• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

B. Wakaf

1. Defenisi Wakaf

Wakaf atau فقو waqf menurut pengertian bahasa berarti menahanثبح (habs), searti dengan ثبحت tahbis (ditahan) dan مبست tasbil (dijadikan halal dijalan Allah). Sedangkan menurut terminologis syara’ wakaf berarti menahan harta yang bisa dimanfaatkan dengan tetap menjaga zatnya, memutus pemanfaatan terhadap zat dengan bentuk pemanfaatan lain yang mubah yang ada. (Azzam,2017:395).

Para ahli berbeda pendapat dalam mendefenisikan wakaf menurut istilah, sehingga mereka berbeda pendapat pula dalam memandang hakikat wakaf itu sendiri. Berbagai pandangan tentang wakaf menurut istilah sebagai berikut:

a. Abu Hanifah

Wakaf adalah menahan sesuatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan defenisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak terlepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya.

b. Mazhab maliki

Mazhab maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepasakan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.

c. Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal

Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna

prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan. (Harahap, 2007:1-3).

d. Mazhab Hanafi

Wakaf yang dikemukakan Mazhab Hanafi, yaitu menahan benda waqif (orang yang berwakaf) dan menyedekahkan manfaatnya untuk kebaikan. Hal ini dikemukakan Wahbah Al-Zuhaili seperti yang dikutip Departemen Agama RI (Lubis, et.al, 2010:4).

e. Imam Nawawi

Imam nawawi mengartikan wakaf seacara etimologi dengan al-habs (menahan) dan secara terminologi adalah memelihara kelestarian harta yang potensial untuk dimanfaatkan dengan cara menyerahkan pengelolaannya kepada pihak yang berwewenang.

Undang- undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf menyebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selama selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. (Athoillah, 2014:4).

Dari beberapa defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa intisari wakaf adalah menjaga dan mengelola pokok harta yang telah diserahkan untuk kepentingan agama dan menyalurkan hasilnya untuk kemaslahatan umat. Wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan dalam pasal 5 Undang-Undang wakaf yang menyatkan bahwa wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum. (Sudirman, 2013:38).

2. Dasar Hukum Wakaf a. Al-Qur’an

Wakaf dibolehkan berdasarkan dalil al-Qur’an dan Sunnah.

Adapun dalil al-Qur’an adalah firman Allah Q.S Ali Imran:92:



Yang artinya: kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.

Ketika mendengar ayat ini, Abu Thalah ingin mewakafkan أحزب Barha‟ harta yang paling dia sukai. Az-Zamakhsyari berkata dalam Al-Fa’iq قإفنأ bahwa أحزب Birha’ dengan pedanan لأف fa’la dari kata حزبنأ al-birah yaitu tanah yang tinggi, sementara Asy-Syuairi mengatakan ia adalah nama sebuah kebun yang terkenal dan pendapat ini diikuti oleh Juhairi. Landasan al-Qur’an lainnya adalah Q.S Al-Baqarah:272:

Yang arinya : Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu

melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan) (Azzam, 2017:396).

Firman Allah SWT Q.S Al-baqarah ayat 267



Yang artinya Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Ayat diatas memaparkan bahwa yang di seru (munada) adalah orang-orang yang beriman. Dalam Al-Qur’an, seruan-seruan ayat ada yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Bagi orang yang beriman banyak perintah yang harus dilakukan diantaranya adalah tentang nafkah. Maksud bernafkah dalam ayat ini adalah berwakaf.

Peraturan berwakaf disini disebutkan sebagai berwakaf dijalan Allah sebagian hasil usaha. Oleh karena itu, tidak dikehendaki mewakafkan seluruh harta yang dimiliki karena juga harus memperhatikan ahli waris yang ditinggalkan, kecuali memang sama sekali tidak ada lagi keluarga yang ditinggalkan. Dalam hal berwakaf, dianjurkan agar yang diwakafkan itu adalah dari yang baik-baik, bukan dari yang jelek-jelek. Kalau seseorang mewakafkan hartanya yang tidak disukainya berarti belum tampak keseriusan maksimal, dan ini sangat berbeda

dengan orang yang mewakafkan harta yang sangat disukainya. (Lubis, et.al, 2010:12).

Firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah ayat 3:

 ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.

Tanda orang yang bertaqwa adalah mau berinfak setelah menyatakan diri sebagai orang yang beriman kepada yang ghaib dan mendirikan shalat. Kata rizki dalam ayat diatas diartikan sebagai bagian (nasib) atau pemberian (ata’) baik dalam makna atau lafal seperti harta benda, anak, ilmu, dan taqwa. Rizki juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang bisa dimanfaatkan. (Sudirman, 2013:48).

Firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah ayat 261-262:



Yang artinya: 261. perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui.

262. orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Firman Allah SWT Q.S an-Nahl ayat 97



Yang artinya: Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S an-Nahl:97)

Dalam tafsir almunir, Wahbah Zuhaili mengutib Al-Kalabi yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenan dengan Sayyidina Usman Bin Affan dan Abd Al-Rahman Bin Auf yang membelanjakan sebagian harta mereka dijalan Allah, tepatnya untuk mendanai perang tabuk. Ayat diatas juga mengandung perumpamaan tentang pelipat gandaan pahala bagi orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah dan demi rida-Nya. Ia juga menjelaskan setiap kebaikan yang diberikan dan dilipatkan pahalanya sepuluh hingga 700 kali lipat (Athoillah, 2014:8).

Apabila anak adam meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya.

Hadis Riwayat al-Bukhari

وْيَلَع للها ىلَص بىَنلا ىَتَأَف َرَ بْيَبخ اًضْرَأ َباَصَأ باطَلخا َنْب َرَمُع نَأ اَمُهْ نَع للها َىضَر َرَمُع نْبا ْنَع ُسَفْ نَأ ٌطَق َلَ اَم ْبصُأ َْلَ َرَ بْيَبخ اًضْرَأ ُتْبَصَأ نىإ ,للها َلْوُسَراَي : َلاَقَ ف ,اَهْ يف ُهُرمْاَتْسَي َملَسَو

اَبه َتْق دَصَتَو اَهَلْصَأ َتْسَبَح َتئش ْنإ : َلاَق وب نىُرُمْأَت اَمَف ,ُوْنم ىدنع

.

Diriwayatkan dari Ibn Umar r.a bahwa Umar bin al-Khatab r.a memperoleh tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi saw untuk meminta petunjuk mengenai tanah itu. Ia berkata “Wahai Rasulullah, saya memperoleh tanah di khaibar yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut, apa perintah engkau kepadaku mengenainya? Nabi SAW menjawab, jika mau kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan hasilnya.”

Kedua hadis diatas merupakan dasar umum disyaratkannya wakaf. Hadis pertama mendorong manusia untuk menyisihkan sebagian rezkinya sebagai tabungan akhirat dalam bentuk sedekah jariyah. Pada hadis kedua, wakaf dijelaskan secara gamblang melalui aktivitas Umar dalam mewakafkan tanah di Khaibar dengan ketentuan harta pokoknya tetap dan hasilnya dapat dikeluarkan. Dengan mekanisme tersebut, pokok harta akan dijamin kelestariannya dan hasil usaha atas penggunaan tanah tersebut dapat dipakai untuk mendanai kepentingan umat (Sudirman , 2013 :49). Umar mewakafkan tanah yang dia peroleh di khaibar atas perintah Nabi saw.

Dia mensyaratkan beberapa syarat di dalamnya, diantaranya adalah agar tanah tersebut tidak boleh dijual, tidak diwarisi dan tidak dihibahkan, dan barang siapa yang mengelolanya, dia boleh memakannya secara makruf, dan boleh memberikan kepada seorang kawan tanpa menjadikannya sebagai harta milik pribadi (H.R Al-Bukhari no 3737, dan Muslim no. 1633) (Al- Malibari, 2016 : 653).

