasan adalah keadilan yang menyeluruh. Keberhasilan kekuatan ini terletak pada kesadaran akan adanya jiwa yang terpisah dari badan manusia dan sifatnya yang kekal. Keadaan ini berarti suatu keyakinan yang hidup dan bukan

9

semata-mata suatu keyakinan akal budi.10 Dalam pemikiran Gandhi, penderitaan tidak dipandang suatu hal yang negative, penderitaan bukannya tidak mempunyai makna kesialan hidup di dunia bukannya tidak mempunyai makna bagi kehidupan manusia, tapi justru sebaliknya penderitaan mempunyai makna yang sangat positif. Dengan tegas Gandhi menyatakan, hanya dengan pengorbanan diri manusia dapat mengembangkan kepribadiannya dan dapat hidup.

Secara tersirat ditunjukan bahwa kekuatan dan daya hidup manusia terletak pada bagaimana manusia menghadapi kepahitan-kepahitan hidup. Dalam menghadapi kepahitan hidup itulah manusia sungguh-sungguh ditantang sebagai individu yang mempunyai kekuatan jiwa dan nafsu- nafsu. Melalui penderitaan itu manusia dihadapkan pada dua pilihan, menaati dan setia pada kebenaran atau menyerah kalah.11

Gandhi selalu menyatakan bahwa kaum wanita dan kaum pria adalah manunggal. Mereka bukanlah entitas yang terpisah tetapi merupakan satu kesatuan. Dalam hal kewajiban dalam pembelaan terhadap negarapun, Gandhi selalu menganjurkan wanita untuk ikut melakukan gerakan pembelaan terhadap negara, bahkan pemberontakan sipil terhadap segala pengekangan.12

Pada tanggal 6 april 1919, untuk pertama kalinya Gandhi mengajak para pengikutnya untuk menentang pemerintahan Inggris di India. Pada saat itu Gandhi memutuskan penentangan terhadap rencana Rowlatt Bill

10

Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, h. 103.

11

R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 64. 12

Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, h. 441.

dengan Hartal, yaitu suatu hari dimana orang harus berpuasa dan duduk tafakur, toko-toko harus ditutup, dan semua orang melakukan pemogokan kerja.

Pada pemberontakan pertama kalinya ini masyarakat ini belum matang dalamperjuangan Satyagrahanya itu, maka terjadilah keributan dan pembantaian besar-besaran oleh tentara Inggris pada tanggal 13 april 1919 di Amritsar. Melihat kejadian tersebut, Gandhi menyerukan kepada seluruh wanita India agar mereka ikut terjun dalam perjuangan untuk menyelamatkan bangsa. Keterlibatan kaum wanita untuk bergabung dalam perjuangan tanpa kekerasan sangat di harapkan. Ratusan ribu wanita, yang sebelumnya tidak pernah keluar dari bilik-bilik tersembunyi didalam rumah mereka, ikut serta melakukan razia demi swaraj. Demikianlah Gandhi memulai revolusi sosial di India yang sama kuatnya dengan revolusi politik.

2. Pembelaan Mahatma Gandhi Terhadap Kekerasan DalamRumah

Tangga

a. Penolakan Terhadap Perkawinan Dini

Salah satu pembaharuan dalam masyarakat Hindu yang sangat berat tantangannya yaitu penghapusan terhadap perkawinan dini. Kampanye yang rutin dan konsisten harus selalu dilakukan untuk menyelamatkan gadis-gadis India dari ketuaan yang dini dan kematian dini, dan menyelamatkan Hinduisme dari tanggung jawab atas munculnya generasi yang lemah dan tak berdaya.

