• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep kerjasama pertanian perspektif fiqh muamalah

BAB II KAJIAN TEORI

D. Konsep kerjasama pertanian perspektif fiqh muamalah

a. Pengertian Al-Musaqah

Al-Musaqah berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata al-saqa, artinya seseorang bekerja mengelolah pohon Tamar dan Anggur, atau, pohon-pohon lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.

Pengertian menurut istilah dikemukakan oleh beberapa ulama, misalnya ulama fikih, musaqah adalah akad penyerahan kebun (pohon-pohonan) kepada petani untuk digarap dengan ketentuan bahwa buah-buahan (hasilnya) dimiliki berdua (pemilik dan petani). (Darwis, 2016:6). Adapun Menurut pendapat ulama sebagai berikut:

1)

Menurut Abdurahman al-Jaziri, al-Musaqah ialah:

ةصْوُص َمَ طئاَرَشب كلَذ وَْنََو عْرَزَو لَْنََو رَجَش ةَمْدخ ىَلَع ٌدْقُع

.

Akad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian) dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu.

2) Menurut Malikiyah, al-Musaqah ialah:

ىضْرلأ ْاب ُتُبْنَ ي ام

Sesuatu yang tumbuh ditanah.

Menurut Malikiyah sesuatu yang tumbuh dari tanah dibagi menjadi lima macam, sebagai berikut:

a) Pohon-pohon tersebut berakar kuat(tetap) dan berbuah. Buah itu dipetik serta pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama, misalnya pohon anggur dan zaitun.

b) Pohon-pohon tersebut berakar teatap, tetapi tidak berbuah, seperti pohon kayu, karet, dan jati.

c) Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat, tetapi berbuah dan dapat dipetik, seperti padi dan qatsha’ah.

d) Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat dipetik, tetapi memiliki kembang yang bermanfaat, seperti bunga mawar.

e) Pohon-pohon yang diambil hijau dan basahnya sebagai suatu manfaat, bukan buahnya, seperti tanaman hias yang ditanam dihalaman rumah dan di tempat lainnya.

3) Menurut Syafi’iah, yang dimaksud al-musaqah ialah:

َأ ًاصْخَس ابَنع ْوَأ لَْنَ ُكلَْيَ ٌصْخَش َلماَعُ ي ْنَأ َبَنعلا وَأ ُلحنلا اَمهْيناَث رش اَبُ ي ْنَأ ىَلَع َرَخ

ونم جر َيَ ىذلا رمثلا َنم ٌينَعُم ٌءْزُج ولمع يرظن في وَلَو كلَذ وَْنََو ظْنلحاو ةَيبترلاَو ىقسل اب

Memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar, dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara, dan menjaganya dan pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan pohon-pohon tersebut.

4) Menurut Hanabilah, yang ssdimaksud al-musaqah ialah:

a) Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon anggur, kurma dan yang lainnya. Baginya, ada buah yang dapat dimakan sebagai bagian tertentu dari buah pohon tersebut, seperti sepertiga atau setengah.

b) Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanam pada tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya, yang kedua ini disebut musaqah mugharasah karena pemiliknya menyerahkan tanah dan pohon untuk ditanamkannya.

5) Menurut Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Syaikh Umairah, al- Muqasah ialah:

هم ىناعت لله تقسرام نا ىهع تيبُزتناوزقسن ب اه دهعتين زجش ىهع اواَسْوا َمماَعُي ْنَأ اَمُهَىْيَب ُنْىُكَي زمث

Mempekerjakan manusia untuk mengurus pohon dengan menyiram dan memeliharanya dan hasil yang dirizkikan Allah dari pohon itu untuk mereka berdua.

6) Menurut Hasbi Ash-Shiddieqi, yang dimaksud dengan al-Musaqah ialah :

رجشلا رامثتسا ىلَع ٌةيع ارز ٌةَكْرش

Syarikat pertanian untuk memperoleh hasil dari pepohonan.