3. Rukun Wakaf dan Syarat Wakaf

Rukun wakaf ada empat: pihak yang mewakafkan فقو (waqif), harta yang diwakafkan فقىم (mauquf), yang menerima wakaf هيهع فقىم (mauquf alaihi), dan تغص shighat.

a. Pihak yang mewakafkan فقو (Wakif)

Orang yang mewakafkan فقو (wakif) disyaratkan memiliki kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal competen) dalam membelanjakan hartanya. Kecakapan berttindak disini meliputi empat kriteria, yaitu:

1) Merdeka. Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya) tidak sah karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang lain.

Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik, dirinya dan apa yang dimilikinya adalah kepunyaan tuannya. Namun demikian Abu Zahra mengatakan bahwa para fuqaha sepakat budak itu tidak boleh mewakafkan hartanya kecuali ada izin dari tuannya, karena ia sebagai wakil darinya.

2) Berakal Sehat. Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan lainnya. Demikian juga wakaf orang lemah mental (idiot), berubah akal karena faktor usia, sakit atau kecelakaan, hukumnya tidak sah karena akalnya tidak sempurna dan tidak cakap untuk mengugurkan hak miliknya.

3) Dewasa (baligh). Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya.

4) Tidak berada dibawah pengampuan (boros/lalai). Orang yang berada dibawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk berbuat kebaikan عزبت (tabarru‟), maka wakaf yang hukumnya tidak sah.

Tetapi berdasarkan ihtisan wakaf yang berada dibawah pengampuan terhadap dirinya sendiri selama hidupnya hukumnya sah. Karena tujuan dari pengampuan ialah untuk menjaga harta wakaf supaya tidak habis dibelanjakan untuk sesuatu yang tidak benar, dan untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi beban orang lain. (Harahap, 2007:21).

Pihak yang mewakafkan diisyaratkan haruslah orang yang memiliki kemampuan untuk menyumbangkan harta, dengan kualifikasi baligh, berakal dan hendaklah sendiri (tanpa paksaan). Barang siapa memenuhi syarat-syarat ini, maka wakafnya sah walaupun ia orang kafir. Wakaf orang kafir sah, karena wakaf bukan bentuk taqarrub ansich berbeda halnya dengan nazar yang tidak sah bagi orang kafir sebab termasuk amalan taqarrub kepada Allah. Tidak sah wakaf dari anak kecil atau orang gila yang sedang dicabut haknya karena idiot atau bangkrut walaupun dibeli oleh wali, dan tidak sah wakaf dari orang yang terpaksa karena orang yang terpaksa bukan mempunyai hak untuk memberikan sumbangan karena terpaksa.

Adapun yang dimaksud dengan syariat ini adalah orang-orang yang memberikan wakaf mempunyai kuasa untuk memberikan sumbangan ketika masih hidup. Oleh sebab itu orang idiot tidak sah wakafnya namun sah wasiatnya sebab dia mempunyai kuasa untuk memberikan sumbangan setelah kematian.

1) Harta yang diwakafkan فقىمنأ (Al-mauquf)

Syaratnya ialah harus berupa benda yang jelas menjadi hak milik yang bisa dipindahkan dan jika tidak hilang bisa memberikan manfaat mubah yang menjadi tujuan. Kriteria benda sebagai syarat wakaf mengeluarkan segala sesuatu hanya berbentuk manfaat (bukan barang) dan wakaf yang wajib dalam tanggungan. Wakaf demikian tidak sah kecuali benda-benda walaupun hasil rampasan atau tak terlihat sebab

barang hasil rampasan sudah menjadi hak miliknya, juga sah orang buta karena tidak diisyaratkan untuk sah nya wakaf melihat barang yang akan diwakafkan. Kriteria yang dimiliki dalam harta yang diwakafkan mencoret segala sesuatu yang tidak dimiliki, seperti harta mubah diantaranya jembatan, sekolah, tepian sungai dan pantai.

