• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging Di Kabupaten Karanganyar Membandingkan Antara Pola Kemitraan Dan Pola Mandiri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging Di Kabupaten Karanganyar Membandingkan Antara Pola Kemitraan Dan Pola Mandiri"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBANDINGKAN ANTARA POLA KEMITRAAN

DAN POLA MANDIRI

LUSI DWI WINDARSARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

MEMBANDINGKAN ANTARA POLA KEMITRAAN

DAN POLA MANDIRI

LUSI DWI WINDARSARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)
(4)

@

Hak Cipta milik IPB, tahun 2007

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul:

KAJIAN USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PEDAGING DI

KABUPATEN KARANGANYAR : MEMBANDINGKAN

ANTARA POLA KEMITRAAN DAN POLA MANDIRI

adalah karya saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali dengan

jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh

gelar pada program sejenis dari Perguruan Tinggi lain. Semua sumber data dan

informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa

kebenarannya

Bogor, 2007

(6)

LUSI DWI WINDARSARI. Kajian Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Karanganyar: Membandingkan antara Pola Kemitraan dan Pola Mandiri (ISANG GONARSYAH sebagai Ketua dan ASI H. NAPITUPULU sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Usahaternak ayam ras pedaging domestik telah menjadi suatu industri yang memiliki komponen lengkap dari sektor hulu sampai ke hilir, dimana nilai strategisnya tercipta dari besarnya tenaga kerja yang mampu diserapnya. Di Kabupaten Karanganyar, salah satu sentra produksi ayam ras pedaging di Jawa Tengah, terdapat dua pola pengusahaan usahaternak ayam ras pedaging, yaitu pola kemitraan dan pola mandiri, yang merupakan “jebolan” dari pola kemitraan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis kelembagaan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan, dan (2) membandingkan tingkat keuntungan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan dan pola mandiri.

Ditemukan bahwa kelembagaan kemitraan dilaksanakan dengan pola koordinasi vertikal oleh perusahaan inti, peternak hanya bersifat pasif (pelaksana kontrak), dan kontrak perjanjian dengan perusahaan inti masih belum jelas dan kurang terperinci. Usahaternak ayam ras pedaging pola mandiri lebih menguntungkan dibandingkan dengan usahaternak pola kemitraan, namun modal awal dan resiko usaha yang relatif besar menyebabkan peternak di Kabupaten Karanganyar masih bertahan untuk berusahaternak dengan pola kemitraan.

(7)

Nama Mahasiswa : Lusi Dwi Windarsari

NRP : A545010261

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah Ir. Asi H. Napitupulu, MSc. Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(8)

Penulis dilahirkan di Karanganyar Jawa Tengah pada tanggal 13 Agustus

1977, dari Ayahanda H. Suratno A.R. alm dan Ibunda Hj Saryanti, SE, MM.

Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara.

Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1

Karanganyar pada tahun 1995, penulis melanjutkan pendidikan Sarjana di Jurusan

Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman

dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan

Program Magister, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program

(9)

Puji Syukur yang mendalam penulis panjatkan pada Allah SWT atas

limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan tesis dengan judul “Kajian Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging di

Kabupaten Karanganyar: Membandingkan antara Pola Kemitraan dan Pola

Mandiri” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian

Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Isang

Gonarsyah selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Ir. Asi H. Napitupulu,

MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan

bimbingan dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih penulis sampaikan juga

kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu

Ekonomi Pertanian yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan selama

penulis menempuh pendidikan.

Ucapan terima kasih terbanyak, penulis sampaikan kepada suamiku Mas

Yanuar, dan anak-anakku (Via dan Aliska) atas segala kesabaran, doa, dukungan

dan kasih sayangnya yang tidak terbayarkan. Terima kasih juga untuk Bapak

(alm), Ibu, Mbah Sumi, Mba Hastuti, Haris dan Mas Wedi atas bantuan, doa dan

dukungannya selama ini.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rya dan Mas Basith (you΄re

my real best friend) atas waktu, tenaga dan pikiran sehingga penulis merasa

terbantu dalam menyelesaikan studi. Terakhir, penulis sampaikan terima kasih

(10)

dalam pengolahan data.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan

kelemahan, namun penulis berharap tesis ini mampu memberikan manfaat bagi

semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2007

(11)

i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN

...

1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Kemitraan ... 9

2.2. Pemasaran ... 11

2.3. Pendapatan Usahaternak ... 13

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 15

3.1. Kerangka Pemikiran ... 15

3.2. Konsep Kemitraan ... 16

3.3. Pendapatan Usahaternak ... 21

3.4. Pemasaran Usahaternak ... 25

3.5. Hipotesis ... 27

3.6. Metode Analisis Data ... 27

3.6.1. Analisis Deskriptif... ... 29

3.6.2. Analisis Kuantitatif ... 29

3.7. Metode Penelitian ... 35

3.7.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

3.7.2. Jenis dan Sumber Data ... 35

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 37

4.1. Keadaan Geografis Karanganyar ... 37

4.2. Keadaan Demografi dan Ketenagakerjaan ... 38

(12)

ii

V. KELEMBAGAN KEMITRAAN USAHATERNAK AYAM

RASPEDAGING ... 47

5.1. Profil Perusahaan Mitra ... 47

5.2. Struktur Organisasi Pelaksana Kemitraan ... 48

5.3. Aturan Main Kerjasama Kemitraan ... 49

5.4. Peraturan Kemitraan dan Peran Pemerintah ... 51

5.5. Pelaksanaan Kerjasama dan Tanggapan Peserta Kemitraan . 53 5.6. Manfaat Kemitraan bagi Peternak ... 61

VI. ANALISIS EKONOMI USAHATERNAK ... 64

6.1. Analisis Pendapatan Usahaternak ... 64

6.2. Analisis Pemasaran Usahaternak ... 70

6.2.1. Saluran Pemasaran Ayam Ras Pedaging... 70

6.2.2. Analisis Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging ... 76

6.2.3. Analisis Keterpaduan Pasar... 87

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

7.1. Kesimpulan ... 91

7.2. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 93

(13)

iii

Nomor Halaman

1. Populasi Ayam Ras Pedaging Provinsi Jawa Tengah,Tahun 2000-2004 ... 2

2. Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian Kabupaten Karanganyar, Tahun 2001-2005 ... 3

3. Perkembangan Populasi Ternak di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2003-2004 ... 4

4. Persebaran Penggunaan Tanah di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004 ... 38

5. Persebaran Jumlah Keluarga dan Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004 ... 39

6. Persebaran Jumlah Penduduk menurut Usia Anak, Usia Produktif dan Lanjut Usia di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004 ... 40

7. Persebaran Jumlah Penduduk 10 Tahun ke Atas menurut Matapencaharian di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2002-2004 ... 40

8. Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004-2005 ... 41

9. Populasi Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Karanganyar pada Tahun 1998-2004 ... 43

10. Responden Peternak Pola Mandiri dan Kemitraan menurut Kelompok Umur ... 45

11. Responden Peternak Pola Mandiri dan Kemitraan menurut Tingkat Pendidikan ... 45

12. Persepsi Responden Peternak Mitra terhadap Pelaksanaan Kemitraan ... 56

13. Perbandingan Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usahaternak Ayam Ras Pedaging antara Pola Mandiri dan Pola Kemitraan, Tahun 2003 ... 65

14. Marjin Pemasaran dan Proporsi Harga yang Diterima Peternak Ayam Ras Pedaging di Kabupaten Karanganyar pada Usahaternak Pola Mandiri dan Pola Kemitraan ... 78

15. Distribusi Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri dan Pola Kemitraan dari Berbagai Saluran Pemasaran ... 86

(14)

iv

Nomor Halaman

1. Perbedaan Output dan Harga pada Pasar Monopoli dan Pasar Persaingan Sempurna ... 22

2. Perbedaan Profit Maximizing pada Pasar Monopsoni dan Pasar Persaingan Sempurna ... 25

3. Kerangka Pemikiran ... 28

4. Struktur Organisasi Kelembagaan Kemitraan ... 50

(15)

v

Nomor Halaman

1. Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri pada Saluran Pemasaran Pertama ... 97

2. Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri pada Saluran Pemasaran Kedua ... 98

3. Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Mandiri pada Saluran Pemasaran Ketiga ... 99

4. Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan pada Saluran Pemasaran Pertama ... 100

5. Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan pada Saluran Pemasaran Kedua ... 101

6. Marjin Pemasaran Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan pada Saluran Pemasaran Ketiga ... 102

(16)

1.1. Latar Belakang

Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru

dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

Domestik Bruto (PDB) subsektor peternakan terhadap sektor pertanian sebesar

11.57 persen, dan meningkat menjadi 11.80 persen pada tahun 2005. Rataan laju

pertumbuhan selama periode 1998-2005 adalah sebesar 19.13 persen lebih besar

dari laju pertumbuhan subsektor tanaman pangan (18.94 persen) (BPS, 2006).

Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat pendapatan

yang disertai dengan adanya perubahan pola konsumsi dan selera masyarakat,

tingkat konsumsi daging per kapita cenderung meningkat. Perkembangan

konsumsi daging di Indonesia dalam rangka pemenuhan kebutuhan protein

hewani, lebih banyak berasal dari Industri Unggas Nasional (IUN) (Purba, 1999).