Setelah mengetahui defenisi-defenisi yang dikemukakan para ahli di atas, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan al-musaqah ialah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya.

Menurut muhammad syafi’i antonio, al-musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah, dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nishab tertentu dari hasil panen.

b. Dasar hukum al-musaqah

Asas hukum al-musaqah ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibn Amr ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

نَأ ىَلَع اَهَضْرَأَوَرَ بْيَخ يدوهيلا لىإ َعَفد ةياور فىَو عْرَز ْوَأ رَثم نم اهنم ُجُرَْيَاَم رْطَشب َرَ بْيَخ يطْعَأ لوسرل نأو ملذاومأ نم اى اىوُلَمعَي رطش م.ص للها

Memberikan tanah khaibar dengan bagian separoh dari penghasilan, baik buah-buahan maupun pertanian (tanaman). Pada riwayat yang lain dinyatakan, bahwa Rasul menyerahkan tanah Khaibar itu kepada Yahudi, untuk dioalah dan modal dari hartanya, penghasilan separuhnya untuk Nabi saw.

c. Rukun dan Syarat al-Musaqah

Rukun dan syarat Musaqah menurut ulama Syafi’iah ada lima sebagi berikut:

1) Shigat dapat dilakukan dengan jelas dan dengan samaran, diisyaratkan shigat dengan lafaz dan tidak cukup dengan perbuatan saja.

2) Dua orang atau pihak yang berakad (al-aqidani) diisyaratkan bagi orang-orang yang berakad dengan ahli (mampu) untuk mengola akad, seperti baligh, berakal, dan tidak berada dibawah pengampunan.

3) Kebun dan semua pohon yang berbuah, semua pohon yang berbuah boleh diparuhkan hasilnya (bagi hasil), baik yang berbuah tahunan (satu kali dalam satu tahun) maupun yang buahnya hanya satu kali kemudian mati, seperti padi, jagung, dan yang lainnya.

4) Masa kerja, hendaklah ditentukan lama waktu yang akan dikerjakan, seperti satu tahun atau sekurang-kurangnya menurut kebiasaan. Dalam waktu tersebut tanaman atau pohon yang diurus sudah berbuah, juga yang harus ditentukan adalah pekerjaan yang harus dikerjakan oleh tukang kebun, seperti menyiram, memotongi cabang-cabang pohon yang akan menghambat kesuburan buah, atau mengawinkannya.

5) Buah, hendaklah ditentukan bagian masing-masing (yang punya kebun dan pekerja dikebun), seperti seperdua, sepertiga, seperempat, atau ukuran lainnya (Sahrani, 2011:205-207).

2. Konsep Muzara‟ah تعرشم a. Pengertian Muzara‟ah

Dalam kaidah fikih Islam al-Muzara‟ah berasal dari kata zara‟a yang berarti menyemai, menanam, atau menaburkan benih. Secara bahasa, muzara’ah berarti kerja sama antara orang yang mempunyai tanah yang subur untuk ditanami oleh orang yang mampu menggarapnya dengan imbalan berdasarkan kesepakatan kedua belah

pihak ataupun persentase dari hasil panen yang telah ditentukan (Nugraha, 2016:86).

Msuzara‟ah merupakan bentuk kerjasama antara pekerja dan pemilik tanah, terkadang pekerja memiliki kepandaian dalam mengelola pertanian, tetapi tidak memiliki tanah. Dan terkadang orang yang memiliki tanah tidak bisa bercocok tanam. Muzaraah sudah dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabat setelah beliau, Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw mempekerjakan penduduk khaibar dengan imbalan separuh dari apa yang dihasilkan dari tanah yang digarapkan, baik biji-bijian ataupun buah-buahan. Muhammad bin Baaqir bin Ali bin Husain berkata, tidak ada satu keluarga kaum muhajirindi madinah yang tidak menggarap ladang dengan bagian sepertiga atau seperempat (Sabiq, 2012:250).

