• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN TANAH WAKAF SEBAGAI LAHAN PRODUKTIF MENURUT FIQH MUAMALAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEMANFAATAN TANAH WAKAF SEBAGAI LAHAN PRODUKTIF MENURUT FIQH MUAMALAH"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN TANAH WAKAF SEBAGAI LAHAN PRODUKTIF MENURUT FIQH MUAMALAH

(Studi Kasus di Nagari Koto Baru Kecamatan Padang Sago, Kabupaten Padang Pariaman)

SKRIPSI

Ditulis Sebagai Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Jurusan Hukum Ekonomi Syariah

Oleh:

VIVI RAHMA Nim 15301300063

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR

2019

(2)
(3)
(4)
(5)

i ABSTRAK

Vivi Rahma. NIM 15301300063, (2019). Judul Skripsi: “Pemanfaatan Tanah Wakaf Sebagai Lahan Produktif Menurut Fiqh Muamalah (Studi Kasus di Nagari Koto Baru Kecamatan Padang Sago, Kabupaten Padang Pariaman)”.

Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar.

Pokok permasalahan dalam SKRIPSI ini adalah sistem kerjasama pengelolaan tanah wakaf sebagai lahan produktif dan sistem bagi hasil dari keuntungan pemanfaatan tanah wakaf sebagai lahan produktif di Nagari Koto Baru Kecamatan Padang Sago, Kabupaten Padang Pariaman. Tujuan pembahasan ini untuk menjelaskan tentang pengelolaan wakaf produktif di Nagari Koto baru Kecamatan Padang Sago, Kabupaten Padang Pariaman dan pemanfaatan hasil hasil wakaf produktif di Kecamatan padang sago kabupaten padang pariaman.

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah jenis penelitian lapangan (field Research), untuk mendapatkan data-data dari permasalahan yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah melalui wawancara dan dokumentasi. Pengolaan data dilakukan secara deskriptif kualitatif, kemudian diuraikan serta melakukan klasifikasi terhadap aspek masalah tertentu dan memaparkan melalui kalimat efektif.

Dari penelitian yang penulis lakukan di lapangan dapat disimpulkan bahwa praktik kerjasama pengelolaan tanah wakaf sebagai lahan produktif akad yang dilakukan sudah sesuai dengan syariat Islam, adapun bentuk kerjasama dalam pengelolaan tanah wakaf sebagai lahan produktif yaitu bentuk kerjasama Musaqah dan Muzara‟ah, namun dari sisi sistem bagi hasil pemanfaatan tanah wakaf sebagai lahan produktif di Nagari Koto Baru tidak proporsional, hal ini dikarenakan sistem bagi hasil yang dilakukan oleh Nazir tidak sesuai dengan bagi hasil dalam fiqh muamalah, sebab nazir membagi keuntungan bagi hasil nya di samaratakan untuk kesemua pihak yang terkait dalam kerjasama ini, baik untuk Masjid Nurul Huda, Nazir, Pekerja dan Pekerja tambahan. Seharusnya keuntungan untuk Masjid 50% dari keuntungan keseluruhan dan keuntungan untuk Nazir 50%, hal ini dikarenakan Masjid Nurul Huda sebagai pemilik lahan dan nazir sebagai pengelola. Dan Nazir harus membagi hasil keuntungan miliknya tersebut kepada para pekerja yang ikut menggarap tanah wakaf sebagai lahan produktif (pertanian) karena nazir melakukan perjanjian kerjasama dengan para pekerja tersebut.

(6)

ii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

PRESETUJUAN PEMBIMBING PEGESAHAN TIM PENGUJI

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI BIODATA

ABSTRAK ... ...i

KATA PENGANTAR ... ...ii

DAFTAR ISI ... ...v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... ...1

B. Fokus Masalah ... ...6

C. Rumusan Masalah ... ...6

D. Tujuan Penelitian ... ...6

E. Manfaat dan Luaran Penelitian ... ...6

F. Defenisi Operasional ... ...7

BAB II KAJIAN TEORI A. Akad ... ...9

B. Wakaf ...13

C. Pengelolaan wakaf dan pemanfaatan tanah wakaf secara produktif..31

D. Konsep kerjasama pertanian perspektif fiqh muamalah ... ...36

E. Penelitian relevan ... ...45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis penelitian ... ...49

B. Tempat dan waktu Penelitian ... ...49

(7)

iii

C. Instrumen Penelitian... ...50

D. Sumber Data ... ...51

E. Teknik pengumpulan Data ... ...51

F. Teknik Analisis Data ... ...52

G. Teknik penjamin dan Keabsahan Data ... ...53

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Temuan penelitian ... ...55

B. Pembahasan...60

1. Tinjauan fiqh muamalah terhadap pengelolaan wakaf produktif di Nagari Koto Baru Kecamatan Padang Sago, Kabupaten Padang Pariaman...60

2. Tinjauan fiqh muamalah terhadap sistem bagi hasil pemanfaatan tanah wakaf produktif di Nagari Koto Baru Kecamatan Padang Sago Kabupaten Padang Pariaman...68

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... ...75

B. Saran ... ...76

DAFTAR PUSTAKA ... ...77

LAMPIRAN ... ...79

(8)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Wakaf merupakan bentuk instrumen ekonomi Islam yang unik mendasarkan fungsinya pada unsur kebajikan زب (birr), kebaikan ناسحإ (iḥsan) serta persaudaraan ةىخأ (ukhuwwah). Ciri utama wakaf yang sangat membedakan dengan ibadah lainnya adalah ketika wakaf ditunaikan terjadi pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan Allah yang diharapkan abadi, memberikan manfaat secara berkelanjutan. Melalui wakaf diharapkan terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara lebih luas, dari manfaat pribadi (private benefit) menuju manfaat masyarakat (social benefit) (Muntaqo, 2015:85).

Dalam peristilahan syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal مثهثبحت (tahbisulashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud مصأ مثبحت tahbisul ashli ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf فقو (wakif) tanpa imbalan (Umar, 2007:1).

Wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Firman Allah SWT Q.S Al-baqarah 267:

1

(9)





























































Artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Dalam sejarah Islam, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam أهقف (fuqaha‟) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW yaitu wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.

Sebagian ulama menyatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, sebagaimana telah dikemukakan di atas.

Praktek wakaf juga berkembang luas pada masa dinasti Umayyah dan dinasti Abbasiyah dan dinasti sesudahnya, banyak orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.

(10)

Indonesia mengenal kegiatan wakaf seiring dengan perkembangan dakwah Islam di Indonesia. Di samping melakukan dakwah Islam, para ulama juga sekaligus memperkenalkan ajaran wakaf. Hal ini terbukti dari banyaknya masjid-masjid yang bersejarah dibangun di atas tanah wakaf. Ajaran wakaf ini terus berkembang di Indonesia, baik pada masa dakwah pra kolonial, masa kolonial, maupun pasca kolonial pada masa Indonesia merdeka (Medias, 2010:72).

Konsep wakaf telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan terutama sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf. Misalnya, benda wakaf tidak lagi hanya didefenisikan dengan tanah yang diwakafkan untuk selama-lamanya (seperti dalam peraturan pemerintah nomor 28 tahun 1977 atau Kompilasi Hukum Islam), tetapi benda wakaf terbagi menjadi barang bergerak dan tidak bergerak (pasal 16) serta dapat diikrar- wakafkan untuk jangka waktu tertentu (pasal 1). Hal ini menyebabkan pengelolaan wakaf dituntut untuk lebih serius dan profesional. Masyarakat Indonesia semakin sadar tentang wakaf kontemporer, khususnya wakaf produktif dan wakaf uang (Sudirman, 2013:1).

Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf (Bergerak dan Tidak Bergerak) secara produktif dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain: cara pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, pembangunan pasar, sarana kesehatan serta usaha- usaha yang tidak bertentangan dengan syariat Islam (Isfandiar, 2008:72).