Konsumsi daging ayam ras pedaging pada tahun 1998 mencapai 1 239 ton, dan

meningkat menjadi 1 624 ton pada tahun 2002. Meningkatnya permintaan daging

ayam ras ini menyebabkan meningkatnya populasi ayam ras pedaging secara

nasional yaitu dari 285 000 ribu ekor pada tahun 1998, menjadi 883 400 ribu ekor

pada tahun 2005, atau mengalami peningkatan dengan laju sebesar 8.85 persen per

tahun (Ditjen Peternakan, 2005).

Usaha perunggasan (ayam ras) domestik telah menjadi suatu industri yang

memiliki komponen lengkap dari sektor hulu sampai ke hilir, perkembangan

usaha ini memberikan nilai strategis khususnya dalam penyediaan protein hewani

(17)

nilai strategis industri ini juga tercipta dari penyerapan tenaga kerja, dimana

sekitar dua juta tenaga kerja dapat diserap oleh industri ini (Suryana, et al., 2005).

Daerah sentra utama produksi ayam ras pedaging di Indonesia adalah Jawa

Barat dengan kontribusi sebesar 39.61 persen, Jawa Timur dengan kontribusi

sebesar 21.13 persen dan Jawa Tengah dengan kontribusi sebesar 8.84 persen

terhadap total populasi ayam ras pedaging nasional. Provinsi Jawa Tengah

sebagai salah satu sentra produksi ayam ras pedaging di Indonesia mengalami

perkembangan yang relatif baik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya laju

peningkatan populasi ayam ras pedaging yang relatif besar. Selama empat

periode waktu, yaitu tahun 2000 sampai dengan tahun 2004, rata-rata

pertumbuhan populasi ayam ras pedaging di Jawa Tengah mencapai 6.60 persen

dimana pada tahun 2004 populasi ayam ras pedaging mencapai 67 852 915 ekor

(Ditjen Peternakan, 2005).

Tabel 1. Populasi Ayam Ras Pedaging Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2000-2004

Tahun Populasi (Ekor) Pertumbuhan (%) 2000 71 554 382

2001 53 879 257 -24.70 2002 97 485 267 80.93 2003 66 646 915 -31.63 2004 67 852 915 1.81

Sumber : Ditjen Peternakan, 2005

Perkembangan populasi ayam ras pedaging di Jawa Tengah pada tahun 2000

sampai dengan tahun 2004 secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1

terlihat bahwa laju pertumbuhan populasi ayam ras pedaging tertinggi terjadi pada

tahun 2002 yang mencapai 80.93 persen namun pada tahun 2003, populasi ayam

(18)

Kontraksi ini disebabkan oleh mulai merebaknya isu flu burung (avian influenza)

yang berakibat pada menurunnya permintaan akan daging ayam.

Salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki potensi peternakan

relatif besar adalah Kabupaten Karanganyar. Kontribusi sub sektor peternakan

terhadap perekonomian Kabupaten Karanganyar selama periode tahun 2001-2005

berada pada kisaran 4.79-8.47 persen (Tabel 2). Sub sektor peternakan

menduduki peringkat kedua setelah sub sektor tanaman bahan makanan sebagai

penyumbang PDRB sektor pertanian Kabupaten Karanganyar. Relatif besarnya

kontribusi sub sektor peternakan pada PDRB Kabupaten Karanganyar

menunjukkan bahwa sub sektor ini potensial untuk dikembangkan sebagai salah

satu sektor unggulan pada perekonomian Kabupaten Karanganyar.

Tabel 2. Distribusi Persentase PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Karanganyar, Tahun 2001-2005

(%) Sub Sektor 2001 2002 2003 2004 2005

Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan Rakyat Tanaman Perkebunan Besar Peternakan

Pertanian 22.14 23.18 22.7 20.17 19.68

Sumber: BPS Beberapa Tahun (diolah)

Kabupaten Karanganyar menghasilkan tiga belas jenis ternak yang dominan

diusahakan oleh masyarakat seperti terlihat pada Tabel 3. Jika dilihat dari populasi

ternak, ayam ras pedaging merupakan ternak yang paling banyak diusahakan oleh

masyarakat, setelah ayam ras petelur. Pada tahun 2004, populasi ayam ras

pedaging mencapai 1 070 000 ekor sedangkan populasi ayam ras petelur mencapai

(19)

tahun 2003, terlihat bahwa populasi ayam ras pedaging merupakan salah satu

ternak unggas yang masih mengalami pertumbuhan walaupun tengah merebak

serangan virus flu burung (avian influenza). Pertumbuhan populasinya menduduki

peringkat ketiga (0.80 persen) setelah sapi potong (2.20 persen) dan kambing

(1.90). Hal ini menunjukkan bahwa peternakan ayam ras pedaging di Kabupaten

Karanganyar masih memiliki potensi untuk dikembangkan.

Tabel 3. Perkembangan Populasi Ternak Di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2003-2004 Ayam Ras Petelur Ayam Ras Pedaging Itik

Sumber: Dinas Peternakan Karanganyar, 2005

1.2. Perumusan Masalah

Di Kabupaten Karanganyar sebagian besar usahaternak ayam ras pedaging

merupakan usahaternak pola kemitraan. Usahaternak pola mandiri yang hanya

sebagian kecil saja, kebanyakan dilaksanakan oleh ”jebolan-jebolan” usahaternak

pola kemitraan. Pola kemitraan dilakukan peternak dengan cara menjalin

kerjasama atau bermitra dengan perusahaan penyedia sarana produksi, dengan

ketentuan peternak diharuskan menjual semua hasil produksinya kepada

(20)

telah disepakati bersama oleh peternak dan perusahaan yang bersangkutan. Dalam

kerjasama ini, perusahaan berperan sebagai inti dan peternak berperan sebagai

plasma. Sebagai inti, perusahaan menyediakan sarana produksi ternak seperti

makanan, Day Old Chick (DOC), obat-obatan dan alat-alat perkandangan seperti

tempat pakan, alat pemanas, dan alat lainnya. Pada awal kerjasama, inti akan

menyediakan alat kandang, dan peternak wajib untuk mengembalikan biaya

dengan cara mencicil setiap kali panen. Tetapi bila peternak mampu menyediakan

alat kandang sendiri, maka sebagai plasma ia hanya membeli sarana produksi

ternak dari inti seperti DOC, pakan dan vaksin serta pembayarannya dilakukan

setelah hasil panen terjual ke inti.

Karena harga produksi ternak sudah disepakati sebelumnya, maka dapat

terjadi perbedaan antara harga produk ternak yang diterima peternak kemitraan

dengan harga produk ternak yang berlaku di pasar. Hal ini dapat menguntungkan

peternak kemitraan bila harga di pasar ternyata lebih rendah daripada harga

kesepakatan dan dapat merugikan bila harga di pasar ternyata lebih tinggi.

Dalam prakteknya, pengamatan menunjukkan bahwa harga ayam ras pedaging di

pasar seringkali lebih tinggi daripada harga kontrak. Persoalan-persoalan yang

berkaitan dengan kontrak kesepakatan inilah yang kemudian mendorong sebagian

peternak kemitraan untuk keluar dari sistem kemitraan dan memilih untuk

berusaha sendiri.

Sedangkan usahaternak pola mandiri dilakukan peternak dengan cara

menyediakan semua sarana produksi secara swadaya dan peternak memiliki

kebebasan untuk menjual hasil produknya. Walaupun dapat dengan bebas

(21)

besar peternak mempunyai lokasi usaha yang terpencar-pencar dan kurangnya

informasi pasar menyebabkan peternak bergantung kepada pedagang perantara

yang biasanya langsung mendatangi tempat usaha peternak. Hal ini cenderung

menyebabkan harga produk lebih ditentukan oleh pedagang perantara, mengingat

posisi tawar peternak umumnya rendah.

Beberapa kondisi produk yang dapat memperlemah posisi tawar peternak

adalah: (1) karena umumnya berat hidup ayam pedaging yang disukai konsumen

berkisar antara 1.19 sampai 1.9 kilogram per ekor, dan (2) sifat ayam ras

pedaging yang tidak tahan lama jika telah keluar dari kandang (mudah mengalami

kematian). Kondisi inilah yang menyebabkan kehadiran pedagang perantara

masih sangat diperlukan oleh peternak, meski terkadang terasa merugikan bagi

sebagian peternak.

Adanya perbedaan pola dalam pengusahaan ayam ras pedaging,

menyebabkan perbedaan penerimaan dan biaya yang digunakan untuk

memproduksi ayam ras pedaging. Selain itu, perbedaan pola pengusahaan juga

akan menyebabkan perbedaan pola pemasaran hasil.

Melihat kondisi di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut:

1. Bagaimana struktur kelembagaan usahaternak ayam ras pedaging pola

kemitraan?

2. Mana yang lebih menguntungkan usahaternak ayam ras pedaging pola

(22)

1.3. Tujuan dan Kegunaan

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan

sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis kelembagaan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan.

