vii
MENTARI PUTRI
31606014 ABSTRACT
The development of word currently is marked by globalization flows in all fields that have considerable impact on the economic development in Indonesia. Meanwhile, the global economic development pace currently is marked by globalization in all fields accompanied by the high rates of population mobilization, money traffic, and goods in trade flows and increasingly intense of businesses competition. The large numbers of people that send goods to one another from distant locations makes this service very important. There are numerous companies specializing in freight shipment, be them public and private companies, one of which is PT Jalur Nugraha Ekakurir, a company specializing in freight shipment service. However, the operation of freight shipment is not risk free, resulting either from a negligence of the carrier or from anything beyond the control of human. Accordingly, it needs to study the contract between businesses and consumer so that the former can be accountable in accordance with the contract, and the remedial action the latter may take over any nonperformance committed by a business based on Buki III BW and Undang-Undang Number 8/1999 about Consumer Protection.
This research was conducted in a descriptive-analytical way by using a juridicial-normative approach method, and then the data was analyzed by a juridical-qualitative way. The data obtained as the findings of research was analyzed by a juridical-qualitative way, where legislations should not be in contradiction with one another, and by paying attention to the hierarchy of legislation and legal certainty.
vi KONSUMEN MENTARI PUTRI
31606014 ABSTRAK
Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala bidang yang membawa dampak cukup besar bagi perkembangan perekonomian Indonesia. Tingkat perkembangan ekonomi dunia dewasa ini ditandai dengan globalisasi di segala bidang yang diiringi pula oleh tingginya tingkat mobilitas penduduk, lalu lintas uang dan barang dalam arus perdagangan serta semakin pesatnya pertarungan bisnis. Banyaknya penduduk yang saling mengirim barang dari tempat yang jauh membuat jasa ini menjadi sangat penting. Banyak sekali perusahaan yang bergerak di bidang jasa pengiriman barang baik perusahaan negeri maupun perusahaan swasta, salah satunya yaitu PT. Jalur Nugraha Ekakurir yang bergerak di bidang jasa pengiriman barang. Akan tetapi Pelaksanaan pengiriman barang tidak terlepas dari resiko baik yang disebabkan oleh kelalaian pihak pengiriman maupun disebabkan oleh hal-hal di luar kemampuan manusia. Berdasarkan hal tersebut dapat dikaji tentang perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen sehingga konsumen dapat bertanggung jawab sesuai dengan perjanjian tersebut, serta tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen atas tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh pelaku usaha berdasarkan Buku III BW juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen.
Penelitian ini, dilakukan secara deskriptif analitis dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, data yang dianalisis secara yuridis kualitatif. Data hasil penelitian dianalisis secara yuridis kualitatif, yang mana peraturan perundang-undangan yang satu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundnag-undangan lainnya, serta memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan dan kepastian hukum.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi
salah satu ciri modernisasi yang senantiasa menuntut perubahan dalam
segala bidang kehidupan manusia terutama dalam bidang penyediaan
pelayanan yang berhubungan dengan data, informasi serta barang dan/atau
jasa. Perkembangan informasi dan teknologi dalam bidang penyediaan jasa
menuntut tersedianya pemenuhan kebutuhan masyarakat modern saat ini,
terutama kebutuhan akan kecepatan pelayanan, pengiriman maupun
penerimaan layanan jasa, informasi, serta barang, dan/atau dokumen.
Sejak dahulu, masyarakat sudah mengenal pentingnya pemenuhan akan
kebutuhan pertukaran dan pengiriman informasi serta barang dan/atau
dokumen. Orang menggunakan burung merpati sebagai sarana untuk
memenuhi kebutuhan komunikasi, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan
pertukaran barang dari satu tempat ke tempat lainnya, masyarakat jaman
dahulu menggunakan jalur laut seperti kapal ataupun jalur darat seperti
berjalan kaki atau menggunakan kereta.
Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di
segala bidang yang membawa dampak cukup besar bagi perkembangan
perekonomian Indonesia. Tingkat perkembangan ekonomi dunia dewasa ini
ditandai dengan globalisasi di segala bidang yang diiringi pula oleh tingginya
tingkat mobilitas penduduk, lalu lintas uang dan barang dalam arus
perdagangan serta semakin pesatnya pertarungan bisnis. Di sisi lain beban
tugas pemerintah semakin berat karena semakin tingginya tuntutan
peningkatan kesejahteraan rakyat.
Salah satu kebutuhan hidup yang tak kalah penting di era globalisasi ini
adalah kebutuhan akan jasa pengiriman barang. Banyaknya penduduk yang
saling mengirim barang dari tempat yang jauh membuat jasa ini menjadi
sangat penting. Banyak sekali perusahaan yang bergerak di bidang jasa
pengiriman barang baik perusahaan negeri maupun perusahaan swasta
seperti PT. Jalur Nugraha Ekakurir yang bergerak di bidang jasa pengiriman
barang. Perusahaan pengiriman barang menyediakan beberapa jenis paket pengiriman barang, oleh karena itu konsumen pengguna jasa dapat memilih
jenis paket pengiriman barang yang ada pada perusahaan jasa tersebut. Tarif
tersebut didasarkan pada lamanya paket barang yang kita akan kirimkan
misalnya paket satu hari sampai atau paket regular dengan jangkla waktu
pengiriman 2-7 hari.
Masalah yang timbul dan menjadi kendala dalam perusahan pengiriman
barang terjadi karena adanya keterlambatan pengiriman barang oleh PT Tiki
JNE yang mengakibatkan kerugian terhadap konsumen. Konsumen merasa
dirugikan karena pihak penanggung jawab dari PT Tiki JNE tidak memberi
konfirmasi atas keterlambatan yang terjadi, selain keterlambatan PT Tiki JNE
hilangnya paket barang salah satu contohnya adalah konsumen pengguna PT
Tiki JNE yaitu Bapak Eko Budiatmo yang berlokasi di Sumbawa Besar NTB.
Bapak Eko mengirimkan paket barang yang isinya cukup bernilai akan tetapi
selang beberapa waktu Bapak Eko tidak mendapatkan konfirmasi dari PT Tiki
JNE bahwa barang yang di kirimkan hilang, PT Tiki JNE berjanji akan
mengganti kerugian yang dialami oleh bapak Eko. Oleh karena itu dalam
pelaksanaan perjanjian pengiriman barang, tidak selamanya berjalan secara
lancar. Adakalanya pihak-pihak tersebut tidak melaksanakan isi dari perjanjian
atau wanprestasi baik yang dilakukan secara sengaja dan/atau kelalaian
maupun karena keadan memaksa dari pengangkut. Padahal, kewajiban dari
pengangkut tersebut adalah bertanggung jawab atas keselamatan barang
kiriman sampai tujuan penerima, yang mengakibatkan pemenuhan prestasi tidak dapat berjalan dengan baik mewajibkan kepada pihak perusahaan
pengiriman barang untuk bertanggung jawab, akan tetapi sering terlihat dalam
kehidupan sehari-hari adanya pihak perusahaan pengiriman barang yang tidak
bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan.