Pengelolaan wakaf produktif dengan cara pengembangan aset benda wakaf tidak bergerak berupa tanah dapat dilakukan dengan cara agrobisnis, pertanian, perikanan dan lain-lain. Dalam Islam pengelolaan tanah wakaf di bidang pertanian dapat dilakukan dengan sistem bagi hasil seeperti Muzara‟ah, Musaqah dan Mukhabarah, dari muamalah itu terdapat akad/kontrak perjanjian yang jelas dan mengikat. Oleh karena itu wakaf

(11)

produktif membutuhkan nazir yang profesional untuk mengelola wakaf dengan baik sesuai tujuan, fungsi wakaf, dan peruntukan nya serta melakukan perlindungan terhadap harta benda wakaf (Zulmeisa, 2016:3).

Nadzir merupakan salah satu unsur penting dalam perwakafan.

Berfungsi atau tidaknya wakaf sangat tergantung pada kemampuan nadzir. Di berbagai negara yang wakafnya telah berkembang dan berfungsi untuk memberdayakan umat, wakaf dikelola oleh nadzir yang profesional. Dengan demikian nadzir berarti orang yang berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk mengurusnya, memeliharanya, mengembangkan dan mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang berhak menerimanya, ataupun mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan harta itu tumbuh dengan baik dan kekal (Muntaqo, 2015:95).

Berdasarkan observasi awal yang penulis lakukan melalui wawancara dengan salah seorang Penyuluh Wakaf Kantor Urusan Agama (KUA) Padang Sago, Kecamatan Padang Sago Kabupaten Padang Pariaman, bahawasanya di padang sago tersebut adanya praktek pelaksanaan wakaf produktif dengan cara pengembangan dan pemberdayaan benda wakaf berupa tanah wakaf.

Tanah wakaf yang dijadikan lahan produktif tersebut merupakan tanah wakaf yang diperuntukan untuk Masjid Nurul Huda yang terletak di Nagari Koto Baru. Ada dua tanah yang diwakafkan oleh wakif yaitu tanah pertama diwakafkan pada tahun 1970 dan tanah kedua pada tahun 2001 kepada Masjid Nurul Huda. Tanah wakaf yang diwakafkan pada tahun 1970 merupakan tanah yang sudah ditanami pohon kelapa, sedangkan tanah yang diwakafkan pada tahun 2001 merupakan lahan kosong yang pada saat sekarang ini ditanami pohon pepaya.

Tanah wakaf di Nagari Koto Baru tersebut dikelola oleh Nazir menjadi sektor pertanian. Nazir dalam mengelola tanah tersebut bekerjasama dengan masyarakat/petani untuk menggarap lahan tanah wakaf Masjid Nurul Huda, dikarenakan nazir tidak sanggup mengelolanya menjadi lahan produktif dan

(12)

menyerahkan kepada pihak lain untuk menggarapnya. Dalam pengelolaan tanah wakaf ini nazir melakukan perjanjian kerjasama pertanian dengan dua orang pekerja. Dan para pekerja tersebut juga memperkerjakan orang lain untuk membantunya dalam hal menggarap tanah wakaf tersebut. Hal ini diketahui oleh nazir dan nazir juga membolehkan adanya pekerja tambahan tersebut. Dalam kerjasama ini nazir tidak memberikan batas waktu pengelolaan kepada penggarap lahan dan pengelolaan tersebut berlangsung selama pengelola masih mampu mengelola dan atas dasar izin nazir.

Sistem bagi hasil dari kerjasama lahan tanah wakaf ini juga tidak memiliki perjanjian secara tertulis, hanya berpatokan kepada akad kebisaan masyarakat di padang sago dalam hal kerjasama pertanian, dimana setiap tanah yang diperkongsikan di daerah Padang Sago berbagi perempat. Sistem bagi hasil ini juga diterapkan oleh nazir untuk kerjasama dalam pemanfaatan tanah wakaf di Nagari Kapuah Batu nyaring Koto Baru menjadi lahan pertanian. Dalam hal ini Nazir memperoleh ¼, selanjutnya untuk operasional masjid ¼, pekerja memperoleh ¼, sementara pekerja tambahan juga mendapatkan berbagi hasil ¼ (Windra F, wawancara pra-riset, Mei 2019).

Adapun permasalahan yang penulis lihat dari pemanfaatan tanah wakaf di Nagari Koto Baru sebagai lahan produktif adalah dalam hal sistem bagi hasil. Bagi hasil keuntungan dari tanah wakaf ini disamakan dengan cara pembagian hasil kerjasama atau perkongsian pertanian yang dilakukan masyarakat umumnya yaitu dengan menyamaratakan pembagian keuntungannya atau berbagi perempat. Sedangkan objek tanah yang digunakan sebagai kerjasama ini berbeda, dimana dalam sistem bagi hasil kerjasama pertanian yang biasa dilakukan oleh masyarakat di padang sago merupakan tanah milik pribadi sedangkan dalam sistem bagi hasil tanah wakaf yang dijadikan lahan produktif (pertanian) adalah tanah wakaf yang diperuntukan untuk Masjid Nurul Huda.

(13)

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk membahas pembahasan tersebut dan mengangkatnya dalam karya ilmiah yang berjudul “Pemanfaatan Tanah Wakaf Sebagai Lahan Produktif Menurut Fiqh Muamalah (Studi Kasus di Nagari Koto Baru Kecamatan Padang Sago, Kabupaten Padang Pariaman)”.

B. Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas penulis memfokuskan penelitian ini kepada Sistem Bagi Hasil dari Pemanfaatan Tanah Wakaf Sebagai Lahan Produktif Menurut Fiqh Muamalah (Studi Kasus di Nagari Koto Baru Kecamatan Padang Sago, Kabupaten Padang Pariaman)

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengelolaan wakaf produktif di di Nagari Koto Baru Kecamatan Padang Sago, Kabupaten Padang Pariaman Menurut Fiqh Muamalah ?

2. Bagaimana sistem bagi hasil pemanfaatan tanah wakaf untuk lahan produktif di di Nagari Koto Baru Kecamatan Padang Sago, Kabupaten Padang Pariaman Menurut Fiqh Muamalah ?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusaan masalah diatas, maka dapat dijelaskan tujuan dari penelitian ini, diantaranya:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang pengelolaan wakaf produktif di Nagari Koto Baru Kecamatan Padang Sago, Kabupaten Padang Pariaman.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan sitem bagi hasil pemanfaatan wakaf produktif di di Nagari Koto Baru Kecamatan Padang Sago, Kabupaten Padang Pariaman.

E. Manfaat dan Luaran Penelitian 1. Manfaat penelitian

a. Penelitian ini sebagai upaya untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman sehingga dapat memberikan sumbangan pemikiran oleh

(14)

kalangan umat muslim serta para sarjana hukum Islam khususnya tentang bermu’amalah.

b. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai acuan yang dapat memberikan informasi mengenai sistem bagi hasil dari keuntungan Pemanfaatan Tanah Wakaf Sebagai Lahan Produktif Menurut Fiqh Muamalah di Nagari Koto Baru Kecamatan Padang Sago, Kabupaten Padang Pariaman.

2. Luaran Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan sebagai suatu syarat memenuhi tugas akhir guna memperoleh gelar S.H, pada Fakultas Syari’ah IAIN Batusangkar.

Namun disamping itu ada tersimpan sebuah harapan atas penelitian ini, bahwa suatu saat akan diterbitkan pada jurnal ilmiah.

F. Defenisi Operasional

Untuk memudahkan pemahaman judul, maka penulis akan menguraikan secara singkat mengenai maksud dari judul tersebut.

Pemanfaatan menurut KBBI yaitu proses cara perbuatan memanfaatkan. Sedangkan yang penulis maksud disini ialah pemanfaatan terhadap tanah wakaf yang dikelola sebagai lahan pertanian di Nagari Koto Baru Kecamatan Padang Sago Kabupaten Padang Pariaman.

Wakaf yaitu penahanan pokok dan pengembangan buah. Maksudnya penahanan terhadap harta dan penggunaan manfaat-manfaatnya dijalan Allah.

