• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Konsep Timbulnya Tanggung Jawab Negara

1. Konsep Imputabilitas dan Atributalitas

Tindakan pelanggaran internasional merupakan sumber dari timbulnya tanggung jawab negara, maka penting dikemukakan mengenai keterkaitan (imputability). Pelanggaran-pelanggaran kewajiban oleh badan-badan negara dapat dikaitkan kepada negara yang dituntut menurut kaidah-kaidah hukum internasional meskipun menurut hukum nasional tindakan-tindakan demikian tidak ada kaitannya dengan negara itu, karena misalnya badan yang terkait telah bertindak diluar lingkup kewenangannya.26

1) tindakan suatu organ atau pejabat negara yang melanggar kewajiban yang telah ditetapkan di dalam suatu kaidah hukum internasional;

Keterkaitan tersebut bergantung pada pemenuhan dua syarat berikut :

2) bahwa menurut hukum internasional, pelanggaran tersebut akan diatribusikan kepada negara terkait.27

26

J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, Edisi Kesepuluh, hlm. 404.

27

Dengan adanya imputability, keterkaitan tersebut secara langsung berhubungan dengan konsep atributalitas (hubungan antara tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai tindakan negara) yang menimbulkan tanggung jawab negara.

Dalam aturan tradisional, Dionisio Anzilotti mempunyai pemikiran mengenai konsep atributalitas yang menganalisa persyaratan untuk mengatribusikan wrongful act kepada negara. Secara umum tindakan-tindakan individu seperti mencuri, merusak, membunuh atau tindakan-tindakan lain adalah suatu hal tersendiri di luar tanggung jawab negara. Dalam sistem hukum internasional, pertanggungjawaban negara hanya akan dilibatkan apabila tindakan individu tersebut mengakibatkan negara melanggar norma hukum internasional. ...international law regards acts injuring or offending foreign State committed by individuals as individual acts not attributable to the State; but it combines with these acts particular international obligations, and corresponding duties; a liability of the State for a wrongful act, accordingly, arises not in consequence of the individual’s action, but only from the failure to meet the obligations that international law combines therewith (hukum internasional menganggap tindakan melukai atau menyinggung Negara asing yang dilakukan oleh individu sebagai tindakan individu tidak disebabkan oleh Negara; tetapi menggabungkan dengan tindakan kewajiban internasional tertentu, dan tugas yang sesuai, kewajiban Negara untuk tindakan yang salah, sehingga tidak muncul konsekuensi dari

tindakan individu, tetapi hanya dari kegagalan untuk memenuhi kewajiban hukum internasional yang menggabungkan tindakan/pelanggaran tersebut).28

…from the viewpoint of international law is not hing other than the consequence of the relationship of causality that exist between an act contrary to the law of nations and the activity of the State that is the author of that act.

Maka konsep atribusi yang murni dari sudut pandang hukum internasional, tidak lebih dari konsekuensi hubungan sebab akibat antara tindakan yang berlawanan dengan hukum internasional dan aktivitas negara yang menjadi pelaku tindakan tersebut.

29

Jika Anzilotti memakai istilah wrongful act, maka berbeda dengan Oppenheim memakai istilah tindakan pelanggaran internasional dengan istilah International Delinquencies. Menurut Oppenheim istilah tersebut adalah kerugian yang disebabkan oleh suatu negara yang dilakukan oleh organ negara atas pelanggaran hukum internasional. International delinquencies, merupakan suatu

Dionisio Anzilotti menegaskan bahwa tidak ada yang lebih absurd selain daripada ide bahwa kekuasaan negara dijalankan lewat otoritas yang diberikan oleh hukum internasional. Maka atribusi dari internationally wrongful act tidak mengikat hukum domestik dan internasional secara bersamaan. Karena hukum domestik menentukan apakah pelaku wrongful act tersebut dapat dikategorikan sebagai agen negara, sementara hukum internasional mangatribusikan apakah tindakan tersebut memiliki kualitas di mata hukum internasional.