Berdasarkan uraian singkat diatas, maka penulis tertarik melakukan
penelitian dan menuangkan dalam bentuk skripsi dengan mengambil judul :
“TANGGUNG JAWAB HUKUM PERUSAHAAN PENGIRIMAN BARANG
ATAS TINDAKAN WANPRESTASI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BW
JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pada bagian
sebelumnya, maka penulis membatasi masalah-masalah yang dapat
dirumuskan, sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan perjanjian perusahaan pengiriman barang
atas terjadinya wanprestasi berdasarkan Buku III Burgerlijk Wetboek? 2. Bagaimana pelaksanaan tanggungjawab perusahaan pengiriman
barang terhadap perjanjiannya dalam hal terjadi wanprestasi berupa
keterlambatan, kerusakan atau kehilangan surat dan paket barang
berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan konsumen?
3. Tindakan hukum apa yang dapat dilakukan konsumen dalam hal
terjadi wanprestasi berupa keterlambatan, kerusakan atau kehilangan
surat dan paket barang berdasarkan Buku III BW juncto
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen?
C. Maksud Dan Tujuan
Sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan diatas, adapun
maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah, sebagai
1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perjanjian perusahaan
pengiriman barang apabila terjadi wanprestasi ditinjau berdasarkan
Buku III Burgerlijk Wetboek;
2. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pelaku usaha
jasa pengiriman barang atas perjanjian dalam hal terjadinya
wanprestasi berupa keterlambatan, kerusakan dan kehilangan paket
barang ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
3. Untuk mengetahui tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen atas tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh pelaku usaha
berdasarkan Buku III BW juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan konsumen.
D. Kegunaan Penulisan
Berikut ini merupakan kegunaan dari penelitian yang penulis lakukan,
antara lain:
1. Secara Teoritis
Penelitian dalam bentuk skripsi ini diharapkan dapat berguna untuk
memberikan sumbangan pemikiran, dalam rangka pengembangan
ilmu hukum pada umumnya dan secara khusus dalam ruang lingkup
hukum bisnis termasuk bidang perlindungan konsumen.
2. Secara Praktis
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi
dan masyarakat pada umumnya dalam rangka peningkatan dan
efisiensi serta efektifitas dalam bidang perlindungan konsumen sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
E. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan alinea kedua pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun
1945 menegaskan bahwa:
”…dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah
kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan
rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”
Konsep pemikiran utilitarianisme nampak melekat dalam pembukaan
alinea kedua, terutama pada makna ”adil dan makmur”. Sebagaimana
dipahami bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat, sebagaimana Bentham menjelaskan ”the great happiness for the greatest number”. Makna adil dan makmur, harus dipahami sebagai kebutuhan masyarakat Indonesia, baik yang bersifat rohani
ataupun jasmani. Secara yuridis hal ini tentu saja menunjukan seberapa besar
kemampuan hukum untuk dapat memberikan kemanfaatan kepada
masyarakat. Dengan kata lain, seberapa besar sebenarnya hukum mampu
melaksanakan atau mencapai hasil yang diinginkan, karena hukum dibuat
karena itu dapat disimpulkan bahwa makna yang tersirat dari kata adil dan
makmur dalam alinea kedua tersebut merupakan keadilan yang diperuntukan
bagi seluruh rakyat indonesia dalam berbagai sektor kehidupan.1
Guna melaksanakan pembangunan nasional yang bertujuan memajukan
kesejahteraan umum, hal ini sebagaimana tercantum dalam alinea keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yaitu :
”… maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan
1
Otje Salman S, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka kembali, PT Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm 156-157.
suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia…”
Kata mewujudkan merupakan kepastian hukum. Kepastian hukum
adalah hukum itu harus benar-benar ditegakkan/dilaksanakan. Menurut Austin
bahwa yang pasti hukumnya berbentuk undang-undang, karena dipengaruhi
oleh Jean Bodean tentang soft reality yang dikenal dengan analitycal jurisprudence yang berisi positif law (undang-undang) dan positif morality (bukan undang-undang). Selain itu, tidak hanya positivisme hukum saja,
sociological jurisprudence pun menyatakan bahwa hukum yang hidup baik yang tertulis maupun tidak tertulis, sebagaimana yang dinyatakan oleh August
Comte tentang Living Law dan juga hukum itu harus murni yuridis sesuai yang dinyatakan oleh Hans Kelsen bahwa perundang-undangan yang berlaku
Amanat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
menjelaskan tentang Pancasila yang terdiri dari lima sila. Pancasila secara
substansial merupakan konsep luhur dan murni. Luhur karena mencerminkan
nilai-nilai bangsa yang diwariskan turun temurun dan abstrak. Murni karena
kedalaman substansi yang menyangkut beberapa aspek pokok, baik agamis,
ekonomi, ketahanan, sosial dan budaya2
Hal ini berarti bahwa negara Indonesia adalah negara yang bedasar atas
hukum (rechstaat), bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machstaat). Negara berdasarkan konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme
(kekuasaan yang tidak terbatas). Negara menempatkan hukum sebagai dasar
kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan dilakukan di bawah
kekuasaan hukum. Konsep negara hukum ini menjadi sarana atau landasan
bagi pemerintah (dalam arti luas) dalam melakukan aktivitas dalam . Pancasila juga berbicara mengenai
tiga kepentingan yaitu kepentingan individu, masyarakat dan negara harus
seimbang. Hal tersebut yang mengharuskan pemerintah tidak hanya
melaksanakan tugas pemerintahan saja, melainkan pelayanan hukum melalui
pembangunan nasional termasuk pembangunan bidang ekonomi. Sistem
ekonomi nasional Indonesia mengacu pada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945.
Konsep negara hukum Indonesia terdapat dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa:
“Indonesia adalah negara hukum”.
