• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Hukum Perusahaan Pengiriman Barang Atas Tindakan Wanprestasi Dihubungkan Dengan III Buku BW Juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tanggung Jawab Hukum Perusahaan Pengiriman Barang Atas Tindakan Wanprestasi Dihubungkan Dengan III Buku BW Juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

vii

MENTARI PUTRI

31606014 ABSTRACT

The development of word currently is marked by globalization flows in all fields that have considerable impact on the economic development in Indonesia. Meanwhile, the global economic development pace currently is marked by globalization in all fields accompanied by the high rates of population mobilization, money traffic, and goods in trade flows and increasingly intense of businesses competition. The large numbers of people that send goods to one another from distant locations makes this service very important. There are numerous companies specializing in freight shipment, be them public and private companies, one of which is PT Jalur Nugraha Ekakurir, a company specializing in freight shipment service. However, the operation of freight shipment is not risk free, resulting either from a negligence of the carrier or from anything beyond the control of human. Accordingly, it needs to study the contract between businesses and consumer so that the former can be accountable in accordance with the contract, and the remedial action the latter may take over any nonperformance committed by a business based on Buki III BW and Undang-Undang Number 8/1999 about Consumer Protection.

This research was conducted in a descriptive-analytical way by using a juridicial-normative approach method, and then the data was analyzed by a juridical-qualitative way. The data obtained as the findings of research was analyzed by a juridical-qualitative way, where legislations should not be in contradiction with one another, and by paying attention to the hierarchy of legislation and legal certainty.

(2)

vi KONSUMEN MENTARI PUTRI

31606014 ABSTRAK

Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di segala bidang yang membawa dampak cukup besar bagi perkembangan perekonomian Indonesia. Tingkat perkembangan ekonomi dunia dewasa ini ditandai dengan globalisasi di segala bidang yang diiringi pula oleh tingginya tingkat mobilitas penduduk, lalu lintas uang dan barang dalam arus perdagangan serta semakin pesatnya pertarungan bisnis. Banyaknya penduduk yang saling mengirim barang dari tempat yang jauh membuat jasa ini menjadi sangat penting. Banyak sekali perusahaan yang bergerak di bidang jasa pengiriman barang baik perusahaan negeri maupun perusahaan swasta, salah satunya yaitu PT. Jalur Nugraha Ekakurir yang bergerak di bidang jasa pengiriman barang. Akan tetapi Pelaksanaan pengiriman barang tidak terlepas dari resiko baik yang disebabkan oleh kelalaian pihak pengiriman maupun disebabkan oleh hal-hal di luar kemampuan manusia. Berdasarkan hal tersebut dapat dikaji tentang perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen sehingga konsumen dapat bertanggung jawab sesuai dengan perjanjian tersebut, serta tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen atas tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh pelaku usaha berdasarkan Buku III BW juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen.

Penelitian ini, dilakukan secara deskriptif analitis dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, data yang dianalisis secara yuridis kualitatif. Data hasil penelitian dianalisis secara yuridis kualitatif, yang mana peraturan perundang-undangan yang satu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundnag-undangan lainnya, serta memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan dan kepastian hukum.

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi

salah satu ciri modernisasi yang senantiasa menuntut perubahan dalam

segala bidang kehidupan manusia terutama dalam bidang penyediaan

pelayanan yang berhubungan dengan data, informasi serta barang dan/atau

jasa. Perkembangan informasi dan teknologi dalam bidang penyediaan jasa

menuntut tersedianya pemenuhan kebutuhan masyarakat modern saat ini,

terutama kebutuhan akan kecepatan pelayanan, pengiriman maupun

penerimaan layanan jasa, informasi, serta barang, dan/atau dokumen.

Sejak dahulu, masyarakat sudah mengenal pentingnya pemenuhan akan

kebutuhan pertukaran dan pengiriman informasi serta barang dan/atau

dokumen. Orang menggunakan burung merpati sebagai sarana untuk

memenuhi kebutuhan komunikasi, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan

pertukaran barang dari satu tempat ke tempat lainnya, masyarakat jaman

dahulu menggunakan jalur laut seperti kapal ataupun jalur darat seperti

berjalan kaki atau menggunakan kereta.

Perkembangan dunia dewasa ini ditandai dengan arus globalisasi di

segala bidang yang membawa dampak cukup besar bagi perkembangan

perekonomian Indonesia. Tingkat perkembangan ekonomi dunia dewasa ini

(4)

ditandai dengan globalisasi di segala bidang yang diiringi pula oleh tingginya

tingkat mobilitas penduduk, lalu lintas uang dan barang dalam arus

perdagangan serta semakin pesatnya pertarungan bisnis. Di sisi lain beban

tugas pemerintah semakin berat karena semakin tingginya tuntutan

peningkatan kesejahteraan rakyat.

Salah satu kebutuhan hidup yang tak kalah penting di era globalisasi ini

adalah kebutuhan akan jasa pengiriman barang. Banyaknya penduduk yang

saling mengirim barang dari tempat yang jauh membuat jasa ini menjadi

sangat penting. Banyak sekali perusahaan yang bergerak di bidang jasa

pengiriman barang baik perusahaan negeri maupun perusahaan swasta

seperti PT. Jalur Nugraha Ekakurir yang bergerak di bidang jasa pengiriman

barang. Perusahaan pengiriman barang menyediakan beberapa jenis paket pengiriman barang, oleh karena itu konsumen pengguna jasa dapat memilih

jenis paket pengiriman barang yang ada pada perusahaan jasa tersebut. Tarif

tersebut didasarkan pada lamanya paket barang yang kita akan kirimkan

misalnya paket satu hari sampai atau paket regular dengan jangkla waktu

pengiriman 2-7 hari.

Masalah yang timbul dan menjadi kendala dalam perusahan pengiriman

barang terjadi karena adanya keterlambatan pengiriman barang oleh PT Tiki

JNE yang mengakibatkan kerugian terhadap konsumen. Konsumen merasa

dirugikan karena pihak penanggung jawab dari PT Tiki JNE tidak memberi

konfirmasi atas keterlambatan yang terjadi, selain keterlambatan PT Tiki JNE

(5)

hilangnya paket barang salah satu contohnya adalah konsumen pengguna PT

Tiki JNE yaitu Bapak Eko Budiatmo yang berlokasi di Sumbawa Besar NTB.

Bapak Eko mengirimkan paket barang yang isinya cukup bernilai akan tetapi

selang beberapa waktu Bapak Eko tidak mendapatkan konfirmasi dari PT Tiki

JNE bahwa barang yang di kirimkan hilang, PT Tiki JNE berjanji akan

mengganti kerugian yang dialami oleh bapak Eko. Oleh karena itu dalam

pelaksanaan perjanjian pengiriman barang, tidak selamanya berjalan secara

lancar. Adakalanya pihak-pihak tersebut tidak melaksanakan isi dari perjanjian

atau wanprestasi baik yang dilakukan secara sengaja dan/atau kelalaian

maupun karena keadan memaksa dari pengangkut. Padahal, kewajiban dari

pengangkut tersebut adalah bertanggung jawab atas keselamatan barang

kiriman sampai tujuan penerima, yang mengakibatkan pemenuhan prestasi tidak dapat berjalan dengan baik mewajibkan kepada pihak perusahaan

pengiriman barang untuk bertanggung jawab, akan tetapi sering terlihat dalam

kehidupan sehari-hari adanya pihak perusahaan pengiriman barang yang tidak

bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan.