(Sabiq, 2009:532). Sedangkan wakaf yang penulis maksud disini adalah wakaf benda tidak bergerak berupa tanah pertanian yang dijadikan lahan produktif di Nagari Koto Baru Kecamatan Padang Sago Kabupaten Padang Pariaman.

Lahan Produktif menurut KBBI yaitu tanah garapan pertanian yang mampu mengahasilkan keuntungan dan manfaat. Sedangkan lahan produktif yang penulis maksud disini ialah tanah perwakafan yang dikelola menjadi pertanian atau perkebunan yang menghasilkan keuntungan.

(15)

Fiqh Muamalah adalah hukum-hukum syara’ (syariah) yang bersifat praktis (amaliah) yang diperoleh dari dalil terperinci yaitu al-qur’an dan hadis, yang mengatur hubungan antara individu dengan individu yang lain dalam hal persoalan ekonomi seperti pinjam meminjam, sewa menyewa, kerjasama dagang, utang piutang, wakaf, wasiat, hibah dan lain sebagainya. (Arfan:92).

Sedangkan yang penulis maksud dengan Fiqh Muamalah adalah hukum- hukum Islam yang mengatur tentang pengelolaan tanah Wakaf berdasarkan Al-Qur’an, dan Hadis.

Berdasarkan defenisi diatas dapat dipahami maksud judul penelitian ini adalah pemanfaatan tanah wakaf menjadi lahan produktif yang selanjutnya tanah wakaf tersebut dijadikan sebagai lahan pertanian atau perkebunan menurut dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis tentang wakaf di Nagari Koto Baru Kecamatan Padang Sago Kabupaten Padang Pariaman.

(16)

BAB II KAJIAN TEORI A. Akad

1. Defenisi Akad

Dalam bahasa arab lafal akad berasal dari kata aqada:yaqidu:aqdan yang sinonimnya: ja’ala uqdatan yang artinya menjadikan ikatan, akkada yang artinya memperkuat dan lazima yang artinya menetapkan. Wabah zuhaili mengartikan akad menurut bahasa akad dalam bahasa arab artinya ikatan (atau penguat ddan ikatan) antara ujung-ujung sesuatu, baik ikatan nyata maupun maknawi, daru satu segi maupun dua segi.

Muhammad abu zahara mengemukan pengertian akad sebagai berikut:

akad menurut etimologi diartikan untuk menggabungkan antara ujung sesuatu dan mengikatnya, lawannya adalah al-hillu (melepaskan), juga diartikan mengokohkan sesuatu dan memperkuatnya.

Kemudian menurut para Fuqaha Malikiyah, Syafi’iyah dan hanabilah yaitu: akad adalah segala sesuatu yang diniatkan oleh seseorang untuk dikerjakan, baik timbul karena satu kehendak, seperti wakaf, pembebasan, talak dan sumpah, maupun yang memerlukan kepada dua kehendak didalam menimbulkannya, seperti jual beli, sewa menyewa, pemberian kuasa dan gadai. (madani,109-110).

Dari beberapa defenisi tersebut dapat penulis simpulkan bahwa maknanya saling berkaitan yaitu kata akad, setiap (iltizam), dan tindakan hukum (tassaruf) yang mengandung timbulnya hak, mengalihkan, memindahkan atau menghentikannya.

2. Rukun dan Syarat Akad

Dalam hukum islam untuk terbentuknya suatu akad (perjanjian) yang sah dan mengikat haruslah dipenuhi rukun akad dan syarat akad. Rukun dan syarat akad adalah sebagai berikut:

9

(17)

a. Rukun akad

Rukun adalah unsur-unsur membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang membentuknya.

Akad juga terbentuk karena adanya unsur-unsur atau rukun-rukun yang membentuknya. Menurut ahli hukum Islam kotemporer, rukun yang membentuka akad itu ada empat, yaitu:

1) Para pihak yang membuat akad (al-aqidan) 2) Pernyataan kehendak para pihak (shigatul-aqd) 3) Objek akad (mahallul-aqd)

4) Tujuan akad (maudhu’ al-aqd)

Menurut mazhab hanafi yang dimaksud rukun akad adalah unsur-unsur pokok yang membentuk akad. Akad sendiri adalah pertemuan kehendak para pihak dan kehendak itu diungkapkan melalui pernyataan kehendak yang berupa ucapan atau bentuk ungkapan lain dari masing-masing pihak. Oleh karena itu, unsur pokok yang membentuka akad itu hanyalah pernyataan kehendak masing- masing pihak berupa ijab dan kabul. Adapun para pihak dan objek akad adalah suatu unsur luar, tidak merupakan esensi akad, dan karena itu buk an rukun akad. Namun mazhab ini mengakui bahwa unsur para pihak dan objek itu harus ada untuk terbentuknya akad.

b. Syarat terbentuknya objek akad

Masing-masing rukun diatas yang membentuk akad memerlukan syarat-ssyarat agar rukun tersebut berfungsi membentuk akad. Rukun pertama yaitu para pihak harus memenuhi dua syarat terbentuknya akad, yaitu tamyiz dan berbilang. Rukun kedua yaitu pernyataan kehendak harus memenuhi dua syarat juga yaitu adanya ijab dan kabul dengan kata lain tercapainya kata kesepakatan, dan yang kedua yaitu kasutuan majelis akad. Rukun ketiga yaitu objek akad, harus memenuhi tiga syarat yaitu objek itu dapat diserahkan,

(18)

yang kedua tertentu atau dapat ditentukan, dan yang ketiga objek itu dapat di transaksikan. Dan rukun ke empat memerlukan syarat yaitu tidak bertentangan dengan syarak. (anwar p, 95-97)

3. Kebebasan dalam Membuat Akad dan syarat

Ada dua masalah yang akan dibicarakan berkaitan dengan kebebasan ini:

a. Kebebasan dalam melakukan akad dan hubungannya dengan kerelaan Para ulama sepakat bahwasanya kerelaan merupakan landasan pokok untuk keabsahan akad. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah dalm surah an-nisa’ ayat 29:

َي َنيِذَّلٱ اَهُّ يَأ ٓ أَت َلَ ْاوُنَماَء

وُلُك ٓ مَأ ْا ٓ َب مُكَل َو ٓ لٱِب مُكَن ٓ

َّلَِإ ِلِط َب ٓ نَع ًةَر َِت َنوُكَت نَأ ٓ

ضاَرَ ت مُكنِّم ٓ ٓ ٓ قَت َلََو وُلُ ت ٓ مُكَسُفنَأ ْا ٓ ٓ ٓ

مُكِب َناَك َوَّللٱ َّنِإ مي ِحَر ٓ

ا ٓ ٩٢

Yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Selain hal itu juga didasarkan pada hadis nabi yang diriwayatkan oleh ibnu majah dari abi sa’id al-khudri bahwa rasulullah saw bersabda:

“sesungguhnya jual beli itu harus atas dasar suka sama suka”

Berkaitan dengan kebebasan membuat akad ini, para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:

1) Menurut Zhariyah setiap akad pada dasarnya dilarang sehingga ada dali yang membolehkannya. Dengan demikian, setiap akad atau syarat yang tidak didapatkan dalil yang membolehkannya baik dari nash syara’ maupun ijma’ hukumnya batal dan dilarang.

2) Menurut hanabilah dan ulama-ulama yang lain, setiap akad dan syarat yang berkaitan dengannya pada dasarnya dibolehkan,

(19)

selama tidak dilarang oleh atau tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syara’

b. Ketentuan dalam menentukan syarat dan hubungannya dengan akibat- akibat akad

Para fuqaha telah sepakat bahwa akad yang telah sempurna rukun-rukun dan syaratnya menyebabkan timbulnya keterkaitan yang kuat antara orang-orang yang melakukan akad. Demikian juga para fuqaha sepakat bahwa timbulnya akibat-akibat hukum dari suatu akad pada dasarnya bukan upaya orang-orang yang melakukan akad, melainkan ketentuan syara’. Dengan demikian kehendak orang-orang yang melakukan akad itulah yang menimbulkan akad, sedangkan syariah yang menimbulkan akibat-akibat hukum.