2. Membandingkan tingkat keuntungan usahaternak ayam ras pedaging pola

kemitraan atau pola mandiri.

Sedangkan kegunaan yang diharapkan oleh peneliti adalah dapat

memberikan gambaran yang menyeluruh tentang pemasaran ayam ras pedaging di

Kabupaten Karanganyar sehingga dapat digunakan oleh peneliti lain dan sebagai

masukan bagi pengambil keputusan dalam pengembangan ekonomi, khususnya

pengembangan usaha peternakan di wilayahnya.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian dibatasi menjadi tiga wilayah kecamatan di Kabupaten

Karanganyar yaitu Tasikmadu, Kebakkramat dan Mojogedang. Hal ini didasari

oleh pertimbangan bahwa dari seluruh kecamatan yang ada di Karanganyar, di

tiga kecamatan tersebut dapat dijumpai peternak dengan pola pengusahaan

mandiri dan kemitraan sehingga lebih memudahkan untuk membuat perbandingan

atas kedua pola tersebut.

Untuk menganalisis saluran pemasaran ayam ras pedaging, lembaga

pemasaran yang dipilih sebagai responden adalah lembaga pemasaran yang

benar-benar terlibat secara langsung dalam penyaluran produk dari produsen ke

konsumen dengan wilayah pemasaran dibatasi hanya sampai Wilayah

(23)

sehingga pemasaran di luar wilayah Surakarta tidak menjadi fokus bahasan dalam

penelitian ini.

Sedangkan untuk analisis pendapatan peternak, tidak dilakukan analisis

berdasarkan skala usaha. Hal ini dilakukan karena pengusahaan ayam ras

pedaging di Kabupaten Karanganyar memiliki skala usaha yang relatif sama yaitu

di atas 5 000 ribu ekor DOC dan di bawah 20 000 ribu ekor DOC. Sedangkan

dalam pengusahaan ayam ras pedaging, peternak di Kabupaten Karanganyar

mengusahakan beberapa strainDay Old Chick (DOC). Namun dalam penelitian

(24)

Dalam bab ini akan disajikan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan

yang berkaitan dengan usahaternak ayam ras pedaging, biaya produksi dan

penerimaan, pemasaran dan kemitraan. Aspek yang dibahas dalam bab ini

meliputi metode analisis, hasil dan kesimpulan yang relevan dengan penelitian ini.

2.1. Kemitraan

Hasil analisis logit untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

petani melakukan kemitraan dengan perusahaan oleh Puspitawati (2004)

menunjukkan bahwa peubah bebas harga benih, jumlah benih, total produksi,

harga output dan curahan tenaga kerja luar keluarga mempengaruhi petani

melakukan kemitraan. Sedangkan manfaat kemitraan yang diperoleh PT Pertani

selaku perusahaan mitra adalah (1) adanya jaminan kualitas, kuantitas dan

kontinuitas produk, (2) efisiensi, (3) produktivitas, (4) pengalihan resiko, (5)

manfaat sosial, (6) katahanan ekonomi nasional dan (7) promosi dua arah.

Dari hasil melakukan penelitiannya mengenai analisis ekonomi ayam ras

pasca deregulasi, Yusdja et al. (1997) menyimpulkan bahwa: (1) usaha ayam ras

rakyat sulit berkembang karena peternak rakyat tidak mampu bersaing dengan

peternak kemitraan baik dalam memperoleh harga input yang relatif murah

maupun dalam menjual output, (2) kehadiran usahaternak kemitraan belum

dikaitkan dengan perkembangan usaha rakyat, usaha peternakan rakyat semakin

tersingkir dari wilayah-wilayah konsumsi dan tetap tergantung pada pola

kemitraan yang tidak optimum, (3) pembatasan usaha sebesar 15 000 ekor per

siklus secara ekonomi dapat dibenarkan karena terbukti skala usaha tidak

(25)

yang sulit seperti turunnya harga ayam ras di pasar, peternak rakyat masih meraih

keuntungan.

Kajian kelembagaan kemitraan perunggasan nasional melalui pola

Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang dilakukan oleh Rusastra, Yusdja dan

Sumaryanto (1990) dengan menggunakan analisis deskriptif, menghasilkan

temuan bahwa kebijakan program PIR ternyata tidak berjalan dengan baik

disebabkan oleh faktor distorsi makro. Dalam pelaksanaannya program PIR

menghadapi tiga masalah utama yang perlu penanganan secara tuntas, yaitu

fluktuasi harga input, harga output dan kemandirian peternak plasma. Harga input

khususnya harga pakan cenderung meningkat karena adanya ketergantungan

bahan baku impor sementara pengadaan pakan domestik terkendala oleh

rendahnya mutu pakan. Masalah harga output terkait dengan struktur industri

yang dikuasai skala besar, lemahnya kemampuan antisipasi pasar, daya serap

pasar domestik yang lemah dan belum berhasilnya diversifikasi pasar ekspor.

Studi terhadap pelaksanaan kemitraan pada usahaternak ayam ras pedaging

di Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo yang dilakukan oleh Sarwanto (2004),

menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh peternak mitra adalah kemudahan

penyediaan sapronak dan adanya pembinaan dari perusahaan mitra. Sedangkan

peran pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan

kemitraan belum dilaksanakan dengan baik.

Hasil penelitian tentang analisis ekonomi kelembagaan kemitraan

usahaternak domba di Provinsi Sumatera Utara yang dilakukan oleh Elieser

(26)

karena faktor kelembagaan, yaitu pembinaan dan koordinasi antara inti dan

plasma yang tidak berjalan dengan baik.

Aspek institusi dalam kemitraan karet rakyat di Kabupaten Musi Banyuasin

berlangsung kondusif dan saling menguntungkan. Dari aspek representasi,

kepentingan masing-masing pihak terwakili secara seimbang dan batas

kewenangan termasuk penanggungan resiko antara keduanya diatur secara bijak

dan tidak saling memberatkan (Alamsyah, 1997).

2.2. Pemasaran

Kajian terhadap efisiensi pemasaran ayam ras pedaging di Wilayah

Jabotabek yang dilakukan oleh Winandi, Ratnawati dan Siregar (1994),

menyimpulkan bahwa struktur pasar ayam ras pedaging tidak bersifat persaingan

sempurna, dimana untuk pasar input yaitu DOC (Day Old Chick) dan pakan

strukturnya adalah oligopoli diferensiasi yaitu terdiri dari beberapa penjual saja

(perusahaan-perusahaan pakan yang merangkap penyedia DOC), sedangkan pasar

output bersifat oligopsoni murni yaitu hanya terdiri dari beberapa pembeli saja.

Hal ini berimplikasi bahwa pembelian ayam ras pedaging dan input hanya

terkonsentrasi pada beberapa pembeli dan penjual saja. Dengan demikian tingkat

harga yang terbentuk bukanlah merupakan produk dari mekanisme pasar

(penawaran dan permintaan).

Dalam kaitannya dengan pembahasan marjin pemasaran, Winandi,

Ratnawati dan Siregar (1994), mengemukakan bahwa rataan sebaran marjin

pemasaran yang diterima oleh peternak adalah 63.11 persen, untuk biaya

pemasaran 8.4 persen dan keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran 28.58

(27)

dibandingkan dengan peternak plasma yang melakukan kemitraan dengan

perusahaan penyedia sarana berproduksi ternak.

Sedangkan studi Iskandar et al. (1993), dengan menggunakan analisis

farmers share menunjukkan bahwa sistem pemasaran ayam ras pedaging

usahaternak kecil di Bogor, secara umum sudah dapat dikatakan cukup efisien

karena farmers share yang diterima cukup tinggi yaitu 76.17 persen. Hasil

analisis finansial menunjukkan bahwa biaya pemasaran yang harus ditanggung

oleh masing-masing lembaga pemasaran berbeda, dan biaya terbesar ditanggung

oleh pengusaha pemotong-pengecer.

Agustian dan Rachman (1994), melakukan kajian terhadap penyaluran

sapronak dan pemasaran hasil peternakan melalui kerjasama PIR perunggasan di

Jawa Barat dan Jawa Timur dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis

terhadap pemasaran ayam ras pedaging menunjukkan bahwa sebagian besar

pemasaran ayam ras pedaging masih dalam bentuk ternak hidup. Kalupun berupa

daging (karkas) pemasarannya langsung ke tangan konsumen tanpa melalui

pengecer. Perusahaan inti sebagai tujuan utama pemasaran produk dan perolehan

sapronak masih belum mampu menciptakan suatu sistem kerjasama pemasaran

diantara sesama perusahaan inti dalam menghadapi gejala fluktuasi harga.

Alamsyah (1997), dengan menggunakan analisis farmers share,

menunjukkan bahwa sistem pemasaran dalam kemitraan karet alam di Kabupaten

Musi Banyuasin berlangsung efisien dan mutualistik. Hal ini dicirikan oleh

tingginya farmers share petani bermitra jika dibandingkan dengan petani tidak

(28)

2.3. Pendapatan Usahaternak

Hasil studi Saptana (1987), dengan menggunakan alat analisis Domestic

Resource Cost Ratio (DRCR) menunjukkan bahwa usahaternak ayam ras baik

pedaging maupun petelur di Jawa dan Sumatera adalah efisien secara ekonomik,

artinya upaya peningkatan produksi telur dan ayam ras dalam negeri sangat

menguntungkan dan karenanya perlu didukung pemerintah.