28

www.ejil.org/journal/Vol3/No1/art8-01.html. Pierre-Marie Dupuy, Dionisio Anzilotti

and The Law of International Responsibility of States, 30 Maret 2006. 29

istilah yang menerapkan pada pengertian pelanggaran atas keberadaan dan ketentuan dalam suatu perjanjian dengan obyek yang berbeda. Obyek dalam pelanggaran internasional dapat berupa keadaan suatu negara yang dirugikan dalam hubungan dengan hal kemerdekaan sampai pada hal intervensi yang tidak pada tempatnya; dalam hubungan dengan perjanjian sampai pada suatu tindakan yang melanggar suatu perjanjian; atau dalam hubungan dengan hak perlindungan atas warganegara yang berada di luar negeri melalui tindakan yang melanggar hak perorangan atau hak milik salah satu warga negaranya luar negeri.

Oppenheim berpikiran mengenai tindakan yang dapat dikategorikan (diatribusikan) sebagai tindakan negara, bahwa negara sebagai subyek yang berdaulat tidak dapat dibebani pertanggungjawaban. Pandangan ini hanya benar apabila dikaitkan dengan tindakan-tindakan negara terhadap warganya.

It is often maintained that a State, as asovereign person, can have no legal responsibility whatever. This is only correct with reference to certain acts of a State towards its subjects (Hal ini sering menyatakan bahwa suatu Negara, sebagai pribadi asovereign, bisa tidak memiliki tanggung jawab hukum apapun. Ini hanya benar dengan mengacu pada tindakan tertentu dari suatu Negara terhadap warga negaranya).

Keadaan tersebut akan berbeda dalam hubungan suatu negara dengan negara lainnya. Negara berkedudukan sebagai subyek hukum internasionaln dan memiliki pertanggungjawaban dalam arti hukum yang melekat pada dirinya. Dalam bukunya, Oppenheim membedakan responsibility secara original (asli) dan vicarious (pengganti).

a. Original Responsibility

Tanggung jawab ini dipikul oleh negara atas tindakan pemerintahnya, tindakan pegawai pemerintah, atau atas tindakan individu yang dijalankan lewat instruksi pemerintah atau otorisasinya.

An international delinquency is any injury to another State committed by the head or Government of a State in violation of an international legal duty. Equivalent to acts of the Head or Government are acts of officials or other individuals commanded or authorized by the Head or Government (Sebuah pelanggaran internasional merugikan negara lain yang dilakukan oleh kepala atau Pemerintah dari Negara yang melanggar suatu kewajiban hukum internasional. Setara dengan tindakan Kepala atau Pemerintah adalah tindakan pejabat atau individu lain yang diperintahkan atau diberi kuasa oleh Kepala atau Pemerintah).30

Oppenheim mengatakan bahwa, “ International delinquencies in the technical sense of the term must not be confused with so-called ‘Crimes against the Law of Nations’ (Pelanggaran internasional dalam pengertian teknisnya tidak Tindakan oleh pemerintah atau kepala pemerintahan yang dimaksud adalah tindakan pejabat atau individu lain yang diperintahkan atau yang diberi hak atau wewenang oleh pemerintah atau kepala pemerintahan. Pengertian menyeluruh tentang suatu pelanggaran internasional dapat berarti dari pelanggaran biasa atas kewajiban perjanjian, menyertakan tidak lebih daripada kompensasi yang berhubungan dengan uang, sampai pada pelanggaran hukum internasional yang melibatkan tindakan kriminal dalam arti umum.

30

H. Lauterpacht, International Law A Treaties by L. Oppenheim,vol. 1, Eight Edition, London, Longmans, 1955, hlm. 338.

dapat dikacaukan dengan istilah kejahatan melawan hukum negara-negara/bangsa-bangsa) ”31

An international delinquency must, further, not be confused with discourteous or unfriendly acts. Although such acts may be met by retorsion, they are not illegal and therefore not delinquent act

. Dalam istilah hukum pidana berbagai negara, tindakan individu seperti itu merupakan tindakan melawan hukum negara asing. Tindakan tersebut meliputi kejahatan seperti kejahatan perompakan di laut atau perdagangan budak, dimana tiap-tiap negara dapat menghukum tindakan tersebut, tanpa memandang nasionalitas para pelakunya, atau tentang apapun juga.

Lebih lanjut, tindakan tak ramah atau tidak sopan tidak dapat dimasukkan kedalam suatu pelanggaran internasional. Oppenheim mengatakan bahwa :

32

b. Vicarious Responsibility

.