Dalam menentukan syarat ini para fuqaha terbagi pada dua golongan:

1) Menurut zahiriyah pada dasarnya syarat dalam hukumnya dilarang. Dengan demikian, setiap syarat yang tidak ada dasarnya dalam Al-qur’an dan sunnah hukumnya batal.

2) Menurut fuqaha yang lain, pada dasarnya akad dan syarat hukumnya boleh. Golongan ini terbagi kepada dua kelompok, yang pertama hanabilah berpendapat bahwa syarat dalam akad adalah mutlak. Dengan demikian, setiap syarat yang tidak adal larangannya dalam syara’ hukumnya boleh. Yang kedua fuqaha selain hanabilah berpendapat bahwa syarat dalam akad adalah muqayyad (dibatasi). Dengan demikian, setiap syarat dalam akad yang bertentangan dengan syara’ atau dengan tujuan akad hukumnya batal, sedangkan selain itu hukumnya sah. (Muslich, 2015:146).

(20)

B. Wakaf

1. Defenisi Wakaf

Wakaf atau فقو waqf menurut pengertian bahasa berarti menahanثبح (habs), searti dengan ثبحت tahbis (ditahan) dan مبست tasbil (dijadikan halal dijalan Allah). Sedangkan menurut terminologis syara’ wakaf berarti menahan harta yang bisa dimanfaatkan dengan tetap menjaga zatnya, memutus pemanfaatan terhadap zat dengan bentuk pemanfaatan lain yang mubah yang ada. (Azzam,2017:395).

Para ahli berbeda pendapat dalam mendefenisikan wakaf menurut istilah, sehingga mereka berbeda pendapat pula dalam memandang hakikat wakaf itu sendiri. Berbagai pandangan tentang wakaf menurut istilah sebagai berikut:

a. Abu Hanifah

Wakaf adalah menahan sesuatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan defenisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak terlepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya.

b. Mazhab maliki

Mazhab maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepasakan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.

c. Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal

Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna

(21)

prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan. (Harahap, 2007:1-3).

d. Mazhab Hanafi

Wakaf yang dikemukakan Mazhab Hanafi, yaitu menahan benda waqif (orang yang berwakaf) dan menyedekahkan manfaatnya untuk kebaikan. Hal ini dikemukakan Wahbah Al-Zuhaili seperti yang dikutip Departemen Agama RI (Lubis, et.al, 2010:4).

e. Imam Nawawi

Imam nawawi mengartikan wakaf seacara etimologi dengan al- habs (menahan) dan secara terminologi adalah memelihara kelestarian harta yang potensial untuk dimanfaatkan dengan cara menyerahkan pengelolaannya kepada pihak yang berwewenang.

Undang- undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf menyebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selama selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. (Athoillah, 2014:4).

Dari beberapa defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa intisari wakaf adalah menjaga dan mengelola pokok harta yang telah diserahkan untuk kepentingan agama dan menyalurkan hasilnya untuk kemaslahatan umat. Wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan dalam pasal 5 Undang-Undang wakaf yang menyatkan bahwa wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum. (Sudirman, 2013:38).

(22)

2. Dasar Hukum Wakaf a. Al-Qur’an

Wakaf dibolehkan berdasarkan dalil al-Qur’an dan Sunnah.

Adapun dalil al-Qur’an adalah firman Allah Q.S Ali Imran:92:

































Yang artinya: kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.

Ketika mendengar ayat ini, Abu Thalah ingin mewakafkan أحزب Barha‟ harta yang paling dia sukai. Az-Zamakhsyari berkata dalam Al-Fa’iq قإفنأ bahwa أحزب Birha’ dengan pedanan لأف fa’la dari kata حزبنأ al-birah yaitu tanah yang tinggi, sementara Asy-Syuairi mengatakan ia adalah nama sebuah kebun yang terkenal dan pendapat ini diikuti oleh Al-Juhairi. Landasan al-Qur’an lainnya adalah Q.S Al- Baqarah:272:





































 





















Yang arinya : Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu

(23)

melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan) (Azzam, 2017:396).

Firman Allah SWT Q.S Al-baqarah ayat 267





























































Yang artinya Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Ayat diatas memaparkan bahwa yang di seru (munada) adalah orang-orang yang beriman. Dalam Al-Qur’an, seruan-seruan ayat ada yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Bagi orang yang beriman banyak perintah yang harus dilakukan diantaranya adalah tentang nafkah. Maksud bernafkah dalam ayat ini adalah berwakaf.

Peraturan berwakaf disini disebutkan sebagai berwakaf dijalan Allah sebagian hasil usaha. Oleh karena itu, tidak dikehendaki mewakafkan seluruh harta yang dimiliki karena juga harus memperhatikan ahli waris yang ditinggalkan, kecuali memang sama sekali tidak ada lagi keluarga yang ditinggalkan. Dalam hal berwakaf, dianjurkan agar yang diwakafkan itu adalah dari yang baik-baik, bukan dari yang jelek- jelek. Kalau seseorang mewakafkan hartanya yang tidak disukainya berarti belum tampak keseriusan maksimal, dan ini sangat berbeda

(24)

dengan orang yang mewakafkan harta yang sangat disukainya. (Lubis, et.al, 2010:12).

Firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah ayat 3:



















Yang artinya: (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.

Tanda orang yang bertaqwa adalah mau berinfak setelah menyatakan diri sebagai orang yang beriman kepada yang ghaib dan mendirikan shalat. Kata rizki dalam ayat diatas diartikan sebagai bagian (nasib) atau pemberian (ata’) baik dalam makna atau lafal seperti harta benda, anak, ilmu, dan taqwa. Rizki juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang bisa dimanfaatkan. (Sudirman, 2013:48).

Firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah ayat 261-262:





































































































Yang artinya: 261. perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui.

(25)

262. orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Firman Allah SWT Q.S an-Nahl ayat 97







































Yang artinya: Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki- laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S an- Nahl:97)

Dalam tafsir almunir, Wahbah Zuhaili mengutib Al-Kalabi yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenan dengan Sayyidina Usman Bin Affan dan Abd Al-Rahman Bin Auf yang membelanjakan sebagian harta mereka dijalan Allah, tepatnya untuk mendanai perang tabuk. Ayat diatas juga mengandung perumpamaan tentang pelipat gandaan pahala bagi orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah dan demi rida-Nya. Ia juga menjelaskan setiap kebaikan yang diberikan dan dilipatkan pahalanya sepuluh hingga 700 kali lipat (Athoillah, 2014:8).

b. Hadis

Hadis Riwayat Ahmad

ْنم لَإ ُوُلَمَع َعَطَقْ نا َمَدَأ ُنْبا َتاَم اَذإ : َلاَق َملَسَو وْيَلَع للها ىلَص للها َلْوُسَر نَأ َةَرْ يَرُى بَأ ْنَع َلَث ُوَلْوُعْدَي لح اَص دَلَو وَأ وب ُعَفَ تْنُ ي مْلع ْوَأ ,ةَيراَج ةَقَدَص ,ث

.

(26)

Apabila anak adam meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya.

Hadis Riwayat al-Bukhari

وْيَلَع للها ىلَص بىَنلا ىَتَأَف َرَ بْيَبخ اًضْرَأ َباَصَأ باطَلخا َنْب َرَمُع نَأ اَمُهْ نَع للها َىضَر َرَمُع نْبا ْنَع ُسَفْ نَأ ٌطَق َلَ اَم ْبصُأ َْلَ َرَ بْيَبخ اًضْرَأ ُتْبَصَأ نىإ ,للها َلْوُسَراَي : َلاَقَ ف ,اَهْ يف ُهُرمْاَتْسَي َملَسَو

اَبه َتْق دَصَتَو اَهَلْصَأ َتْسَبَح َتئش ْنإ : َلاَق وب نىُرُمْأَت اَمَف ,ُوْنم ىدنع

.

Diriwayatkan dari Ibn Umar r.a bahwa Umar bin al-Khatab r.a memperoleh tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi saw untuk meminta petunjuk mengenai tanah itu. Ia berkata “Wahai Rasulullah, saya memperoleh tanah di khaibar yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut, apa perintah engkau kepadaku mengenainya? Nabi SAW menjawab, jika mau kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan hasilnya.”

