• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep dan Landasan Teori .1 Konsep .1 Konsep

Dalam rangka memperjelas makna-makna peristilahan yang digunakan dan berhubungan dengan topik tesis ini, maka penulis akan menjelaskan apakah konsep dan teori itu. Penulis mengunakan ini agar tidak terjadi pendistorsian makna. Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakan dari peristiwa kongkret (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:588).

Dalam penulisan tesis ini konsep yang akan diuraikan adalah tentang: (1) munajat, (2) kajian, (3) fungsi, (4) teks, dan (5) struktur melodi. Konsep ini terutama mengacu kepada pandangan para ahli di dunia ilmu pengetahuan seni dan dari kalangan Tarekat Naqsyabandiah itu sendiri.

(1) Munajat secara etimologi berarti Doa atau permintaan kepada Allah. Dalam Tarekat Naqsyabandiah dikenal ada 2 (dua) macam munajat yang dikenal yaitu: (1) Munajat yang dibacakan setiap melakukan ritual zikir dalam bersuluk yang berisi kalimah “ilahi anta maksudi waridho kamaklubi” yang artinya adalah Allah yang dimaksud/dituju dan ridho yang diharapkan. (2) Munajat yang dikumandangkan setiap hari sebelum Azan Salat Subuh, Maghrib dan Salat Jum’at yang diciptakan oleh tuan guru Babussalam pertama Syekh Abdul Wahab Rokan Naqsyabandy yang terdiri dari 44 (empat puluh empat) bait. Adapun pemaksudan dari munajat yang akan dibahas dalam tesis ini adalah munajat yang terdiri dari 42 (empat puluh dua) bait tuan guru di atas. Dalam Kamus Umum

Bahasa Indonesia W.J.S Poerwadarminta munajat berarti bergaul dengan tuhan dalam doa (berdoa dalam batin).

Tarekat menurut pengertian bahasa berarti jalan, aliran, cara, garis, kedudukan tokoh terkemuka, keyakinan, mazhab, sistem kepercayaan dan agama. Berasaskan tiga huruf yaitu huruf Ta, Ra dan Qaf. Ada Masyaikh yang menyatakan bahwa huruf Ta bererti Taubat, Ra berarti Redha dan Qaf berarti Qana’ah. Lafaz jamak bagi Tarekat ialah Taraiq atau Turuq yang berarti tenunan dari bulu yang berukuran 4 (empat) hingga 8 (delapan) hasta dan dipertautkan sehelai demi sehelai. Tarekat juga berarti garisan pada sesuatu seperti garis-garis yang terdapat pada telur dan menurut Al-Laits Rahmatullah ‘alaih, Tarekat ialah tiap garis di atas tanah, atau pada jenis-jenis pakaian.

Menurut al-Jurjani dalam kitabnya Al-Ta'rifaat: "Tarekat adalah jalan yang khusus bagi ahli salikin (orang yang berjalan) menuju kepada Allah dengan melalui berbagai rintangan dan peningkatan berbagai makam." (Al-Jurjani, Ta'rifaat H: 94).

Naqsyabandiyah adalah nama salah satu Tarekat dari sahabat rasullullah Abu Bakar Siddik Ra dan didirikan oleh Sayyid Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Al-Bukhari Al-Uwaisi Rahmatullah pada bulan Muharram tahun 717 Hijrah bersamaan 1317 Masehi yaitu pada abad ke 8 (delapan) Hijrah bersamaan dengan abad ke 14 (empat belas) Masehi di sebuah perkampungan bernama Qasrul ‘Arifan Bukhara. Naqsyabandiah terdiri dari 2 kata : Naqs berarti lukisan, ukiran, peta atau tanda. Band berarti terpahat, terlekat, tertampal atau terpatri. Naqsyaband berarti “ukiran yang terpahat” dan maksudnya adalah mengukirkan

kalimah Allah Subhana Wa Ta’ala dihati sanubari sehingga benar-benar terpahat dalam pandangan mata hati yakni pandangan Basirah.

(2) Konsep mengenai kajian. Istilah ini berasal dari kata analisa atau analisis, yaitu penyelidikan dan penguraian terhadap satu masalah untuk mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya serta proses pemecahan masalah yang di mulai dengan dugaan akan sebenarnya (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005).

(3) Selanjutnya yang dimaksud fungsi menunjuk pada bagian yang dimainkan dalam sebuah sistem. Fungsi dan peran merupakan sebuah kesatuan dalam pemahaman bahwa peran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi. Selanjutnya peranan dapat merupakan fungsi dari satu variabel ke variabel lainnya dalam satu kesatuan. Artinya setiap variabel dalam kesatuan itu memiliki peranan tertentu. Peranan (role) adalah: (1) fungsi individu atau peranannya dalam satu kelompok atau institusi, (2) fungsi atau tingkah laku yang diharapkan ada pada individu, atau yang menjadi ciri atau sifat dari dirinya, (3) fungsi sembarang variabel dalam satu kaitan sebab akibat (Chaplin,1989:439).

(4) Kemudian yang dimaksud dengan teks atau lirik Teks adalah naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang, kutipan dari Kitab Suci untuk pangkal ajaran atau alasan, serta bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato, dan sebagainya (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005). Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka yang dimaksud dengan teks adalah lirik munajat yang diciptakan oleh Syekh Abdul Wahab Rokan. Teks ini ada yang strukturnya berdasarkan syair dalam kebudayaan

Melayu. Syair sendiri adalah salah satu genre sastra tradisi Melayu yang dalam satu bait terdiri dari empat baris, menggunakan rima, dan kesemuanya adalah isi. Syair dalam budaya Melayu dibawa pertama kali oleh Hamzah Fansuri abad ke-13 (Takari dan Fadlin, 2010:45).

(5) Yang dimasud dengan struktur melodi adalah sebagai berikut. Struktur adalah bangunan (teoretis) yang terdiri atas unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain dalam satu kesatuan. Struktur ini bisa dikaitkan dengan pengertian struktur sosial atau struktur masyarakat. Begitu juga dengan struktur gedung atau bangunan. Struktur juga bermakna sebagai bangunan bisa saja bangunan musik, bangunan sejarah, bangunan tari, bangunan atom, dan lain-lain. Atau bisa juga sebagai kerangka yang membentuk bidang-bidang apa saja. Misalnya kerangka karangan, kerangka layang-layang, dan seterusnya (Poerwadarminta, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Dalam kaitannya dengan tulisan ini, struktur yang dimaksud adalah merujuk kepada struktur melodi. Struktur ini terdiri dari unsur-unsur: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula melodi, interval yang digunakan, nada yang digunakan, pola-pola kadensa, dan kontur melodi.

1.5.2 Teori

Selanjutnya yang dimaksud dengan teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, yang didukung oleh data dan argumentasi (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,

2005:1177). Dalam pelaksanaannya, terutama untuk mencapai tujuannya, penelitian ini menggunakan sejumlah perangkat teori, prinsip pendekatan dan prosedur pemecahan masalah yang relevan yaitu sebagai berikut.

(1) Untuk menganalisis fungsi dan guna munajat di dalam komunitas Tarekat Naqsyabandiah, penulis menggunakan teori fungsionalisme. Menurut Bronislaw Malinowski, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk tahu. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari beberapa macam human need itu. Dengan paham ini seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.9

Selaras dengan pendapat Malinowski, munajat dalam komunitas Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat, Sumatera Utara, timbul dan berkembang karena diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri masyarakatnya. Munajat timbul, karena masyarakat pengamalnya ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan dan keagamaan. Namun

9

Lihat Koentjaraningrat (ed.) Sejarah Teori Antropologi I (1987:171). Abstraksi tentang fungssi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan usaha kajian etnografi dalam antropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands, selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku

lebih jauh daripada itu, akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti integrasi masyarakat, hiburan, kontinuitas budaya dan lainnya.

Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya berikut ini.

By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).