Ada beberapa ulama yang mengemukakan pendapatnya tentang pengertian Muzara‟ah, diantaranya:

1) Menurut Hanafiyah Muzara‟ah ialah:

ُوَل ةَعْوُضْوَلدا وطئارَشب جراَلخا ضْعَ بب ةَعَراَزُمْلا ىَلَع دْقَعْلا نَع ٌةَرَابع : ع ْرَشلا فْرُع ْفيَو اًعْرَش

Dalam istilah syara‟ muzara‟ah adalah suatu ibarat tentang akad kerja sama penggarapan tanah dengan imbalan sebagian hasilnya, dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh syara‟.

2) Menurut Malikiyah Muzara‟ah ialah sebagaimana dikutip oleh wabah zuhaili memberikan defenisi muzaraah sebagai berikut:

عْرَزلا ْفي ُةَكْرشْلا اَهَ نأب

Sesungguhnya muzaraah itu ialah syirkah kerjasama didalam menanam tanaman (menggarap tanah)

3) Menurut Syafi’iyah Muzara‟ah adalah

ِمَرْذَبْلا َن ْوُكَي ْنَأ ىَلَع اَهْ نِم ُج ُرَْيَ َام ِضْعَ بِب ِض ْرَْلأا ِفي ِلِم اَعْلا ُةَلَم َاعُم َيِى ُةَع َراَزُمْلَا َن

ِكِل اَمْلا

Muzara‟ah adalah transaksi antara penggarap (dengan pemilik tanah) untuk menggarap tanah dengan imbalan sebagian dari hasil yang keluar dari tanah tersebut dengan ketentuan bibit dari pemilik tanah.

4) Menurut Hanabillah defenisi Muzaraah sebagai berikut:

اَهعْرَزب ٌمْوُقَ ي يذلا لماَعلل ُوَضْرَأ ةَعاَرزلل ةَلحاَصلا ضْرَلأْا ُبحاَص َعَفْدَي ْنَأ يى ُةَعَراَرُمْلَا لْوُصْحَمْلا ْفي ٌمْوُلْعم ٌعاَشَم ٌءْزُج ُوَل َنْوُكَي ْنَأ ىَلَع اًضْيَأ ُهُرُذْبَ ي ْيذلا َبَلحا ُوَل ُعَفْدَيَو ثُلُ ثلا وأ فصنلاَك

.

Muzara‟ah adalah penyerahan tanah yang layak untuk ditanami oleh pemiliknya kepada penggarap yang akan menanaminya, dan menyerahkan bibit yang akan ditanamnya, dengan ketentuan ia memperoleh bagian tertentu yang dimiliki bersama dalam hasil yang diperolehnya, seperti setengah (separuh) atau sepertiga.

5) Menurut Muwaffiquddin Abdullah bin Qudamah, memberikan defenisi Muzara‟ah sebagai berikut:

اَمُهَ نْ يَ ب ُعْرَزلاَو اَهْ يَلَع ُلَمْعَ ي ْوَأ َاهُعَر ْزَ ي ْنَم َلى إ ضلأْا ُعْفَد ةَعَر اَزُلدا َنْعَم

Arti Muzara‟ah adalah menyerahkan tanah kepada orang yang akan menanaminya atau menggarapnya dan hasilnya dibagi diantara mereka berdua (pemilik dan penggarap).

Dari defenisi-defenisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab tersebut dapat diambil intisari bahwa Muzara‟ah adalah suatu akad kerjasama anatara dua orang, dimana pihak pertama yaitu pemilik tanah yang menyerahkan tanahnya kepada pihak kedua yaitu penggarap, untuk diolah sebagai tanah pertanian dan hasilnya dibagi di

antara mereka dengan perimbangan setengah setengah, atau sepertiga dua pertiga atau lebih kecil atau lebih besar dari nisbah tersebut, sesuai dengan hasil kesepakatan mereka.