2
penyelenggaraan negara (pemerintahan) yang senantiasa harus berdasarkan
atas asas sistem konstitusi (constitusionalisme) dan terwujudnya asas persamaan kedudukan di dalam hukum.3
Pengertian yang mendasar dari negara hukum adalah kekuasaan
tumbuh pada hukum dan semua orang sama dihadapan hukum4
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) disusun sebagai penjabaran dari dibentuknya
pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-, dengan
demikian segala bentuk tindakan yang dilakukan di Negara Indonesia harus
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, termasuk pada permasalahan
perlindungan konsumen yang berhubungan dengan bidang pengiriman
barang.
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun
2010-2014, menyebutkan bahwa :
“Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 -2014, yang selanjutnya disebut RPJM Nasional, adalah dokumen
perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun terhitung
sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2014”.
3
Supomo, Dikutip dalam Skripsi Juju Juhariah, Tinjauan Hukum tentang Tindak Pidana Penipuan Finansial melalui Media Elektronik Dihubungkan dengan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia, Bandung, 2007, hlm.9.
4
Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ghalia
Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam bentuk visi, misi, dan arah
pembangunan nasional.
Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional.
Pelaksanaannya harus mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur
yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri,
berkeadilan, sejahtera, maju, dan kukuh kekuatan moral dan etikanya.
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 merupakan
kelanjutan dari pembangunan sebelumnya untuk mencapai tujuan
pembangunan nasional. Pembangunan nasional memiliki 8 (delapan) misi,
yaitu:
1. Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika,
berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.
2. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.
3. Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum.
4. Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu.
5. Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan.
6. Mewujudkan Indonesia asri dan lestari.
7. Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri,
maju,kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional.
8. Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia
Strategi untuk melaksanakan visi dan misi tersebut dijabarkan secara
bertahap dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN). Saat ini, Indonesia sudah memasuki RPJMN Tahapan ke-2 (2010 –
2014). Visi Indonesia 2014 adalah terwujudnya Indonesia yang sejahtera,
demokrasi dan berkeadilan. Perwujudan visi Indonesia 2014 dijabarkan dalam
misi pembangunan 2010 – 2014 sebagai berikut :
1. Melanjutkan pembangunan menuju Indonesia yang sejahtera.
2. Memperkuat pilar-pilar demokrasi.
3. Memperkuat dimensi keadilan dalam semua bidang.
Upaya mewujudkan visi dan misi pembangunan nasional 2010–2014
ditetapkan 5 (lima) agenda utama pembangunan nasional tahun 2010–2014,
yaitu :
1. Agenda I, yaitu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan
rakyat.
2. Agenda II, yaitu perbaikan tata kelola pemerintahan.
3. Agenda III, yaitu penegakan pilar demokrasi.
4. Agenda IV, yaitu penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
5. Agenda V, yaitu pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.
Sistem yang demokratis harus disertai dengan tegaknya rule of law, oleh karena itu agenda penegakan hukum masih merupakan agenda yang penting
dalam periode 2010 – 2014. Wujud dari penegakan hukum adalah munculnya
kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Kepastian hukum akan
dianggap mengganggu masuknya investasi ke Indonesia adalah lemahnya
kepastian hukum, oleh karena itu penegakan hukum akan membawa dampak
positif bagi perbaikan iklim investasi yang pada gilirannya akan memberi
dampak positif bagi perekonomian Indonesia.
Hukum merupakan alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat,
mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif, artinya
adalah hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai.
Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat yang sedang
membangun karena disinipun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi
dan diamankan. Pengertian masyarakat yang sedang membangun adalah
masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi
demikian5. Menurut pendapat Roscoe Pond, hukum harus dapat membantu
proses perubahan masyarakat, law as a tool of social engineering6
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
.
Pengiriman barang didasarkan dengan adanya perjanjian. Perjanjian
dalam hukum positif Indonesia diatur dalam pasal 1313 Burgerlijk Wetboek
yang menyatakan ”suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Selanjutnya pada pasal 1320 KUHPerdata, yang menyatakan:
” untuk sahnya suatu perjanjian dibutuhkan empat syarat:
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. suatu hal tertentu
4. suatu sebab yang halal.”
5 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni,
Bandung, 2002, Hlm. 14. 6
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif artinya syarat
tersebut menyertai para pihak, apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka
perjanjian dapat dibatalkan, artinya para pihak dapat mengajukan pembatalan
perjanjian kepada hakim dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun (Pasal 1454
KUH Perdata), apabila tidak dilakukan permintaan pembatalan maka
perjanjian tersebut tetap berlaku mengikat bagi para pihak. Sedangkan syarat
yang ketiga dan keempat adalah syarat objektif yang tidak menyertai para
pihak, apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi
hukum, artinya bahwa perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada, oleh
karena itu tidak ada dasar bagi para pihak untuk menuntut pemenuhan
prestasi7
Hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia mengenal beberapa asas,
diantaranya adalah asas kebebasan berkontrak, yaitu asas yang menjelaskan bahwa setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam, dan isi
perjanjian sepanjang masih memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan juga
tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, serta
kesusilaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Ketentuan Pasal 1338 (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata ini menggambarkan bahwa Buku III KUH Perdata bersifat terbuka.
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, dalam hal perjanjian pengiriman
barang merupakan perjanjian yang mengikat antara perusahaan agen .
7
pengangkutan barang dan dokumen dengan konsumen yang tertarik untuk
menggunakan jasa pengangkutan barang/agen pengangkutan barang.
Setiap perjanjian sebagaimana telah dikemukakan diatas, selalu memuat
suatu hal tertentu, yaitu prestasi. Prestasi, adalah kewajiban yang harus
dipenuhi oleh seseorang di dalam setiap perikatan, baik perikatan yang
bersumber pada perjanjian, undang-undang maupun yang lainnya. Prestasi
sesuai dengan pasal 1234 KUH Perdata, menyebutkan :
“tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah
memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa
ada pihak yang dirugikan, akan tetapi ada kalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah
satu pihak.
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk.
Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan
kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti
yang telah ditentukan dalam perjanjian8
Adapun seorang debitur yang dapat dikatakan telah melakukan
wanprestasi ada 4 macam, yaitu :
.
9
1. Tidak memenuhi seluruh prestasi
8Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Pusat Penerbitan UT, Jakarta,2003,
hlm. 21. 9
2. tidak melaksanakan sebagian prestasi
3. tidak tepat pada waktu melaksanakan prestasi
4. keliru memenuhi prestasi
Oleh karena itu, apabila pihak perusahaan pengiriman barang tidak
melakukan salah satu prestasi atau lalai dalam melakukan prestasi maka
perusahaan barang tersebut dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi.