Berdasarkan pendugaan fungsi keuntungan usahaternak ayam broiler di Bali,

Kayana (1995) memperoleh kesimpulan bahwa peternak plasma telah

memaksimasi keuntungan jangka pendek. Sedangkan usahaternak peternak non

plasma sudah efisien secara teknis namun efisiensi harganya (efisiensi alokatif)

belum tercapai.

Hasil kajian Rachman dan Agustian (1994), terhadap usaternak ayam ras

pedaging dengan pola PIR di Jawa Barat dan Jawa Timur dengan menghitung titik

impas volume produksi dan tingkat harga layak usaha menunjukkan bahwa

kerjasama peternak plasma dengan perusahaan inti (poultry shop) di Jawa Barat

memberikan keuntungan atas biaya total sekitar 8.4 persen. Sedangkan di Jawa

Timur, tingkat keuntungan usahaternak ayam ras pedaging nampak beragam antar

wilayah kabupaten, dimana usahaternak di Kabupaten Gresik terkesan merugi

sementara di Kabupaten Kediri cenderung menguntungkan. Variasi performa

tersebut disebabkan oleh ratio harga pakan dan produksi yang relatif kurang

berimbang.

Sedangkan Puspitawati (2004), menyatakan bahwa dengan analisis manfaat

hubungan kemitraan, petani penangkar benih di Kabupaten Karawang yang

(29)

usahataninya. Hal ini ditunjukkan dengan nilai R/C ratio petani mitra yang lebih

tinggi dibanding petani non mitra.

Sarwanto (2004), melakukan studi tentang pengaruh kemitraan terhadap

produksi dan pendapatan peternak ayam ras pedaging (peternakan rakyat) di

Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo dengan menggunakan fungsi produksi

Transedental dan Cobb Douglas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

kemitraan berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi ayam ras pedaging

namun usaha kemitraan belum mampu meningkatkan pendapatan peternaknya.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat manfaat kemitraan usahaternak ayam

ras pedaging secara lebih lengkap dan menyeluruh dengan membandingkan

efisiensi usahaternak dan efisiensi pemasaran antara peternak mitra dengan

peternak mandiri. Penelitian tentang kemitraan pada usahaternak ayam ras

pedaging, khususnya yang dilakukan oleh Sarwanto (2004) di Kabupaten

Karanganyar masih belum membahas aspek pemasaran, dimana pemasaran juga

merupakan aspek yang mempengaruhi pendapatan peternak. Pada penelitian ini

juga dibahas lebih rinci mengapa terjadi perbedaan pendapatan antara peternak

mitra dan mandiri (non mitra) dengan menguraikan komponen biaya dan

penerimaan dari masing-masing usahaternak. Aspek kelembagaan terhadap

kerjasama kemitraan dilakukan dengan memperbandingkan isi perjanjian kontrak

dan pelaksanaan kontrak di lapangan serta melihat persepsi dan partisipasi

(30)

3.1. Kerangka Pemikiran

Di Kabupaten Karanganyar, usahaternak ayam ras pedaging dianggap

memiliki keuntungan yang relatif besar sehingga banyak masyarakat yang tertarik

untuk mengusahakannya. Namun untuk memulai usaha ini, sebagian besar

masyarakat terkendala oleh besarnya modal awal yang harus disediakan oleh tiap

peternak. Sebagai gambaran, modal awal untuk pembuatan kandang dan

pembelian alat-alat kandang, pada skala usaha 5 000 ekor ayam dalam satu siklus

produksi (± 35 hari) berkisar antara Rp 70 juta – Rp 95 juta (Cahyono, 2006).

Besarnya modal awal untuk usahaternak ayam ras pedaging inilah yang

mendorong para peternak untuk melakukan usaha kemitraan. Peternak yang

melakukan usahaternak melalui pola kemitraan dengan perusahaan inti ditujukan

untuk memperoleh tambahan modal usahaternak. Keuntungan-keuntungan yang

didapatkan oleh peternak peserta kemitraan antara lain adalah tersedianya modal

usahaternak (khususnya modal awal) dan serta adanya pembinaan dalam

usahaternak ayam ras pedaging oleh perusahaan inti.

Melalui kemitraan diharapkan perusahaan inti dan peternak dapat menjalin

kerjasama yang saling menguntungkan. Perusahaan mitra yang memiliki

beberapa keunggulan diantaranya teknologi budidaya ayam ras pedaging dapat

melakukan transfer teknologi dan inovasi kepada peternak peserta kemitraan

(Alamsyah, 1997). Dengan keunggulan-keunggulan yang diperoleh peternak

dalam melakukan usaha kemitraan, maka akan meningkatkan efisiensi

(31)

3.2. Konsep Kemitraan

Mitra, pada pokoknya sama dengan “teman” atau “kawan” yang dalam

padanan bahasa Inggrisnya adalah “friendship” atau “partnership”. American

Heritage Dictionary (1992) dalam Syahyuti (2006), mengartikan bahwa kemitraan

merupakan suatu hubungan antar individu-individu atau antar

kelompok-kelompok yang dicirikan oleh adanya kerjasama yang saling menguntungkan

(mutual cooperation) dan tanggung jawab (responsibility) untuk mencapai suatu

tujuan tertentu (achievement of specified goal). Istilah ini muncul pertama kali

dalam hukum bisnis yang berkaitan dengan suatu kontrak berbagi yang adil dalam

hal keuntungan maupun kerugian dalam kerjasama bisnis (joint business). Esensi

kemitraan dalam ekonomi terletak pada kontribusi bersama, baik berupa tenaga

kerja (labor) maupun benda (property), atau keduanya untuk tujuan-tujuan

ekonomi. Pengendalian kegiatan juga dilakukan bersama, dimana pembagian

keuntungan dan kerugian didistribusikan diantara pihak yang bermitra. Artinya,

sumberdaya dan kompetensi masing-masing digabungkan untuk mencapai sinergi,

menuju peningkatan volume maupun kualitas produk atau jasa yang dihasilkan

(Syahyuti, 2006).

Ditinjau dari sudut paradigma ekonomi biaya transaksi, kemitraan

merupakan salah satu alternatif modus transaksi yang merupakan kombinasi tak

lengkap dari sistem pasar (spot) dan sistem organisasi integratif. Pelaku-pelaku

yang terlibat dalam sistem transaksi kemitraan terpisah dalam hal kepemilikan

namun terpadu dalam hal keputusan manajerial. Transaksi dalam sistem

kemitraan diatur dalam suatu kontrak kesepakatan yang menyatukan antara inti

(32)

Pembangunan ekonomi pola kemitraan merupakan perwujudan cita-cita

untuk melaksanakan sistem perekonomian gotong royong antara mitra yang kuat

dari segi permodalan, pasar dan kemampuan teknologi bersama petani golongan

lemah dan miskin yang tidak berpengalaman untuk mampu meningkatkan

produktifitas dan usahanya atas dasar kepentingan bersama (Elieser, 2000;

Syahyuti, 2006). Oleh karena itu, pembangunan ekonomi dengan pola kemitraan

dapat dianggap sebagai usaha yang paling menguntungkan (maximum social

benefit), terutama ditinjau dari pencapaian tujuan pembangunan nasional jangka

panjang (Anwar, 1992 dalam Elieser, 2000).

Kemitraan merupakan kerjasama antara perusahaan mitra dengan peternak

tanpa menciptakan bentuk hubungan majikan dengan buruh. Selain tercipta saling

ketergantungan (saling memerlukan), kemitraan juga harus memperhatikan

prinsip saling memperkuat dan saling menguntungkan. Prinsip ”saling

memperkuat” terealisasi jika peserta mitra dan perusahaan mitra sama-sama

memperhatikan moral dan etika bisnis, sehingga akan memperkuat kedudukan

masing-masing dalam meningkatkan daya saing usahanya. Sedangkan prinsip ”

saling menguntungkan” tercapai ketika kedua pihak memperoleh peningkatan

pendapatan dan kesinambungan usaha (Syahyuti, 2006).

Dalam kegiatan produksi di bidang pertanian, seringkali terdengar adanya

kesenjangan antara produktivitas yang seharusnya bisa dicapai dengan

produktivitas riil yang dilakukan oleh petani. Dalam mempelajari produktivitas

tersebut, Soekartawi (2003), menyatakan peranan hubungan input (faktor produksi

atau korbanan produksi) dan output (hasil produksi) mendapat perhatian utama.

(33)

waktu yang tepat, tetapi dapat juga ditinjau dari segi efisiensi penggunaan faktor

produksi tersebut.