Kendati demikian, imam (pemerintah) untuk mewakafkan sesuatu dari baitul mal untuk keperluan tertentu atau individu tertentu dengan syarat ada kemaslahatan dalam hal tersebut sebab semua tindakan terkait dengan kemaslahatan seperti wali anak yatim seandainya imam melihat dijadikan hak miliknya, maka boleh.

Berdsarkan kriteria bisa dipindahkan wakaf tidak boleh berupa segala sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan tidak boleh memindahkan jika berupa manfaat yang tidak diperbolehkan menurut syar’i, misalnya alat musik, sebab manfaat alat musik haram hukumnya dengan begitu tidak bisa dimiliki.

Selanjutnya berdasarkan kriteria bisa dimanfaatkan walaupun hilang dalam bentuk manfaat mubah yang menjadi tujuan. Wakaf tidak boleh berupa segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan namun zatnya hilang dengan pemanfaatan tersebut, misalnya makanan. Sebab manfaat makanan terletak pada konsumsinya padahl yang diisyaratkan dalam wakaf adalah pengambilan manfaatnya secara terus-menerus.

Adapun tolak ukur manfaat yang dituju dan sah menjadi harta wakaf adalah segala sesuatu yang bisa disewa dengan syarat tetap hak milik dalam harta tersebut. (Azzam, 2017:398-400)

2) Untuk barang yang diwakafkan, ditentukan beberapa syaratnya sebagai berikut:

a) Barang atau benda itu tidak rusak atau habis seketika diambil manfaatnya.

b) Kepunyaan orang yang berwakaf. Benda yang bercampur haknya dengan orang lain pun boleh diwakafkan seperti halnya boleh dihibahkan atau disewakan.

c) Bukan barang haram atau najis. (al-Alabij, 1997:31) b. Penerima wakaf هيهع فقىم (Mauquf „Alaih)

Penerima wakaf bisa diklasifikasikan menjadi dua bagian sebagai berikut:

1) Penerimaan wakaf defenitif

Penerima wakaf defenitif terdiri dari satu atau dua orang atau lebih yang telah ditentukan identitasnya. Ia diisyaratkan harus bisa memanfaatkan harta wakaf tersebut secara langsung ketika menerima wakaf, dengan bahasa lain qualified untuk memiliki harta wakaf tersebut, sebab akad wakaf pada dasarnya adalah akad manfaat. Karena itu, tidak sah mewakafkan sesuatu yang tidak ada seperti, mewakafkan masjid yang baru akan dibangun, atau mewakafkannya untuk si anaknya ternyata anaknya tidak ada, atau untuk anak-anak yang miskin sedangkan mereka tidak ada yang miskin, atau yang mewakafkan bacaan di kuburan atau kuburan ayahnya yang masih hidup. Semula bentuk wakaf ini tidak sah, sebab tidak memenuhi syarat adanya orang yang menerima wakaf defenitif diluar ketika akad wakaf terjadi dan ia qualified untuk memiliki.

2) Penerima wakaf undefinitif

Adalah organisasi-organisasi sosial, misalnya wakaf untuk pelajar, orang fakir, atau pembangunan masjid, dan rumah sakit.

Jika seorang muslim atau kafir dzimmi mewakafkan harta untuk maksiat, seperti wakaf untuk pembangunan gereja dan tempat-tempat ibadah orang kafir atau permadani atau permadani dan lampu-lampunya atau para pelayannya, atau kitab taurat, injil atau

senjata untuk para perampok , maka semua wakaf ini batal, sebab ada unsur membantu berbuat maksiat, sementara wakaf yang dibolehkan untuk bertaqarrub dan keduanya sangat berbeda baik dari bangunan atau merenovasinya. Para ulama juga sepakat bahwa mewakafkan harta untuk membangun gereja haram, walaupun gereja kuno sebelum datangnya Islam.

