• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mitra, pada pokoknya sama dengan “teman” atau “kawan” yang dalam padanan bahasa Inggrisnya adalah “friendship” atau “partnership”. American Heritage Dictionary (1992) dalam Syahyuti (2006), mengartikan bahwa kemitraan merupakan suatu hubungan antar individu-individu atau antar kelompok-kelompok yang dicirikan oleh adanya kerjasama yang saling menguntungkan (mutual cooperation) dan tanggung jawab (responsibility) untuk mencapai suatu tujuan tertentu (achievement of specified goal). Istilah ini muncul pertama kali dalam hukum bisnis yang berkaitan dengan suatu kontrak berbagi yang adil dalam hal keuntungan maupun kerugian dalam kerjasama bisnis (joint business). Esensi kemitraan dalam ekonomi terletak pada kontribusi bersama, baik berupa tenaga kerja (labor) maupun benda (property), atau keduanya untuk tujuan-tujuan ekonomi. Pengendalian kegiatan juga dilakukan bersama, dimana pembagian keuntungan dan kerugian didistribusikan diantara pihak yang bermitra. Artinya, sumberdaya dan kompetensi masing-masing digabungkan untuk mencapai sinergi, menuju peningkatan volume maupun kualitas produk atau jasa yang dihasilkan (Syahyuti, 2006).

Ditinjau dari sudut paradigma ekonomi biaya transaksi, kemitraan merupakan salah satu alternatif modus transaksi yang merupakan kombinasi tak lengkap dari sistem pasar (spot) dan sistem organisasi integratif. Pelaku-pelaku yang terlibat dalam sistem transaksi kemitraan terpisah dalam hal kepemilikan namun terpadu dalam hal keputusan manajerial. Transaksi dalam sistem kemitraan diatur dalam suatu kontrak kesepakatan yang menyatukan antara inti dan plasma sehingga terbentuk suatu kuasi organisasi (Simatupang, 1997).

Pembangunan ekonomi pola kemitraan merupakan perwujudan cita-cita untuk melaksanakan sistem perekonomian gotong royong antara mitra yang kuat dari segi permodalan, pasar dan kemampuan teknologi bersama petani golongan lemah dan miskin yang tidak berpengalaman untuk mampu meningkatkan produktifitas dan usahanya atas dasar kepentingan bersama (Elieser, 2000; Syahyuti, 2006). Oleh karena itu, pembangunan ekonomi dengan pola kemitraan dapat dianggap sebagai usaha yang paling menguntungkan (maximum social benefit), terutama ditinjau dari pencapaian tujuan pembangunan nasional jangka panjang (Anwar, 1992 dalam Elieser, 2000).

Kemitraan merupakan kerjasama antara perusahaan mitra dengan peternak tanpa menciptakan bentuk hubungan majikan dengan buruh. Selain tercipta saling ketergantungan (saling memerlukan), kemitraan juga harus memperhatikan prinsip saling memperkuat dan saling menguntungkan. Prinsip ”saling memperkuat” terealisasi jika peserta mitra dan perusahaan mitra sama-sama memperhatikan moral dan etika bisnis, sehingga akan memperkuat kedudukan masing-masing dalam meningkatkan daya saing usahanya. Sedangkan prinsip ” saling menguntungkan” tercapai ketika kedua pihak memperoleh peningkatan pendapatan dan kesinambungan usaha (Syahyuti, 2006).

Dalam kegiatan produksi di bidang pertanian, seringkali terdengar adanya kesenjangan antara produktivitas yang seharusnya bisa dicapai dengan produktivitas riil yang dilakukan oleh petani. Dalam mempelajari produktivitas tersebut, Soekartawi (2003), menyatakan peranan hubungan input (faktor produksi atau korbanan produksi) dan output (hasil produksi) mendapat perhatian utama. Peranan input bukan hanya dilihat dari segi macamnya atau tersedianya dalam

waktu yang tepat, tetapi dapat juga ditinjau dari segi efisiensi penggunaan faktor produksi tersebut.