Efisiensi ekonomi dalam berproduksi dapat dicapai melalui kemitraan

karena masing pihak yang bermitra menawarkan sisi keunggulan

masing-masing. Lebih jauh Sumardjo, Jaka dan Wahyu (2004), menyatakan bahwa

kemitraan bisnis memang bermanfaat dalam meningkatkan akses usaha kecil ke

pasar, modal dan teknologi serta mencegah terjadinya diseconomies of scale

sehingga mutu juga menjadi terjaga. Hal seperti ini dapat terjadi karena adanya

komitmen kedua belah pihak untuk bermitra. Pengusaha menengah sampai

dengan skala besar memiliki komitmen atau tanggung jawab moral dalam

membimbing dan mengembangkan pengusaha kecil supaya dapat

mengembangkan usahanya sehingga mampu menjadi mitra yang handal untuk

meraih keuntungan bersama. Mereka yang bermitra perlu mengetahui kekuatan

dan kelemahan masing-masing untuk saling mengisi, saling melengkapi, saling

memperkuat serta tidak saling mengeksploitasi. Dalam kondisi ini akan tercipta

rasa saling percaya antar kedua belah pihak sehingga usahanya akan semakin

berkembang (Novian, 2006).

Pada dasarnya pembangunan peternakan dengan model kemitraan memiliki

tujuan yang diantaranya adalah peningkatan pendapatan dan kesejahteraan

peternak, meningkatkan produksi serta mempercepat alih teknologi budidaya

manajemen peternakan dari inti ke plasma. Menurut Said (2001) dalam Novian

(2006) ada beberapa sisi positif yang dapat diperoleh dari kemitraan yaitu:

1. Kemitraan dibentuk atas dasar saling membutuhkan. Industri membutuhkan

(34)

petani membutuhkan jaminan pemasaran hasil produksinya. Dengan demikian,

kedua belah pihak memiliki ikatan yang kuat atas dasar saling membutuhkan.

2. Kemitraan yang dibentuk didasarkan pada prinsip saling menguntungkan,

yakni perusahaan memiliki komitmen untuk membeli hasil produksi petani

sesuai dengan harga pasar dan dibayar dengan tunai. Dilain pihak petani

memiliki komitmen untuk memasok hasil dan mengatur siklus produksinya,

sehingga pasokan ke perusahaan dapat berkesinambungan.

3. Kemitraan yang dibentuk didasarkan pada prinsip tumbuh dan berkembang

bersama, sehingga industri menyediakan kredit kepada petani tanpa bunga

dan tanpa agunan dengan masa tenggang selama satu tahun.

4. Kemitraan yang dibentuk pada prinsip saling percaya, yakni ketika petani

memasok produksinya, langsung dibayar tunai oleh perusahaan tanpa

memotong sisa hutangnya. Dilain pihak, para petani membayar hutangnya

pada saat jatuh tempo dan dapat meminjam kembali.

Dasar pemikiran kemitraan adalah setiap pelaku usaha mempunyai potensi,

kemampuan dan keistimewaan masing-masing dengan perbedaan ukuran, jenis,

sifat, dan tempat usahanya. Dari pelaku usaha yang mempunyai kelebihan dan

kekurangan diharapkan dapat saling menutupi kekurangan masing-masing dengan

kondisi yang demikian akan timbul satu kebutuhan untuk bekerjasama dan

menjalin hubungan kerjasama model kemitraan.

Simatupang (1997), menyatakan bahwa eksistensi suatu kemitraan

ditentukan oleh biaya transaksi relatifnya. Artinya selama biaya transaksi sistem

kemitraan lebih rendah dibandingkan biaya transaksi sistem pasar (spot) maupun

(35)

Sedangkan biaya transaksi itu sendiri sangat dipengaruhi oleh tiga dimensi

transaksi, yaitu: (1) kekhususan dari asset (asset specificity), (2)

ketidakpastian/kerumitan transaksi, dan (3) frekuensi transaksi (Williamson, 1985,

1986; Douma and Schreuder, 1991 dalam Simatupang, 1997). Suatu asset

dikatakan bersifat spesifik transaksi bila penggunaannya tidak dapat diubah tanpa

pengurangan nyata terhadap nilainya sehingga jika suatu transaksi didukung oleh

asset spesifik yang relatif mahal dan penuh resiko maka kedua belah pihak pelaku

transaksi harus membuat kesepakatan jangka panjang serta masing-masing pihak

harus saling mematuhi kesepakatan tersebut. Oleh karena itu, Simatupang (1997),

menyimpulkan bahwa faktor kunci bagi kelayakan kemitraan adalah kepatuhan

akan janji (credible commitment) atau kepercayaan (trust) dari para pelakunya.

Pengembangan kemitraan industri perunggasan masa depan dilakukan

dengan mentransformasikan ekonomi pedesaan yang tradisional ke arah ekonomi

pasar modern, sehingga menjadi pembentuk struktur ekonomi pasar. Bentuk akhir

dari kemitraan masa depan tersebut dicirikan oleh: (1) peternak produsen haruslah

menjadi pemilik saham keseluruhan jaringan agribisnis, (2) keorganisasian

peternak tidak terbatas pada kegiatan produksi bahan baku, namun pada

keseluruhan jaringan tubuh agribisnis, (3) output yang dihasilkan merupakan

produk akhir yang telah memperoleh sentuhan iptek dan bernilai tambah tinggi,

berciri spesifik, berstandar mutu tinggi, dan (4) hubungan kemitraan antar pelaku

agribisnis harus dimuati rasionalitas ekonomi dan spesialisasi pembagian kerja

secara organik, asas keterbukaan dan demokrasi diterapkan dalam sistem

pengambilan keputusan melalui musyawarah (Saptana, Sayuti dan Noekman,

(36)

3.3. Pendapatan Usahaternak

Perusahaan adalah suatu unit teknis dimana output dihasilkan, karena itu

perusahaan adalah suatu bentuk kelembagaan bisa perorangan atau dalam bentuk

sekumpulan orang sebagai pemiliknya (Henderson and Quandt, 1980).

Perusahaan melakukan proses produksi, yakni melakukan pengaturan penggunaan

input dalam rangka menghasilkan output. Pengelolaan perusahaan membuat

keputusan tentang berapa seharusnya dan bagaimana output dihasilkan

sehubungan dengan tingkat keuntungan yang akan diperoleh. Dalam hal ini,

peternak ayam ras pedaging merupakan perusahaan yang menghasilkan output

berupa ayam ras pedaging. Analisis perusahaan tidak lain adalah analisis terhadap

produksi dan keuntungan. Analisis keuntungan menyangkut analisis penerimaan,

biaya dan selisih antara penerimaan dan biaya yang disebut keuntungan atau

pendapatan (Henderson and Quandt, 1980).

Adanya perbedaan pola pengusahaan ayam ras pedaging di Kabupaten

Karanganyar yaitu pengusahaan pola mandiri dan pola kemitraan menimbulkan

perbedaan besarnya biaya-biaya yang digunakan untuk berusahaternak dan

penerimaan yang diterima oleh peternak. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan

harga input, harga output dan cara memasarkan ayam ras pedaging diantara kedua

pola tersebut.

Implikasi yang paling menonjol dalam kerjasama kemitraan adalah peternak

diharuskan untuk membeli sarana produksi (input) dan menjual hasil produksi

kepada perusahaan mitra. Kondisi pada pasar input menunjukkan bahwa terdapat

satu penjual (perusahaan mitra) dengan banyak pembeli (peternak) sehingga pasar

(37)

1980). Pada pasar monopoli, untuk mencapai keuntungan maksimum, perusahaan

akan menetapkan harga lebih tinggi dibandingkan pasar persaingan sempurna

(Hyman, 1997).

Sumber : Hyman, 1999

Gambar 1. Perbedaan Output dan Harga pada Pasar Monopoli dan Pasar Persaingan Sempurna

Gambar 1 menyajikan harga dan output yang dihasilkan pada pasar

persaingan sempurna dan pasar monopoli. Dengan asumsi kurva marginal cost

(MC) berbentuk horizontal, pasar persaingan sempurna mencapai keuntungan

maksimum pada saat marginal revenue (MRp) berpotongan dengan MC, dimana

MR sama dengan harga sehingga akan dihasilkan output pada Q2 pada harga P1.

Pada pasar monopoli, keuntungan maksimum diperoleh pada saat MRm

berpotongan dengan kurva MC sehingga perusahaan monopoli akan memproduksi

output sebesar Q1 dengan harga P2 (Hyman, 1997). Terkait dengan kondisi

kemitraan bahwa peternak sebagai penerima harga input dari perusahaan inti yang

memonopoli penjualan sarana produksi ternak (input), khususnya berupa DOC,

pakan ternak, serta obat dan vaksin maka peternak peserta kemitraan akan P1

P2 P

MC = MRp

Q

0 Q1

D

Q2 a

(38)

menerima harga input lebih tinggi dibandingkan harga pada pasar persaingan

sempurna.

Dalam kerjasama kemitraan, peternak juga melakukan kontrak penjualan

output kepada perusahaan inti. Pada kondisi ini, perusahaan inti bertindak sebagai

pembeli tunggal bagi hasil ternak ayam ras pedaging dari peternak mitra, sehingga

pada pasar output terdapat banyak penjual dengan pembeli tunggal. Menurut

Henderson and Poole (1991), kondisi pasar dengan pembeli tunggal dan banyak

penjual digolongkan dalam pasar monopsoni. Hyman (1997), menyatakan bahwa

karena posisi pembeli tunggal maka perusahaan monopsoni (monopsonist)

mempunyai kemampuan menentukan harga dari barang atau jasa yang akan dibeli.