Kendati suatu wakaf batal seandainya seorang kafir dzimi mewakafkan hartanya untuk membangun gereja, kita tetap tidak memiliki hak untuk menghalangi mereka atau membatalkan sesuatu yang sudah mereka wakafkan untuk sutu badan atau lembaga karena ini berarti kita melarang mereka menunjukan syiar-syiar agama mereka namun jika mereka berbangga-bangga dengan kita, maka tidak boleh membatalkannya walaupun sudah ditetapkan oleh hakim mereka dan ini hanya untuk wakaf kepada gereja yang baru.

Adapun jika mereka mewakafkan harta untuk gereja mereka yang kuno sebelum diutus Nabi SAW, maka kita tidak boleh membatalkannya walaupun mereka berbangga-bangga kita bahkan kita harus mengakuinya dan ini khusus untuk gereja ibadah dan pembangunannya.Sementara wakaf untuk merenovasi gereja yang digunakan untuk tempat singgah orang lewat, maka wakaf demikian bisa dianggap sah, begitu juga wakaf kepada suatu kaum yang tinggal didalam gereja kereja walaupun mereka adalah kafir dzimmi, sebab wakaf seorang seorang muslim kepada kafir dzimmi sah dan boleh seperti kebolehan bersedekah kepadanya, baik orang tertentu atau orang banyak. Wakaf demikian baru dilarang jika ada penentuan orangnya dengan tujuan maksiat.

c. Ucapan تغص (shighat)

Kalangan Hanafiyyah mengatakan bahwa rukun wakaf adalah shighat (ucapan pernyataan tegas). Shigat adalah lafaz-lafaz yang menunjukan makna wakaf seperti, “tanahku ini diwakafkan selamanya untuk orang-orang miskin” dan lafaz-lafaz seperti barang ini diwakafkan untuk Allah, untuk tujuan kebaikan, kebajikan, atau diwakafkan saja”. Hal ini sesuai dengan dengan ucapan Abu Yusuf dan dijadikan fatwa untuk masalah urf. Wakaf kadang bisa terjadi secara pasti, seperti seseorang mewasiatkan hasil dari rumah untuk orang-orang miskin selamanya, atau untuk si fulan kemudian untuk orang-orang miskin selama-lamanya. Maka rumah tersebut pasti menjadi wakaf. Rukun wakaf menurut kalangan hanafiyyah adalah pernyataan yang muncul dari orang yang mewakafkan yang menunjukan bentuknya wakaf.

Adapun qabul (shigat menerima) dari pihak yang diwakafi tidaklah masuk rukun menurut kalangan hanafiyyah, sebagaimana yang difatwakan. Juga menurut kalangan hanabilah sebagaimana yang dikemukakan oleh al-qadhi abu ya’la. Shigat qabul juga bukan merupakan syarat keabsahan wakaf. Oleh karena itu sesuatu yang menjadi wakaf hanya dengan ucapan. Sebab, wakaf adalah penghilangan kepemilikan yang menyebabkan terhalangnya jual beli, hibah dan warisan terhadap suatu barang. Maka wakaf tidak memerlukan shigat qabul, seperti memerdekakan budak. UU Mesir (M 9) No 48 tahun 1946 mengambil pendapat ini, dimana ia tidak menjadikan shigat qabul sebagai syarat kepemilikan wakaf. Shigat qabul menurut kalangan malikyyah, syafi’iyyah, dan sebagian hanabillah termasuk rukun jika wakaf itu untuk orang-orang tertentu dan dia mempunyai hak, kepatutan untuk menerima (Az-Zuhaili, 2011:276).

Adapun empat syarat wakaf: دبعت ta‟bid (untuk selamanya), ذجىت tanjiz (kontan), kejelasan فزصم mashraf (tempat peruntukan) dan وذنإ ilzam (bersifat mengikat).