Perusahaan pengiriman barang dapat disebut juga dengan agen. Agen
disini lebih menitik beratkan kepada sifat jasanya saja yang bertujuan agar
mempermudah pengiriman barang dari seorang konsumen ke konsumen
lainnya di dalam negeri maupun di luar negeri. Istilah yang terdapat pada pasal
86 Ayat 1 KUHD, bahwa agen adalah orang atau perusahaan yang
pekerjaannya menyuruh/mencari untuk menyelenggarakan pengangkutan barang-barang muatan dagangan dan lain-lain10
1. Pelaku Usaha
.
Pihak-pihak dan istilah yang terkait di dalam tanggung jawab hukum
perusahaan pengiriman barang atas tindakan wanprestasi yaitu :
Pelaku usaha dalam dunia perekonomian lebih dikenal dengan istilah
pengusaha. Pengusaha adalah setiap orang atau badan usaha yang
menjalankan usaha memproduksi, menawarkan menyampaikan atau
mendistribusikan suatu produk kepada masyarakat luas selaku
konsumen. Pengusaha memiliki arti yang luas, tidak semata-mata
membicarakan produsen, tetapi juga pedagang perantara atau
10
pengusaha.11
Pelaku usaha merupakan salah satu dari pelaku ekonomi yang dibagi
dalam tiga kelompok pelaku usaha, yaitu :
sedangkan pengertian pelaku usaha sesuai dengan
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yaitu:
“Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”
12
a. Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai
berbagai kepentingan. Seperti perbankan, penyedia dana dan lain
sebagainya.
b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang
dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan
baku, bahan tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Terdiri
dari orang/badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/badan yang
memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan
pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa
angkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha berkaitan dengan
obat-obatan, kesehatan narkotika, dan lain sebagainya.
11
Mariam Darus, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku (standar), Kertas Kerja Pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, FE UI, Jakarta, 1980, Hlm. 57.
12
c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada
masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima,
warung, toko, supermarket, rumah sakit, “warung dokter”, usaha
angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya.
Pelaku usaha dalam penulisan ini adalah perusahaan pengiriman
barang. Pelaku usaha diberikan beberapa hak seperti yang tercantum dalam
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen yaitu :
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sebagai konsekuensi dari adanya hak-hak pelaku usaha, maka kepada
pelaku usaha juga dibebankan beberapa kewajiban dalam menjalankan
usahanya. Kewajiban pelaku usaha tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu :
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
2. Konsumen
Istilah Konsumen berasal dari alih bahasa yaitu dari kata consumer
(Inggris-Amerika), atau consument (Belanda). Secara harfiah arti kata dari consumer itu adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakanbarang13
13 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Diadit Media,
Jakarta, 2002. hlm . 3
.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK), yang dimaksudkan dengan pengertian
konsumen yaitu setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Penelitian ini, yang dimaksud dengan konsumen adalah para pengguna
jasa Perusahaan Pengiriman barang, baik pengguna jasa retail (individu)
ataupun korporat (pebisnis) yang mengadukan adanya keterlambatan,
Selama ini sudah banyak konsumen yang sudah dirugikan baik secara
materiil maupun immateril oleh pelaku usaha, namun dari pihak konsumen
kurang usahanya untuk menuntut hak-haknya. Kenyataan ini disebabkan
konsumen kurang menyadari hal-hal apa saja yang menjadi haknya dan masih
enggan untuk menjalani proses penuntutan hak-haknya yang lama dan rumit.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen memberikan penjelasan mengenai apa saja yang menjadi hak-hak
konsumen yang tercantum dalam Pasal 4, yaitu:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Suatu hubungan hukum akan menimbulkan hak dan kewajiban dari
masing-masing pihak. Sebelum konsumen mengajukan tuntutan terhadap
hak-haknya, sebaiknya konsumen melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.
Kewajiban konsumen yaitu untuk membayar harga barang dan/atau jasa yang
konsumen dengan produsen atau pengusaha. Pasal 5 UUPK menjelaskan apa
saja yang menjadi kewajiban konsumen, yaitu :
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Pelaksanaan pengiriman barang tidak terlepas dari resiko baik yang
disebabkan oleh kelalaian pihak pengiriman maupun disebabkan oleh hal-hal
di luar kemampuan manusia. Resiko yang disebabkan oleh kelalaian pihak
pengangkut, yang mengakibatkan pemenuhan prestasi tidak dapat berjalan
dengan baik mewajibkan kepada pihak pengiriman untuk bertanggung jawab.
Bentuk-bentuk tanggung jawab pelaku usaha dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, antara lain :14
1. Contractual liablity, yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami
konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan.
2. Product liability, yaitu tanggung jawab perdata terhadap produk secara langsung dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami
konsumen akibat menggunakan produk yang dihasilkan.
Pertanggungjawaban produk tersebut didasarkan pada Perbuatan
Melawan Hukum (tortius liability). Unsur-unsur dalam tortius liability
14
antara lain adalah unsur perbuatan melawan hukum, kesalahan,
kerugian dan hubungan kasualitas antara perbuatan melawan hukum
dengan kerugian yang timbul.
3. Professional liability, tanggung jawab pelaku usaha sebagai pemberi jasa atas kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat
memanfaatkan atau menggunakan jasa yang diberikan.
4. Criminal liability, yaitu pertanggungjawaban pidana dari pelaku usaha sebagai hubungan antara pelaku usaha dengan negara.
Berdasarkan Pasal 19 Undang Undang Perlindungan Konsumen ada
lima tanggung jawab pelaku usaha, yaitu:
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugin konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan;
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan sesuai dengan perundangan yang berlaku;
3. Pemberian ganti rugi sebagaimana yang dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal transaksi;
4. Pemberian ganti rugi sebagimanan dimaksud dalam Ayat (1) dan Ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan;
5. Kententuan sebagaimaan dimaksud pada Ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan konsumen.
Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengemukakan
bahwa:
Ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”
Menurut Pasal 27 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pelaku
usaha yang memproduksi barang atau menyediakan layanan/jasa dapat
dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen,
apabila konsumen yang telah dirugikan tersebut memenuhi
syarat-syarat/ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak
dimaksudkan untuk diedarkan;
b. Cacat barang timbul di kemudian hari;
c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kulifikasi barang;
d. Kelalaian diakibatkan oleh konsumen;
e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang
dibeli atau dilewatinya jangka waktu yang diperjanjikan.
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan diatas, dalam
penelitian ini penulis mencoba menganalisa guna menemukan jawaban dari
permasalahan-permasalahan yang timbul sebagaimana telah disebutkan
dalam identifikasi masalah.
F. Metode Penelitian
Langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini adalah
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu suatu metode penelitian
yang dilakukan dengan cara menggambarkan data dan fakta baik
berupa :
a. Data sekunder dengan bahan hukum primer yaitu
perundang-undangan yang mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha,
diantaranya Buku III BW dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
b. Data sekunder bahan hukum sekunder berupa doktrin atau
pendapat para ahli terkemuka.
c. Data sekunder bahan tersier berupa bahan-bahan yang didapat
dari majalah, brosur, artikel-artikel, surat kabar dan internet. 2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan dalam penulisan hukum ini yaitu secara yuridis
normatif. Metode yuridis Normatif adalah metode dimana hukum
dikonsepsikan sebagai norma, asas atau dogma-dogma15. Penafsiran
hukum yang dilakukan yaitu dengan melakukan penafsiran
gramatikal, yaitu penafsiran yang dilakukan dengan kata-kata atau
tata kalimat yang digunakan pembuat undang-undang dalam
peraturan perundang-undangan tertentu.
15 Hetty Hassanah, Penyusunan Penulisan Hukum Pada Fakultas Hukum Unikom,
3. Tahap Penelitian
a. Studi kepustakaan (Library Research), dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang terdiri dari :
1) Bahan hukum primer yaitu berupa Peraturan
Perundang-undangan, seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
2) Bahan hukum sekunder yaitu berupa doktrin-doktrin dan
buku-buku yang berkaitan dengan masalah pengangkutan dan
pengiriman barang.
3) Bahan hukum tersier yaitu berupa majalah, surat kabar, serta
karya ilmiah mengenai perlindungan konsumen dalam jasa pengiriman barang.
b. Penelitian lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan dilakukan untuk menunjang dan melengkapi
studi kepustakaan dengan cara wawancara terstruktur dengan
pihak-pihak terkait.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data diperoleh dari peraturan
perundang-undangan, buku-buku yang berkaitan dengan tanggung jawab
perusahaan pengiriman barang, artikel dari beberapa surat kabar
mana keseluruhannya berkaitan dengan materi dalam pembahasan
penulisan ini.
5. Analisis Data
Data sekunder yang diperoleh akan dianalisis secara yuridis kualitatif
yang meliputi :
a. Perundang-undangan yang satu tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lain.
b. Memperhatikan hierarkis peraturan perundang-undangan, dimana
peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
derajatnya lebih tinggi.
c. Kepastian hukum, dalam arti perundang-undangan yang diteliti betul-betul dilaksanakan dan didukung oleh penegak hukum.
6. Lokasi Penelitian
a. Instansi
1) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
Jl. Pancoran Barat VII No. 1 Rt.008/06 Kel. Duren Tiga Kec.
Pancoran Jakarta Selatan.
2) PT TIKI Jalur Nugraha Ekakurir
Jl. Kawaluyaan Ruko 1-4 Bandung.
b. Perpustakaan
1) Perpustakaan Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) Jl.
2) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Jl. Dipati
Ukur No.35 Bandung.
c. Website
1)
2)
BAB II
ASPEK HUKUM PERJANJIAN JASA PENGIRIMAN BARANG, PELAKU USAHA JASA PENGIRIMAN BARANG DAN KONSUMEN PENGGUNA JASA
PENGIRIMAN BARANG
A. ASPEK HUKUM PERJANJIAN PENGIRIMAN BARANG
Pada dasarnya perjanjian pengiriman barang telah diatur dalam buku III
Burgerlijk Wetboek tentang Perikatan. Menurut Pasal 1313 Burgerlijk Wetboek (BW)menyatakan bahwa :
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Sementara itu Subekti, mengatakan bahwa, perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang
tersebut saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal yang menimbulkan
suatu perikatan antara dua pihak yang membuatnya15. Menurut Wirjono
Prodjodikoro, perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta
benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji untuk melakukan
sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak
menuntut pelaksanaan janji itu16
15Subekti. R, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Inter Masa, Jakarta, 2001, hlm.22.
16
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1960, hlm.9
. Sedangkan R. Setiawan mengemukakan
bahwa, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih17. Menurut Abdulkadir Muhamad, perjanjian adalah suatu
persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.18
1. Kesepakatan para pihak
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) Burgerlijk Wetboek yang mengatakan bahwa semua Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak ini
maksudnya bahwa setiap orang bebas menentukan bentuk, macam dan isi
perjanjian, sepanjang tetap memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek bahwa asas kebebasan berkontrak tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Berdasarkan Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek dijelaskan bahwa
syarat-syarat sah nya suatu perjanjian yaitu :
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna
bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada
persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak
masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan,
kekeliruan dan penipuan. Persetujuan dapat dinyatakan secara tegas
maupun secara diam-diam.19
17
Op. Cit, Pokok-Pokok Hukum Perikatan,hlm.49.
18 Abdulkadir Muhamad, Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet. II,
1990 hlm.78. 19
Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang Undang Hukum Perdata Buku III tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung, 1983, hlm.6
Asas konsensualisme menganggap
bahwa perjanjian terjadi seketika setelah ada kata sepakat, adapun
beberapa teori-teori yang akan menjelaskan hal tersebut, antara lain
:20
Cakap untuk dapat melakukan perbuatan hukum yaitu diantaranya
harus telah dewasa, berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 a. Uitings theorie atau teori saat melahirkan kemauan, yang artinya
bahwa perjanjian terjadi apabila atas penawaran tertentu telah
dilahirkan kemauannya dari pihak lain. Kemauan dari pihak lain
tersebut dapat dikatakan telah dilahirkan pada waktu pihak lain
mulai menulis surat penerimaan atau menyatakan kemauannya.
b. Verzend theorie atau teori saat mengirim surat penerimaan, menjelaskan bahwa perjanjian terjadi pada saat surat penerimaan
dikirimkan kepada penawar.
c. Onvangs theorie atau teori saat menerima surat penerimaan, artinya bahwa perjanjian terjadi pada saat penawar menerima surat
penerimaan dari pihak lain.