Kedua hadis diatas merupakan dasar umum disyaratkannya wakaf. Hadis pertama mendorong manusia untuk menyisihkan sebagian rezkinya sebagai tabungan akhirat dalam bentuk sedekah jariyah. Pada hadis kedua, wakaf dijelaskan secara gamblang melalui aktivitas Umar dalam mewakafkan tanah di Khaibar dengan ketentuan harta pokoknya tetap dan hasilnya dapat dikeluarkan. Dengan mekanisme tersebut, pokok harta akan dijamin kelestariannya dan hasil usaha atas penggunaan tanah tersebut dapat dipakai untuk mendanai kepentingan umat (Sudirman , 2013 :49). Umar mewakafkan tanah yang dia peroleh di khaibar atas perintah Nabi saw.

Dia mensyaratkan beberapa syarat di dalamnya, diantaranya adalah agar tanah tersebut tidak boleh dijual, tidak diwarisi dan tidak dihibahkan, dan barang siapa yang mengelolanya, dia boleh memakannya secara makruf, dan boleh memberikan kepada seorang kawan tanpa menjadikannya sebagai harta milik pribadi (H.R Al- Bukhari no 3737, dan Muslim no. 1633) (Al- Malibari, 2016 : 653).

(27)

3. Rukun Wakaf dan Syarat Wakaf

Rukun wakaf ada empat: pihak yang mewakafkan فقو (waqif), harta yang diwakafkan فقىم (mauquf), yang menerima wakaf هيهع فقىم (mauquf alaihi), dan تغص shighat.

a. Pihak yang mewakafkan فقو (Wakif)

Orang yang mewakafkan فقو (wakif) disyaratkan memiliki kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal competen) dalam membelanjakan hartanya. Kecakapan berttindak disini meliputi empat kriteria, yaitu:

1) Merdeka. Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya) tidak sah karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang lain.

Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik, dirinya dan apa yang dimilikinya adalah kepunyaan tuannya. Namun demikian Abu Zahra mengatakan bahwa para fuqaha sepakat budak itu tidak boleh mewakafkan hartanya kecuali ada izin dari tuannya, karena ia sebagai wakil darinya.

2) Berakal Sehat. Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan lainnya. Demikian juga wakaf orang lemah mental (idiot), berubah akal karena faktor usia, sakit atau kecelakaan, hukumnya tidak sah karena akalnya tidak sempurna dan tidak cakap untuk mengugurkan hak miliknya.

3) Dewasa (baligh). Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya.

4) Tidak berada dibawah pengampuan (boros/lalai). Orang yang berada dibawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk berbuat kebaikan عزبت (tabarru‟), maka wakaf yang hukumnya tidak sah.

(28)

Tetapi berdasarkan ihtisan wakaf yang berada dibawah pengampuan terhadap dirinya sendiri selama hidupnya hukumnya sah. Karena tujuan dari pengampuan ialah untuk menjaga harta wakaf supaya tidak habis dibelanjakan untuk sesuatu yang tidak benar, dan untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi beban orang lain. (Harahap, 2007:21).

Pihak yang mewakafkan diisyaratkan haruslah orang yang memiliki kemampuan untuk menyumbangkan harta, dengan kualifikasi baligh, berakal dan hendaklah sendiri (tanpa paksaan). Barang siapa memenuhi syarat-syarat ini, maka wakafnya sah walaupun ia orang kafir. Wakaf orang kafir sah, karena wakaf bukan bentuk taqarrub ansich berbeda halnya dengan nazar yang tidak sah bagi orang kafir sebab termasuk amalan taqarrub kepada Allah. Tidak sah wakaf dari anak kecil atau orang gila yang sedang dicabut haknya karena idiot atau bangkrut walaupun dibeli oleh wali, dan tidak sah wakaf dari orang yang terpaksa karena orang yang terpaksa bukan mempunyai hak untuk memberikan sumbangan karena terpaksa.

Adapun yang dimaksud dengan syariat ini adalah orang-orang yang memberikan wakaf mempunyai kuasa untuk memberikan sumbangan ketika masih hidup. Oleh sebab itu orang idiot tidak sah wakafnya namun sah wasiatnya sebab dia mempunyai kuasa untuk memberikan sumbangan setelah kematian.

1) Harta yang diwakafkan فقىمنأ (Al-mauquf)

Syaratnya ialah harus berupa benda yang jelas menjadi hak milik yang bisa dipindahkan dan jika tidak hilang bisa memberikan manfaat mubah yang menjadi tujuan. Kriteria benda sebagai syarat wakaf mengeluarkan segala sesuatu hanya berbentuk manfaat (bukan barang) dan wakaf yang wajib dalam tanggungan. Wakaf demikian tidak sah kecuali benda-benda walaupun hasil rampasan atau tak terlihat sebab

(29)

barang hasil rampasan sudah menjadi hak miliknya, juga sah orang buta karena tidak diisyaratkan untuk sah nya wakaf melihat barang yang akan diwakafkan. Kriteria yang dimiliki dalam harta yang diwakafkan mencoret segala sesuatu yang tidak dimiliki, seperti harta mubah diantaranya jembatan, sekolah, tepian sungai dan pantai.

Kendati demikian, imam (pemerintah) untuk mewakafkan sesuatu dari baitul mal untuk keperluan tertentu atau individu tertentu dengan syarat ada kemaslahatan dalam hal tersebut sebab semua tindakan terkait dengan kemaslahatan seperti wali anak yatim seandainya imam melihat dijadikan hak miliknya, maka boleh.

Berdsarkan kriteria bisa dipindahkan wakaf tidak boleh berupa segala sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan tidak boleh memindahkan jika berupa manfaat yang tidak diperbolehkan menurut syar’i, misalnya alat musik, sebab manfaat alat musik haram hukumnya dengan begitu tidak bisa dimiliki.

Selanjutnya berdasarkan kriteria bisa dimanfaatkan walaupun hilang dalam bentuk manfaat mubah yang menjadi tujuan. Wakaf tidak boleh berupa segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan namun zatnya hilang dengan pemanfaatan tersebut, misalnya makanan. Sebab manfaat makanan terletak pada konsumsinya padahl yang diisyaratkan dalam wakaf adalah pengambilan manfaatnya secara terus-menerus.

Adapun tolak ukur manfaat yang dituju dan sah menjadi harta wakaf adalah segala sesuatu yang bisa disewa dengan syarat tetap hak milik dalam harta tersebut. (Azzam, 2017:398-400)

2) Untuk barang yang diwakafkan, ditentukan beberapa syaratnya sebagai berikut:

a) Barang atau benda itu tidak rusak atau habis seketika diambil manfaatnya.

(30)

b) Kepunyaan orang yang berwakaf. Benda yang bercampur haknya dengan orang lain pun boleh diwakafkan seperti halnya boleh dihibahkan atau disewakan.

c) Bukan barang haram atau najis. (al-Alabij, 1997:31) b. Penerima wakaf هيهع فقىم (Mauquf „Alaih)

Penerima wakaf bisa diklasifikasikan menjadi dua bagian sebagai berikut:

1) Penerimaan wakaf defenitif

Penerima wakaf defenitif terdiri dari satu atau dua orang atau lebih yang telah ditentukan identitasnya. Ia diisyaratkan harus bisa memanfaatkan harta wakaf tersebut secara langsung ketika menerima wakaf, dengan bahasa lain qualified untuk memiliki harta wakaf tersebut, sebab akad wakaf pada dasarnya adalah akad manfaat. Karena itu, tidak sah mewakafkan sesuatu yang tidak ada seperti, mewakafkan masjid yang baru akan dibangun, atau mewakafkannya untuk si anaknya ternyata anaknya tidak ada, atau untuk anak-anak yang miskin sedangkan mereka tidak ada yang miskin, atau yang mewakafkan bacaan di kuburan atau kuburan ayahnya yang masih hidup. Semula bentuk wakaf ini tidak sah, sebab tidak memenuhi syarat adanya orang yang menerima wakaf defenitif diluar ketika akad wakaf terjadi dan ia qualified untuk memiliki.