1) Ta‟bid دبعت untuk selama-lamanya

Syarat ini terwujud dengan dua cara. Pertama dengan cara mewakafkan harta untuk orang yang tidak akan pernah habis seperti fakir miskin, mujahiddin dan para pelajar. Kedua, mewakafkan harta kepada orang yang akan hilang kemudian kepada mereka yang tidak akan pernah habis setelahnya, seperti mewakafkan kepada seseorang kemudian kepada fakir miskin, wakaf seperti ini dinamakan wakaf yang terputus awalnya dan bersambung akhirnya.

2) tanjiz ذجىت (kontan)

Wakaf hendaknya dilakukan secara kontan dan tidak boleh digantung dengan sesuatu, misalnya dengan berujar:”saya mewakafkan hewanku ini kepada Zaid jika dia datang pertengahan bulan.” Sebab wakaf adalah penyerahan milik secara langsung sehingga tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu seperti jual beli atau hibah. Jika wakaf tidak termasuk amal taqqarub yang jelas seperti wakaf kepada orang tertentu, jika berupa amal taqqarub yang jelas seperti memerdekakan hamba atau membangun masjid dan lainnya dari berbagai lembaga kebajikan yang tidak lepas dari pemilikan anaka Adam, maka menurut pendapat yang rajjih (unggul) akad demikian tetap sah.

3) Kejelasan mashraf فزصم (tempat peruntukan)

Seandainya dia hanya menyebutkan harta yang diwakafkan tanpa menyebutkan penerimanya, maka menurut pendapat yang lebih kuat akad batal karena tidak ada penyebutan tempat penyaluran walaupun dia menggabungkannya dengan kata “Allah”

seperti ucapannya: “saya wakafkan rumahku untuk Allah” atau apa saja yang dia mau inilah pendapat yang rajih (unggul). Tidak boleh dikatakan bahwa seandainya dia berkata “saya wasiatkan sepertiga hartaku” dan tidak menyebutkan pihak penerimanya, maka akad tetap sah dan diberikan kepada fakir miskin. Bahwa kebanyakan wasiat untuk fakir miskin atas dasar memudahkan sehingga tetap sah untuk yang masih belum jelas.

4) Ilzam وذنإ (bersifat mengikat)

Seandainya seseorang mewakafkan sesuatu dari hak miliknya kepada fakir miskin dan memberikan syarat untuk dirinya khiyar dalam menetapkan wakaf atau rujuk kapanpun dia mau memberikan syarat khiyar untuk orang lain atau dia memberikan syarat untuk dikembalikan kepadanya dengan cara-cara tertentu seperti syarat menjualnya atau syarat siapa saja yang masuk keluarnya maka wakaf batal menurut pendapat yang sahih dan jika dia tidak menggabungkannnya untuk Allah SWT. (Azzam, 2017:406-417)

4. Macam-Macam Wakaf

Jika ditinjau dari sasaran yang menerimanya dan memanfaatkan wakaf, maka wakaf dibagi menjadi dua macam, yakni wakaf khairi dan wakaf dzurry.

a. Wakaf khairi زيخ

Wakaf yang wakifnya tidak membatasi sasaran wakafnya untuk pihak tertentu tetapi untuk kepentingan umum, seperti yang di praktikan oleh Usman ibn Affan sebagimana terungkap dalam hadits riwayat Imam Tirmidzi berikut:“Dari Ustman, bahwa Nabi SAW pernah datang ke madinah, sedangkan pada saat itu tidak ada air tawar kecuali sumur rumah, lalu nabi bersabda “siapakah yang mau membeli sumur rumah? ia dapat mengambil air dengan timbanya dari

sumur itu bersama-sama dengan kaum muslim lainnya, kelak ia akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari sumur itu di surga.”

sumur itu bersama-sama dengan kaum muslim lainnya, kelak ia akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari sumur itu di surga.”

Dokumen terkait