d. Vernemings theorie atau teori saat mengetahui surat penerimaan, menerangkan bahwa perjanjian baru terjadi apabila si penawar
telah membaca atau telah mengetahui isi surat penerimaan
tersebut.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
20 Riduan Syahrani, Beluk Beluk Dan Asas Asas Hukum Perdata, Alumni,
Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan bahwa orang yang telah
dewasa adalah telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau telah
menikah. Kemudian orang yang dinyatakan cakap untuk melakukan
perbuatan hukum dalam hal ini membuat perjanjian ialah orang yang
sehat akal pikiran yaitu orang yang tidak dungu atau tidak memiliki
keterbelakangan mental, tidak sakit jiwa atau gila dan juga bukan
orang yang pemboros (Pasal 433 Burgerlijk Wetboek). Selain itu orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum seperti
membuat perjanjian adalah orang yang tidak dilarang oleh suatu
peraturan perundang-undangan untuk melakukan perbuatan hukum
tertentu, seperti orang yang sedang pailit dilarang untuk mengadakan
perjanjian utang-piutang. 3. Suatu hal tertentu
Prestasi ialah sesuatu hal tertentu yang dapat menjadi objek dalam
suatu perjanjian. Berdasarkan Pasal 1234 Burgerlijk Wetboek Prestasi terdiri dari memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat
sesuatu. Syarat-syarat objek suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1333
Burgerlijk Wetboek dimana suatu perjanjian harus :
a. Diperkenankan, artinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.
b. Tertentu atau dapat ditentukan, artinya prestasi tersebut harus
dapat ditentukan dengan jelas mengenai jenis maupun jumlahnya,
c. Mungkin dilakukan, artinya prestasi tersebut harus mungkin
dilakukan menurut kemampuan manusia pada umumnya dan
kemampuan debitur pada khususnya.
4. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat untuk
sahnya suatu perjanjian. Berdasarkan Pasal 1335 BW bahwa suatu
perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab
yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.
Dua syarat yang pertama merupakan syarat yang bersifat subyektif,
sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat yang bersifat obyektif.
Subjektif dan objektif yaitu21
21
Loc. Cit. Catatan Hukum Perikatan. :
1. Syarat subjektif untuk sahya perjanjian yaitu kesepakatan para pihak
yang melakukan perjanjian dan cakap hukum. Apabila syarat subjektif ini tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan artinya selama
para pihak tidak membatalkan perjanjian , maka perjanjian masih
tetap berlaku.
2. Syarat obyektif untuk sahnya perjanjian yaitu sesuatu hal tertentu dan
suatu sebab yang halal, hal ini berhubungan dengan objek yang
diperjanjikan dan yang akan dilaksanakan oleh para pihak sebagai
prestasi atau utang dari para pihak. Apabila syarat objektif tidak
terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum artinya sejak semula
Para pihak dalam melakukan perjanjian baik itu pelaku usaha sebagai
produsen maupun konsumen, dalam melakukan perjanjian harus memenuhi
unsur-unsur perjanjian. Adapun unsur-unsur dari perjanjian tersebut adalah
sebagai berikut:22
1. unsur esensialia
merupakan sifat uang harus ada dalam perjanjian. Sifat yang
menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve oordeel), seperti, persetujuan antara para pihak dan objek perjanjian. 2. unsur naturalia
merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian, sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti, menjamin tidak ada cacat
dalam benda yang dijual (vrijwaring). 3. unsur aksidentialia
merupakan sifat yang melekat pada perjanjian dalam hal secara tegas
diperjanjikan oleh para pihak, seperti, ketentuan-ketentuan mengenai
domisili para pihak.
Rumusan ketentuan dalam Burgerlijk Wetboek dikenal beberapa macam perjanjian diantaranya yaitu :23
1. Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban
pokok bagi kedua belah pihak.
22 Mariam Darus Badruljaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, hlm.74 23
2. Perjanjian Cuma-Cuma
Berdasarkan Pasal 1314 ayat (1) Burgerlijk Wetboek dijelaskan bahwa suatu persetujuan dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban
dan pada ayat (2) dijelaskan bahwa suatu persetujuan dengan
cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu
memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain tanpa menerima
manfaat bagi dirinya sendiri.
3. Perjanjian Atas Beban
Berdasarkan Pasal 1314 ayat (3) Burgerlijk Wetboek disebutkan bahwa suatu perjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang
mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu artinya bahwa dalam perjanjian atas beban terhadap prestasi pihak yang satu selalu terdapat kontra
prestasi dari pihak yang lain.
4. Perjanjian Bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri,
maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan
diberi nama oleh pembentuk undang-undang.
5. Perjanjian Tidak Bernama
Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur dalam
Burgerlijk Wetboek dan terdapat di dalam masyarakat dan tetapi jumlah perjanjian ini disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang
pemasaran dan perjanjian pengelolaan. Lahirnya perjanjian ini
berdasarkan asas kebebasan berkontrak.
6. Perjanjian Obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat,
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada
pihak lain.
7. Perjanjian Kebendaan (Zakelijk)
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang
menyerahkan haknya atas suatu benda kepada pihak lain, yang
membebankan kewajiban (oblige) pihak itu menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering, transfer). Penyerahannya itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan.
8. Perjanjian Konsensual
Perjanjian konsensual adalah persesuaian kehendak untuk
mengadakan perikatan dimana diantara kedua belah pihak telah
tercapai kesepakatan. Menurut Burgerlijk Wetboek perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat ( sesuai dengan Pasal 1338
Burgerlijk Wetboek). 9. Perjanjian Riil
Didalam Burgerlijk Wetboek ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang, misalnya
perjanjian penitipan barang, pinjam pakai. Perjanjian yang terakhir ini
10.Perjanjian Liberatoir
Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang
ada, misalnya pembebasan utang (kwijtschelding). Hal ini termuat dalam Pasal 1438 Burgerlijk Wetboek.
11.Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomst)
Perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian mana yang
berlaku diantara mereka.
12.Perjanjian Untung-untungan
Perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanjian
asuransi Pasal 1774 Burgerlijk Wetboek. 13.Perjanjian Publik
Perjanjian publik yaitu keseluruhan perjanjian atau sebagian perjanjian yang dikuasai oleh hukum publik, dimana salah satu pihak
yang bertindak adalah pemerintah dan pihak lainnya swasta.
Keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan,
(Subordinated) dan tidak berada dalam kedudukan yang sama ( Co-ordinated), misalnya perjanjian ikatan dinas.
14.Perjanjian Campuran (Contractus Sui Generis)
Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai
unsur perjanjian, perjanjian campuran itu ada berbagai paham.
a. Paham pertama mengatakan bahwa perjanjian khusus diterapkan
secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap
b. Paham kedua mengatakan ketentua-ketentuan yang dipakai
adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling
menentukan (teori absorbsi).
Hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia mengenal beberapa asas
dalam perjanjian, yaitu24
Asas ini tersirat dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek dan Pasal 1338 ayat (1) Burgerlijk Wetboek. Pada Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek
ditunjukan dengan adanya syarat-syarat sah perjanjian yang pertama
kesepakatan para pihak untuk membuat perjanjian, dalam hal ini :
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) Burgerlijk Wetboek yang mengatakan bahwa semua Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak
ini maksudnya bahwa setiap orang bebas menentukan bentuk,
macam dan isi perjanjian, sepanjang tetap memenuhi syarat sahnya
perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek
bahwa asas kebebasan berkontrak tidak melanggar ketertiban umum
dan kesusilaan.