Berdasarkan uraian singkat diatas, maka penulis tertarik melakukan

penelitian dan menuangkan dalam bentuk skripsi dengan mengambil judul :

TANGGUNG JAWAB HUKUM PERUSAHAAN PENGIRIMAN BARANG

ATAS TINDAKAN WANPRESTASI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BW

JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG

(6)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pada bagian

sebelumnya, maka penulis membatasi masalah-masalah yang dapat

dirumuskan, sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan perjanjian perusahaan pengiriman barang

atas terjadinya wanprestasi berdasarkan Buku III Burgerlijk Wetboek? 2. Bagaimana pelaksanaan tanggungjawab perusahaan pengiriman

barang terhadap perjanjiannya dalam hal terjadi wanprestasi berupa

keterlambatan, kerusakan atau kehilangan surat dan paket barang

berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan konsumen?

3. Tindakan hukum apa yang dapat dilakukan konsumen dalam hal

terjadi wanprestasi berupa keterlambatan, kerusakan atau kehilangan

surat dan paket barang berdasarkan Buku III BW juncto

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen?

C. Maksud Dan Tujuan

Sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan diatas, adapun

maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah, sebagai

(7)

1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perjanjian perusahaan

pengiriman barang apabila terjadi wanprestasi ditinjau berdasarkan

Buku III Burgerlijk Wetboek;

2. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pelaku usaha

jasa pengiriman barang atas perjanjian dalam hal terjadinya

wanprestasi berupa keterlambatan, kerusakan dan kehilangan paket

barang ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen.

3. Untuk mengetahui tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen atas tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh pelaku usaha

berdasarkan Buku III BW juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan konsumen.

D. Kegunaan Penulisan

Berikut ini merupakan kegunaan dari penelitian yang penulis lakukan,

antara lain:

1. Secara Teoritis

Penelitian dalam bentuk skripsi ini diharapkan dapat berguna untuk

memberikan sumbangan pemikiran, dalam rangka pengembangan

ilmu hukum pada umumnya dan secara khusus dalam ruang lingkup

hukum bisnis termasuk bidang perlindungan konsumen.

2. Secara Praktis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

(8)

dan masyarakat pada umumnya dalam rangka peningkatan dan

efisiensi serta efektifitas dalam bidang perlindungan konsumen sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen.

E. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan alinea kedua pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun

1945 menegaskan bahwa:

”…dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah

kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan

rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara

Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”

Konsep pemikiran utilitarianisme nampak melekat dalam pembukaan

alinea kedua, terutama pada makna ”adil dan makmur”. Sebagaimana

dipahami bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah memberikan

kesejahteraan bagi masyarakat, sebagaimana Bentham menjelaskan ”the great happiness for the greatest number”. Makna adil dan makmur, harus dipahami sebagai kebutuhan masyarakat Indonesia, baik yang bersifat rohani

ataupun jasmani. Secara yuridis hal ini tentu saja menunjukan seberapa besar

kemampuan hukum untuk dapat memberikan kemanfaatan kepada

masyarakat. Dengan kata lain, seberapa besar sebenarnya hukum mampu

melaksanakan atau mencapai hasil yang diinginkan, karena hukum dibuat

(9)

karena itu dapat disimpulkan bahwa makna yang tersirat dari kata adil dan

makmur dalam alinea kedua tersebut merupakan keadilan yang diperuntukan

bagi seluruh rakyat indonesia dalam berbagai sektor kehidupan.1

Guna melaksanakan pembangunan nasional yang bertujuan memajukan

kesejahteraan umum, hal ini sebagaimana tercantum dalam alinea keempat

Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yaitu :

”… maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang

dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan

1

Otje Salman S, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka kembali, PT Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm 156-157.

suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia…”

Kata mewujudkan merupakan kepastian hukum. Kepastian hukum

adalah hukum itu harus benar-benar ditegakkan/dilaksanakan. Menurut Austin

bahwa yang pasti hukumnya berbentuk undang-undang, karena dipengaruhi

oleh Jean Bodean tentang soft reality yang dikenal dengan analitycal jurisprudence yang berisi positif law (undang-undang) dan positif morality (bukan undang-undang). Selain itu, tidak hanya positivisme hukum saja,

sociological jurisprudence pun menyatakan bahwa hukum yang hidup baik yang tertulis maupun tidak tertulis, sebagaimana yang dinyatakan oleh August

Comte tentang Living Law dan juga hukum itu harus murni yuridis sesuai yang dinyatakan oleh Hans Kelsen bahwa perundang-undangan yang berlaku

(10)

Amanat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

menjelaskan tentang Pancasila yang terdiri dari lima sila. Pancasila secara

substansial merupakan konsep luhur dan murni. Luhur karena mencerminkan

nilai-nilai bangsa yang diwariskan turun temurun dan abstrak. Murni karena

kedalaman substansi yang menyangkut beberapa aspek pokok, baik agamis,

ekonomi, ketahanan, sosial dan budaya2

Hal ini berarti bahwa negara Indonesia adalah negara yang bedasar atas

hukum (rechstaat), bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machstaat). Negara berdasarkan konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme

(kekuasaan yang tidak terbatas). Negara menempatkan hukum sebagai dasar

kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan dilakukan di bawah

kekuasaan hukum. Konsep negara hukum ini menjadi sarana atau landasan

bagi pemerintah (dalam arti luas) dalam melakukan aktivitas dalam . Pancasila juga berbicara mengenai

tiga kepentingan yaitu kepentingan individu, masyarakat dan negara harus

seimbang. Hal tersebut yang mengharuskan pemerintah tidak hanya

melaksanakan tugas pemerintahan saja, melainkan pelayanan hukum melalui

pembangunan nasional termasuk pembangunan bidang ekonomi. Sistem

ekonomi nasional Indonesia mengacu pada Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Tahun 1945.

Konsep negara hukum Indonesia terdapat dalam Pasal 1 ayat (3)

Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa:

“Indonesia adalah negara hukum”.

2

(11)

penyelenggaraan negara (pemerintahan) yang senantiasa harus berdasarkan

atas asas sistem konstitusi (constitusionalisme) dan terwujudnya asas persamaan kedudukan di dalam hukum.3

Pengertian yang mendasar dari negara hukum adalah kekuasaan

tumbuh pada hukum dan semua orang sama dihadapan hukum4

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional, Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Nasional (RPJPN) disusun sebagai penjabaran dari dibentuknya

pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-, dengan

demikian segala bentuk tindakan yang dilakukan di Negara Indonesia harus

sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, termasuk pada permasalahan

perlindungan konsumen yang berhubungan dengan bidang pengiriman

barang.

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun

2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun

2010-2014, menyebutkan bahwa :

“Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 -2014, yang selanjutnya disebut RPJM Nasional, adalah dokumen

perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun terhitung

sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2014”.

3

Supomo, Dikutip dalam Skripsi Juju Juhariah, Tinjauan Hukum tentang Tindak Pidana Penipuan Finansial melalui Media Elektronik Dihubungkan dengan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia, Bandung, 2007, hlm.9.

4

Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ghalia

(12)

Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam bentuk visi, misi, dan arah

pembangunan nasional.

Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang

berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat,

bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional.

Pelaksanaannya harus mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur

yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri,

berkeadilan, sejahtera, maju, dan kukuh kekuatan moral dan etikanya.

Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 merupakan

kelanjutan dari pembangunan sebelumnya untuk mencapai tujuan

pembangunan nasional. Pembangunan nasional memiliki 8 (delapan) misi,

yaitu:

1. Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika,

berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.

2. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.

3. Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum.

4. Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu.

5. Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan.

6. Mewujudkan Indonesia asri dan lestari.

7. Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri,

maju,kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional.

8. Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia

(13)

Strategi untuk melaksanakan visi dan misi tersebut dijabarkan secara

bertahap dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN). Saat ini, Indonesia sudah memasuki RPJMN Tahapan ke-2 (2010 –

2014). Visi Indonesia 2014 adalah terwujudnya Indonesia yang sejahtera,

demokrasi dan berkeadilan. Perwujudan visi Indonesia 2014 dijabarkan dalam

misi pembangunan 2010 – 2014 sebagai berikut :

1. Melanjutkan pembangunan menuju Indonesia yang sejahtera.

2. Memperkuat pilar-pilar demokrasi.

3. Memperkuat dimensi keadilan dalam semua bidang.

Upaya mewujudkan visi dan misi pembangunan nasional 2010–2014

ditetapkan 5 (lima) agenda utama pembangunan nasional tahun 2010–2014,

yaitu :

1. Agenda I, yaitu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan

rakyat.

2. Agenda II, yaitu perbaikan tata kelola pemerintahan.

3. Agenda III, yaitu penegakan pilar demokrasi.

4. Agenda IV, yaitu penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

5. Agenda V, yaitu pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.

Sistem yang demokratis harus disertai dengan tegaknya rule of law, oleh karena itu agenda penegakan hukum masih merupakan agenda yang penting

dalam periode 2010 – 2014. Wujud dari penegakan hukum adalah munculnya

kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Kepastian hukum akan

(14)

dianggap mengganggu masuknya investasi ke Indonesia adalah lemahnya

kepastian hukum, oleh karena itu penegakan hukum akan membawa dampak

positif bagi perbaikan iklim investasi yang pada gilirannya akan memberi

dampak positif bagi perekonomian Indonesia.

Hukum merupakan alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat,

mengingat fungsinya, sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif, artinya

adalah hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai.

Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat yang sedang

membangun karena disinipun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi

dan diamankan. Pengertian masyarakat yang sedang membangun adalah

masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi

demikian5. Menurut pendapat Roscoe Pond, hukum harus dapat membantu

proses perubahan masyarakat, law as a tool of social engineering6

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

.

Pengiriman barang didasarkan dengan adanya perjanjian. Perjanjian

dalam hukum positif Indonesia diatur dalam pasal 1313 Burgerlijk Wetboek

yang menyatakan ”suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Selanjutnya pada pasal 1320 KUHPerdata, yang menyatakan:

” untuk sahnya suatu perjanjian dibutuhkan empat syarat:

2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. suatu hal tertentu

4. suatu sebab yang halal.”

5 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni,

Bandung, 2002, Hlm. 14. 6

(15)

Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif artinya syarat

tersebut menyertai para pihak, apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka

perjanjian dapat dibatalkan, artinya para pihak dapat mengajukan pembatalan

perjanjian kepada hakim dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun (Pasal 1454

KUH Perdata), apabila tidak dilakukan permintaan pembatalan maka

perjanjian tersebut tetap berlaku mengikat bagi para pihak. Sedangkan syarat

yang ketiga dan keempat adalah syarat objektif yang tidak menyertai para

pihak, apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi

hukum, artinya bahwa perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada, oleh

karena itu tidak ada dasar bagi para pihak untuk menuntut pemenuhan

prestasi7

Hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia mengenal beberapa asas,

diantaranya adalah asas kebebasan berkontrak, yaitu asas yang menjelaskan bahwa setiap orang bebas untuk menentukan bentuk, macam, dan isi

perjanjian sepanjang masih memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan juga

tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, serta

kesusilaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata. Ketentuan Pasal 1338 (1) Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata ini menggambarkan bahwa Buku III KUH Perdata bersifat terbuka.

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, dalam hal perjanjian pengiriman

barang merupakan perjanjian yang mengikat antara perusahaan agen .

7

(16)

pengangkutan barang dan dokumen dengan konsumen yang tertarik untuk

menggunakan jasa pengangkutan barang/agen pengangkutan barang.

Setiap perjanjian sebagaimana telah dikemukakan diatas, selalu memuat

suatu hal tertentu, yaitu prestasi. Prestasi, adalah kewajiban yang harus

dipenuhi oleh seseorang di dalam setiap perikatan, baik perikatan yang

bersumber pada perjanjian, undang-undang maupun yang lainnya. Prestasi

sesuai dengan pasal 1234 KUH Perdata, menyebutkan :

“tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”

Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah

memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa

ada pihak yang dirugikan, akan tetapi ada kalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah

satu pihak.

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk.

Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan

kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti

yang telah ditentukan dalam perjanjian8

Adapun seorang debitur yang dapat dikatakan telah melakukan

wanprestasi ada 4 macam, yaitu :

.

9

1. Tidak memenuhi seluruh prestasi

8Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Pusat Penerbitan UT, Jakarta,2003,

hlm. 21. 9

(17)

2. tidak melaksanakan sebagian prestasi

3. tidak tepat pada waktu melaksanakan prestasi

4. keliru memenuhi prestasi

Oleh karena itu, apabila pihak perusahaan pengiriman barang tidak

melakukan salah satu prestasi atau lalai dalam melakukan prestasi maka

perusahaan barang tersebut dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi.

Perusahaan pengiriman barang dapat disebut juga dengan agen. Agen

disini lebih menitik beratkan kepada sifat jasanya saja yang bertujuan agar

mempermudah pengiriman barang dari seorang konsumen ke konsumen

lainnya di dalam negeri maupun di luar negeri. Istilah yang terdapat pada pasal

86 Ayat 1 KUHD, bahwa agen adalah orang atau perusahaan yang

pekerjaannya menyuruh/mencari untuk menyelenggarakan pengangkutan barang-barang muatan dagangan dan lain-lain10

1. Pelaku Usaha

.

Pihak-pihak dan istilah yang terkait di dalam tanggung jawab hukum

perusahaan pengiriman barang atas tindakan wanprestasi yaitu :

Pelaku usaha dalam dunia perekonomian lebih dikenal dengan istilah

pengusaha. Pengusaha adalah setiap orang atau badan usaha yang

menjalankan usaha memproduksi, menawarkan menyampaikan atau

mendistribusikan suatu produk kepada masyarakat luas selaku

konsumen. Pengusaha memiliki arti yang luas, tidak semata-mata

membicarakan produsen, tetapi juga pedagang perantara atau

10

(18)

pengusaha.11

Pelaku usaha merupakan salah satu dari pelaku ekonomi yang dibagi

dalam tiga kelompok pelaku usaha, yaitu :

sedangkan pengertian pelaku usaha sesuai dengan

Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen yaitu:

“Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

12

a. Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai

berbagai kepentingan. Seperti perbankan, penyedia dana dan lain

sebagainya.

b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang

dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan

baku, bahan tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Terdiri

dari orang/badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/badan yang

memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan

pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa

angkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha berkaitan dengan

obat-obatan, kesehatan narkotika, dan lain sebagainya.

11

Mariam Darus, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku (standar), Kertas Kerja Pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, FE UI, Jakarta, 1980, Hlm. 57.

12

(19)

c. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada

masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima,

warung, toko, supermarket, rumah sakit, “warung dokter”, usaha

angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya.

Pelaku usaha dalam penulisan ini adalah perusahaan pengiriman

barang. Pelaku usaha diberikan beberapa hak seperti yang tercantum dalam

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen yaitu :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sebagai konsekuensi dari adanya hak-hak pelaku usaha, maka kepada

pelaku usaha juga dibebankan beberapa kewajiban dalam menjalankan

usahanya. Kewajiban pelaku usaha tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu :

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan;

(20)

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

2. Konsumen

Istilah Konsumen berasal dari alih bahasa yaitu dari kata consumer

(Inggris-Amerika), atau consument (Belanda). Secara harfiah arti kata dari consumer itu adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakanbarang13

13 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Diadit Media,

Jakarta, 2002. hlm . 3

.

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen (UUPK), yang dimaksudkan dengan pengertian

konsumen yaitu setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Penelitian ini, yang dimaksud dengan konsumen adalah para pengguna

jasa Perusahaan Pengiriman barang, baik pengguna jasa retail (individu)

ataupun korporat (pebisnis) yang mengadukan adanya keterlambatan,

(21)

Selama ini sudah banyak konsumen yang sudah dirugikan baik secara

materiil maupun immateril oleh pelaku usaha, namun dari pihak konsumen

kurang usahanya untuk menuntut hak-haknya. Kenyataan ini disebabkan

konsumen kurang menyadari hal-hal apa saja yang menjadi haknya dan masih

enggan untuk menjalani proses penuntutan hak-haknya yang lama dan rumit.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen memberikan penjelasan mengenai apa saja yang menjadi hak-hak

konsumen yang tercantum dalam Pasal 4, yaitu:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Suatu hubungan hukum akan menimbulkan hak dan kewajiban dari

masing-masing pihak. Sebelum konsumen mengajukan tuntutan terhadap

hak-haknya, sebaiknya konsumen melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.

Kewajiban konsumen yaitu untuk membayar harga barang dan/atau jasa yang

(22)

konsumen dengan produsen atau pengusaha. Pasal 5 UUPK menjelaskan apa

saja yang menjadi kewajiban konsumen, yaitu :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Pelaksanaan pengiriman barang tidak terlepas dari resiko baik yang

disebabkan oleh kelalaian pihak pengiriman maupun disebabkan oleh hal-hal

di luar kemampuan manusia. Resiko yang disebabkan oleh kelalaian pihak

pengangkut, yang mengakibatkan pemenuhan prestasi tidak dapat berjalan

dengan baik mewajibkan kepada pihak pengiriman untuk bertanggung jawab.

Bentuk-bentuk tanggung jawab pelaku usaha dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, antara lain :14

1. Contractual liablity, yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami

konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan.

2. Product liability, yaitu tanggung jawab perdata terhadap produk secara langsung dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami

konsumen akibat menggunakan produk yang dihasilkan.

Pertanggungjawaban produk tersebut didasarkan pada Perbuatan

Melawan Hukum (tortius liability). Unsur-unsur dalam tortius liability

14

(23)

antara lain adalah unsur perbuatan melawan hukum, kesalahan,

kerugian dan hubungan kasualitas antara perbuatan melawan hukum

dengan kerugian yang timbul.

3. Professional liability, tanggung jawab pelaku usaha sebagai pemberi jasa atas kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat

memanfaatkan atau menggunakan jasa yang diberikan.

4. Criminal liability, yaitu pertanggungjawaban pidana dari pelaku usaha sebagai hubungan antara pelaku usaha dengan negara.

Berdasarkan Pasal 19 Undang Undang Perlindungan Konsumen ada

lima tanggung jawab pelaku usaha, yaitu:

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugin konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan;

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan sesuai dengan perundangan yang berlaku;

3. Pemberian ganti rugi sebagaimana yang dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal transaksi;

4. Pemberian ganti rugi sebagimanan dimaksud dalam Ayat (1) dan Ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan;

5. Kententuan sebagaimaan dimaksud pada Ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan konsumen.

Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengemukakan

bahwa:

(24)

Ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”

Menurut Pasal 27 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pelaku

usaha yang memproduksi barang atau menyediakan layanan/jasa dapat

dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen,

apabila konsumen yang telah dirugikan tersebut memenuhi

syarat-syarat/ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak

dimaksudkan untuk diedarkan;

b. Cacat barang timbul di kemudian hari;

c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kulifikasi barang;

d. Kelalaian diakibatkan oleh konsumen;

e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang

dibeli atau dilewatinya jangka waktu yang diperjanjikan.

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan diatas, dalam

penelitian ini penulis mencoba menganalisa guna menemukan jawaban dari

permasalahan-permasalahan yang timbul sebagaimana telah disebutkan

dalam identifikasi masalah.

F. Metode Penelitian

Langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini adalah

(25)

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu suatu metode penelitian

yang dilakukan dengan cara menggambarkan data dan fakta baik

berupa :

a. Data sekunder dengan bahan hukum primer yaitu

perundang-undangan yang mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha,

diantaranya Buku III BW dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen.

b. Data sekunder bahan hukum sekunder berupa doktrin atau

pendapat para ahli terkemuka.

c. Data sekunder bahan tersier berupa bahan-bahan yang didapat

dari majalah, brosur, artikel-artikel, surat kabar dan internet. 2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan dalam penulisan hukum ini yaitu secara yuridis

normatif. Metode yuridis Normatif adalah metode dimana hukum

dikonsepsikan sebagai norma, asas atau dogma-dogma15. Penafsiran

hukum yang dilakukan yaitu dengan melakukan penafsiran

gramatikal, yaitu penafsiran yang dilakukan dengan kata-kata atau

tata kalimat yang digunakan pembuat undang-undang dalam

peraturan perundang-undangan tertentu.

15 Hetty Hassanah, Penyusunan Penulisan Hukum Pada Fakultas Hukum Unikom,

(26)

3. Tahap Penelitian

a. Studi kepustakaan (Library Research), dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang terdiri dari :

1) Bahan hukum primer yaitu berupa Peraturan

Perundang-undangan, seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata,

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen

2) Bahan hukum sekunder yaitu berupa doktrin-doktrin dan

buku-buku yang berkaitan dengan masalah pengangkutan dan

pengiriman barang.

3) Bahan hukum tersier yaitu berupa majalah, surat kabar, serta

karya ilmiah mengenai perlindungan konsumen dalam jasa pengiriman barang.

b. Penelitian lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan dilakukan untuk menunjang dan melengkapi

studi kepustakaan dengan cara wawancara terstruktur dengan

pihak-pihak terkait.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data diperoleh dari peraturan

perundang-undangan, buku-buku yang berkaitan dengan tanggung jawab

perusahaan pengiriman barang, artikel dari beberapa surat kabar

(27)

mana keseluruhannya berkaitan dengan materi dalam pembahasan

penulisan ini.

5. Analisis Data

Data sekunder yang diperoleh akan dianalisis secara yuridis kualitatif

yang meliputi :

a. Perundang-undangan yang satu tidak boleh bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lain.

b. Memperhatikan hierarkis peraturan perundang-undangan, dimana

peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih rendah tidak

boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

derajatnya lebih tinggi.

c. Kepastian hukum, dalam arti perundang-undangan yang diteliti betul-betul dilaksanakan dan didukung oleh penegak hukum.

6. Lokasi Penelitian

a. Instansi

1) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

Jl. Pancoran Barat VII No. 1 Rt.008/06 Kel. Duren Tiga Kec.

Pancoran Jakarta Selatan.

2) PT TIKI Jalur Nugraha Ekakurir

Jl. Kawaluyaan Ruko 1-4 Bandung.

b. Perpustakaan

1) Perpustakaan Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) Jl.

(28)

2) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Jl. Dipati

Ukur No.35 Bandung.

c. Website

1)

2)

(29)

BAB II

ASPEK HUKUM PERJANJIAN JASA PENGIRIMAN BARANG, PELAKU USAHA JASA PENGIRIMAN BARANG DAN KONSUMEN PENGGUNA JASA

PENGIRIMAN BARANG

A. ASPEK HUKUM PERJANJIAN PENGIRIMAN BARANG

Pada dasarnya perjanjian pengiriman barang telah diatur dalam buku III

Burgerlijk Wetboek tentang Perikatan. Menurut Pasal 1313 Burgerlijk Wetboek (BW)menyatakan bahwa :

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Sementara itu Subekti, mengatakan bahwa, perjanjian adalah suatu

peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang

tersebut saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal yang menimbulkan

suatu perikatan antara dua pihak yang membuatnya15. Menurut Wirjono

Prodjodikoro, perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta

benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji untuk melakukan

sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak

menuntut pelaksanaan janji itu16

15Subekti. R, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Inter Masa, Jakarta, 2001, hlm.22.

16

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1960, hlm.9

. Sedangkan R. Setiawan mengemukakan

bahwa, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau

lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang

(30)

atau lebih17. Menurut Abdulkadir Muhamad, perjanjian adalah suatu

persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk

melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.18

1. Kesepakatan para pihak

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) Burgerlijk Wetboek yang mengatakan bahwa semua Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak ini

maksudnya bahwa setiap orang bebas menentukan bentuk, macam dan isi

perjanjian, sepanjang tetap memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana

diatur dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek bahwa asas kebebasan berkontrak tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

Berdasarkan Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek dijelaskan bahwa

syarat-syarat sah nya suatu perjanjian yaitu :

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna

bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada

persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak

masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan,

kekeliruan dan penipuan. Persetujuan dapat dinyatakan secara tegas

maupun secara diam-diam.19

17

Op. Cit, Pokok-Pokok Hukum Perikatan,hlm.49.

18 Abdulkadir Muhamad, Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet. II,

1990 hlm.78. 19

Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang Undang Hukum Perdata Buku III tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung, 1983, hlm.6

Asas konsensualisme menganggap

bahwa perjanjian terjadi seketika setelah ada kata sepakat, adapun

(31)

beberapa teori-teori yang akan menjelaskan hal tersebut, antara lain

:20

Cakap untuk dapat melakukan perbuatan hukum yaitu diantaranya

harus telah dewasa, berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 a. Uitings theorie atau teori saat melahirkan kemauan, yang artinya

bahwa perjanjian terjadi apabila atas penawaran tertentu telah

dilahirkan kemauannya dari pihak lain. Kemauan dari pihak lain

tersebut dapat dikatakan telah dilahirkan pada waktu pihak lain

mulai menulis surat penerimaan atau menyatakan kemauannya.

b. Verzend theorie atau teori saat mengirim surat penerimaan, menjelaskan bahwa perjanjian terjadi pada saat surat penerimaan

dikirimkan kepada penawar.

c. Onvangs theorie atau teori saat menerima surat penerimaan, artinya bahwa perjanjian terjadi pada saat penawar menerima surat

penerimaan dari pihak lain.

d. Vernemings theorie atau teori saat mengetahui surat penerimaan, menerangkan bahwa perjanjian baru terjadi apabila si penawar

telah membaca atau telah mengetahui isi surat penerimaan

tersebut.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

20 Riduan Syahrani, Beluk Beluk Dan Asas Asas Hukum Perdata, Alumni,

(32)

Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan bahwa orang yang telah

dewasa adalah telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau telah

menikah. Kemudian orang yang dinyatakan cakap untuk melakukan

perbuatan hukum dalam hal ini membuat perjanjian ialah orang yang

sehat akal pikiran yaitu orang yang tidak dungu atau tidak memiliki

keterbelakangan mental, tidak sakit jiwa atau gila dan juga bukan

orang yang pemboros (Pasal 433 Burgerlijk Wetboek). Selain itu orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum seperti

membuat perjanjian adalah orang yang tidak dilarang oleh suatu

peraturan perundang-undangan untuk melakukan perbuatan hukum

tertentu, seperti orang yang sedang pailit dilarang untuk mengadakan

perjanjian utang-piutang. 3. Suatu hal tertentu

Prestasi ialah sesuatu hal tertentu yang dapat menjadi objek dalam

suatu perjanjian. Berdasarkan Pasal 1234 Burgerlijk Wetboek Prestasi terdiri dari memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat

sesuatu. Syarat-syarat objek suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1333

Burgerlijk Wetboek dimana suatu perjanjian harus :

a. Diperkenankan, artinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.

b. Tertentu atau dapat ditentukan, artinya prestasi tersebut harus

dapat ditentukan dengan jelas mengenai jenis maupun jumlahnya,

(33)

c. Mungkin dilakukan, artinya prestasi tersebut harus mungkin

dilakukan menurut kemampuan manusia pada umumnya dan

kemampuan debitur pada khususnya.

4. Suatu sebab yang halal

Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat untuk

sahnya suatu perjanjian. Berdasarkan Pasal 1335 BW bahwa suatu

perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab

yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

Dua syarat yang pertama merupakan syarat yang bersifat subyektif,

sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat yang bersifat obyektif.

Subjektif dan objektif yaitu21

21

Loc. Cit. Catatan Hukum Perikatan. :

1. Syarat subjektif untuk sahya perjanjian yaitu kesepakatan para pihak

yang melakukan perjanjian dan cakap hukum. Apabila syarat subjektif ini tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan artinya selama

para pihak tidak membatalkan perjanjian , maka perjanjian masih

tetap berlaku.

2. Syarat obyektif untuk sahnya perjanjian yaitu sesuatu hal tertentu dan

suatu sebab yang halal, hal ini berhubungan dengan objek yang

diperjanjikan dan yang akan dilaksanakan oleh para pihak sebagai

prestasi atau utang dari para pihak. Apabila syarat objektif tidak

terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum artinya sejak semula

(34)

Para pihak dalam melakukan perjanjian baik itu pelaku usaha sebagai

produsen maupun konsumen, dalam melakukan perjanjian harus memenuhi

unsur-unsur perjanjian. Adapun unsur-unsur dari perjanjian tersebut adalah

sebagai berikut:22

1. unsur esensialia

merupakan sifat uang harus ada dalam perjanjian. Sifat yang

menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve oordeel), seperti, persetujuan antara para pihak dan objek perjanjian. 2. unsur naturalia

merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian, sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti, menjamin tidak ada cacat

dalam benda yang dijual (vrijwaring). 3. unsur aksidentialia

merupakan sifat yang melekat pada perjanjian dalam hal secara tegas

diperjanjikan oleh para pihak, seperti, ketentuan-ketentuan mengenai

domisili para pihak.

Rumusan ketentuan dalam Burgerlijk Wetboek dikenal beberapa macam perjanjian diantaranya yaitu :23

1. Perjanjian Timbal Balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban

pokok bagi kedua belah pihak.

22 Mariam Darus Badruljaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2001, hlm.74 23

(35)

2. Perjanjian Cuma-Cuma

Berdasarkan Pasal 1314 ayat (1) Burgerlijk Wetboek dijelaskan bahwa suatu persetujuan dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban

dan pada ayat (2) dijelaskan bahwa suatu persetujuan dengan

cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu

memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain tanpa menerima

manfaat bagi dirinya sendiri.

3. Perjanjian Atas Beban

Berdasarkan Pasal 1314 ayat (3) Burgerlijk Wetboek disebutkan bahwa suatu perjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang

mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat

sesuatu atau tidak berbuat sesuatu artinya bahwa dalam perjanjian atas beban terhadap prestasi pihak yang satu selalu terdapat kontra

prestasi dari pihak yang lain.

4. Perjanjian Bernama

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri,

maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan

diberi nama oleh pembentuk undang-undang.

5. Perjanjian Tidak Bernama

Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur dalam

Burgerlijk Wetboek dan terdapat di dalam masyarakat dan tetapi jumlah perjanjian ini disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang

(36)

pemasaran dan perjanjian pengelolaan. Lahirnya perjanjian ini

berdasarkan asas kebebasan berkontrak.

6. Perjanjian Obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat,

mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada

pihak lain.

7. Perjanjian Kebendaan (Zakelijk)

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang

menyerahkan haknya atas suatu benda kepada pihak lain, yang

membebankan kewajiban (oblige) pihak itu menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering, transfer). Penyerahannya itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan.

8. Perjanjian Konsensual

Perjanjian konsensual adalah persesuaian kehendak untuk

mengadakan perikatan dimana diantara kedua belah pihak telah

tercapai kesepakatan. Menurut Burgerlijk Wetboek perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat ( sesuai dengan Pasal 1338

Burgerlijk Wetboek). 9. Perjanjian Riil

Didalam Burgerlijk Wetboek ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang, misalnya

perjanjian penitipan barang, pinjam pakai. Perjanjian yang terakhir ini

(37)

10.Perjanjian Liberatoir

Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang

ada, misalnya pembebasan utang (kwijtschelding). Hal ini termuat dalam Pasal 1438 Burgerlijk Wetboek.

11.Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomst)

Perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian mana yang

berlaku diantara mereka.

12.Perjanjian Untung-untungan

Perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanjian

asuransi Pasal 1774 Burgerlijk Wetboek. 13.Perjanjian Publik

Perjanjian publik yaitu keseluruhan perjanjian atau sebagian perjanjian yang dikuasai oleh hukum publik, dimana salah satu pihak

yang bertindak adalah pemerintah dan pihak lainnya swasta.

Keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan,

(Subordinated) dan tidak berada dalam kedudukan yang sama ( Co-ordinated), misalnya perjanjian ikatan dinas.

14.Perjanjian Campuran (Contractus Sui Generis)

Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai

unsur perjanjian, perjanjian campuran itu ada berbagai paham.

a. Paham pertama mengatakan bahwa perjanjian khusus diterapkan

secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap

(38)

b. Paham kedua mengatakan ketentua-ketentuan yang dipakai

adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling

menentukan (teori absorbsi).

Hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia mengenal beberapa asas

dalam perjanjian, yaitu24

Asas ini tersirat dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek dan Pasal 1338 ayat (1) Burgerlijk Wetboek. Pada Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek

ditunjukan dengan adanya syarat-syarat sah perjanjian yang pertama

kesepakatan para pihak untuk membuat perjanjian, dalam hal ini :

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) Burgerlijk Wetboek yang mengatakan bahwa semua Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak

ini maksudnya bahwa setiap orang bebas menentukan bentuk,

macam dan isi perjanjian, sepanjang tetap memenuhi syarat sahnya

perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek

bahwa asas kebebasan berkontrak tidak melanggar ketertiban umum

dan kesusilaan.

2. Asas Konsensualisme

24

(39)

berdasarkan asas konsensualisme, perjanjian dianggap ada seketika

setelah ada kata sepakat, yang berarti kesepakatan tersebut berlaku

sebagai undang-undangnya bagi para pembuatnya sebagaimana

tersirat dalam Pasal 1338 (1) Burgerlijk Wetboek.

3. Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel)

Dalam perjanjian kepercayaan sangat dibutuhkan agar kedua belah

pihak satu sama lain memegang janjinya, untuk memenuhi

prestasinya masing-masing. Tanpa adanya kepercayaan, maka

perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Kepercayaan

diantara kedua pihak mempunyai kekuatan mengikat sebagai

undang-undang.

4. Asas Kekuatan Mengikat

Dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Para pihak dalam perjanjian tidak semata-mata terbatas pada apa yang

diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain

sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.

5. Asas Persamaan Hukum

Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan dan

mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain

(40)

dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada

perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain.

6. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan,

asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan

perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan

jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan

debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan

perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini, bahwa

kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk

memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur

seimbang.

7. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu

yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

8. Asas Moral

Asas ini telihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan

sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk

(41)

9. Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 Burgerlijk Wetboek, dalam hal ini berkaitan dengan isi perjanjian.

10. Asas Kebiasaan

Bahwa dalam suatu perjanjian tidak hanya menyangkut hal-hal yang

telah diatur dalam peraturan perundang-undangan saja tapi juga

menyangkut kebisaan yang lazim diikuti.

Berdasarkan uraian di atas jasa perusahaan pengiriman barang

termasuk kedalam perjanjian sewa-menyewa. Perjanjian sewa-menyewa yaitu

suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

memberikan kepada pihak yang lain suatu kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh

pihak tersebut terakhir disanggupi pembayarannya terdapat dalam Pasal 1548

Burgerlijk Wetboek. Oleh karena itu apabila perusahaan pengiriman barang tidak melakukan salah satu isi perjanjian maka perusahaan dianggap telah

melakukan wanprestasi.

Prestasi adalah suatu yang wajib harus dipenuhi dalam setiap perikatan,

prestasi merupakan isi daripada perikatan, apabila debitur tidak memenuhi

prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian maka ia

dikatakan wanprestasi.

Sementara itu, dengan wanprestasi, atau pun yang disebut juga dengan

(42)

prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak

terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang

bersangkutan25

Menurut Riduan Syahrani, wanpresatsi seorang debitur dapat berupa 4

(empat) macam, yaitu: .

26

1. Sama sekali tidak memenuhi prestasi, artinya debitur sama sekali

tidak memenuhi perikatan atau dengan kata lain debitur tidak

melaksanakan isi perjanjian sebagaima mestinya.

2. Tidak tunai memenuhi prestasi atau prestasi dipenuhi sebagian,

artinya bahwa debitur telah memenuhi prestasi tetapi hanya sebagian

saja, sedangkan sebagian yang lain belum dibayarkan atau belum

dilaksanakan.

3. Terlambat memenuhi prestasi, bahwa debitur tidak memenuhi prestasi pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian, walapun

ia memenuhi prestasi secara keseluruhan.

4. Keliru memenuhi prestasi, artinya bahwa debitur memenuhi prestasi

dengan barang atau obyek perjanjian yang salah. Dengan kata lain

prestasi yang dibayarkan bukanlah yang ditentukan dalam perjanjian

ataupun bukan pula yang diinginkan oleh kreditur.

Sedangkan menurut Mariam Darus badrulzaman, dijelaskan bahwa

wujud dari tidak memenuhi perikatan itu ada 3 (tiga) macam, yaitu debitur

25 Prestasi dan Wanprestasi Dalam Hukum Kontrak

pada tanggal 31 Maret 2011, pukul 21.44 WIB 26

(43)

sama sekali tidak memenuhi prestasi, debitur terlambat memenuhi prestasi,

serta debitur keliru atau tidak pantas memenuhi prestasi27

1. Memberikan sesuatu;

.

Sebagai konsekuensi dari tidak dipenuhinya perikatan ialah bahwa

konsumen atau pihak lain yang dirugikan dapat meminta ganti kerugian atas

biaya-biaya yang telah dikeluarkannya, kerugian atau kerusakan barang

miliknya. Di dalam Pasal 1267 Burgerlijk Wetboek dapat memilih diantara beberapa kemungkinan tuntutan, antara lain yaitu pemenuhan perikatan,

pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian, ganti kerugiannya saja,

pembatalan perjanjian, ataupun pembatalan perjanjian dengan ganti kerugian.

Apabila konsumen hanya menuntut ganti kerugian saja maka ia

dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pemenuhan dan

pembatalan perjanjian, sedangkan apabila konsumen hanya menuntut

pemenuhan perikatan maka tuntutan ini sebenarnya bukan sebagai sanksi atas kelalaian, sebab pemenuhan perikatan memang sudah dari semula

menjadi kesanggupan pelaku usaha untuk melaksanakannya.

Kewajiban ganti rugi bagi pelaku usaha yang didasari oleh

undang-undang menyatakan bahwa pelaku usaha harus terlebih dahulu dinyatakan

berada dalam keadaan lalai (ingebrekestelling). Lembaga “pernyataan lalai” ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase, di mana

pelaku usaha dinyatakan ingkar janji atau telah melakukan wanprestasi. Pasal

1234 Burgerlijk Wetboek menyatakan bahwa Perikatan ditujukan untuk :

27

(44)

2. Berbuat sesuatu;

3. Tidak berbuat sesuatu.suatu.

Menurut Mariam Darus Badrul Zaman, maksud dari keadaan lalai ialah

peringatan atau penyertaan dari kreditur tentang saat selambat-lambatnya

debitur wajib memenuhi prestasi apabila saat debitur dilampauinya maka

debitur dinyatakan telah ingkar janji atau Wanprestasi28. Sedangkan Ridwan

Syahrani, berpendapat bahwa perjanjian dimana prestasinya berupa memberi

sesuatu atau untuk berbuat sesuatu, apabila debitur tidak memenuhi

kewajibannya, maka untuk pemenuhan prestasi tersebut debitur harus lebih

dahulu diberi teguran agar ia memenuhi kewajibannya, debitur yang tidak

memenuhi prestasi setelah diberi teguran maka ia dianggap telah wanprestasi29

Ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan kepada pelaku usaha

yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu perikatan untuk memberikan

penggantian kerugian berupa biaya dan rugi. Biaya adalah segala pengeluaran

atau perongkosan yang nyata-nyata telah dikeluarkan oleh konsumen, .

Pada mulanya pengaturan mengenai bagaimana caranya memberikan

teguran terhadap pelaku usaha untuk memenuhi prestasi diatur di dalam Pasal

1238 Burgerlijk Wetboek, namun setelah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 3 tahun 1963 tertanggal 5 september 1963,

maka ketentuan dalam pasal 1238 tersebut menjadi tidak berlaku lagi.

28

Loc. Cit 29

(45)

sedangkan rugi adalah segala kerugian karena musnahnya atau rusaknya

barang-barang milik konsumen akibat kelalaian pelaku usaha30

Mariam Darus Badrulzaman, memberikan pengertian tentang rugi

sebagai berikut, apabila undang-undang menyebutkan rugi maka yang

dimaksud adalah kerugian nyata yang dapat diperkirakan pada saat perikatan

itu diadakan, yang timbul sebagai akibat ingkar janji, jumlahnya ditentukan

dengan perbandingan keadaan kekayaan antara sebelum dan sesudah terjadi

ingkar janji

.

31

1. Overmacht

.

Pelaku usaha yang dianggap telah melakukan wanprestasi dapat dituntut

untuk membayar ganti kerugian, namun jumlah besarnya ganti kerugian yang

dapat dituntut pemenuhannya kepada pelaku usaha dengan dibatasi oleh

undang-undang.

Beberapa alasan yang dapat menjadikan pelaku usaha melakukan wanprestasi yaitu :

2. Alasan timbal balik

3. Pelepasan Hak

Pelaku usaha pengiriman barang dalam melakukan wanprestasi dapat

mempunyai alasan overmacht relative yaitu suatu keadaan memaksa yang dapat dicari jalan keluarnya32.

30 Ibid., hlm. 232. 31

Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hlm. 21. 32

(46)

B. ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Sejarah lahirnya perlindungan konsumen di Indonesia ditandai dengan

disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen pada tanggal 20 April 1999. Undang-Undang Perlindungan

Konsumen tersebut mulai berlaku efektif pada 20 April 2000, tepat setahun

setelah tanggal pengesahan. Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan

Konsumen tersebut, kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan menuju caveat venditor.33

Prinsip-prinsip mengenai kedudukan konsumen dalam hubungan dengan

pelaku usaha berdasarkan doktrin atau teori yang dikenal dalam

perkembangan sejarah hukum perlindungan konsumen, antara lain:34

1. Let the buyer beware (caveat emptor)

Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor merupakan dasar dari lahirnya sengketa dibidang transaksi konsumen. Asas ini

berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak

yang sangat seimbang, sehingga konsumen tidak memerlukan

perlindungan. Prinsip ini mengandung kelemahan, bahwa dalam

perkembangan konsumen tidak mendapat informasi yang memadai

untuk menentukan pilihan terhadap barang dan/atau jasa yang

dikonsumsinya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh keterbatasan

pengetahuan konsumen atau ketidakterbukaan pelaku usaha

terhadap produk yang ditawarkannya. Dengan demikian, apabila

33Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2006,

hlm 62. 34

(47)

konsumen mengalami kerugian, maka pelaku usaha dapat berdalih

bahwa kerugian tersebut akibat dari kelalaian konsumen sendiri.

2. The due care theory

Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban

untuk berhati-hati dalam memasarkan produk, baik barang maupun

jasa. Selama pelaku usaha berhati-hati dengan produknya, maka ia

tidak dapat dipersalahkan. Pada prinsip ini berlaku pembuktian siapa

mendalilkan maka dialah yang membuktikan. Hal ini sesuai dengan

jiwa pembuktian pada hukum privat di Indonesia yaitu pembuktian ada

pada penggugat, sesuai dengan pasal 1865 BW yang secara tegas

menyatakan bahwa barangsiapa yang mendalilkan mempunyai suatu

hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa, maka diwajibkan mebuktikan

adanya hak atau peristiwa tersebut.

3. The privity of contract

Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk

melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara

mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak

dapat disalahkan diluar hal-hal yang diperjanjikan. Dengan demikian

konsumen dapat menggugat berdasarkan wanprestasi. Hal ini sesuai

dengan ketentuan dalam pasal 1340 BW yang menyatakan tentang

ruang lingkup berlakunya perjanjian hanyalah antara pihak-pihak yang

(48)

Selanjutnya, menurut Az Nasution definisi hukum konsumen ialah

keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan

dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan berkaitan dengan

barang dan atau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup. Sedangkan hukum

perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang

mengatur asas-asas atau kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi

kepentingan konsumen35

Penegakan hukum perlindungan konsumen merupakan bagian penting

yang tidak dapat dipisahkan dari Negara Indonesia, sebab hukum sebagai

tolak ukur dalam pembangunan nasional diharapkan mampu memberikan kepercayaan terhadap masyarakat dalam melakukan pembaharuan secara

menyeluruh di berbagai aspek. Undang Undang Dasar Tahun 1945

menyatakan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.

Kaidah ini mengandung makna bahwa hukum di negara ini ditempatkan pada

posisi yang strategis didalam ketatanegaraan. Hal ini bertujuan agar hukum

sebagai suatu sistem dapat berjalan dengan baik dan benar didalam

kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, maka diperlukan

institusi-institusi penegak hukum sebagai instrumen penggeraknya. Untuk

mewujudkan suatu negara hukum tidak saja diperlukan norma-norma hukum . Selain itu, berdasarkan Pasal 1 Angka 1

Undang-Undang Perlindungan Konsumen, menyatakan bahwa perlindungan konsumen

adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

perlindungan kepada konsumen.

35 Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia

(49)

atau peraturan perundang-undangan sebagai substansi hukum, tetapi juga

diperlukan lembaga atau badan penggeraknya sebagai struktur hukum dengan

didukung oleh perilaku hukum masyarakat sebagai budaya hukum.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa Konsumen adalah setiap orang

pemakai barang dan/atau jasa yang dalam masyarakat, baik bagi kepentingan

diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan. Definisi lain dikemukakan oleh Kotler sebagai berikut:36

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala

upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus ”Consumers are individuals and households for personal use, producers are individual and organizations buying for the purpose of pruducing” Konsumen adalah individu dan kaum rumah tangga yang melakukan

pembelian untuk tujuan penggunaan personal, produsen adalah individu atau

organisasi yang melakukan pembelian untuk tujuan produksi. Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa perlindungan

konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan

keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Penjelasan mengenai pasal

tersebut menyebutkan bahwa pelindungan konsumen diselenggarakan

sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam

pembangunan nasional, yaitu:

36

(50)

memberikan manfaat sebesar besarnya bagi kepentingan konsumen

dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan

melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan

antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam

arti materiil ataupun spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada

konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin

kepastian hukum.

Selanjutnya apabila memperhatikan substansi Pasal 2 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen berserta penjelasannya, tampak bahwa

perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui pengamh pcngendalian intern persediaan terhadap efektivitas sistem akuntansi persediaan barang logistik pada PTC. Kereta Api

Mikrostruktur kamaboko tanpa penambahan karaginan komersil (K(-)) (Gambar 6) terlihat matriks gel protein yang terbentuk seperti serabut yang kasar, hal ini disebabkan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan transformasional dan pemberdayaan psikologis terhadap kinerja karyawan dengan kreativitas

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,

A vizsgált mutatók alapján a telepeket rangsoroltuk az SRD (Sum of Ranking Difference) módszerrel.. Az SRD módszert Héberger (2010) fejlesztette ki, és a módszer

Peluang yang cukup besar untuk mengembangkan hasil-hasil penelitian dengan memanfaatkan pestisida nabati sudah menunjukkan efektivitasnya sebagai insektisida dari

Kegiatan PkM dilakukan dengan penyampaian materi dan diskusi tentang model pembelajaran inovatif berupa pembelajaran dengan menerapkan flipped classroom , pendidikan

Putri Musi Rawas mampu mengalahkan Pansa FC dengan skor yang besar. Hasil dari data yang diperoleh peneliti dari pada tim Putri Musi Rawas melawan Pansa FC yaitu