b. Dasar Hukum Muzara‟ah

Muzara‟ah hukumnya diperselisihkan oleh para fuqoha. Imam Abu Hanifah dan Zuhar, serta Imam Asy-Syafi’i tidak membolehkannya. Akan tetapi, sebagian Syafi’iyah membolehkan muzara’ah dengan alasan kebutuhan (Hajah). Mereka beralasan berdasarkan Hadis Nabi saw sebagai berikut:

َو وْيَلَع ُللها ىَلَص لله ل وُس َر َنَأ ُوْنَع ُللها َيض ر كَاحَضلا نْب تب َاث ْنَعَو َرَم َأَو ةَع ىَنَ َمَلَس

ِة َرَج َأوُمْلاب

Dari Tsabit bin Adh-Dhahhak bahwa sesungguhnya Rasulullah saw melarang untuk melakukan Muzara‟ah, dan memerintahkan untuk melakukan muajarah (sewa-menyewa) (HR.Muslim)

Menurut jumhur ulama, yang terdiri atas Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, Malik, Ahmad dan Dawud Azh-Zahiri, muzara‟ah itu hukumnya boleh. Alasannya adalah Hadis Nabi saw:

َشِب َرَ بْيَخ َلْىَأ َلَم َاع َمَّلَس َو ِوْيَلَع ُللها ىَّلَص ِللها َلْوُس َر َّنَأ اَمُهْ نَع ُللها َيِض َر َرَمُع ِنْبا ِنَع َام ِرْط

ٍعْرَز ْوَأ ٍرََثم ْنِم اَهْ نِم ُج ُرَْيَ

Dari ibn umar bahwa Rasulullah saw melakukan kerjasama (penggarapan tanah) dengan penduduk khaibar dengan imbalan separuh dari hasil yang keluar dari tanah tersebut, baik buah-buahan maupun tanaman. (Mutaffaq alaih)

Disamping itu muzara‟ah adalah suatu bentuk syirkah, yaitu kerjasama antara modal (harta) dengan pekerjaan, dan hal tersebut dibolehkan seperti halnya akad mudharabah, karena dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan adanya kerjasama tersebut maka lahan yang

menganggur bisa bermanfaat, dan orang yang menganggur bisa memperoleh pekerjaan.

c. Rukun dan Syarat Muzara‟ah

Rukun muzaraah menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul, yaitu berupa pernyataan pemilik tanah, “ saya serahkan tanah ini kepada anda untuk digarab dengan imbalan separuh dari hasilnya” dan pernyataan penggarap “saya terima atau saya setuju”. Sedangkan menurut jumhur ulama, sebagaimana dalam akad-akad yang lain, rukun Muzara‟ah ada tiga, yaitu:

1) Aqid, yaitu pemilik tanah dan penggarap

2) Ma’qud alaih atau objek akad, yaitu manfaat tanah dan pekerjaan penggarap.

3) Ijab dan qabul.

Menurut Abu Yusuf dan Muhammad syarat-syarat muzaraah meliputi syarat syarat yang berkaitan dengan pelaku (aqid) tanaman, hasil tanaman, tanah yang ditanami, alat pertanian yang digunakan, dan masa penanaman.

1) Syarat aqid

Secara umum ada dua syarat yang diberlakukan untuk aqid (pelaku akad) yaitu:

a) Aqid harus berakal (mumayyiz). Dengan demikian tidak sah akad yang dilakukan oleh orang gila, atau anak yang belum mumayyiz, karena akal merupakan syarat kecakapan (ahliyah) untuk melakukan tassaruf.

b) Aqid tidak murtad, menurut pendapat imam Abu Hanifah hal tersebut dikarenakan tasarruf orang yang murtad hukumnya ditangguhkan (mauquf) sedangkan menurut abu yusuf dan muhammad bin hasan, akad muzaraah dari orang yang murtad hukumnya dibolehkan.

2) Syarat tanaman

Syarat yang berlaku untuk tanaman adalah harus jelas. Dalam hal ini harus dijelaskan apa yang akan ditanam. Namun dilihat dari segi istihsan, menjelaskan bahwa sesuatu yang akan ditanam diserahkan sepenuhnya kepada penggarap dan ini tidak menjadi syarat muzara’ah.