2. Asas Konsensualisme
24
berdasarkan asas konsensualisme, perjanjian dianggap ada seketika
setelah ada kata sepakat, yang berarti kesepakatan tersebut berlaku
sebagai undang-undangnya bagi para pembuatnya sebagaimana
tersirat dalam Pasal 1338 (1) Burgerlijk Wetboek.
3. Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel)
Dalam perjanjian kepercayaan sangat dibutuhkan agar kedua belah
pihak satu sama lain memegang janjinya, untuk memenuhi
prestasinya masing-masing. Tanpa adanya kepercayaan, maka
perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Kepercayaan
diantara kedua pihak mempunyai kekuatan mengikat sebagai
undang-undang.
4. Asas Kekuatan Mengikat
Dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Para pihak dalam perjanjian tidak semata-mata terbatas pada apa yang
diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain
sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.
5. Asas Persamaan Hukum
Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan dan
mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain
dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada
perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain.
6. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan,
asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan
jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan
debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan
perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini, bahwa
kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk
memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur
seimbang.
7. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu
yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.
8. Asas Moral
Asas ini telihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan
sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk
9. Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 Burgerlijk Wetboek, dalam hal ini berkaitan dengan isi perjanjian.
10. Asas Kebiasaan
Bahwa dalam suatu perjanjian tidak hanya menyangkut hal-hal yang
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan saja tapi juga
menyangkut kebisaan yang lazim diikuti.
Berdasarkan uraian di atas jasa perusahaan pengiriman barang
termasuk kedalam perjanjian sewa-menyewa. Perjanjian sewa-menyewa yaitu
suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
memberikan kepada pihak yang lain suatu kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh
pihak tersebut terakhir disanggupi pembayarannya terdapat dalam Pasal 1548
Burgerlijk Wetboek. Oleh karena itu apabila perusahaan pengiriman barang tidak melakukan salah satu isi perjanjian maka perusahaan dianggap telah
melakukan wanprestasi.
Prestasi adalah suatu yang wajib harus dipenuhi dalam setiap perikatan,
prestasi merupakan isi daripada perikatan, apabila debitur tidak memenuhi
prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian maka ia
dikatakan wanprestasi.
Sementara itu, dengan wanprestasi, atau pun yang disebut juga dengan
prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak
terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang
bersangkutan25
Menurut Riduan Syahrani, wanpresatsi seorang debitur dapat berupa 4
(empat) macam, yaitu: .
26
1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi, artinya debitur sama sekali
tidak memenuhi perikatan atau dengan kata lain debitur tidak
melaksanakan isi perjanjian sebagaima mestinya.
2. Tidak tunai memenuhi prestasi atau prestasi dipenuhi sebagian,
artinya bahwa debitur telah memenuhi prestasi tetapi hanya sebagian
saja, sedangkan sebagian yang lain belum dibayarkan atau belum
dilaksanakan.
3. Terlambat memenuhi prestasi, bahwa debitur tidak memenuhi prestasi pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian, walapun
ia memenuhi prestasi secara keseluruhan.
4. Keliru memenuhi prestasi, artinya bahwa debitur memenuhi prestasi
dengan barang atau obyek perjanjian yang salah. Dengan kata lain
prestasi yang dibayarkan bukanlah yang ditentukan dalam perjanjian
ataupun bukan pula yang diinginkan oleh kreditur.
Sedangkan menurut Mariam Darus badrulzaman, dijelaskan bahwa
wujud dari tidak memenuhi perikatan itu ada 3 (tiga) macam, yaitu debitur
25 Prestasi dan Wanprestasi Dalam Hukum Kontrak
pada tanggal 31 Maret 2011, pukul 21.44 WIB 26
sama sekali tidak memenuhi prestasi, debitur terlambat memenuhi prestasi,
serta debitur keliru atau tidak pantas memenuhi prestasi27
1. Memberikan sesuatu;
.
Sebagai konsekuensi dari tidak dipenuhinya perikatan ialah bahwa
konsumen atau pihak lain yang dirugikan dapat meminta ganti kerugian atas
biaya-biaya yang telah dikeluarkannya, kerugian atau kerusakan barang
miliknya. Di dalam Pasal 1267 Burgerlijk Wetboek dapat memilih diantara beberapa kemungkinan tuntutan, antara lain yaitu pemenuhan perikatan,
pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian, ganti kerugiannya saja,
pembatalan perjanjian, ataupun pembatalan perjanjian dengan ganti kerugian.
Apabila konsumen hanya menuntut ganti kerugian saja maka ia
dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pemenuhan dan
pembatalan perjanjian, sedangkan apabila konsumen hanya menuntut
pemenuhan perikatan maka tuntutan ini sebenarnya bukan sebagai sanksi atas kelalaian, sebab pemenuhan perikatan memang sudah dari semula
menjadi kesanggupan pelaku usaha untuk melaksanakannya.
Kewajiban ganti rugi bagi pelaku usaha yang didasari oleh
undang-undang menyatakan bahwa pelaku usaha harus terlebih dahulu dinyatakan
berada dalam keadaan lalai (ingebrekestelling). Lembaga “pernyataan lalai” ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase, di mana
pelaku usaha dinyatakan ingkar janji atau telah melakukan wanprestasi. Pasal
1234 Burgerlijk Wetboek menyatakan bahwa Perikatan ditujukan untuk :
27
2. Berbuat sesuatu;
3. Tidak berbuat sesuatu.suatu.
Menurut Mariam Darus Badrul Zaman, maksud dari keadaan lalai ialah
peringatan atau penyertaan dari kreditur tentang saat selambat-lambatnya
debitur wajib memenuhi prestasi apabila saat debitur dilampauinya maka
debitur dinyatakan telah ingkar janji atau Wanprestasi28. Sedangkan Ridwan
Syahrani, berpendapat bahwa perjanjian dimana prestasinya berupa memberi
sesuatu atau untuk berbuat sesuatu, apabila debitur tidak memenuhi
kewajibannya, maka untuk pemenuhan prestasi tersebut debitur harus lebih
dahulu diberi teguran agar ia memenuhi kewajibannya, debitur yang tidak
memenuhi prestasi setelah diberi teguran maka ia dianggap telah wanprestasi29
Ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan kepada pelaku usaha
yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu perikatan untuk memberikan
penggantian kerugian berupa biaya dan rugi. Biaya adalah segala pengeluaran
atau perongkosan yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh konsumen, .