Vicarious responsibility adalah pertanggungjawaban negara atas tindakan yang dilakukan oleh individu. Tetapi setiap negara dapat dikenakan pertanggungjawaban (vicarious responsibility) atas tindakan yang dilakukan oleh organ-organnya33

Suatu pelanggaran internasional dapat dilakukan oleh negara manapun, apakah itu dalam suatu kedaulatan penuh, separuh kedaulatan bahkan sebagian

. Tanggung jawab yang nyata dari suatu negara atas tindakan yang dilakukan oleh organ negara, bervariasi. Maka perlu pembedaan antara tindakan kepala-kepala negara, anggota dari suatu pemerintahan, duta diplomatik, parlemen, pejabat pengadilan, pejabat administratif, dan anggota militer yang menimbulkan kerugian. 31 Ibid., hlm. 339. 32 Ibid. 33 Ibid. Hlm. 358.

kedaulatan dari suatu negara. Sekalipun begitu, separuh dari kedaulatan suatu negara dapat melakukan pelanggaran internasional sejauh mereka mempunyai status internasional atau yang berhubungan dengan tugastugas internasional mereka sendiri. Bahkan keadaan dalam setiap kasus yang ada memutuskan apakah pelanggar harus bertanggung jawab atas kelalaian yang diperbuatnya sehubungan dengan kewajiban internasional secara langsung kepada negara yang dianggap bersalah atau apakah negara yang berdaulat secara penuh harus memikul tanggung jawab, dalam arti tanggung jawab pengganti / vicarious responsibility (seolah-olah akibat perbuatannya sendiri) atas pelanggaran yang ada.

Di satu sisi, negara yang tidak memiliki status internasional apapun, seperti negara-negara bagian dari Amerika Serikat, tidak dapat dikatakan sebagai subyek international delinquency karena seluruh hubungan internasional mereka diserahkan secara penuh kepada pemerintahan pusat Amerika Serikat.

…such States as are without any international status whatever, as, forn example, the member-States of the United States of America, because all their possible international relations are absorbed by the United States as such, cannot commit an international delinquency (Negara-negara tanpa status internasional apapun, seperti, misalnya negara-negar bagian dari Amerika Serikat, karena semua kemungkinan hubungan internasional mereka diserap oleh Amerika Serikat sebagai tersebut, tidak dapat melakukan suatu pelanggaran internasional).34

Sebagai contoh, tindakan merugikan negara Perancis yang dilakukan oleh pemerintah California tidak dapat dikatakan sebagai pelanggaran internasional

34

dalam pengertian istilah teknisnya. Tetapi tindakan tersebut menimbulkan tanggung jawab pengganti (vicarious responsibility) dimana Amerika Serikat harus memikul tanggung jawab tersebut seolah-olah ia yang secara langsung merugikan Perancis. Keadaan ini juga menimbulkan konflik seperti yang ditemukan dalam kasus Case on Account of the Segregation of Japanese Children by the Board of Education of San Francisco 1906 antara Amerika Serikat dengan Jepang, atas adanya pemisahan anak-anak Jepang oleh Dewan Pendidikan San Francisco. Jepang meminta agar keputusan ini dapat ditarik. Dalam hal ini pemerintah pusat Amerika Serikat memikul tanggung jawab pengganti dengan berpihak pada Jepang dan membujuk pemerintah California agar segera memenuhi permintaan Jepang35

1) Karena negara merupakan juristic persons, maka yang menjadi pertanyaannya adalah tindakan merugikan (secara internasional) yang dilakukan oleh siapa yang harus dipertimbangkan sebagai tindakan negara? Dari pertanyaan tersebut, maka pertama-tama yang harus dijawab adalah semua tindakan yang dilakukan oleh kepala pemerintahan atau oleh anggota dari pemerintahan dalam kapasitasnya

.

Dilihat dari kasus-kasus yang terjadi, maka timbul pertanyaan siapakah yang sebenarnya dapat dikatakan sebagai subyek dari terjadinya pelanggaran internasional? Apakah negara yang bertindak sendiri, badan-badan pemerintahan, ataukah individu dapat dikenakan tanggung jawab atas pelanggaran internasional yang terjadi. Maka, dalam hal ini, Oppenheim mengelompokkan subyek dari pelanggaran internasional sebagai berikut :

35

sebagai pemerintah suatu negara. Jadi dengan begitu dapat dikatakan bahwa tindakan mereka (organ negara) mencerminkan tindakan negara36

2) Semua tindakan yang dilakukan oleh pegawai pemerintahan atau individual lain yang diberikan wewenang dari pemerintah. Lebih lanjut semua tindakan yang dilakukan oleh kepala-kepala anggota atau negara pemerintah yang di luar kapasitas pejabat mereka, sebagai individu yang bertindak atas nama diri mereka dan bukan untuk negara, tidak dapat dikatakan sebagai subyek dari pelanggaran internasional.