3) Syarat hasil tanaman

Berkaitan dengan hasil tanaman disyaratkan hal-hal berikut.

Apabila syarat ini tidak dipenuhi maka akad muzara’ah menjadi fasid.

a) Hasil tanaman harus dijelaskan dalam perjanjian, karena hal itu sama dengan upah, yang apabila tidak dijelaskan akan menyebabkan rusaknya akad.

b) Hasil tanaman harus dimiliki bersama oleh para pihak yang melakukan akad. Apabila disyaratkan hasilnya untuk salah satu pihak maka akad menjadi batal.

c) Pembagian hasil tanaman harus ditentukan kadarnya (nisbah) seperti separuh, sepertiga, seperempat dan sebagainya. Apabila tidak ditentukan maka akan timbul perselisihan, karena pembagian tidak jelas.

d) Hasil tanaman harus berupa bagian yang belum dibagi diantara orang-orang yang melakukan akad. Apabila ditentukan bahwa bagian tertentu diberikan kepada salah satu pihak maka akadnya tidak sah.

4) Syarat tanah yang akan ditanami

a) Tanah harus layak untuk ditanami. Apabila tanah tersebut tidak layak karena tandus misalnya, maka akad tidak sah. Hal tersebut karena muzara’ah adalah suatu akad dimana upah atau

imbalannya diambil dari sebagian yang diperoleh. Apabila tanah tidak menghasilkan maka akad tidak sah.

b) Tanah yang akan digarap harus diketahui dengan jelas, supaya tidak menimbulkan perselisihan antara para pihak yang melakukan akad.

c) Tanah tersebut harus diserahkan kepada penggarap, sehingga ia mempunyai kebebasan untuk menggarapnya.

5) Syarat objek akad

Objek akad dalam muzara’ah harus sesuai dengan tujuan dilakssanakan akad, baik menurut syara’ maupun urf (adat).

Tujuan tersebut adalah salah satu dari dua perkara, yaitu mengambil manfaat tenaga penggarap, dimana pemilik tanah mengeluarkan bibitnya, atau mengambil manfaat atas tanah, dimana penggarap yang mengeluarkan bibitnya.

6) Syarat masa muzara’ah

Masa berlakunya akad muzara’ah disyaratkan harus jelas dan diketahui, misalnya satu tahun atau dua tahun. Apabila masanya tidak diketahui (tidak ditentukan) maka akad muzara’ah tidak sah (Muslich, 2015:392).

3. Sistem Bagi Hasil

Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan bagi hasil adalah perjanjian pengelolaan tanah, dengan upah sebagian dari hasil yang diperoleh dari pengolahan tanah itu. Sedangkan undang-undang no 2 tahun 1960 dalam pasal 1 mengemukakan bahwa: “perjanjian bagi hasil ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak lain yang dalam undang-undang ini disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap yang diperkenakan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.”

Sedangkan yang dimaksud dengan hasil sesuai dengan ketentuan pasal 1 undang-undang tersebut adalah: “hasil usaha pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap dalam perjanjian bagi hasil, setelah dikurangi biaya untuk bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk memanen dan panen.

Pembagian bagi hasil ini kepada pihak penggarap menurut kebaiasaan yang berkembang di tengah-tengah msyarakat bervariasi, ada yang setengah, sepertiga, atau lebih rendah dari itu, bahkan cendrung sangat merugikan kepada pihak penggarap, sehingga terkadang pihak penggarap selalu mempunyai ketergantungan kepada pemilik tanah. Hal ini (khususnya di Indonesia).

Pembolehan bagi hasil dalam ketentuan hukum Islam berdasarkan kepada perbuatan Nabi Muhammad saw dan juga pernah dipraktikan oleh para sahabat beliau. Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw memperkerjakan penduduk khaibar dengan upah sebagian dari bebijian dan buah-buahan yang dapat ditumbuhkan oleh tanah khaibar (Suhrawardi K lubis:61-62).

Dokumen terkait