2) Penerima wakaf undefinitif

Adalah organisasi-organisasi sosial, misalnya wakaf untuk pelajar, orang fakir, atau pembangunan masjid, dan rumah sakit.

Jika seorang muslim atau kafir dzimmi mewakafkan harta untuk maksiat, seperti wakaf untuk pembangunan gereja dan tempat- tempat ibadah orang kafir atau permadani atau permadani dan lampu-lampunya atau para pelayannya, atau kitab taurat, injil atau

(31)

senjata untuk para perampok , maka semua wakaf ini batal, sebab ada unsur membantu berbuat maksiat, sementara wakaf yang dibolehkan untuk bertaqarrub dan keduanya sangat berbeda baik dari bangunan atau merenovasinya. Para ulama juga sepakat bahwa mewakafkan harta untuk membangun gereja haram, walaupun gereja kuno sebelum datangnya Islam.

Kendati suatu wakaf batal seandainya seorang kafir dzimi mewakafkan hartanya untuk membangun gereja, kita tetap tidak memiliki hak untuk menghalangi mereka atau membatalkan sesuatu yang sudah mereka wakafkan untuk sutu badan atau lembaga karena ini berarti kita melarang mereka menunjukan syiar-syiar agama mereka namun jika mereka berbangga-bangga dengan kita, maka tidak boleh membatalkannya walaupun sudah ditetapkan oleh hakim mereka dan ini hanya untuk wakaf kepada gereja yang baru.

Adapun jika mereka mewakafkan harta untuk gereja mereka yang kuno sebelum diutus Nabi SAW, maka kita tidak boleh membatalkannya walaupun mereka berbangga-bangga kita bahkan kita harus mengakuinya dan ini khusus untuk gereja ibadah dan pembangunannya.Sementara wakaf untuk merenovasi gereja yang digunakan untuk tempat singgah orang lewat, maka wakaf demikian bisa dianggap sah, begitu juga wakaf kepada suatu kaum yang tinggal didalam gereja kereja walaupun mereka adalah kafir dzimmi, sebab wakaf seorang seorang muslim kepada kafir dzimmi sah dan boleh seperti kebolehan bersedekah kepadanya, baik orang tertentu atau orang banyak. Wakaf demikian baru dilarang jika ada penentuan orangnya dengan tujuan maksiat.

(32)

c. Ucapan تغص (shighat)

Kalangan Hanafiyyah mengatakan bahwa rukun wakaf adalah shighat (ucapan pernyataan tegas). Shigat adalah lafaz-lafaz yang menunjukan makna wakaf seperti, “tanahku ini diwakafkan selamanya untuk orang-orang miskin” dan lafaz-lafaz seperti barang ini diwakafkan untuk Allah, untuk tujuan kebaikan, kebajikan, atau diwakafkan saja”. Hal ini sesuai dengan dengan ucapan Abu Yusuf dan dijadikan fatwa untuk masalah urf. Wakaf kadang bisa terjadi secara pasti, seperti seseorang mewasiatkan hasil dari rumah untuk orang-orang miskin selamanya, atau untuk si fulan kemudian untuk orang-orang miskin selama-lamanya. Maka rumah tersebut pasti menjadi wakaf. Rukun wakaf menurut kalangan hanafiyyah adalah pernyataan yang muncul dari orang yang mewakafkan yang menunjukan bentuknya wakaf.

Adapun qabul (shigat menerima) dari pihak yang diwakafi tidaklah masuk rukun menurut kalangan hanafiyyah, sebagaimana yang difatwakan. Juga menurut kalangan hanabilah sebagaimana yang dikemukakan oleh al-qadhi abu ya’la. Shigat qabul juga bukan merupakan syarat keabsahan wakaf. Oleh karena itu sesuatu yang menjadi wakaf hanya dengan ucapan. Sebab, wakaf adalah penghilangan kepemilikan yang menyebabkan terhalangnya jual beli, hibah dan warisan terhadap suatu barang. Maka wakaf tidak memerlukan shigat qabul, seperti memerdekakan budak. UU Mesir (M 9) No 48 tahun 1946 mengambil pendapat ini, dimana ia tidak menjadikan shigat qabul sebagai syarat kepemilikan wakaf. Shigat qabul menurut kalangan malikyyah, syafi’iyyah, dan sebagian hanabillah termasuk rukun jika wakaf itu untuk orang-orang tertentu dan dia mempunyai hak, kepatutan untuk menerima (Az- Zuhaili, 2011:276).

(33)

Adapun empat syarat wakaf: دبعت ta‟bid (untuk selamanya), ذجىت tanjiz (kontan), kejelasan فزصم mashraf (tempat peruntukan) dan وذنإ ilzam (bersifat mengikat).

1) Ta‟bid دبعت untuk selama-lamanya

Syarat ini terwujud dengan dua cara. Pertama dengan cara mewakafkan harta untuk orang yang tidak akan pernah habis seperti fakir miskin, mujahiddin dan para pelajar. Kedua, mewakafkan harta kepada orang yang akan hilang kemudian kepada mereka yang tidak akan pernah habis setelahnya, seperti mewakafkan kepada seseorang kemudian kepada fakir miskin, wakaf seperti ini dinamakan wakaf yang terputus awalnya dan bersambung akhirnya.

2) tanjiz ذجىت (kontan)

Wakaf hendaknya dilakukan secara kontan dan tidak boleh digantung dengan sesuatu, misalnya dengan berujar:”saya mewakafkan hewanku ini kepada Zaid jika dia datang pertengahan bulan.” Sebab wakaf adalah penyerahan milik secara langsung sehingga tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu seperti jual beli atau hibah. Jika wakaf tidak termasuk amal taqqarub yang jelas seperti wakaf kepada orang tertentu, jika berupa amal taqqarub yang jelas seperti memerdekakan hamba atau membangun masjid dan lainnya dari berbagai lembaga kebajikan yang tidak lepas dari pemilikan anaka Adam, maka menurut pendapat yang rajjih (unggul) akad demikian tetap sah.

3) Kejelasan mashraf فزصم (tempat peruntukan)

Seandainya dia hanya menyebutkan harta yang diwakafkan tanpa menyebutkan penerimanya, maka menurut pendapat yang lebih kuat akad batal karena tidak ada penyebutan tempat penyaluran walaupun dia menggabungkannya dengan kata “Allah”

(34)

seperti ucapannya: “saya wakafkan rumahku untuk Allah” atau apa saja yang dia mau inilah pendapat yang rajih (unggul). Tidak boleh dikatakan bahwa seandainya dia berkata “saya wasiatkan sepertiga hartaku” dan tidak menyebutkan pihak penerimanya, maka akad tetap sah dan diberikan kepada fakir miskin. Bahwa kebanyakan wasiat untuk fakir miskin atas dasar memudahkan sehingga tetap sah untuk yang masih belum jelas.

4) Ilzam وذنإ (bersifat mengikat)

Seandainya seseorang mewakafkan sesuatu dari hak miliknya kepada fakir miskin dan memberikan syarat untuk dirinya khiyar dalam menetapkan wakaf atau rujuk kapanpun dia mau memberikan syarat khiyar untuk orang lain atau dia memberikan syarat untuk dikembalikan kepadanya dengan cara-cara tertentu seperti syarat menjualnya atau syarat siapa saja yang masuk keluarnya maka wakaf batal menurut pendapat yang sahih dan jika dia tidak menggabungkannnya untuk Allah SWT. (Azzam, 2017:406-417)

4. Macam-Macam Wakaf

Jika ditinjau dari sasaran yang menerimanya dan memanfaatkan wakaf, maka wakaf dibagi menjadi dua macam, yakni wakaf khairi dan wakaf dzurry.

a. Wakaf khairi زيخ

Wakaf yang wakifnya tidak membatasi sasaran wakafnya untuk pihak tertentu tetapi untuk kepentingan umum, seperti yang di praktikan oleh Usman ibn Affan sebagimana terungkap dalam hadits riwayat Imam Tirmidzi berikut:“Dari Ustman, bahwa Nabi SAW pernah datang ke madinah, sedangkan pada saat itu tidak ada air tawar kecuali sumur rumah, lalu nabi bersabda “siapakah yang mau membeli sumur rumah? ia dapat mengambil air dengan timbanya dari

(35)

sumur itu bersama-sama dengan kaum muslim lainnya, kelak ia akan mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari sumur itu di surga.”

kemudian sumur itu aku (Utsman ibn „Affan) beli dengan kekayaan yang ada padaku”.(HR.Tirmizi dan Nasa’i). Sumur yang dibeli dan di wakafkan Utsman tersebut merupakan bentuk wakaf khairi, yang diperuntukan bagi kepentingan masyarakat umum. Selain praktik wakaf khairi Utsman ini, tidak sedikit pula praktik serupa yang dilakukan para sahabat lainnya.

b. Wakaf dzurriرس

Wakaf dzurri رس adalah wakaf yang wakifnya membatasi sasaran wakafnya untuk pihak tertentu yaitu keluarga keturunannya.