Jika diasumsikan bahwa produk yang dijual peternak merupakan faktor

produksi dari perusahaan monopsoni (perusahaan inti) maka perusahaan tidak

dapat membeli diantara faktor input secara bebas (unlimited) pada harga umum,

yaitu harga dimana perusahaan harus membayar jumlah pembelian input yang

ditentukan melalui pasar penawaran input. Harga yang harus dibayarkan untuk

tiap satuan barang yang dibeli ditentukan oleh kurva penawaran input. Karena

kurva penawaran input memiliki slope positif (upward sloping), maka harga yang

harus dibayar perusahaan monopsoni merupakan kenaikan dari fungsi jumlah

yang dibeli (Hyman, 1997).

Untuk mencapai kondisi keseimbangan perusahaan monopsoni akan

menerapkan harga faktor produksi lebih kecil dari biaya marjinal. Nicholson

(1999), menyatakan bahwa perusahaan yang menghadapi kurva penawaran

positif, maka biaya marjinal lebih besar dari harga pasar faktor yang

(39)

maksimum pada perusahaan monopsoni dicapai apabila nilai produk marjinal

( dx dq

P ) sama dengan biaya marjinal (

dx dC

). Kondisi tersebut diilustrasikan pada

Gambar 2 bahwa keuntungan maksimum dari perusahaan monopsoni berada pada

x0 unit dengan harga input sebesar r0 rupiah. Sedangkan perusahaan pada pasar

persaingan sempurna, keuntungan maksimumnya akan tercapai pada saat biaya

input rata-rata atau penawaran input berpotongan dengan nilai produk marjinal

sehingga pada pasar persaingan sempurna, jumlah input yang digunakan adalah

pada x1 unit dengan harga r1 rupiah.

Perusahaan monopsoni dapat meningkatkan keuntungannya dengan

mengurangi jumlah input yang digunakan pada tingkat harga yang lebih rendah

dibandingkan dengan nilai produk marjinalnya. Dalam kaitannya dengan

penelitian ini, perusahaan inti sebagai pembeli tunggal produk ayam ras pedaging

yang dihasilkan peternak mitra maka perusahaan inti memiliki kekuatan

monopsoni (monopsony power) sehingga perusahaan inti memiliki kekuatan untuk

menetapkan harga ayam ras pedaging (per unit) yang lebih rendah apabila

dibandingkan dengan harga pada pasar persaingan sempurna. Dengan demikian

peternak peserta kemitraan akan menerima harga relatif lebih rendah

dibandingkan dengan peternak mandiri.

Untuk mengetahui pendapatan yang diterima peternak pola kemitraan dan

mandiri, maka digunakaan pendekatan pendapatan peternak dengan analisis R/C

(40)

Sumber : Henderson and Quandt, 1980

Gambar 2. Perbedaan Profit Maximizing pada Pasar Monopsoni dan Pasar

Persaingan Sempurna

3.4. Pemasaran Usahaternak

Upaya peningkatan pendapatan peternak tidaklah cukup dengan upaya

peningkatan produksi, akan tetapi yang lebih penting adalah memberikan jaminan

hasil produksinya akan selalu dapat diserap oleh pasar dengan harga yang baik.

Pemasaran (tataniaga) yang efektif dan efisien merupakan kunci dari keberhasilan

upaya tersebut. Dalam aktivitas usaha pemasaran ini, peternak sebagai produsen

akan melibatkan lembaga pemasaran, karena sebagian besar produsen tidak dx

dC

dx dq P g(x) = S

r1

r0

x1 x0

0 x

(41)

menjual secara langsung kepada konsumen akhir (Sahari dan Musyafak, 2002).

Lembaga pemasaran berfungsi sebagai sumber informasi bergeraknya suatu

barang atau jasa, serta melakukan pengolahan hasil-hasil pertanian baik itu

pengolahan tingkat pertama maupun pengolahan tingkat lanjut. Selain itu lembaga

pemasaran juga melakukan fungsi-fungsi pemasaran, yaitu: fungsi fisik, fungsi

pertukaran dan fasilitas (Limbong dan Sitorus, 1988). Fungsi dari masing-masing

lembaga pemasaran, berbeda satu dengan yang lain tergantung dari aktivitas yang

dilakukan maupun skala usaha masing-masing (Soekartawi, 1989).

Efisiensi pemasaran dapat dibedakan atas efisiensi teknis dan efisiensi

ekonomis. Efisiensi teknis berarti pengendalian fisik dari produk yang mencakup

hal-hal seperti prosedur teknis dan besarnya skala produksi dengan tujuan

penghematan biaya pemasaran, seperti mengurangi kerusakan, mencegah

merosotnya mutu barang dan menghemat tenaga kerja. Efisiensi ekonomis berarti

bagaimana perubahan harga yang terjadi di satu rantai pemasaran dapat

ditransmisikan dengan baik ke rantai pemasaran yang lain.

Terkait dengan penelitian ini, adanya ”kontrak kerjasama” dalam

usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan dengan perusahaan inti, selain

mempermudah peternak memperoleh input faktor yang diperlukan juga

menimbulkan ketergantungan dalam pemasaran hasil. Perbedaan harga produk

dan bertambah panjangnya saluran pemasaran ayam ras pedaging dapat terjadi.

Harga produk yang lebih tinggi dan relatif panjangnya saluran pemasaran pada

peternakan pola kemitraan menyebabkan marjin pemasaran pola ini relatif lebih

tinggi bila dibandingkan dengan marjin pemasaran pola mandiri. Semakin besar

(42)

berarti bagian harga yang diterima oleh peternak (farmer’s share) akan makin

kecil.

Untuk melihat pemasaran ayam ras pedaging pola kemitraan dan pola

mandiri maka digunakan analisis saluran pemasaran, analisis marjin pemasaran

khususnya untuk melihat proporsi keuntungan pemasaran terhadap biaya

pemasaran serta analisis keterpaduan pasar untuk melihat efisiensi harganya.

Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 3.

3.5. Hipotesis

Berdasarkan uraian pada kerangka pemikiran, maka dapat dirumuskan

hipotesis penelitian ini sebagai berikut:

1. Pendapatan usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan lebih rendah

daripada pendapatan usahaternak ayam ras pedaging pola mandiri.

2. Bagian harga yang diterima oleh peternak (farmer’s share) pola kemitraan

lebih kecil dibandingkan dengan pola mandiri.

3.6. Metode Analisis Data

Untuk menjawab tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui struktur

kelembagaan usahaternak kemitraan digunakan analisis deskriptif. Sedangkan

untuk tujuan penelitian yang kedua yaitu mengetahui mana yang lebih

menguntungkan dari usahaternak ayam ras pedaging pola kemitraan atau pola

mandiri yakni dilihat dari besarnya pendapatan peternak, efisiensi usahaternak dan

efisiensi pemasaran digunakan analisis kuantitatif yaitu analisis pendapatan, R/C

ratio, analisis saluran pemasaran (deskriptif), marjin pemasaran dan analisis

(43)

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Peternak Pola Kemitraan

Perusahaan Mitra

Lembaga Pemasaran

Pasar Sapronak

Peternak Pola Mandiri

Pasar Konsumen Harga Output

(Penerimaan) Harga Input

(Biaya Produksi)

Analisis Kelembagaan:

Struktur Organisasi Kemitraan Perjanjian Kerjasama Kemitraan Pelaksanaan Kerjasama Kemitraan

Persepsi dan Partisipasi Peserta Efisiensi Usahaternak:

R/C Ratio

Efisiensi Pemasaran:

Ratio Keuntungan/BiayaPemasaran

(44)

3.6.1. Analisis Deskriptif

Struktur kelembagaan ayam ras pedaging pola kemitraan dianalisis secara

deskriptif. Hal-hal yang diuraikan untuk menjawab tujuan tersebut adalah (1)

profil perusahaan mitra, (2) struktur organisasi pelaksana kemitraan, (3) aturan

main kerjasama kemitraan, (4) peraturan kemitraan dan peran pemerintah, (5)

pelaksanaan kerjasama dan tanggapan peserta kemitraan dan (7) manfaat

kemitraan.

Selain digunakan untuk menganalisis struktur kelembagaan ayam ras

pedaging pola kemitraan, analisis deskriptif juga digunakan untuk

membandingkan kondisi saluran pemasaran ayam ras pedaging, antara pola

mandiri dengan pola kemitraan (tujuan 2). Saluran pemasaran ayam ras pedaging

merupakan jalur yang digunakan dalam proses penyampaian ayam ras pedaging

dari peternak sampai ke konsumen akhir. Analisis terhadap pola saluran

pemasaran digunakan untuk melihat jumlah dan perilaku pelaku pemasaran yang

terlibat dalam proses penyampaian ayam ras pedaging. Pada umumnya

panjang-pendeknya saluran pemasaran akan mempengaruhi harga yang dibayarkan oleh

konsumen akhir.