.

2. Tindakan (Act)

Konsep imputabilitas dan atributalitas diatas merupakan dasar dari suatu tindakan yang menimbulkan tanggung jawab negara maka tindakan (act) merupakan perilaku aktif negara dalam aktivitasnya. Kategori ini untuk mengindikasikan bahwa negara memang berniat untuk melakukan suatu tindakan tertentu lewat aparaturnya. Teori Hukum tidak memberikan definisi spesifik tentang act. Salmond misalnya, hanya menyatakan bahwa act adalah untuk membedakan kejadian alam dengan pikiran-pikiran, atau dengan kealpaan37

36

Ibid, hlm. 341.

37

P.J.Fitzgerald, M.A. Salmond on Jurisprudence, Twelfth Edition, London, Sweet and Maxwell, 1966, hlm. 352.

. Permasalahan atributabilitas tidak banyak timbul disini karena dalam hal ini telah jelas-jelas adanya maksud dari negara dalam melakukan suatu hal tertentu secara aktif.

Kealpaan merupakan kategorisasi yang dibuat karena perbuatan pasif dari negara dalam tidak melakukan sesuatu yang seharusnya menurut hukum harus dilakukan. Menurut Sir John Salmond, berdasarkan atas Mens Rea (The Guilty Mind), terdapat tiga macam kesalahan (wrongs)38

1) Intentional or Reckless Wrongs, dimana derajat Mens Rea-nya terdiri dari niat (intention), tujuan, desain atau setidak-tidaknya pengetahuan awal akan akibat dari tindakan (foresight);

:

2) Wrongs of Negligence, dimana derajat mens rea-nya kurang apabila dibandingkan

dengan point satu diatas, dalam hal negligence ini, Mens Rea-nya hanya mengambil bentuk kecerobohan (Carelessness);

3) Wrongs of Strict Liability, dimana tidak diperlukan adanya niat yang jahat (wrongful intent) maupun kealpaan (negligence).

Jadi dalam point 3 ini, elemen mens rea sama sekali tidak diperlukan. Istilah negligence didefinisikan sebagai kegagalan untuk menggunakan suatu kepedulian/keharusan (failure to use sufficient care). Salmond menyatakan bahwa standard care yang umum dikutip adalah kewajiban untuk melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang pada umumnya.

B. Teori-Teori Tentang

Tanggung Jawab Negara

Pada dasarnya, ada dua macam teori pertanggungjawaban negara, yaitu :39 1. Teori Risiko (Risk Theory)

38

Ibid., Hlm. 389 39

Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional,Edisi Revisi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,2002, Hal 274

yang kemudian melahirkan prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability) atau tanggung jawab objektif (objective responsibility), yaitu bahwa suatu negara mutlak bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan (harmful effects of untra-hazardous activities) walaupun kegiatan itu sendiri adalah kegiatan yang sah menurut hukum. Contohnya, Pasal II Liability Convention 1972 (nama resmi konvensi ini adalah Convention on International Liability for Damage caused by Space Objects of 1972) yang menyatakan bahwa negara peluncur (launching state) mutlak bertanggung jawab untuk membayar kompensasi untuk kerugian di permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam penerbangan yang ditimbulkan oleh benda angkasa miliknya.

2. Teori Kesalahan (Fault Theory)

yang melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective responsibility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault), yaitu bahwa tanggung jawab negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu.

Kecenderungan yang berkembang akhir-akhir ini adalah makin ditinggalkannya teori kesalahan ini dalam berbagai kasus. Dengan kata lain, dalam perkembangan di berbagai lapangan hukum internasional, ada kecenderungan untuk menganut prinsip tanggung jawab mutlak.

C. Pembagian Tanggung Jawab Negara

1. Tangung Jawab Negara Atas Pelanggaran Traktat Atau

Dokumen terkait