Praktek pernikahan dini tidak hanya diyakini di satu propinsi atau kelas masyarakat tertentu, tetapi pada prakteknya hal ini merupakan kebudayaan yang universal di India. Pernikahan anak-anak juga merupakan praktek yang sudah sangat tua, sejak masa Ramayana.13

Menurut Gandhi kebiasaan pernikahan dini adalah sebuah kejahatan, baik dari tinjauan moral maupun kemampuan fisik. Kebiasaan tersebut menyebabkan kita terjauhkan dari Tuhan dan juga dari Swaraj (perjuangan penegakan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa).14 Perkawinan anak-anak dapat dikatakan sebagai penyebab yang menjadikan kita terjauhkan dari Tuhan karena perkawinan anak-anak telah meruntuhkan moral kita yaitu dengan membiarkan gadis yang masih di bawah umur untuk dinikahi. Perjuangan meraih kemerdekaan bangsa ini tidak hanya berarti perjuangan membangkitkan kesadaran politik saja akan tetapi membangkitkan seluruh kesadaran, baik social, pendidikan, moral, ekonomi, maupun politik.

Pada bulan Agustus 1925 seorang aktivis perempuan mengeluarkan surat edaran yang ditujukan bagi pembentukan RUU di hadapan Majelis Dewan Perwakilan, lembaga yang bertujuan untuk menaikan standar usia akil baligh setidaknya dimulai dari umur 14 tahun. Gandhi memberikan dukungan terhadap gagasan tersebut, banhkan menurutnya tidak hanya pada usia 14 tahun tetapi hingga usia 16 tahun, karena Gandhi ingin menyelamatkan gadis-gadis usia kanak-kanak yang tidak bersalah dari nafsu laki-laki. Pernikahan pada anak-anak diusia

13

Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 68. 14

sangat muda merupakan suatu tindakan tak bermoral dan tidak manusiawi. Bahkan dalam teks-teks Sansekerta pun yang dianggap memilki otoritas menurut Gandhi tidak bisa dijadikan rujukan untuk menyerahkan praktek yang tak bermoral.15

Gandhi menyatakan:

“Saya telah menyaksikan rusaknya kesehatan ibu-ibu muda yang masih anak-anak, dan ketika kengerian-kengerian pada pernikahan terlalu dini semakin bertambah dengan munculnya janda-janda yang masih muda, maka tragedy kemanusiaan menjadi kian sempurna. Suatu perundangan yang bijaksana dengan

tujuan untuk menaikan usia baligh pasti saya akan dukung”.16

Tetapi Gandhi kecewa karena dukungannya terhadap perundangan tersebut tidak mendapat dukungan publik.

Hingga ketika ada kasus yang terjadi di Madras pada bulan Agustus 1926, yaitu yang mengenaskan menimpa seorang perempuan yang timbul dari pernikahan anak-anak, si gadis berumur 13 tahun dan suaminya 26 tahun. Pasangan itu hidup bersama selama 13 hari ketika gadis itu mati terbakar. Hakim mendapati bahwa gadis itu melakukan bunuh diri dengan memperlihatkan penderitaan yang tak tertanggungkan dan penistaan-penistaan tidak manusiawi yang dilakukan oleh suaminya.

Pada kenyataannya kematian gadis itu memperlihatkan bahwa “si suami”

telah membakar baju-bajunya, disebabkan karena nafsu yang memang tidak mengenal kebijaksanaan dan belas kasihan.17 Peristiwa di Madras menurut Gandhi tidak mungkin terjadi, apabila opini public untuk menentang pernikahan dini telah menjadi bagian dari nilai kehidupan.

15

Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 60. 16

Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 61 17

Kejahatan pernikahan dini ternyata terjadi sangat meluas baik di pedesaan maupun di perkotaan. Persoalan ini merupakan tugas yang sangat utama bagi kaum perempuan. Kaum pria juga tentu saja harus terlibat dalam menangani tugas ini. Namun ketika laki-laki berubah menjadi jahat, dia tidak mungkin lagi mendengarkan alasan apapun juga, oleh karena itu, siapa yang bisa mengajarkan kepada kaum pria tentang persoalan yang menimpa perempuan selain ibu?. Dari hal tersebut, Gandhi berusaha menggerakan Konferensi Kaum Perempuan Seluruh India, untuk turun ke desa-desa, karena menurutnya apa yang diperlukan adalah sentuhan personal oleh kaum perempuan untuk membuka pikiran pada penduduk desa agar bisa hidup sesuai dengan pemikiran umat manusia yang semestinya.18