3.6.2. Analisis Kuantitatif

Untuk melihat mana yang lebih menguntungkan dari dua pola pengusahaan

ayam ras pedaging di Kabupaten Karanganyar dilakukan dengan cara

membandingkan pendapatan dan efisiensi biaya produksi terhadap penerimaannya

antara pola mandiri dan pola kemitraan. Selain itu, pelaksanaan kemitraan juga

memberikan pengaruh terhadap distribusi produk (pemasaran ayam ras pedaging)

(45)

perbandingan pemasaran ayam ras pedaging dari kedua pola pengusahaan.

Analisis pemasaran yang dilakukan meliputi analisis terhadap saluran pemasaran

(deskriptif) analisis marjin pemasaran dan analisis keterpaduan pasar.

1. Analisis Pendapatan Usahaternak

Analisis pendapatan usahaternak memerlukan dua keterangan pokok yaitu

keadaan penerimaan dan keadaan pengeluaran (biaya-biaya) selama usahaternak

dijalankan dalam satu siklus produksi, yakni 35 hari. Penerimaan usahaternak

merupakan nilai produksi yang diperoleh dari produk total dikalikan dengan harga

jual di tingkat peternak. Sedangkan biaya atau pengeluaran adalah total nilai

penggunaaan sarana produksi peternakan, baik yang diperoleh dengan cara

membeli tunai, sewa atau kredit selama proses produksi ayam ras pedaging

berlangsung.

TR = Pa Qa ... (1)

dimana:

TR : Total penerimaan dari usahaternak ayam ras pedaging (Rp)

Pa : Harga ayam ras pedaging (Rp/ekor)

Qa : Total produksi (ekor)

TC = FC + VC ... (2)

FC = PsQs + PtpQtp + PtmQtm + PapQap ... (3)

VC = PbQb + PpQp + PovQov + PskmQskm + PgmQgm + PkdQkd + PgQg +

PlQl + PtkQtk ... (4)

dimana:

TC : Total biaya usahaternak ayam ras pedaging (Rp)

FC : Total biaya tetap usahaternak ayam ras pedaging (Rp)

VC : Total biaya variabel usahaternak ayam ras pedaging (Rp)

(46)

Qs : Total kandang (buah)

Ptp : Nilai depresiasi tempat pakan (Rp)

Qtp : Total tempat pakan (buah)

Ptm : Nilai depresiasi tempat minum (Rp)

Qtm : Total tempat minum (buah)

Pap : Nilai depresiasi alat pemanas (Rp)

Qap : Total alat pemanas (buah)

Pb : Harga DOC (Rp)

Qb : Total DOC (ekor)

Pp : Harga pakan (Rp)

Qp : Total pakan yang dipakai (kg)

Pov : Harga obat dan vaksin (Rp)

Qov : Total obat dan vaksin yang dihabiskan (ml)

Pskm : Harga sekam (Rp)

Qskm : Total sekam yang digunakan (kg)

Pgm : Harga gula merah (Rp)

Qgm : Total gula merah (kg)

Pkd : Harga kunyit dan daun pepaya (Rp)

Qkd : Total kunyit dan daun pepaya yang digunakan (kg)

Pg : Harga gas (Rp)

Qg : Total gas yang digunakan (tabung)

Pl : Harga listrik (Rp/kwh)

Ql : Total penggunaan listrik (kwh)

Ptk : Upah tenaga kerja (Rp)

Qtk : Total tenaga kerja (orang)

π

= TR - TC ... (5)

dimana:

π

: Total pendapatan usahaternak ayam ras pedaging (Rp)

Untuk memudahkan analisis perbandingan penerimaan, biaya dan

(47)

kemitraan maka semua penerimaan, biaya dan pendapatan dihitung per ekor ayam

ras pedaging. Perhitungan biaya diasumsikan bahwa peternak membeli secara

tunai.

2. R/C Ratio

Untuk mengukur efisiensi masing-masing usahaternak terhadap setiap

penggunaan satu unit input maka digunakan nilai ratio antara jumlah penerimaan

dengan jumlah biaya yang secara sederhana dapat diturunkan dari rumus:

TC TR Ratio

R/C = ... (6)

3. Analisis Marjin Pemasaran

Besarnya marjin pemasaran ayam ras pedaging dalam satu pola rantai

pemasaran (saluran pemasaran) dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

=

M : Marjin total dari satu saluran pemasaran lembaga pemasaran (Rp)

bpi : Biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran ke-i (Rp)

kpi : Keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran ke-i (Rp)

n : Jumlah lembaga pemasaran yang terlibat dalam satu pola saluran pemasaran

Untuk mengetahui distribusi marjin pemasaran pada masing-masing

lembaga pemasaran yang terlibat dalam satu pola saluran pemasaran maka perlu

dihitung proporsi biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran terhadap total

marjin pemasaran dengan persamaan sebagai berikut:

(48)

% 100 x M kp

Skp i

i = ... (9)

dimana :

Sbpi : Share biaya pemasaran yang dikeluarkan lembaga pemasaran ke-i

Skpi : Share keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran ke-i

Sedangkan untuk melihat tingkat efisiensi biaya pemasaran yang

dikeluarkan terhadap keuntungan pemasaran tiap-tiap lembaga pemasaran maka

dalam analisis ini juga dihitung ratio keuntungan pemasaran terhadap biaya

pemasaran.

i i

bp kp

kp/bpratio= ... (10)

Semua hasil perhitungan kemudian dibahas dengan cara membandingkan

marjin pemasaran ayam ras pedaging pola mandiri dengan pola kemitraan.

4. Analisis Indeks Keterpaduan Pasar

Keterpaduan pasar menunjukkan seberapa jauh pembentukan harga suatu

komoditi pada suatu tingkat lembaga pemasaran tertentu dipengaruhi oleh harga

di tingkat lembaga pemasaran lainnya. Pada penelitian ini, analisis keterpaduan

pasar berfungsi untuk mengetahui transmisi harga ayam ras pedaging dari tingkat

pasar retail terhadap harga yang berlaku di tingkat peternak. Keterpaduan pasar

dapat diduga dengan menggunakan model keterpaduan pasar autoregresi yang

dikembangkan oleh Timmer (1987) dalam (Hoesin, 1994). Model ini dapat

digunakan untuk mengukur bagaimana harga di pasar produsen dipengaruhi oleh

harga di pasar acuan (retail) dengan mempertimbangkan harga di masa lalu dan

harga saat ini. Model keterpaduan pasar autoregresi adalah sebagai berikut :

(49)

dimana :

Pft = Harga di pasar produsen(peternak) pada periode ke- t (Rp/kg)

Pft-1 = Lag harga di pasar produsen (peternak) pada periode ke- t-1

(Rp/kg)

Prt = Harga di pasar acuan (retail) pada periode ke- t (Rp/kg)

Prt-1 = Lag harga di pasar acuan (retail) pada periode ke- t-1 (Rp/kg)

Xt = Dummy kemitraan (1=peserta kemitraan, 0=mandiri)

et = Galat baku

Persamaan 11 diestimasi dengan metode OLS (Ordinary Least Square)

dengan menggunakan program Minitab 13. Koefisien parameter yang diperoleh

dari hasil estimasi digunakan untuk menghitung IMC (index market connection)

yang dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

) d (d

) d (1 IMC

1 3

1

− +

= ... (12)

Index market connection (IMC) adalah keeratan hubungan antara pasar

produsen dan pasar konsumen dan nilai ini akan menunjukkan keefisienan

(efisiensi harga) sistem suatu pasar. Jika IMC lebih kecil dari satu, menunjukkan

bahwa integrasi pasar produsen dan pasar konsumen akan makin erat. Hal ini

menunjukkan sistem pemasaran yang ada makin efisien karena informasi

perubahan harga yang ada di pasar konsumen segera ditransmisikan ke pasar

produsen. Sebaliknya Jika IMC > 1, menunjukkan tidak adanya keterkaitan

(integrasi pasar) antara pasar konsumen dengan pasar produsen, dimana hal ini

dicerminkan dari perubahan harga di pasar konsumen ditransmisikan terhadap

harga di pasar produsen.

Koefisien d2 menunjukkan seberapa jauh perubahan harga di pasar

(50)

pasar jangka panjang dapat dicapai jika koefisien d2 ≤1. Perubahan harga yang

terjadi bersifat netral dalam proporsional persentase jika koefisien d2 = 1.

3.7. Metode Penelitian

3.7.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan selama dua bulan yaitu bulan November sampai

Desember 2003. Lokasi penelitian di Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa

Tengah ditentukan secara purposive yaitu di Kecamatan Tasikmadu, Kecamatan

Kebakkramat dan Kecamatan Mojogedang dengan pertimbangan bahwa ketiga

kecamatan tersebut merupakan daerah potensial dengan perkembangan ternak

ayam ras pedaging yang relatif besar di Kabupaten Karanganyar. Pertimbangan

lainnya adalah di ketiga kecamatan tersebut terdapat dua pola pengusahaan ayam

ras pedaging yang berbeda yaitu pola kemitraan dan pola mandiri sehingga lebih

realistis untuk dilakukan analisis perbandingan terhadap kedua pola pengusahaan.