Efisiensi ekonomi dalam berproduksi dapat dicapai melalui kemitraan karena masing pihak yang bermitra menawarkan sisi keunggulan masing-masing. Lebih jauh Sumardjo, Jaka dan Wahyu (2004), menyatakan bahwa kemitraan bisnis memang bermanfaat dalam meningkatkan akses usaha kecil ke pasar, modal dan teknologi serta mencegah terjadinya diseconomies of scale

sehingga mutu juga menjadi terjaga. Hal seperti ini dapat terjadi karena adanya komitmen kedua belah pihak untuk bermitra. Pengusaha menengah sampai dengan skala besar memiliki komitmen atau tanggung jawab moral dalam membimbing dan mengembangkan pengusaha kecil supaya dapat mengembangkan usahanya sehingga mampu menjadi mitra yang handal untuk meraih keuntungan bersama. Mereka yang bermitra perlu mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing untuk saling mengisi, saling melengkapi, saling memperkuat serta tidak saling mengeksploitasi. Dalam kondisi ini akan tercipta rasa saling percaya antar kedua belah pihak sehingga usahanya akan semakin berkembang (Novian, 2006).

Pada dasarnya pembangunan peternakan dengan model kemitraan memiliki tujuan yang diantaranya adalah peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak, meningkatkan produksi serta mempercepat alih teknologi budidaya manajemen peternakan dari inti ke plasma. Menurut Said (2001) dalam Novian (2006) ada beberapa sisi positif yang dapat diperoleh dari kemitraan yaitu:

1. Kemitraan dibentuk atas dasar saling membutuhkan. Industri membutuhkan pasokan bahan baku yang berkesinambungan dari petani dan dilain pihak

petani membutuhkan jaminan pemasaran hasil produksinya. Dengan demikian, kedua belah pihak memiliki ikatan yang kuat atas dasar saling membutuhkan. 2. Kemitraan yang dibentuk didasarkan pada prinsip saling menguntungkan,

yakni perusahaan memiliki komitmen untuk membeli hasil produksi petani sesuai dengan harga pasar dan dibayar dengan tunai. Dilain pihak petani memiliki komitmen untuk memasok hasil dan mengatur siklus produksinya, sehingga pasokan ke perusahaan dapat berkesinambungan.

3. Kemitraan yang dibentuk didasarkan pada prinsip tumbuh dan berkembang bersama, sehingga industri menyediakan kredit kepada petani tanpa bunga dan tanpa agunan dengan masa tenggang selama satu tahun.

4. Kemitraan yang dibentuk pada prinsip saling percaya, yakni ketika petani memasok produksinya, langsung dibayar tunai oleh perusahaan tanpa memotong sisa hutangnya. Dilain pihak, para petani membayar hutangnya pada saat jatuh tempo dan dapat meminjam kembali.

Dasar pemikiran kemitraan adalah setiap pelaku usaha mempunyai potensi, kemampuan dan keistimewaan masing-masing dengan perbedaan ukuran, jenis, sifat, dan tempat usahanya. Dari pelaku usaha yang mempunyai kelebihan dan kekurangan diharapkan dapat saling menutupi kekurangan masing-masing dengan kondisi yang demikian akan timbul satu kebutuhan untuk bekerjasama dan menjalin hubungan kerjasama model kemitraan.

Simatupang (1997), menyatakan bahwa eksistensi suatu kemitraan ditentukan oleh biaya transaksi relatifnya. Artinya selama biaya transaksi sistem kemitraan lebih rendah dibandingkan biaya transaksi sistem pasar (spot) maupun sistem organisasi integratif, maka sistem transaksi kemitraan akan ada (exist).

