BAB II KAJIAN TEORI KAJIAN TEORI
KONSEP MANUSIA DAN IMPLEMENTASINYA PADA PERUMUSAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
G. Konsep Manusia
Dalam al-Quran, secara terminologi manusia dipandangkan dengan kata al-Ihsan, al-Nas dan Basyar, yang menurut Jamali ketiganya menunjukkan pada substansi makna yang sama yakni unsur pensifatan yang inheren dalam diri makhluk yang tertinggi. Kata al-Ihsan memiliki makna melihat, mengetahui dan minta izin. Kata al-Nas menunjukkan hubungan antara manusia, mengetahui, berfikir, dan memahami. Demikian pula kata Insan dari asalnya nasiyah yang artinya lupa dan jika dilihat dari kata dasarnya yaitu al-Uns yang berarti jinak. Kata Basyar dipakai untuk menyebutkan semua makhluk baik laki-laki
maupun perempuan, baik plural, maupun jamak (kolektif).
Kata Basyar dalam Al-Quran seluruhnya menunjukkan pengertian pada bani Adam yang dapat makan, minum, berjalan dan bertemu dipasar-pasar sebagaimana yang lain. Dengan ketiga kata tersebut, Al-Quran menjelaskan manusia secara multidimensi, dimana kata al-insan (al-Nas) memberikan konteks ideal, fitrah, dan potensial, atau dapat juga disimpulkan dengan manusia sebagai makhluk rasional, makhluk pembentuk kebudayaan. Sedangkan kata Basyar menunjukkan pada manusia sebagai diri yang berjiwa dan berbadan kasar (jasmaniah),
manusia yang berkebutuhan fisik, religious dan sosial.42
Manusia, dalam pandangan Islam, selalu dikaitkan dengan suatu kisah tersendiri. Di dalamnya, manusia tidak semata-mata digambarkan sebagai hewan tingkat tinggi yang berkuku, pipih, berjalan dengan dua
41
Ibid, h. 29
42
Jamali, dkk, Membedah Nalar Pendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka Rihlah, 2005), hal 122-123
kaki, dan pandai bicara, lebih dari itu, menurut Al-Qur‟an, manusia lebih luhur dan gaib dari apa yang dapat didefinisikan oleh kata-kata tersebut.
Dalam Al-Qur‟an, manusia berulang kali diangkat derajatnya,
berulang-kali pula direndahkan. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi, dan bahkan para malaikat, tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan setan terkutuk dan binatang jahanam sekalipun. Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu menaklukan alam, namun bisa juga merosot menjadi “yang paling rendah dari segala yang rendah”. Oleh karena itu, makhluk manusia sendirilah yang harus menetapkan sikap dan menentukan nasib
akhir mereka sendiri.43
Penghormatan dan penghargaan Islam terhadap orang-orang yang
berilmu itu terbuktii dalam Al-qur‟an surat Al-Mujadalah ayat 11 yang
berbunyi:44
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat….(Q.S. Al-Mujadalah 11).
Menurut Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Mishbah
mengatakan, “Ilmu yang dimaksud oleh ayat di atas bukan saja ilmu
agama, tetapi ilmu apapun yang bermanfaat”. Ini menunjukan bahwa
ilmu dalam pandangan al-Qur‟an bukan hanya ilmu agama. Disisi lain
itu juga menunjukan bahwa ilmu haruslah menghasilkan rasa takut dan kagum kepada Allah,yang pada gilirannya mendorong yang berilmu untukmengamalkan ilmunya serta memanfaatkannya untuk kepentingan makhluk. 45
43
Murthadha muthahhari, Perspektif Al-Qur‟an Tentang Manusia Dan Agama,
(Bandung: Mizan, 1992), h. 117
44
Zuhairini,dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 167
45
34
Jadi, apapun ilmu yang kita cari jika itu bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain dan dengan ilmu itu kita kagum kepada sang khalik serta taqwa kepadaNya maka Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu tersebut. Tidak hanya derajat disisi Allah melainkan disisi manusia pula derajat manusia di angkat oleh Allah, sepertihalnya, Ulama, Profesor, doctor, dan lain sebagainya.
Manusia adalah khalifah Tuhan dimuka bumi
Dan ingantlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat :
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seseorang khalifah di bumi.”
(Q.S 2:30).