3.7.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer

diperoleh malalui wawancara langsung dengan responden (peternak, pedagang

perantara dan karyawan perusahaan inti baik yang di lapangan maupun di kantor).

Berdasarkan hasil survey awal di kecamatan lokasi penelitian (Kecamatan

Tasikmadu, Kecamatan Kebakkramat dan Kecamatan Mojogedang), jumlah

peternak pola mandiri sebanyak 6 orang sedangkan jumlah peternak pola

kemitraan 16 orang. Untuk keperluan penelitian ini, seluruh peternak diambil

sebagai responden (sensus). Pengambilan sampel pedagang pengumpul, pedagang

(51)

pedagang yang hanya melakukan transaksi secara langsung baik dengan peternak

maupun pedagang perantara lain (snowball sampling).

Selain data primer, penelitian ini juga menggunakan data sekunder yang

diperoleh dari Dinas Perdagangan, Dinas Peternakan Jawa Tengah, Dinas

Peternakan Kabupaten Karanganyar, Badan Pusat Statistik dan publikasi dari

(52)

4.1. Keadaan Geografis Karanganyar

Karanganyar merupakan salah satu kabupaten bagian selatan Provinsi Jawa

Tengah, yang termasuk dalam wilayah Pembantu Gubernur Wilayah Surakarta.

Kabupaten Karanganyar memiliki wilayah yang sangat beragam mulai dari

perkotaan dengan segala kondisinya hingga kawasan pedesaan yang terpencil.

Kabupaten Karanganyar terletak antara 1100 40’ – 1100 70’ Bujur Timur dan 70

28’ -70 46’ Lintang Selatan. Kabupaten Karanganyar memiliki luas 77 378.6374

ha. Letak geografis kabupaten ini di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten

Wonogiri dan Kabupaten Sukoharjo, di sebelah utara berbatasan dengan

Kabupaten Sragen, di sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Timur, dan

di sebelah barat berbatasan dengan Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali.

Kondisi geografis wilayah Kabupaten Karanganyar umumnya berbukit-bukit

dengan ketinggian rata-rata 511 m di atas permukaan laut, beriklim tropis dengan

temperatur 22oC - 31oC. Rata-rata curah hujan mencapai 1 855 mm dengan curah

hujan tertinggi terjadi pada bulan Pebruari dan terendah pada bulan Juli dan

Agustus.

Sebagian besar wilayah Kabupaten Karanganyar adalah lahan pertanian,

baik lahan kering maupun tanah persawahan. Rincian penggunaan tanah di

Kabupaten Karanganyar secara lengkap disajikan pada Tabel 4. Sebagian besar

penggunaan tanah di wilayah Kabupaten Karanganyar digunakan sebagai lahan

sawah yaitu 22 856.33 ha atau mencapai 29.54 persen dari total wilayah

sedangkan tanah yang digunakan sebagai bangunan dan pekarangan meliputi

(53)

dan kebun mencapai 17 952.44 ha (23.20 persen), 12 981.00 ha (16.78 persen)

digunakan untuk hutan negara dan perkebunan sedangkan sisanya, yaitu

2 762.35 ha (3.73 persen) digunakan untuk padang gembala, tambak, kolam dan

lain-lain.

Tabel 4. Persebaran Penggunaan Tanah di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004

Keterangan : Angka dalam kurung merupakan persentase dari total luas wilayah

4.2. Keadaan Demografi dan Ketenagakerjaan

Jumlah penduduk Kabupaten Karanganyar pada tahun 2004 menurut jenis

kelamin disajikan pada Tabel 5. Jumlah penduduk Kabupaten Karanganyar pada

akhir tahun 2004 sebanyak 830 640 jiwa yang terdiri dari 410 985 jiwa laki-laki

dan 419 655 jiwa perempuan yang terhimpun dalam 202 884 rumah tangga.

Kepadatan penduduk di Kabupaten Karanganyar pada akhir tahun 2004 mencapai

(54)

Tabel 5. Persebaran Jumlah Keluarga dan Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004

No Kecamatan

Sumber : BPS, 2005 (diolah)

Kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Kecamatan

Karanganyar yaitu 72 112 jiwa (8.68 persen), kemudian Kecamatan Jaten

sejumlah 68 100 jiwa (8.20 persen) dan Kecamatan Gondangrejo sebanyak 63 584

jiwa (7.65 persen). Sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit

adalah Kecamatan Jenawi yaitu 27 000 jiwa (3.25 persen), kemudian Kecamatan

Ngargoyoso sejumlah 34 484 jiwa (4.15 persen), dan Kecamatan Kerjo yaitu

36 659 jiwa (4.41 persen).

Dari Tabel 6 dapat diketahui bahwa penduduk Kabupaten Karanganyar

paling banyak berada pada usia produktif yaitu usia 15 tahun sampai 64 tahun.

Jumlah penduduk usia produktif mencapai 67.25 persen dari jumlah penduduk

(55)

sumber tenaga kerja bagi sektor-sektor perekonomian sekaligus membawa

konsekeuensi bagi Pemerintah Daerah dalam penyediaan lapangan kerja.

Tabel 6. Persebaran Jumlah Penduduk menurut Usia Anak, Usia Produktif dan Lanjut Usia di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004

No Kecamatan Penduduk Anak (0 – 14 th) Sumber : BPS, 2005 (diolah)

Tabel 7. Persebaran Penduduk 10 Tahun ke Atas menurut Matapencaharian di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2002-2004

Tahun Petani

Sumber : BPS, 2005 (diolah)

Penggolongan tenaga kerja di Kabupaten Karanganyar pada Tahun 2004

disajikan pada Tabel 7. Sebagian besar penduduk Kabupaten Karanganyar

bekerja di sektor pertanian yaitu sebagai petani dan buruh tani. Pada tahun 2002

penduduk yang bekerja di sektor pertanian mencapai 227 661 jiwa (33.98 persen),

tahun 2003 mengalami penurunan menjadi 221 647 jiwa (32.49 persen), tahun

(56)

industri pada tahun 2002 sejumlah 90 412 jiwa (13.50 persen), tahun 2003

sejumlah 93 577 jiwa (13.72 persen), tahun 2004 sejumlah 93 501 jiwa (13.56

persen). Sedangkan buruh bangunan pada tahun 2002 tercatat sebanyak 46 575

jiwa (6.95 persen), tahun 2003 sebanyak 45 577 jiwa (6.73 persen dan tahun 2004

sebanyak 46 575 jiwa (6.75 persen). Selebihnya adalah pedagang, pengusaha,

pekerja di sektor pengangkutan, PNS/TNI/Polri, pensiunan dan lain-lain.

4.3. Kondisi Perekonomian Wilayah

Kondisi perekonomian wilayah di Kabupaten Karanganyar dapat dilihat dari

pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan distribusi Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk masing-masing sektor. Pertumbuhan

PDRB dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004-2005

Lapangan Usaha

1.1 Tanaman Pangan 1.2 Tanaman Perkbn Rakyat 1.3 Tanaman Perkbn Besar 1.4 Peternakan

1.5 Kehutanan 1.6 Perikanan

Pertamb. dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bangunan

Perdagangan

Angkutan dan Perhubungan Lembaga Keuangan, Sewa Bangunan dan Jasa Persewaan

Sumber : BPS, 2006 (diolah)

Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Karanganyar pada tahun 2005

Gambar

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN  ....................
Tabel 1. Populasi Ayam Ras Pedaging Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2000-2004
Tabel 2. Distribusi Persentase PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Karanganyar,  Tahun 2001-2005
Tabel 3. Perkembangan Populasi Ternak Di Kabupaten Karanganyar, Tahun 2003-2004
+7

Referensi

Dokumen terkait

Belajar dari perkembangan penguasaan bahasa nasional dan daerah di Indonesia, penciptaan lingkungan yang kondusif menjadi alternatif dalam pembelajaran bahasa Arab

Berdasarkan observasi awal di Pesantren Darul Istiqamah di Desa Timbuseng Kecamatan Pattallassang Kabupaten Gowa, diperoleh beberapa informasi tentang beberapa jenis

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan nikmat dan anugerah yang sangat luar biasa sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi dengan baik yang berjudul

T api saya lebih cenderung melakukan cara dakwahnya nabi Muhammad dengan ceramah yang membangun.. orang-orang sukses, agar siswa terpancing. Manusia kan

Menurut Siregar (2015) regresi berganda merupakan pengembangan dari regresi linier sederhana, yaitu sama-sama alat yang dapat digunakan untuk melakukan prediksi

Penelitian yang dilakukan peneliti sekarang adalah “Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Treffinger Berbantuan LKS dan Motivasi Belajar Terhadap Hasil Belajar

wawancara terstruktur. Wawancara terstruktur merupakan teknik pengumpulan data dari narasumber dimana pertanyaan-pertanyaan wawancara sudah diprsiapkan terlebih dahulu

Berdasarkan hasil evaluasi administrasi, teknis , evaluasi harga serta evaluasi penilaian kualifikasi penawaran oleh Pokja Pengadaan Barang/Jasa Bidang Cipta Karya