Sedangkan biaya transaksi itu sendiri sangat dipengaruhi oleh tiga dimensi transaksi, yaitu: (1) kekhususan dari asset (asset specificity), (2) ketidakpastian/kerumitan transaksi, dan (3) frekuensi transaksi (Williamson, 1985, 1986; Douma and Schreuder, 1991 dalam Simatupang, 1997). Suatu asset dikatakan bersifat spesifik transaksi bila penggunaannya tidak dapat diubah tanpa pengurangan nyata terhadap nilainya sehingga jika suatu transaksi didukung oleh asset spesifik yang relatif mahal dan penuh resiko maka kedua belah pihak pelaku transaksi harus membuat kesepakatan jangka panjang serta masing-masing pihak harus saling mematuhi kesepakatan tersebut. Oleh karena itu, Simatupang (1997), menyimpulkan bahwa faktor kunci bagi kelayakan kemitraan adalah kepatuhan akan janji (credible commitment) atau kepercayaan (trust) dari para pelakunya.

Pengembangan kemitraan industri perunggasan masa depan dilakukan dengan mentransformasikan ekonomi pedesaan yang tradisional ke arah ekonomi pasar modern, sehingga menjadi pembentuk struktur ekonomi pasar. Bentuk akhir dari kemitraan masa depan tersebut dicirikan oleh: (1) peternak produsen haruslah menjadi pemilik saham keseluruhan jaringan agribisnis, (2) keorganisasian peternak tidak terbatas pada kegiatan produksi bahan baku, namun pada keseluruhan jaringan tubuh agribisnis, (3) output yang dihasilkan merupakan produk akhir yang telah memperoleh sentuhan iptek dan bernilai tambah tinggi, berciri spesifik, berstandar mutu tinggi, dan (4) hubungan kemitraan antar pelaku agribisnis harus dimuati rasionalitas ekonomi dan spesialisasi pembagian kerja secara organik, asas keterbukaan dan demokrasi diterapkan dalam sistem pengambilan keputusan melalui musyawarah (Saptana, Sayuti dan Noekman, 2002).

3.3. Pendapatan Usahaternak

Perusahaan adalah suatu unit teknis dimana output dihasilkan, karena itu perusahaan adalah suatu bentuk kelembagaan bisa perorangan atau dalam bentuk sekumpulan orang sebagai pemiliknya (Henderson and Quandt, 1980). Perusahaan melakukan proses produksi, yakni melakukan pengaturan penggunaan input dalam rangka menghasilkan output. Pengelolaan perusahaan membuat keputusan tentang berapa seharusnya dan bagaimana output dihasilkan sehubungan dengan tingkat keuntungan yang akan diperoleh. Dalam hal ini, peternak ayam ras pedaging merupakan perusahaan yang menghasilkan output berupa ayam ras pedaging. Analisis perusahaan tidak lain adalah analisis terhadap produksi dan keuntungan. Analisis keuntungan menyangkut analisis penerimaan, biaya dan selisih antara penerimaan dan biaya yang disebut keuntungan atau pendapatan (Henderson and Quandt, 1980).

Adanya perbedaan pola pengusahaan ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar yaitu pengusahaan pola mandiri dan pola kemitraan menimbulkan perbedaan besarnya biaya-biaya yang digunakan untuk berusahaternak dan penerimaan yang diterima oleh peternak. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan harga input, harga output dan cara memasarkan ayam ras pedaging diantara kedua pola tersebut.

Implikasi yang paling menonjol dalam kerjasama kemitraan adalah peternak diharuskan untuk membeli sarana produksi (input) dan menjual hasil produksi kepada perusahaan mitra. Kondisi pada pasar input menunjukkan bahwa terdapat satu penjual (perusahaan mitra) dengan banyak pembeli (peternak) sehingga pasar input tersebut dapat digolongkan pada pasar monopoli (Henderson and Quandt,

1980). Pada pasar monopoli, untuk mencapai keuntungan maksimum, perusahaan akan menetapkan harga lebih tinggi dibandingkan pasar persaingan sempurna (Hyman, 1997).

Sumber : Hyman, 1999

Gambar 1. Perbedaan Output dan Harga pada Pasar Monopoli dan Pasar Persaingan Sempurna

Gambar 1 menyajikan harga dan output yang dihasilkan pada pasar persaingan sempurna dan pasar monopoli. Dengan asumsi kurva marginal cost

(MC) berbentuk horizontal, pasar persaingan sempurna mencapai keuntungan maksimum pada saat marginal revenue (MRp) berpotongan dengan MC, dimana MR sama dengan harga sehingga akan dihasilkan output pada Q2 pada harga P1. Pada pasar monopoli, keuntungan maksimum diperoleh pada saat MRm berpotongan dengan kurva MC sehingga perusahaan monopoli akan memproduksi output sebesar Q1 dengan harga P2 (Hyman, 1997). Terkait dengan kondisi kemitraan bahwa peternak sebagai penerima harga input dari perusahaan inti yang memonopoli penjualan sarana produksi ternak (input), khususnya berupa DOC, pakan ternak, serta obat dan vaksin maka peternak peserta kemitraan akan

P1 P2 P MC = MRp Q 0 Q1 D Q2 a MRm

menerima harga input lebih tinggi dibandingkan harga pada pasar persaingan sempurna.

Dalam kerjasama kemitraan, peternak juga melakukan kontrak penjualan output kepada perusahaan inti. Pada kondisi ini, perusahaan inti bertindak sebagai pembeli tunggal bagi hasil ternak ayam ras pedaging dari peternak mitra, sehingga pada pasar output terdapat banyak penjual dengan pembeli tunggal. Menurut Henderson and Poole (1991), kondisi pasar dengan pembeli tunggal dan banyak penjual digolongkan dalam pasar monopsoni. Hyman (1997), menyatakan bahwa karena posisi pembeli tunggal maka perusahaan monopsoni (monopsonist) mempunyai kemampuan menentukan harga dari barang atau jasa yang akan dibeli. Jika diasumsikan bahwa produk yang dijual peternak merupakan faktor produksi dari perusahaan monopsoni (perusahaan inti) maka perusahaan tidak dapat membeli diantara faktor input secara bebas (unlimited) pada harga umum, yaitu harga dimana perusahaan harus membayar jumlah pembelian input yang ditentukan melalui pasar penawaran input. Harga yang harus dibayarkan untuk tiap satuan barang yang dibeli ditentukan oleh kurva penawaran input. Karena kurva penawaran input memiliki slope positif (upward sloping), maka harga yang harus dibayar perusahaan monopsoni merupakan kenaikan dari fungsi jumlah yang dibeli (Hyman, 1997).

Untuk mencapai kondisi keseimbangan perusahaan monopsoni akan menerapkan harga faktor produksi lebih kecil dari biaya marjinal. Nicholson (1999), menyatakan bahwa perusahaan yang menghadapi kurva penawaran positif, maka biaya marjinal lebih besar dari harga pasar faktor yang bersangkutan. Henderson and Quandt (1980) menjelaskan bahwa keuntungan

maksimum pada perusahaan monopsoni dicapai apabila nilai produk marjinal

( dx dq

P ) sama dengan biaya marjinal (

dx dC

). Kondisi tersebut diilustrasikan pada

Gambar 2 bahwa keuntungan maksimum dari perusahaan monopsoni berada pada

x0 unit dengan harga input sebesar r0 rupiah. Sedangkan perusahaan pada pasar

persaingan sempurna, keuntungan maksimumnya akan tercapai pada saat biaya input rata-rata atau penawaran input berpotongan dengan nilai produk marjinal sehingga pada pasar persaingan sempurna, jumlah input yang digunakan adalah pada x1 unit dengan harga r1 rupiah.

Perusahaan monopsoni dapat meningkatkan keuntungannya dengan mengurangi jumlah input yang digunakan pada tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai produk marjinalnya. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, perusahaan inti sebagai pembeli tunggal produk ayam ras pedaging yang dihasilkan peternak mitra maka perusahaan inti memiliki kekuatan

monopsoni (monopsony power) sehingga perusahaan inti memiliki kekuatan untuk

menetapkan harga ayam ras pedaging (per unit) yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan harga pada pasar persaingan sempurna. Dengan demikian peternak peserta kemitraan akan menerima harga relatif lebih rendah dibandingkan dengan peternak mandiri.

Untuk mengetahui pendapatan yang diterima peternak pola kemitraan dan mandiri, maka digunakaan pendekatan pendapatan peternak dengan analisis R/C ratio.

Sumber : Henderson and Quandt, 1980

Gambar 2. Perbedaan Profit Maximizing pada Pasar Monopsoni dan Pasar

Persaingan Sempurna 3.4. Pemasaran Usahaternak

Upaya peningkatan pendapatan peternak tidaklah cukup dengan upaya peningkatan produksi, akan tetapi yang lebih penting adalah memberikan jaminan hasil produksinya akan selalu dapat diserap oleh pasar dengan harga yang baik. Pemasaran (tataniaga) yang efektif dan efisien merupakan kunci dari keberhasilan upaya tersebut. Dalam aktivitas usaha pemasaran ini, peternak sebagai produsen akan melibatkan lembaga pemasaran, karena sebagian besar produsen tidak

dx dC dx dq P g(x) = S r1 r0 x1 x0 0 x r

menjual secara langsung kepada konsumen akhir (Sahari dan Musyafak, 2002). Lembaga pemasaran berfungsi sebagai sumber informasi bergeraknya suatu barang atau jasa, serta melakukan pengolahan hasil-hasil pertanian baik itu pengolahan tingkat pertama maupun pengolahan tingkat lanjut. Selain itu lembaga pemasaran juga melakukan fungsi-fungsi pemasaran, yaitu: fungsi fisik, fungsi pertukaran dan fasilitas (Limbong dan Sitorus, 1988). Fungsi dari masing-masing lembaga pemasaran, berbeda satu dengan yang lain tergantung dari aktivitas yang dilakukan maupun skala usaha masing-masing (Soekartawi, 1989).

Efisiensi pemasaran dapat dibedakan atas efisiensi teknis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknis berarti pengendalian fisik dari produk yang mencakup hal-hal seperti prosedur teknis dan besarnya skala produksi dengan tujuan penghematan biaya pemasaran, seperti mengurangi kerusakan, mencegah merosotnya mutu barang dan menghemat tenaga kerja. Efisiensi ekonomis berarti bagaimana perubahan harga yang terjadi di satu rantai pemasaran dapat ditransmisikan dengan baik ke rantai pemasaran yang lain.

Terkait dengan penelitian ini, adanya ”kontrak kerjasama” dalam usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan dengan perusahaan inti, selain mempermudah peternak memperoleh input faktor yang diperlukan juga menimbulkan ketergantungan dalam pemasaran hasil. Perbedaan harga produk dan bertambah panjangnya saluran pemasaran ayam ras pedaging dapat terjadi. Harga produk yang lebih tinggi dan relatif panjangnya saluran pemasaran pada peternakan pola kemitraan menyebabkan marjin pemasaran pola ini relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan marjin pemasaran pola mandiri. Semakin besar ratio marjin pemasaran terhadap harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir

berarti bagian harga yang diterima oleh peternak (farmer’s share) akan makin kecil.

Untuk melihat pemasaran ayam ras pedaging pola kemitraan dan pola mandiri maka digunakan analisis saluran pemasaran, analisis marjin pemasaran khususnya untuk melihat proporsi keuntungan pemasaran terhadap biaya pemasaran serta analisis keterpaduan pasar untuk melihat efisiensi harganya. Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 3. 3.5. Hipotesis

Berdasarkan uraian pada kerangka pemikiran, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian ini sebagai berikut:

1. Pendapatan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan lebih rendah daripada pendapatan usahaternak ayam ras pedaging pola mandiri.

2. Bagian harga yang diterima oleh peternak (farmer’s share) pola kemitraan lebih kecil dibandingkan dengan pola mandiri.

Dokumen terkait