Menurut Quraish Shihab dalam kitab Tafsir al-Mishbah, Adalah
“Logis bila melanggar ketentuan atau syarat yang disepakati dikenai
sanksi, baik sanksi didunia maupun diakhirat”. Ayat ini menegaskan
bahwa perniagaan yang didasari kebatilan atau membunuh yang sangat besar serta aniaya maka kami kelak akan memasukannya kedalam neraka, walu usianya di dunia ini masih panjang, itu adalah ketentuan
Allah yaitu memasukannya kedalam neraka itu mudah bagi Allah.46
Sebesar-besar atau sekecil-kecilnya kebaikan pasti akan mendapatkan balasan yang baik pula dari Allah, begitu pula dengan keburukan maka akan mendapatkan balasan keburukan dari Allah. Dan setiap perbuatan akan mendapatkan resiko yang dapat ditanggung oleh diri sendiri.
Menurut Hamka di dalam bukunya Tafsir Al-Azhar 10:755, pada diri
setiap manusia, terdapat tiga unsur utama yang dapat menopang
tugasnya sebagai khalifah fi al-ard maupun abd Allah. Ketiga unsure
utama tersebut adalah akal, hati, kalbu (roh), dan pancaindra (penglihatan dan pendengaran) yang tedapat pada jasadnya. Perpaduan ketiga unsur tersebut membantu manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan membangun peradabannya, memahami fungsi
46
kekhalifahannya, serta menangkap tanda-tanda kebesaran Allah. Dalam
hal ini, ia mengutip firman Allah SWT. 47
Katakanlah: “Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, pengelihatan dan hati.” (tetapi) amat sedikit kamu bersyukur. (QS. Al-Mulk:23).
Menurut Tafsir At-Thabari, dan menjadikan kamu pendengaran
yakni yang dengannya kalian dapat mendengar, lalu pengelihatan yang dengannya kalian dapat melihat, dan hati yang dengannya kalian dapat
berfikir, namun amat sedikit kamu bersyukur, Ia berkata “sedikit sekali
sesuatu yang kalian syukuri dari banyaknya kenikmatan yang Allah
anugrahkan kepada kalian.48 Padahal untuk mendapatkan kenikmatan
dunia yang banyak adalah dengan cara bersyukur kadang kita lalai mencaci sesuatu yang kecil padahal itu pemberian Allah dan Allah tidak menciptakan sesuatu kecuali didalamnya terdapat manfaat untuk makhluk diseluruh alam, hendaknya kita bersyukur atas nikmat terkecil yang Allah berikan kepada kita seperti bernafas,melihat, mendengar dan lain-lin hingga nikmat terbesar seperti mempunya rumah mewah, mobil mewah dan lain-lain.
Menurut Harun Nasution sebagaimana dikutip oleh Al-Rasyidin dan
Samsul Nizar, “Unsur materi manusia mempunyai daya fisik, seperti
mendengar, melihat, merasa, meraba, mencium, dan gaya gerak. Sementara itu unsur imateri mempunyai dua daya, yaitu daya berfikir
yang disebut akal dan daya rasa yang berpusat dikalbu”. Untuk
membangun daya fisik perlu dibina melalui latihan-latihan keterampilan dan panca indra. Sedangkan untuk mengembangkan daya akal dapat dipertajam melalui proses penalaran dan berfikir. Sedangkan
47
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 121
48 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir At-Thabari, (Jakarta : PustakaAzzam, 2009), h. 297
36
mengembangkan daya rasa dapat dipertajam melalui ibadah, karena intisari ibadah dalam Islam ialah mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Suci, Allah SWT. Yang maha suci hanya dapat didekati oleh ruh yang suci dan ibadah adalah sarana latihan strategis untuk mensucikan ruh atau jiwa. Konsep ini membawa konsekuensi bahwa secara filosof
pendidikan Islam seyogyanya merupakan kesatuan pendidikan Qalbiyah
dan „Aqliyah agar tercipta manusia-manusia yang memiliki kepribadian
yang utuh sesuai dengan fisafat pendidikan.49
Menurut para filosof, bahwa manusia lahir dengan potesi kodratnya berupa cipta, rasa, dan karsa. Cipta adalah kemampuan spiritual yang secara khusus mempersoalkan nilai kebenaran. Rasa adalah kemampuan spiritual, yang secara khusus mempersoalkan nilai keindahan. Sedangkan karsa adalah kemampuan spiritual, yang secara khusus mempersoalkan nilai kebaikan. Ketiga jenis nilai tersebut dibingkai dalam satu ikatan system, selanjutnya dijadikan landasan dasar untuk merumuskan filsafat hidup, menentukan pedoman hiduup, dan mengatur sikap dan prilaku hidup agar senantiasa terarah ke pencapaian tujuan hidup. 50
Banyak sekali definisi dan penjelasan yang diberikan kalangan ilmuan tentang esensi dan hakikat manusia.manusia adalah binatang yang kesempurnaan belum melewati batas-batas telah memperoleh kebinatangannya, sehingga seluruh perbuatan, prilaku,karakter, dan bahkan ilmu dan pemikirannya tidak lebir bersumber dari pengaruh-pengaruh dan kebutuhan-kebutuhan materi dan hanya mempunyai satu dimensi, dan tidak mempercayai satu dimensi, dan tidak mempercayai sedikitpun akan adanya ruh, dan bahkan mereka mengatakan bahwa ruh
dan jiwa manusia tidak lebih bersumber dari reaksi kimiawi materi.51
49
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Filsafat Pendidikan Islam, h. 16-17
50
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan, h. 52
51
Diilhami oleh kaum rasional (Descartes) yang menyatakan bahwa kelebihan manusia dari binatang adalah tabiat rasionalnya, kemampuan menilai dan memilih, ditunjang oleh kaum Neo Freudian (Frankl, Adler,
Jung) yang menekankan aspek kesadaran manusia–daya kemauan dan
daya nalarnya; digerakan oleh kaum eksistensialis (Sartre, Buber, Tillich) yang menyatakan bahwa manusia berbeda dari binatang karena
ia mampu menyadari bahwa ia bertanggung jawab terhadap tindakan–
tindakan yang dilakukannya, maka psikologi humanistic melihat manusia memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari pada binatang. Ia bukan saja digerakan oleh dorongan biologis saja, tetapi juga oleh
kebutuhan untuk mengembangkan dirinya sampai bentuk yang ideal –
untuk memenuhi dirinya (Self actualization). Manusia ialah makhluk
yang unik: rasional, bertanggung jawab, dan memiliki kecerdasan.52
Analisa secara filosofis mengatakan bahwa hakikat kodrat martabat manusia adalah merupakan kesatuan integral segi-segi atau
potensi-potensi essensial : 53
Manusia sebagai makhluk pribadi (individual being)
Manusia sebagai makhluk sosial (sosial being)
Manusia sebagai manusia susila (moral being)
Manusia sebagai makhluk bertuhan.
Ada teori mengatakan bahwa manusia mengetahui sesuatu melalui fitrahnya. Benda-banda yang ia ketahui dengan cara ini, tentu saja dengan cara sedikit. Dengan kata lain, prinsip berpikir pada semua
manusia bersifat fitrah, sedangkan cabangnya bersifat muktasabah.
Yang dimaksud dengan prinsip berfikir disini bukan prinsip berfikirnya Platon, yang mengatakan bahwa di alam lain manusia telah mengetahui segala sesuatu, namun kemudian lupa. Tetapi, yang dimaksud adalah bahwa didunia ini manusia diingatkan pada prinsip-prinsip tersebut. Hanya saja, untuk mengetahuinya, ia memerlukan guru, memerlukan
52
Murthadha Muthahhari, Perspektif Al-Qur‟an Tentang Manusia Dan Agama,
(Bandung: Mizan, 1992), h. 29
53
38
system yang membedakan besar dan kecil, perlu membuat analogi,
menempuh pengalaman, dan sebagainya. Artinya, bangunan
intelektualitas manusia dijadikan sedemikian rupa, sehingga dengan menyodorkan beberapa hal saja cukuplah baginya untuk mengetahui hal itu tanpa harus ada dalil dan bukti. Dan juga bukan karena ia telah
mengetahui hal itu sebelumnya.54
Hakikat manusia sesungguhnya di samping kedua unsur pokok tersebut adalah terletak pada fungsi eksistensialnya dalam hidup ini. Seberapa jauh manusia itu dapat berbuat dalam hidup ini, baik berbuat untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa “sebaik-baik manusia adalah yang mau berbuat untuk dirinya dan berguna bagi
orang lain”.55
Suatu naluri yang memiliki hubungan erat dengan penciptaan manusia itu senidri, dan yang majukan sejarhnya adalah nalurinya itu. Aktivitasnya merupakan akibat dari naluri itu. Dan kesempurnaan
dirinya juga karena adanya naluri itu juga. Islam mengatakan, “aktivitas
manusia dilahirkan dari nalurinya.” Tetapi kaum materialis mengatakan “Naluri manusia dilahirkan dari aktivitasnya.” Islam dengan tegas menyatakan bahwa kita memiliki dua bentuk manusia: ada manusia yang fitrah di mana setiap orang sejak awal penciptaanya disertai dengan sederetan potensi meraih nilai-nilai yang tinggi dan luhur. Kemudian ketika seseorang manusia dilahirkan di dunia, ia telah memiliki potensi untuk menjadi seseorang yang bermoral, memiliki potensi untuk menjadi seseorang yang agamis, memiliki potensi menyukai keindahan, memiliki potensi untuk hidup bebas dan merdeka. Manusia secara potensial, dalam dirinya telah terdapat nilai-nilai yang tinggi dan luhur dan dalam hal ini persis sebatang tumbuhan yang agar dapat tumbuh
54
Murthadha Muthahhari, Bedah Tuntas Fitrah, (Jakarta: Citra, 2011), h. 30-31
55
A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Yogyakarta : UIN Mlang Press, 2008), h. 65
serta berkembang perlu diberi cahaya, air dan lain sebagainya. inilah “manusia fitrah”56
Dengan pengetahuan dan pendidikannya itu, manusia menjadi makhluk yang berkebudayaan, dan dan berperadaban. Dengan kegiatan pendidikan dan pembelajaran, manusia mendapatkan ilmu pengetahuan yang sarat dengan nilai kebenaran baik universal, abstrak, teoritis, maupun praktis. Nilai kebenaran ini selanjutnya mendorong terbentuknya sikap dan prilaku yang arif dan berkeadilan. Sikap yang demikian itu selanjutnya menjadi modal bagi manusia untuk membangun kebudayaan dan peradaban. Kebudayan baik yang bersifat material maupun yang beersifat spiritual, adalah upaya manusia untuk mengubah dan membangun hubungan berimbang baik secara horizon
maupun vertical.57
Manusia adalah makhluk hidup, dan kehidupannya tidaklah dapat dipisahkan dari hidup berkelompok. Sadar atau tidak sadar, manusia dari semenjak lahir sudah membutuhkan kelompok atau orang lain. Kehidupan sosial itu haurs dipandang sebagai suatu tabiat kejiwaan yang
lebih tinggi dan lebih sesuai yang telah tumbuh dari satuan biologi. 58
Dengan demikian, hakikat pendidikan adalah mengaktualisasikan segenap potensi manusia, atau memanuisakan manusia, yaitu mengaktualisasikan segenap potensi yang dimiliki manusia tersebut sehingga menjadi nampak sebagai identitas, kepribadian dan karakter dirinya. Hal ini sejalan dengan ungkapan yang sering dikatakan “ia sudah jadi orang”. Artinya bahwa ia telah berhasil mengaktualisasikan segenap potensi yang dimilikinya, sehingga ia menjadi orang yang berpendidikan tinggi, menguasai teknologi dan keterampilan, senantiasa bersyukur kepada Allah, memiliki kepedulian terhadap lingkungan alam
56
Murthadha Muthahhari, Mengenal Epistimologi, Sebuah Pembuktian Terhadap Rapuhnya Pemikiran Asing dan Kokohnya Pemikiran Islam, (Jakarta: Lentera, 2008) , h. 360
57
Supalan Suhartoni, Filsafat Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2007), h. 53-56
58
40
dan lingkungan sosialnya, serta menjalankan peran dan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi. Dengan cara demikian ia menjadi orang
yang memiliki semuanya, dan sejahtera hidupnya. 59
Manusia sebagai makhluk sosial yang berbahasa, boleh
menggunakan bahasa sebagai media berfikir dan berhubungan. Manusia mampu mencipta istilah dan menanamkan sesuatu untuk dikenal. Ia mampu berfikir wajar. Ia dapat menjadikan alam sekitarnya sebagai objek renungan, pengamatan dan karena tempat menimbulkan perubahan yang diingini. Manusia bisa mempelajari ilmu pengetahuan, kemahiran dan kecendrungan baru. Manusia bias beriman pada yang ghaib, membedakan antara baik dan buruk dan menahan nafsu
syahwatnya yang liar.60
Menurut Nana Syaodih Sukmadinata, bahwa manusia bukan hanya berusaha mempelajari hal-hal di luar dirinya tetapi juga berusaha untuk mempelajari dan memahami dirinya sendiri, manusia sendiri, sebab di antara hal-hal yang ada di lingkungannya manusialah yang paling misterius, yang paling kompleks dan sukar
dipahami.61