Seperti wakafnya Abu Thalhah kepada kerabatnya, antara lain kepada putra pamannya atas petunjuk Rasulullah SAW, sebagaimana diungkapkan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim sebagai berikut:Telah menceritakan kepada Yahya bin Yahya, dia berkata, “Aku menceritakan sebuah hadits kepada Malik yang diriwayatkan dari Ishaq ibn Abdillah, bahwa ia mendengar Anas ibnu Malik berkata”Abu Thalhah adalah sahabat Anshar yang paling banyak kebun kurmanya di Madinah, harta yang paling ia cintai adalah Bairaha yang berhadapan dengan masjid nabi. Nabi SAW pernah masuk kedalam kebun itu untuk mengambil air jernih disitu.

setelah turun ayat “kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” Anas berkata kepada Rasulullah SAW wahai Rasulullah sesungguhnya Allah telah berfirman: kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. kemudian abu thalhah menyambung,” sedang harta yang kami cintai adalah bairahah. ia akan kami sedekahkan kepada Allah SWT, oleh karena itu pergunakanlah pada tempat yang engkau inginkan”. Nabi SAW bersabda: aku mengerti apa yang engkau katakan, menurut pendapatku, berikan harta itu kepada sanak kerabatmu. akan kami kerjakan wahai Rasulullah jawab Abu Thalhah, kemudian ia membagi-baginya kepada sanak kerabat dan anak pamannya”. (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Wakaf dzurry (wakaf ahli/keluarga) dan khairi kedua-duanya bermanfaat namun bila ditinjau dari sudut banyaknya manfaat wakaf

(36)

yang dapat diterima oleh masyarakat, tentu wakaf khairi lebih banyak dirasakan oleh masyarakat, karena sifatnya tidak terbatas untuk keluarga semata. dilain pihak, Mandzir Qohaf menjelaskan bahwa wakaf terbagi menjadi beberapa macam berdasarkan tujuan, batasan waktunya, dan penggunaan barang sebagai berikut:

1) Macam-macam wakaf berdasrkan tujuannya ada tiga:

a) Wakaf sosial untuk kebaikan masyarakat زيخ (khairi), yaitu apabila tujuan wakafnya untuk kepentingan umum.

b) Wakaf keluarga رس (dzurry) yaitu apabila tujuan wakaf untuk memberikan manfaat kepada wakif, keluarganya, dan orang- orang tertentu, tanpa melihat apakah kaya atau miskin, sakit atau sehat, dan tua atau muda.

c) Wakaf gabungan قزتشم (musytaraq) yaitu apabila tujuan wakafnya untuk umum dan keluarga secara bersamaan.

2) Berdasarkan batasan waktunya, wakaf terbagi menjadi dua macam:

a) Wakaf abadi yaitu apabila wakafnya berbentuk barang yang bersifat abadi, seperti tanah dan bangunan dengan tanahnya, atau barang yang bergerak yang ditentukan oleh wakif sebagai wakaf abadi dan produktif, dimana sebagian hasilnya untuk disalurkan sesuai tujuan wakaf, sedangkan sisanya untuk biaya perawatan wakaf dan mengganti kerusakannya.

b) Wakaf sementara yaitu apabila barang yang diwakafkan berupa barang yang mudah rusak ketika dipergunakan tanpa memberi syarat untuk mengganti bagian yang rusak. wakaf sementara juga bisa dikarenakan oleh keinginan wakif yang memberi batasan waktu ketika mewakafkan barangnya.

3) Berdasarkan penggunaannya, wakaf dibagi menjadi dua macam:

a) Wakaf langsung, yaitu wakaf yang pokok barnagnya digunakan untuk mencapai tujuannya, seperti masjid untuk sholat, sekolah

(37)

untuk kegiatan belajar mengajar, rumah sakit untuk mengobati orang sakit dan lain sebagainya.

b) Wakaf produktif yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk kegiatan produksi dan hasilnya diberikan sesuai dengan tujuan wakaf.

Pembagian wakaf diatas juga sejalan dengan pendapat para ahli fiqih diatas, kecuali wakaf sementara yang hanya ditemukan dalam fiqih mazhab Maliki. Di pihak lain dijelaskan bahwa dalam Undang-Undang Aljazair, misalnya yang hanya menyebutkan dua macam wakaf yaitu wakaf sosial dan keluarga, dan menamakannya dengan wakaf umum dan wakaf khusus. Demikian juga dalam Undang-Undang Sudan dan Jordania membagi wakaf menjadi wakaf sosial, wakaf keluarga, dan wakaf gabungan saja. (Athoillah, 2014:28-31)

4. Hilangnya Kepemilikan wakaf

Kepemilikan wakaf terhadap barang wakaf menurut pendapat abu hanifah menjadi hilang dari pemiliknya karena salah satu dari empat sebab:

a. Dengan dipisahkannya masjid dari kepemilikannya.

b. Keputusan hakim, sebab masalah ini adalah masalah ijtihad. Artinya, dalam masalah ini diperbolehkan ijtihad dan terjaadi perbedaan antara Imam Mazhab maka, keputusan hakim ini bisa menyelesaikan perselisihan,

c. Dengan matinya orang wakaf jika dia menggantungkan wakafnya dengan kematiannya. Seperti “jika aku mati, aku wakafkan rumahku ini untuk ini” pendapat yang shahih itu seperti wasiat yang memaksimal sepertiga hartanya harus diberikan setelah dia mati, bukan sebelumnya.

(38)

d. Dengan ucapan pewakaf, “aku wakafkan tanahku ini selama aku hidup. Setelah aku mati, maka untuk selamanya”. Hal ini boleh menurut imam-imam tiga dalam mazhab Hanafiyyah.

Sebagaimana Syafi’iyyah, kalangan hanabilah berpendapat bahwa kepemilikan terhadap barang menjadi hilang dan wakaf terjadi hanya dengan diucapkan. Sebab wakaf terjadi dengan cara itu, karena hadis umar diatas “jika kau mau, kau tahan tanah itu dan kau sedekahkan hasilnya.” Hal itu karena wakaf adalah sedekah yang menyebabkan terhalangnya jual beli, hibah, pewarisan (terhadap barang itu) (Az- Zuhaili, 2011:286).

C. Pengelolaan wakaf dan pemanfaatan Tanah Wakaf Secara Produktif 1. Pengelolaan wakaf

Harta secara umum memerlukan pengelola yang dapat menjaga dan mengurus agar tidak terlantar dan sia-sia (hifdz al-mal). Demikian pula halnya harta wakaf memerlukan pengelola yang dapat menjaga dan mengembangkan serta mendistribusikan hasil-hasilnya kepada yang berhak menerima sesuai tujuan wakaf. Orang atau badan yang diberi wewenang untuk mengelola harta wakaf dalam istilah teknis disebut nadzir atau qayim atau mutawalli. Pada dasarnya pengelolaan wakaf adalah tanggung jawab pewakaf, mengingat pewakaf pemilik yang pertama. Namun demikian pewakaf dapat menunjuk orang lain yang di percaya untuk mengelola harta wakafnya. Hal ini merujuk pada praktik wakaf umar bin khatab di kawasan khaibar yang dikelola sendiri, kemudian diserahkan kepada khafshah hingga akhir hayatnya, sesudah itu dikelola oleh orang-orang ahli dari kalangan keluarganya.

Persoalan yang menjadi perhatian para ulama dalam menentuka pengelola (nadzir) adalah menyangkut sasaran. Apabila sasaran wakaf ditunjuk untuk orang-orang tertentu, maka pengelolanya adalah penerima wakaf (mauquf alaih) tersebut, dan apabila wakaf ditunjukan untuk umum,

(39)

seperti untuk masjid fakir miskin, yatim piatu, orang-orang jompo dan sebagainya, maka sebagai pengelolanya adalah penguasa hukum wilayah.

Namun demikian, karena penguasa hukum wilayah tidak mengelola secara langsung, maka penguasa wilayah tersebut untuk dan atas nama pewakaf dapat menunjuka salah seorang yang dipandang cakap dan terpercaya dari mereka yang berhak menerima manfaatnya dalam mengelola harta wakaf tersebut. Menurut ulama malikiyah dan syafi’iyah adalah penguasa hukum wilayah selaku nadzir am berhak mengelola harta wakaf dengan alasan karena kepemilikan wakaf telah berpindah menjadi milik Allah.

(muzarie:142-144).

Direktorat pemberdayaan wakaf dalam bukunya fiqh wakaf mengemukakan bahwa apabila seseorang mewakafkan sebidang tanah untuk pemeliharaan lembaga pendidikan atau balai pengobatan yang dikelola oleh suatu yayasan, misalnya, maka sejak diikrarkan sebagai harta wakaf, tanah tersebut terlepas dari pemilik si wakif pindah menjadi hak milik Allah dan merupakan amanat pada lembaga atau yayasan yang menjadi tujuan wakaf. Sedangkan yayasan tersebut memiliki tanggung jawab penuh untuk mengelola dan memberdayakannya secara maksimal demi kesahteraan masyarakat banyak (direktorat pemberdayan wakaf:69).

2. Nazir

Nazir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Posisi nazir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi harta wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan. Sedemikian pentingnya nazir, sehingga berfungsi tidaknya wakaf sebagai mauquf alaih sangat bergantung pada nazhir wakaf. Meskipun demikian tidak berarti bahwa nazir mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang diamanahkan kepadanya. Pada umumnya para ulama telah bersepakat

(40)

kekuasaan nazir wakaf hanya terbatas pada pengelolaan wakaf untuk dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf yang dikehendaki wakif.

Asaf A.A Fyzee berpendapat sebagaimana dikutip oleh Dr. Uswatun Hasanah, bahwa kewajiban nazir mengerjakan segala sesuatu yang layak untuk menjaga dan mengelola harta. Sebagai pengawas wakaf naazir dapat memperkerjakan beberapa wakil atau pembantu untuk menjaga dan mengelola harta. Nazir sebagai pihak yang berkewajiban mengawasi dan memelihara wakaf tidak boleh menjual, menggadaikan atau menyewakan harta wakaf kecuali diijinkan oleh pengadilan. Ketentuan ini sesuai dengan masalah kewarisan dalam kekuasaan kehakiman yang memiliki wewenang.

Untuk mengontrol kegiatan nazir. Sehingga dengan demikian, keberadaan harta wakaf yang ada ditangan nazir dapat dikelola dan diberdayakan secara maksimal untuk kepentingan kesahteraan masyarakat banyak yang bisa di pertanggungjawabkan secara moral dan hukum Allah Swt. (jendral pemberdayaan wakaf, p 69-70).

3. Pemanfaatan tanah wakaf sebagai lahan produktif

Intensifikasi wakaf selain berdimensi ritual juga berdimensi sosial.

Keberadaannya telah menjadi salah satu instrumen penunjang peradaban Islam. Sebagai praktek yang telah melembaga dalam kehidupan masyarakat Muslim, wakaf telah mendukung kehidupan ekonomi dan sosial.

Keberadaannya juga diharapkan menjadi salah satu pilar yang dapat menopang kesejahteraan umat dan bangsa.

Pada dasarnya semua wakaf harus dikembangkan secara produktif, namun pengembangannya tentu disesuaikan dengan benda yang diwakafkan dan peruntukannya. Indonesia memiliki tanah wakaf yang cukup banyak dan luas yang memungkinkan dikelola secara produktif karena tanahnya yang cukup luas dan posisinya sangat strategis untuk dibangun gedung sebagai tempat usaha atau disewakan. (Muntaqo, 2015 :100-103). Potensi tanah wakaf di Indonesia luar biasa besarnya mencapai

(41)

3.492.045.373.754 m (3.492 Km) yang tersebar pada 420.003 lokasi di bumi nusantara ini atau seluas 5 kali luas Singapura (5X679 Km) dan lima kali luas Jakarta (5X661,52 Km). Pada umumnya tanah wakaf terletak di pedalaman, tidak lagi diurus pemilik, sulit untuk dijual bahkan berupa tanah sengketa. Pengelolaan wakaf tersebut belum optimal bahkan banyak tanah kosong yang belum jelas peruntukannya. Untuk tercapainya tujuan wakaf yakni memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya yakni untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf demi terwujudnya kessejahteraan umum, maka tanah wakaf yang tersebar luas di negri ini harus diberdayakan secara produktif (Athoillah, 2014:228).

Makna wakaf dan wakaf produktif adalah menahan dzatnya benda dan memanfaatkan hasilnya atau menahan dzatnya dan menyedekahkan manfaatnya. Namun, dalam pengembangan benda wakaf secara produktif tentu juga harus memperhatikan kaidah/prinsip produksi yang Islami.

(Rochmiyatun, 2018:89). Wakaf produktif pada umumnya berupa tanah pertanian atau perkebunan, gedung-gedung komersial, yang dikelola sedemikian rupa sehingga mendatangkan keuntungan yang sebagian hasilnya dipergunakan untuk membiayai berbagai kegiatan Sosial. Bahkan dalam sejarah, wakaf sudah dikembangkan dalam bentuk apartemen, ruko dan lain-lain. Wakaf produktif ini kemudian dipraktikkan di berbagai negara sampai sekarang. Hasil dari pengelolaan wakaf tersebut dimanfaatkan untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial ekonomi umat (Muntaqo, 2015:86).

Gambar

Gambar IV.1

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan adanya efek tonikum ekstrak etanol buah mengkudu (EEBM) terhadap mencit jantan galur Swiss dan mengidentifikasi adanya

13 Tahun 2010 tentang Tata Tertib DPRD Kabupaten Simalungun, DPRD mempunyai tugas dan wewenang; (1) Membentuk peraturan daerah Kabupaten bersama bupati; (2) Membahas dan memberikan

a) Kebutuhan akan kepercayaan dasar (basic trust), kebutuhan ini secara terus-menerus diulang guna membangkitkan kesadaran bahwa hidup ini adalah ibadah.. 12 b) Kebutuhan

Penambahan tepung sagu pada level yang lebih tinggi 10% berbeda nyata meningkatkan nilai aroma chip atau semakin beraroma telur dibandingkan penambahan jenis bahan

Jalur terpendek yang diperoleh untuk jalur distribusi kentang menggunakan perhitungan aljabar min-plus adalah sepanjang 166 km, diawali di Jalan Raya Pangalengan

Bu ağların Göltürkbükü limanında ortalama 30 tekne tarafından kullanıldığı ve toplamda 40 posta civarında ağ bulunduğu tespit edilmiştir.. Üst yakada 4 mm

Manfaat penelitian yang diharapkan adalah (1)Bagi Peserta didik memperoleh wawasan tentang layanan bimbingan kelompok tekhnik diskusi yang dapat membantu siswa

Jika komputer atau tablet memiliki tampilan layar sentuh, Anda dapat menyentuh layar untuk berinteraksi dengan objek selain menggunakan mouse atau keyboard.. Beberapa tugas dasar