Sementara itu menurut norma-norma ajaran Hindu perkawinan anak-anak merupakan suatu kebaikan. Perkawinan ank-anak ini dilaksanakan karena alasan utama yaitu keperawanan. Dalam agama Hindu anak-anak yang suci mempunyai status yang tinggi dalam keluarga Hindu dan dipuja sebagai dewi perawan. Keperawanan khususnya kesucian sering digambarkan sebagai kijang betina yang menyenangkan tetapi liar, maka para orang tua menjadi obsesif dalam menjaga kemurnian dan kesucian anak-anak putri mereka. Mempertimbangkan sangat pentingnya kesucian mendorong orang tua merencanakan perkawinan anak-anaknya sedini mungkin bahkan lebih rendah dari usia pubertas.19

18

Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 82-83 19

Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, terj. Syafa’atun Al-Mirzanah, dkk., (Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA, Mc Gill Project, 2002), h. 96-97.

Pada masalah perkawinan dini ini Gandhi bertentangan dengan norma-norma Hindu jika alasan utamanya adalah menjaga kesucian dengan tidak melihat dampak yang disebabkan oleh perkawinan anak-anak tersebut. Ucapannya kepada kaum perempuan “Purity ask for no external

protection”, Gandhi mengingatkan kaum perempuan bahwa perempuan

punya kekuatan dan apapun yang dilakukan harus diuji dahulu kebenarannya, apakah tindakan itu adil dan manusiawi.20

b. Perkawinan Kembali Para Janda

Bila kita bayangkan seorang gadis kecil, berumur lima tahu, dinikahkan dengan seorang laki-laki dewasa. Lima tahun kemudian, suaminya meninggal, dan janda muda itu dipersalahkan. Masyarakat mengecam karena dosa istrinyalah laki-laki itu meninggal. Anak perempuan yang baru berumur sepuluh tahun itu tidak mempunyai harapan untuk menikah lagi. Seumur hidup dia akan menjadi budak kepada keluarga almarhum suaminya. Rambutnya dicukur, perhiasannya dirampas, pakaiannya hanya sepotong baju yang kasar dan kusam, makannya hanya sekali sehari. Mungkin ia akan diperlakukan dengan kejam bahkan dianiaya.21 Demikianlah nasib para janda muda di India pada abad-abad yang lalu. Kaum wanita umumnya dipandang rendah. Seorang perempuan tidak boleh dididik, ia pun tidak boleh mengharapkan apa-apa baik di dunia maupun di akhirat, kecuali ia rela memperhambakan diri secara mutlak kepada suaminya.

20

Ni Nengah Ruktini, Spiritualitas Perempuan dalam Agama Hindu (sebuah refleksi), Gema Duta Wacana 1999, h. 127.

21

H. L. Cermat, Sastrawati Yang Membela Para Janda Muda, (Bandung: Lembaga Literatur Babtis, 1982), h. 1

Melihat keadaan semacam itu, Gandhi merasa iba dan perlu melakukan perubahan atas keadaan yang tidak berpihak kepada perempuan. Ia membela para janda muda dan perempuan malang lainnya yang dianggap sampah masyarakat.

Menurut Gandhi, tidak ada ajaran berupa pemaksaan status janda. Status janda secara sukarela, secara sadar, dilakukan oleh seorang perempuan yang merasakan kedekatan yang luar biasa dengan pasangannya yang telah meninggal. Status janda yang dipaksakan oleh agama atau adat istiadat merupakan beban yang tidak tertanggungkan, dan dan merupakan sebuah penindasan rumah tangga yang buruk sekali oleh kejahatan yang dilakukan secara diam-diam dan atas nama agama yang jatuh derajat kemuliannya. Bukanlah status janda yang dipaksa dalam Hindu tetapi sebetulnya merupakan suatu kejahatan jika seorang laki-laki tua berumur lebih dari lima puluh tahun atau bahkan sering kali jauh lebih tua dan penyakitan mengambil seorang istri yang masih anak-anak. Menurut Gandhi selama India memilki ribuan janda di tengah-tengah masyarakatnya, India seperti tengah duduk di atas ranjau pada suatu saat pasti akan meledak, untuk menyelamatkan kemurnian Hinduisme maka harus melepaskan diri dari racun status janda yang dipaksakan.22

Dalam pemikiran Gandhi, ia mendukung pernikahan kembali para janda muda, karena meraka adalah orang-orang yang malang, dalam kehidupan mereka yang pahit mereka tidak tahu apa-apa tentang pativrata dharma. Mereka benar-benar asing dengan cinta, atau dengan kata lain

22

gadis-gadis itu sama sekali belum pernah menikah. Apabila itu dikatakan sebuah pernikahan, sebagaimana seharusnya sebuah upacara suci, sebuah pintu gerbang untuk memasuki kehidupan baru, maka pilihan untuk memilih pasangan hidup harus berada di tangannya, dan mereka harus mengetahui akibat-akibat dari apa yang mereka perbuat. Sedangkan laki- laki yang menyebut pasangan anak-anak adalah sebuah status pernikahan dan memerintahkan status janda kepada gadis yang suaminya telah mati, adalah sebuah kejahatan melawan Tuhan.

Gandhi meyakini bahwa janda Hindu yang sesungguhnya adalah sosok yang berharga. Dalam Hinduisme, dia adalah sebuah anugerah bagi kemanusiaan, tetapi keberadaan janda-janda yang masih sangat muda itu adalah setitik noda pada Hinduisme.23

Pemikiran Gandhi dipengaruhi oleh orang-orang islam dan Kristen. Seperti yang telah diketahui bahwa dalam Islam maupun Kristen tidak ada larangan para janda untuk menikah kembali. Hal itulah yang ingin dihapussnya dalam larangan bagi para janda di dalam agama Hindu. Meskipun ia juga tidak memaksakan kepada setiap janda untuk menikah kembali.24

Gandhi berpendapat bahwa adalah suatu dosa, orang tua yang telah menikahkan anak perempuan mereka dalam usia yang masih anak-anak, maka untuk menebus dosa itu yaitu dengan menikahkan kembali anak- anak perempuannya ketika mereka telah menjadi janda meskipun dalam usia belasan tahun. Apabila gadis itu telah menjadi janda dalam usia yang

23

Mahatma Gandhi, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial, h. 229-230. 24

sudah dewasa, itu merupakan urusannya sendiri apakah dia akan menikah lagi atau tetap menjanda.

Pada norma-norma ajaran Hindu seorang janda dapat mensucikan diri dari karma buruknya yang telah menyebabkan kematian suaminya dengan bersatu kembali dengan suaminya dalam kehidupan mendatang, dan menghasilkan karma yang baik dalam kehidupan mendatang. Seorang janda diharuskan mempraktikkan kehidupan bertapa dalam tenggang waktu antara kematian suaminya dan kematiannya sendiri, karena dengan bertapa ia akan melaksanakan keutamaan kesempurnaan dalam perkataan, pemikiran dan tingkah laku, mengembangkan kemampuan untuk menderita dan akhirnya tidak acuh terhadap segala kepemilikan, dengan demikian akan dapat mencapai kedamaian sempurna.25

Agama Hindu tidak menghendaki perkawinan kembali para janda seperti yang disarankan oleh Mahatma Gandhi, karena melalui perkawinan seorang gadis memperoleh perlindungan dan dukungan dari keluarga

Dokumen terkait