Pada mulanya pengaturan mengenai bagaimana caranya memberikan
teguran terhadap pelaku usaha untuk memenuhi prestasi diatur di dalam Pasal
1238 Burgerlijk Wetboek, namun setelah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 3 tahun 1963 tertanggal 5 september 1963,
maka ketentuan dalam pasal 1238 tersebut menjadi tidak berlaku lagi.
28
Loc. Cit 29
sedangkan rugi adalah segala kerugian karena musnahnya atau rusaknya
barang-barang milik konsumen akibat kelalaian pelaku usaha30
Mariam Darus Badrulzaman, memberikan pengertian tentang rugi
sebagai berikut, apabila undang-undang menyebutkan rugi maka yang
dimaksud adalah kerugian nyata yang dapat diperkirakan pada saat perikatan
itu diadakan, yang timbul sebagai akibat ingkar janji, jumlahnya ditentukan
dengan perbandingan keadaan kekayaan antara sebelum dan sesudah terjadi
ingkar janji
.
31
1. Overmacht
.
Pelaku usaha yang dianggap telah melakukan wanprestasi dapat dituntut
untuk membayar ganti kerugian, namun jumlah besarnya ganti kerugian yang
dapat dituntut pemenuhannya kepada pelaku usaha dengan dibatasi oleh
undang-undang.
Beberapa alasan yang dapat menjadikan pelaku usaha melakukan wanprestasi yaitu :
2. Alasan timbal balik
3. Pelepasan Hak
Pelaku usaha pengiriman barang dalam melakukan wanprestasi dapat
mempunyai alasan overmacht relative yaitu suatu keadaan memaksa yang dapat dicari jalan keluarnya32.
30 Ibid., hlm. 232. 31
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hlm. 21. 32
B. ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Sejarah lahirnya perlindungan konsumen di Indonesia ditandai dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen pada tanggal 20 April 1999. Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tersebut mulai berlaku efektif pada 20 April 2000, tepat setahun
setelah tanggal pengesahan. Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tersebut, kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan menuju caveat venditor.33
Prinsip-prinsip mengenai kedudukan konsumen dalam hubungan dengan
pelaku usaha berdasarkan doktrin atau teori yang dikenal dalam
perkembangan sejarah hukum perlindungan konsumen, antara lain:34
1. Let the buyer beware (caveat emptor)
Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor merupakan dasar dari lahirnya sengketa dibidang transaksi konsumen. Asas ini
berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak
yang sangat seimbang, sehingga konsumen tidak memerlukan
perlindungan. Prinsip ini mengandung kelemahan, bahwa dalam
perkembangan konsumen tidak mendapat informasi yang memadai
untuk menentukan pilihan terhadap barang dan/atau jasa yang
dikonsumsinya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan konsumen atau ketidakterbukaan pelaku usaha
terhadap produk yang ditawarkannya. Dengan demikian, apabila
33Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2006,
hlm 62. 34
konsumen mengalami kerugian, maka pelaku usaha dapat berdalih
bahwa kerugian tersebut akibat dari kelalaian konsumen sendiri.
2. The due care theory
Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban
untuk berhati-hati dalam memasarkan produk, baik barang maupun
jasa. Selama pelaku usaha berhati-hati dengan produknya, maka ia
tidak dapat dipersalahkan. Pada prinsip ini berlaku pembuktian siapa
mendalilkan maka dialah yang membuktikan. Hal ini sesuai dengan
jiwa pembuktian pada hukum privat di Indonesia yaitu pembuktian ada
pada penggugat, sesuai dengan pasal 1865 BW yang secara tegas
menyatakan bahwa barangsiapa yang mendalilkan mempunyai suatu
hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa, maka diwajibkan mebuktikan
adanya hak atau peristiwa tersebut.
3. The privity of contract
Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk
melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara
mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak
dapat disalahkan diluar hal-hal yang diperjanjikan. Dengan demikian
konsumen dapat menggugat berdasarkan wanprestasi. Hal ini sesuai
dengan ketentuan dalam pasal 1340 BW yang menyatakan tentang
ruang lingkup berlakunya perjanjian hanyalah antara pihak-pihak yang
Selanjutnya, menurut Az Nasution definisi hukum konsumen ialah
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan
dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan berkaitan dengan
barang dan atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup. Sedangkan hukum
perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang
mengatur asas-asas atau kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi
kepentingan konsumen35
Penegakan hukum perlindungan konsumen merupakan bagian penting
yang tidak dapat dipisahkan dari Negara Indonesia, sebab hukum sebagai
tolak ukur dalam pembangunan nasional diharapkan mampu memberikan kepercayaan terhadap masyarakat dalam melakukan pembaharuan secara
menyeluruh di berbagai aspek. Undang Undang Dasar Tahun 1945
menyatakan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
Kaidah ini mengandung makna bahwa hukum di negara ini ditempatkan pada
posisi yang strategis didalam ketatanegaraan. Hal ini bertujuan agar hukum
sebagai suatu sistem dapat berjalan dengan baik dan benar didalam
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, maka diperlukan
institusi-institusi penegak hukum sebagai instrumen penggeraknya. Untuk
mewujudkan suatu negara hukum tidak saja diperlukan norma-norma hukum . Selain itu, berdasarkan Pasal 1 Angka 1
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa perlindungan konsumen
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen.
35 Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia
atau peraturan perundang-undangan sebagai substansi hukum, tetapi juga
diperlukan lembaga atau badan penggeraknya sebagai struktur hukum dengan
didukung oleh perilaku hukum masyarakat sebagai budaya hukum.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa Konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan/atau jasa yang dalam masyarakat, baik bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Definisi lain dikemukakan oleh Kotler sebagai berikut:36
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus ”Consumers are individuals and households for personal use, producers are individual and organizations buying for the purpose of pruducing” Konsumen adalah individu dan kaum rumah tangga yang melakukan
pembelian untuk tujuan penggunaan personal, produsen adalah individu atau
organisasi yang melakukan pembelian untuk tujuan produksi. Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa perlindungan
konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan
keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Penjelasan mengenai pasal
tersebut menyebutkan bahwa pelindungan konsumen diselenggarakan
sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam
pembangunan nasional, yaitu:
36
memberikan manfaat sebesar besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materiil ataupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.
Selanjutnya apabila memperhatikan substansi Pasal 2 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen berserta penjelasannya, tampak bahwa
perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu