• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Perempuan dalam Kegiatan Keagamaan

BAB III KONSEPTUALISASI PEMIKIRAN MAHATMA

C. Peran Perempuan dalam Kegiatan Keagamaan

Gerak sejarah manusia banyak didominasi kaum laki-laki sehingga penafsiran doktrin agama pun secara sengaja maupun tidak banyak,

34

Juwairiyah Dahlan, Wanita dalam Perspektif Agama Hindu, dalam M. Masyhur Amin (ed), Wanita dalam Percakapan Antar Agama Aktualisasinya dalam Pembangunan, (Yogyakarta: LKPSM NU, 1992), h. 77.

35

G. Pudja dan Tjokardja Rai Sudharta, Manawa Dharma Castra; Weda Smrti; Compendium Hukum Hindu, (Jakarta: Depag RI, 1983), h. 535.

36

menguntungkan laki-laki dan menyudutkan perempuan. Seperti dalam mite penciptaan alam dalam Hindu dijelaskan bahwa Brahma; pencipta alam dipandang sebagai laki-laki dan sekaligus perempuan. Brahma membagi dirinya menjadi dua, sebagai Purusha (pria) dan sebagian yang lain Prakriti (wanita). Hal ini memberi pengertian lebih jelas bahwa pria dan wanita merupakan emanasi langsung dari jasad Tuhan sendiri, maka perempuan adalah bagian dari kekuatan Tuhan yang asli, yang berarti kekuatan Tuhan. Dengan demikian secara esensial terdapat kesamaan spiritual antara pria dan wanita. Interaksi yang harmonis antara Purusha dan Prakriti menyebabkan terciptanya alam ini.37

Pada hakekatnya menurut Gandhi laki-laki dan perempuan adalah menunggal, masalah merekapun pasti manunggal pula, kedua-duanya mempunyai jiwa yang sama pula, masing-masing menjalani kehidupan yang sama dan mempunyai perasaan yang serupa, yang satu merupakan pelengkap bagi yang lain, masing-masing tidak akan hidup tanpa bantuan aktif dari pasangannya.38 Gandhi menambahkan bahwa kita semua adalah anak Tuhan yang sama dan merupakan bagian dari keilahian yang sama.39

Gandhi meyakini akan ke-Esa-an mutlak Tuhan dan oleh sebab itu, keesaan umat manusia juga. Lebih lanjut Gandhi meyakini, memang badan kita sebagai manusia banyak, tetapi jiwa kita hanya satu. Seperti sinar matahari juga terpecah banyak melalui pembiasan, tetapi sumbernya tetap sama.40

Gandhi berkeyakinan bahwa semua manusia adalah sama dihadapan Tuhan, maka baik laki-laki maupun perempuan, baik kasta rendah maupun kasta

37

Juwairiyah Dahlan, Wanita dalam Perspektif Agama Hindu, h. 72. 38

Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 186. 39

Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 98. 40

tinggi adalah sama yaitu makhluk yang rendah bila dibandingkan dengan Tuhan. Oleh sebab itu, Gandhi tidak banyak berbicara tentang peran perempuan dalam kegiatan keagamaan secara spesifik, namun demikian ia sedikit memberikan pembaharuan-pembaharuan dalam beberapa praktek kehidupan yang berkaitan dengan ajaran agama yang berpengaruh dalam gerakannya, diantaranya adalah:

1. Ajaran Cinta Kasih

Dalam keadaan wajar, normal, manusia dilahirkan dan dibesarkan di atas dasar cinta kasih. Cinta kasih merupakan motif penggerak hidup dan kehidupan. Selain cinta kasih adalah unsur penting dalam menghayati berbagai usaha sosial dan kerukunan hidup bermasyarakat, cinta kasih juga bisa menghubungkan manusia dengan Tuhan YME (Hyang Widhi Wasa), dengan sesama manusia dan alam lingkungannya. Cinta kasih sangat membahagiakan, sebab cinta kasih menyamakan kehendak, tujuan dua orang atau lebih dalam kerjasama, seperti misalnya cinta kasih dalam kehidupan bermasyarakat akan mendorong anggota masyarakat itu untuk selalu bergotong-royong, bantu-membantu dalam kehidupan sehari-hari.

Gandhi datang dari keluarga yang memeluk agama Djainisme, suatu jenis agama Hindu yang sangat keras melarang pemeluknya melakukan perbuatan yang bengis seperti menyakiti makhluk lain, apalagi membunuh. Cinta dan kasih sayang itulah yang menjadi dasar agama tersebut, selain itu Gandhi sangat keras dididik menurut ajaran-ajaran agamanya itu, sehingga dasar kasih sayang sudah sejak kecil menjadi dasar hidupnya pula.41

41

Dalam kehidupan, Gandhi selalu berusaha untuk menangani kejahatan atau kekejaman terhadap sesama manusia maupun binatang dan lingkungan sekitar, hingga ia menjadi seorang vegetarian; seorang berpantang makan daging, sebagai wujud cinta kasihnya terhadap makhluk lain dan kepatuhannya terhadap ajaran agama.

Sesungguhnya seluruh jiwa Gandhi adalah penjelmaan cinta dan kasih sayang semata-mata. Sekalipun ia sangat menentang ketidakadilan dan segala yang bertentangan dengan kebenaran namun ia tidak pernah beranggapan mempunyai musuh. Seolah-olah kata-kata musuh tidak ada dalam kamusnya, yang ada hanyalah sahabat yang berbeda paham dan keyakinan. Pernah ia berseru pada pengikutnya:

“Kalau perjuangan kita sungguh-sungguh bersifat rohani yang sejati dan memberikan kemenangan kepada kita, maka haruslah dengan insaf kita membuang anggapan, bahwa perjuangan kita ini adalah sesuatu perjuangan antara musuh dengan musuh. Ini berarti, bahwa pada perjuangan kita ini, (berlainan dengan semua peperangan- peperangan duniawi) pihak-pihak yang berlawanan itu bukanlah musuh berlawanan musuh, melainkan sahabat berhadapan dengan sahabat, yang masing-masing berada di dalam tempat yang terpisah, oleh karena pendapat dan keyakinan masing-masing berlainan atau malah bertentangan satu sama lainnya. Pertentangan tersebut mungkin bersandar kepada sesuatu keyakinan yang jujur, tapi mungkin juga kepada ketamakan, keangkuhan bangsa atau keangkuhan sosial. Sekalipun pihak lain memandang kita sebagai kaum pemberontak, sebagai musuh atau sebagai apapun juga, namun dari pihak kita sendiri haruslah kita selamanya berpendirian, bahwa kita bukanlah musuh sesuatu

pihak manapun juga.”42

Dengan prinsip-prinsip hidup yang selalu ia pegang dan selalu digunakan sebagai prinsip perjuangannya pula, ia tidak hanya merevolusi nasib bangsanya saja, tetapi juga merevolusi segenap umat manusia untuk diberi dasar peri kemanusiaan dan kasih sayang antar sesama makhluk hidup dengan membuang segala nafsu-nafsu yang buruk dan jahat. Semua itu menunjukkan betapa besarnya jiwa Gandhi yang universal itu, perjuangan Gandhi tidak hanya mempunyai arti

42

terbatas di lingkungan kebangsaannya semata, melainkan sudah meningkat pada tingkatan lebih tinggi derajatnya dengan mempunyai nilai abadi, yaitu perjuangan untuk membebaskan segenap manusia lahir dan batin dari segala macam penindasan dengan hanya taat kepada satu kekuasaan dan hanya mengakui satu undang-undang yaitu kekuasaan dan undang-undang kasih sayang.43

2. Brahmacharya

Secara harfiah brahmacharya berarti cara hidup yang menuntun manusia kepada kesadaran akan adanya Tuhan.44 Brahmacharya atau selibat di kalangan para penganut mistik dan asketik Hindu dianggap sebagai puncak pengorbanan diri dan penolakan atas keberadaan person, cara paling hakiki untuk menghindari semua godaan dan menemukan Tuhan.45 Menurut Gandhi makna sebenarnya dari brahmacharya adalah pencarian terhadap Brahman. Dalam filsafat Hindu, Brahman adalah prinsip religius yang merupakan perwujudan dari Brahma, dan Brahma dalam berbagai manifestasinya Sang pencipta, penjaga dan pengrusak adalah Dzat Tertinggi. Dari sinilah segala sesuatunya berasal dan tujuan akhirnya, melalui siklus inkarnasi dan reinkarnasi, berjuang keras untuk bersatu kembali dengan Dzat Tertinggi. Karena Brahman selalu ada dalam setiap orang, ia bisa diketahui melalui kontemplasi dan pencerahan batin, pencerahan ini tidak mungkin tercapai tanpa kontrol yang sempurna terhadap semua alat indera.46

43

Mahatma Gandhi, Religi Susila, h. 16-17. 44

Mahatma Gandhi, Berkawan dengan Alam Menuju Kesehatan Alternatif, terj. Siti Farida (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 77.

45

Ved Mehta, Ajaran-ajaran Mahatma Gandhi, terj. Siti Farida (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 362-363.

46

Namun pada umumnya brahmacharya diartikan sebagai pengontrol alat kelamin dan pencegahan pengeluaran sperma melalui pengekangan penuh atas naluri seks dan alat kelamin sendiri. Kontrol terhadap naluri dan organ-organ seksual menjadi sesuatu yang alamiah, bagi seseorang yang selalu berlatih untuk serba bisa dalam hal pengendalian diri. Hal ini bisa terjadi hanya ketika ketaatan pada brahmacharya itu sungguh-sungguh alamiah bagi laki-laki atau perempuan yang mengambil manfaat terbesar dari sikap ini. Orang yang tengah menjalani brahmacharya harus benar-benar bebas dari nafsu amarah dan nafsu-nafsu sejenisnya. Gandhi meyakini bahwa hubungan seksual adalah kewajiban agama yang semata-mata bertujuan untuk menjadi sarana lahirnya anak (prokreasi), tetapi kewajiban untuk mengabdi kepada masyarakat adalah kewajiban agama yang lebih tinggi daripada prokreasi. Meskipun demikian Gandhi tidak anti terhadap perkawinan atau hubungan seksual. Ia tetap mendukung dan menganjurkan para muridnya tetap bertemu dan jatuh cinta di dalam kegiatan pengabdian mereka, tanpa meninggalkan sumpah brahmachari. Mereka mulai hidup bersama dalam apa yang mereka sebut sebagai “Pernikahan Spiritual” atau

“Keluarga Spiritual”, dan kepada para muridnya yang telah menikah Gandhi

menganjurkan untuk mengambil sumpah brahmachari segera setelah mereka menyempurnakan keluarga mereka semampu yang bisa mereka lakukan. Gandhi pun sangat mendukung orang yang tidak pernah menikah dan ingin mengabdikan dirinya secara total kepada masyarakat dengan menghilangkan hasrat seksual dan pernikahan sekaligus. Semua ini merupakan kesalehan yang diamalkan dalam

tradisi Gandhi, yang merupakan eksperimen-eksperimen lebih jauh dari praktek brahmacharya eksplorasi lebih jauh atas pemurnian pengorbanan diri.47

Bagi seorang brahmachari perbedaan antara laki-laki dan perempuan hampir lenyap, maka laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk menjalani kehidupan brahmacharya. Karena seorang brahmacharya yang sempurna akan hidup dalam keberadaan Tuhan, menyatu dengan Tuhan. Laki-laki atau perempuan mempunyai kedudukan yang sama di mata Tuhan dalam mencapai moksa dan kehidupan yang kekal di Nirvana.

3. Puasa

Sebagai seorang brahmacharya, walaupun pada permulaan dirasakan berat dan sukar, namun setelah bertahun-tahun menjalani jatuh bangun dengan aneka eksperimen, Gandhi merasakan hidup seorang brahmachari lebih banyak memberikan kegembiraan. Dari pengalaman Gandhi, pengekangan diri dalam makanan sangat diperlukan mengingat terdapat hubungan yang erat antara pikiran dan badan. Makanan seorang brahmachari harus dijaga; bahkan puasa akan banyak menolong, namun manfaat puasa terbatas saja yakni bahwa pemadaman nafsu birahi pada umumnya tidak mungkin tanpa puasa. 48

Menurut Gandhi, selama pikiran belum seluruhnya dikuasai oleh kemauan maka brahmacharya tidak mungkin sempurna. Pikiran yang tiba-tiba muncul merupakan afeksi dari kalbu; sebab pengekangan pikiran berarti pengekangan kalbu, suatu pengendalian yang lebih sukar dilakukan daripada pengendalian angin. Dengan adanya atman dalam diri kita, atman itu memungkinkan

47

Ved Mehta, Ajaran-ajaran Mahatma Gandhi, h. 410. 48

pengendalian kalbu. Hal ini merupakan tujuan yang paling luhur, maka tidaklah mengherankan jika hanya usaha yang keraslah yang akan memungkinkan tercapainya tujuan tersebut.

Pada bulan Shravan; seperti bulan Ramadhan dalam Islam, Gandhi pun mengajak anggota ashramnya untuk melakukan pradosha (berpuasa sampai malam) dan mengunjungi kuil-kuil Shaiva dan Vaishnawa. Tradisi ini merupakan warisan tradisi leluhur Gandhi, di mana ia melihat ibunya sendiri dan kerabat- kerabatnya biasa melaksanakan puasa Shaiva dan Vaishnawa.49

Ketika Gandhi melakukan eksperimennya ini bersama keluarga ashramnya; termasuk anak-anak, beberapa orang anggota keluarganya adalah muslim yang ketika itu berbarengan bulan ramadhan bagi mereka. Maka Gandhi selalu membantu mengajarkan mereka untuk menaati petunjuk-petunjuk agama mereka, begitu juga Gandhi sendiri, anak-anak Kristen dan Parsi didorong untuk menjalankan ibadah mereka masing-masing. Oleh sebab itu, pada bulan tersebut Gandhi membujuk anak-anak muslim untuk melaksanakan puasa ramadhan dan ia sendiri melakukan puasa pradosha beserta anak-anak Hindu, Parsi dan Kristen diminta ikut melaksanakannya juga. Gandhi menjelaskan kepada mereka bahwa tidak perlu untuk mengikuti sampai hal-hal terkecil, cukuplah menghormati anak- anak muslim yang harus menunda makannya sampai matahari terbenam. Selain yang muslim dapat menyiapkan hidangan-hidangan lezat untuk teman-teman muslim serta melayani mereka.50 Dari eksperimen ini Gandhi mencoba menanamkan sikap toleransi antar umat beragama pada anak-anak penghuni ashramnya di samping anjurannya untuk melaksanakan kewajiban berpuasa.

49

Mahatma Gandhi, Gandhi Sebuah Otobiografi; Kisah Eksperimen-eksperimen dalam Mencari Kebenaran, terj. Gd. Bagus Oka (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 1982), h. 305.

50

4. Sembahyang Puja

Sembahyang, puja adalah meminta sesuatu kepada Tuhan dalam sikap yang penuh hormat. Sembahyang dapat diartikan juga sebagai suatu perbuatan pengabdian (Bhakti, devotion). Tindakan sembahyang ini mencerminkan sebuah kerinduan hati untuk menjadi satu dengan Sang Pencipta, suatu permohonan atas rahmat-Nya. Setiap kata-kata yang diucapkan memiliki suatu kekuatan atau pengaruh pada diri setiap orang yang melaksanakannya. Sembahyang, puja mengandung maksud menyadarkan manusia bahwa manusia hanyalah

“segenggam lempung di tangan Sang Pembuat Tempayan”, tidak sesuatu pun

terjadi tanpa kehendak-Nya. Maka dalam Hindu tidak ditentukan berapa banyak waktu yang dipergunakan untuk bersembahyang, hal ini tergantung diri masing- masing orang.

Ketika Gandhi mendirikan ashramnya, kebenaran merupakan pondasinya dan sembahyang sebagai kekuatannya. Maka sejak ashram didirikan setiap penghuninya diharuskan melakukan sembahyang setiap harinya. Dalam setiap harinya dimulai puja pagi hari pada pukul 04.15 sampai 04.45 waktu setempat dan pada soere harinya puja petang pada pukul 07.00 sampai 07.30 petang atau 19.00- 19.30 waktu setempat.51

Tindakan sembahyang dengan pengucapan hal yang sama dari hari ke hari dianggap akan menjadi hal yang mekanis dan cenderung kurang bermanfaat maka tindakan ini mendapat tantangan. Menurut Gandhi memang benar bahwa dengan jalan demikian doa akan menjadi mekanis. Kita sendiri adalah mesin, dan bila kita

51

Mahatma Gandhi, Kehidupan Ashram Dari Hari Ke Hari, terj. Gd. Bagoes Oka (Bali: Yayasan Bali Canti Sena, 1981), h. 26.

percaya akan Tuhan sebagai penggerak kita, maka kita harus bersikap sebagai mesin di tangan-Nya.52 Puja bersama yang dilakukan di ashram bertujuan membuat hati kita bersujud setiap saat. Jika doa ashram masih belum menarik, dan jika warga ashram pun menghadirinya karena terpaksa, itu hanya berarti bahwa tak seorang pun di antara kita sudah merupakan orang yang bersujud dalam arti yang sejati.53

Selain dilakukan puja bersama, di ashram Gandhi juga menekankan puja perorangan dan doa dalam kesunyian. Seorang tidak pernah berdoa sendiri boleh saja ikut dalam doa bersama tetapi dia tidak akan dapt memperoleh banyak manfaat. Doa bersama mutlak perlu bagi umat yang mantap tetapi karena umat itu terdiri dari oknum-oknum, doa bersama tak ada manfaatnya tanpa ditunjang doa perorangan. Maka dari itu sekali-kali setiap warga ashram diperingatkan bahwa atas dasar kemauannya sendiri harus mengadakan mawas diri setiap hari. Dalam hal ini tidak ada seorang pun dapat mengawasinya dan tidak ada laporan yang dapat dibuat tentang doa yang dipanjatkan di hati. Gandhi pun tidak mengetahui sejauh mana hal ini berlaku di ashram. Tetapi ia percaya bahwa ada beberapa anggota senantiasa berusaha ke arah itu.54

52

Mahatma Gandhi, Kehidupan Ashram Dari Hari Ke Hari, h. 34-35. 53

Mahatma Gandhi, Kehidupan Ashram Dari Hari Ke Hari, h. 38. 54

53

Dokumen terkait