Sejalan dengan pandangan Radcliffe-Brown, munajat bisa dianggap sebagai bahagian daripada struktur sosial masyarakat Tarekat Naqsyabandiah. Pertunjukan munajat adalah salah satu bahagian aktivitas yang bisa menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang pada masanya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian

kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai-bagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Tarekat Naqsyabandiah Babussalam Langkat.

Soedarsono yang melihat fungsi seni, terutama dari hubungan praktikal dan integratifnya, mereduksi tiga fungsi utama seni pertunjukan, yaitu: (1) untuk kepentingan sosial atau sarana upacara; (2) sebagai ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur diri, dan (3) sebagai penyajian estetika (1995). Selaras dengan pendapat Soedarsono, munajat mempunyai fungsi sosial, ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur diri dan penyajian estetika.

Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba menerapkannya dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Para pakar etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada kebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bahagian daripada pelaksanaan adat istiadat, sama ada ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain (1964:210). Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut.Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular

mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves. (1964:210).

Dari kutipan di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik berasaskan kepada tahap dan pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bahagiannya. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Dia memberikan contoh, jika seseorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia—[yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, kawin, dan berumah tangga dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia]. Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut behubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual dan kegiatan-kegiatan upacara. “Penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan demikian, sejalan dengan Merriam, menurut penulis penggunaan lebih berkaitan

dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya.

(2) Untuk mengkaji makna teks yang terkandung di dalam munajat, penulis menggunakan teori semiotik. Untuk menganalisis makna yang terkandung dalam teks munajat menggunakan teori semiotika yaitu teori Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.

Menurut Encylopedia Brittanica (2007) pengertian semiotika itu adalah seperti yang dijabarkan berikut ini.

Semiotic also called Semiology, the study of signs and sign-using behaviour. It was defined by one of its founders, the Swiss linguist Ferdinand de Saussure, as the study of “the life of signs within society.” Although the word was used in this sense in the 17th century by the English philosopher John Locke, the idea of semiotics as an interdisciplinary mode for examining phenomena in different fields emerged only in the late 19th and early 20th centuries with the independent work of Saussure and of the American philosopher Charles Sanders Peirce.

Peirce's seminal work in the field was anchored in pragmatism and logic. He defined a sign as “something which stands to somebody for something,” and one of his major contributions to semiotics was the categorization of signs into three main types: (1) an icon, which resembles its referent (such as a road sign for falling rocks); (2) an index, which is associated with its referent (as smoke is a sign of fire); and (3) a symbol, which is related to its referent only by convention (as with words or traffic signals). Peirce also demonstrated that a sign can never have a definite meaning, for the meaning must be continuously qualified.

Saussure treated language as a sign-system, and his work in linguistics has supplied the concepts and methods that semioticians apply to sign-systems other than language. One such basic semiotic

concept is Saussure's distinction between the two inseparable components of a sign: the signifier, which in language is a set of speech sounds or marks on a page, and the signified, which is the concept or idea behind the sign. Saussure also distinguished parole, or actual individual utterances, from langue, the underlying system of conventions that makes such utterances understandable; it is this underlying langue that most interests semioticians.

This interest in the structure behind the use of particular signs links semiotics with the methods of structuralism (q.v.), which seeks to analyze these relations. Saussure's theories are thus also considered fundamental to structuralism (especially structural linguistics) and to poststructuralism.

Modem semioticians have applied Peirce and Saussure's principles to a variety of fields, including aesthetics, anthropology, psychoanalysis, communi-cations, and semantics. Among the most influential of these thinkers are the French scholars Claude Lévi-Strauss, Jacques Lacan, Michel Foucault, Jacques Derrida, Roland Barthes, and Julia Kristeva.

Semiotik adalah “ilmu” yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Karena manusia memiliki kemampuan untuk memberikan makna pada berbagai gejala sosial budaya dan alam. Tanda adalah bagian dari kebudayaan manusia. Dengan demikian, semiotik adalah “ilmu” yang dapat digunakan untuk mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Penanda terletak pada tingkatan ungkapan dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek, dan sebagainya. Petanda terletak pada tingkatan isi atau gagasan dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori semiotik yang ditawarkan empat orang pakarnya.

(A) Semiotik Charles Sanders Peirce. Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik), dan indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda (Santosa, 1993:10) dan (Pudentia, 2008:323).

Bagan 1.1 Segitiga Makna Objek

Representamen Interpretan

Menurut Peirce (Santosa,1993:10) pemahaman akan struktur semiosis menjadi dasar yang tidak dapat ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme. Seorang penafsir adalah yang berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang dipahaminya. Dalam mengkaji objek yang dipahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat, segala sesuatunya akan dilihat dari tiga jalur logika, yaitu hubungan penalaran dengan jenis penandanya, hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya, dan hubungan pikiran dengan jenis petandanya seperti yang tertera dalam bagan 1.2 dan bagan 1.3 berikut.

Bagan 1.2 Pembagian Tanda

tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum.

yang diacu. baru yang terjadi dalam

batin penerima.

Qualisign: terbentuk oleh suatu kualitas yang merupakan suatu tanda, misalnya: “keras” suara sebagai tanda, warna hijau.

Ikon: tanda yang penanda dan petandanya ada kemiripan. Misalnya: foto, peta.

Rheme: tanda suatu kemungkinan atau konsep, yaitu yang memungkinkan menafsirkan berdasarkan pilihan, misalnya: “mata merah” bisa baru menangis, tapi bisa juga yang lain.

Sinsign/tokens: terbentuk melalui realitas fisik. Misalnya : rambu lalu lintas.

Index: hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Misalnya: asap dan api.

Dicent sign: tanda sebagai fakta/ pernyataan deskriptif eksistensi aktual suatu objek, mis : tanda larangan parkir adalah kenyataan tidak boleh parkir.

Legisign: Hukum atau kaidah yang berupa tanda. Setiap tanda konvensional adalah legisign, misalnya: suara wasit dalam pelanggaran.

Symbol: hubungan tanda dan objek karena kesepakatan / suatu tanda yang penanda atau petandanya arbitrer konvensional. Misalnya: bendera, kata-kata.

Argument: tanda suatu aturan, yang langsung memberikan alasan, mis : gelang akar bahar dengan alasan kesehatan.

Bagan 1.3 Hubungan Tanda

Sumber: Erni Yunita (2011)

Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda, ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali. Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat representatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu Representamen (R), Object (O), dan Interpretant (I). (R) adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili oleh (O), kemudian (I) adalah bagian dari proses yang menafsikan hubungan antara (R) dan (O).

Contoh apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka dalam kognisinya ia merujuk pada “larangan untuk berenang”(O), selanjutnya ia menafsirkan bahwa “adalah berbahaya untuk berenang disitu” (I). Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan antara R dan O bersifat konvensional.

(B) Semiotik Ferdinand de Saussure. Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk atau wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur atau seni rupa. Sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung di dalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut (Culler, 1996:7). Bagan berikut tentang tanda (sign) yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (dalam Djajasudarma, 1993:23).

Bagan 1.4 Tentang Tanda

Signifiant (signifier) “yang menandai” (citra bunyi) misalnya: pohon [p o h o n] Signe

Signifie (signified) “yang ditandai” (pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran). Contoh:

Hubungan antara signifiant dan signifie bersifat arbitrer atau sembarang saja. Dengan kata lain, tanda bahasa (signe linguistique atau signe) bersifat arbitrer. Pengertian pohon tidak ada hubungannya dengan urutan bunyi t-a-n-g-k-a-l di dalam bahasa Sunda atau w-i-t di dalam bahasa Jawa. Signifiant bersifat linear, unsur-unsurnya membentuk satu rangkaian (unsur yang satu mengikuti unsur lainnya).

Bagan 1.5 Tentang Hubungan Tanda

--- signification --- Pohon t angkal t angkal Sign/symbol Signifier Signified

Menurut Saussure (Chaer, 2003:348), tanda terdiri dari: bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari