• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Pengembangan Masyarakat Dalam Konteks

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Azas-Azas dan Prinsip-Prinsip Pengembangan Masyarakat

2.2.1. Konsep Pengembangan Masyarakat Dalam Konteks

Masyarakat beserta kebudayaan yang ada di dalamnya senantiasa akan mengalami perubahan, baik perubahan yang terjadi secara lambat maupun cepat. Perubahan-perubahan ini diangap sebagai sesuatu yang wajar karena pengetahuan dan keadaan fisik masyarakat akan berkembang. Agar warga masyarakat dapat berperanserta dalam proses perubahan tersebut tentu mereka harus memiliki kemampuan. Inilah salah satu bagian tugas pemerintah daerah untuk melakukan upaya pengembangan masyarakat dengan memberdayakan warga masyarakat tempatan, dan menciptakan iklim yang memungkinkan peranserta warga masyarakat sehingga pada gilirannya masyarakat akan ikut berpartisipasi.

Konsep pengembangan masyarakat mengandung makna adanya keterkaitan yang tidak hanya secara ekologis dan ekonomis, tetapi juga secara sosiologis. Terutama pada tingkat pengambilan keputusan, upaya pengembangan masyarakat akan menciptakan beragam keterkaitan di tingkat kelompok, komunitas, dan lokalitas (Tonny, 2006).

Keterkaitan tersebut (level organisasi) berhubungan secara fungsional karena dipandang sebagai suatu sistem kelembagaan lokal yang berpengaruh terhadap kehidupan komunitas. Tingkat lokalitas dicirikan oleh kesatuan komunitas yang memiliki relasi sosial dan ekonomi, dengan pusat interaksi sebagai pusat pertumbuhan. Tingkat komunitas digambarkan sebagai unit interaksi sosial ekonomi yang lebih menunjuk kepada sistem administrasi/teritorial yang lebih rendah. Tingkat kelompok, sebagai kesatuan masyarakat yang mengidentifikasi diri berdasarkan karakteristik tertentu, seperti lingkup pekerjaan, kekerabatan, dan sebagainya (Tonny, 2006).

Menurut Warren (1990) dalam Budimanta (2008), komunitas adalah sekelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu dimana seluruh anggotanya berinteraksi satu sama lain, mempunyai pembagian peran dan status yang jelas, mempunyai kemampuan untuk memberikan pengaturan terhadap angota-anggotanya, biasanya komunitas dikuatkan oleh hubungan kerabat, hubungan kerja dan hubungan profesi.

Menurut Tonny (2006), makna komunitas lokal mengandung pengertian : pertama, ikatan sosial yang berlandaskan teritorial di mana masyarakat di daerah tersebut hidup dalam suatu lokalitas tertentu dengan eksistensi yang jelas; kedua, “ikatan sosial” berdasarkan lingkup pekerjaan (profesi) dimana hubungan antar anggotanya tidak permanen, tetapi mempunyai intensitas interaksi yang tinggi dalam suatu waktu tertentu; dan ketiga, “ikatan sosial” yang dibangun berdasarkan jejaring sosial (social networking) sebagai nilai tambah dari social capital (modal sosial) dengan satu fokus interaksi pada pengembangan masyarakat. Dengan demikian, secara sosiologis upaya pengembangan masyarakat perlu didekati dengan pengembangan berbasis lokal (daerah) yang menjalin “ikatan sosial” antara tingkat kelompok, komunitas, dan lokalitas.

Prinsip dasar pengembangan masyarakat (community development) yang bersumber dari dunia usaha dan pemerintah pada dasarnya masih memandang komunitas lokal sebagai obyek yang harus diperhatikan dan dirubah agar dapat setara kehidupanya dengan komunitas lainya supaya lebih mandiri. Namun di lain pihak masyarakat lokal memandang industri pertambangan sebagai sesuatu yang tidak menguntungkan bahkan lebih merupakan sebagai suatu bencana. Pemerintah dan dunia usaha (industri) diposisikan sebagai pendatang yang dengan kekuatan ekonomi dan politiknya mencari kehidupan di wilayah mereka. Untuk itu pihak pemerintah dan pihak industri memastikan keberlanjutan investasinya melalui program-program keterlibatan komunitas lokal, pendekatan kemitraan, pengembangan pola-pola partisipasi, pemberdayaan serta program-program yang berkelanjutan (Budimanta, 2008).

Pengembangan masyarakat telah digambarkan atau didefinisikan sebagai suatu gerakan sosial, suatu proses, suatu metode, dan suatu program. Oleh karena itu, suatu konsep komunitas yang bersifat monolitik dapat menghasilkan banyak kontroversi dan pandangan yang berbeda. Dengan demikian, perlu dilakukan pembahasan pengembangan masyarakat dalam konteks beragam pendekatan, yang dapat dipandang sebagai cara-cara alternatif melaksanakan pengembangan masyarakat (Tonny, 2006).

Penyelenggaraan pembangunan daerah tidak semata-mata menjadi tanggung-jawab pemerintah daerah, tetapi juga berada di pundak masyarakat. Konsep pengembangan masyarakat mengandung makna adanya keterkaitan dan pada level organisasi berhubungan secara fungsional karena dipandang sebagai suatu kelembagaan lokal yang berpengaruh pada kehidupan komunitas. Untuk itu setiap penyusunan program-program perencanaan pengembangan masyarakat harus melibatkan pemerintah lokal (local government policies). Sebagai implementasi dari makna keterkaitan tersebut perlu dibentuk lembaga organisasi atau kelembagaan yang fungsinya sebagai penghubung antara kepentingan pemerintah lokal dengan kepentingan masyarakat yang lebih bersifat makro (Tonny, 2006).

Secara konseptual, ada lima prinsip dasar dari community based development (CBD) (Rubin, 1993) dalam Tonny (2006), yaitu : (1) untuk mempertahankan eksistensinya, CBD memerlukan break even dalam setiap kegiatan yang dikelola.

Namun, berbeda dengan organisasi bisnis, kendati pemungutan fee telah menjadi pertimbangan dalam CBD, tetapi keuntungan yang diperoleh harus dapat didistribusikan kembali kepada masyarakat dalam bentuk program atau kegiatan pembangunan lainnya; (2) harus selalu melibatkan partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan program; (3) dalam melaksanakan CBD, antara kegiatan pelatihan dan pembangunan fisik (termasuk di dalamnya kegiatan pengembangan usaha), merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan; (4) dalam mengimplementasikan CBD harus dapat memaksimalkan sumberdaya (resources), khususnya dalam hal dana, baik yang berasal dari pemerintah, swasta, maupun sumber-sumber lainnya, seperti donasi dari sponsor pembangunan sosial; (5) organisasi atau kelembagaan CBD harus lebih memfungsikan diri sebagai “catalist” yang menghubungkan antara kepentingan pemerintah lokal (local government), seperti pemerintah kota dan kabupaten, dan kepentingan masyarakat.

Dengan demikian, berdasarkan ke-lima prinsip tersebut di atas, dapat diikhtisarkan bahwa: (1) CBD sangat menekankan pentingnya partisipasi warga komunitas (masyarakat), baik pada tahap perencanaan program, pelaksanaan, maupun pada tahap pengembangannya; (2) CBD selalu tidak memisahkan antara pembangunan fisik proyek dengan pelatihan keterampilan; dan (3) sumber dana bagi CBD umumnya berasal dari alokasi anggaran pemerintah, partisipasi pihak swasta, dan dari partisipasi masyarakat sendiri (Tonny, 2006).

Meskipun demikian CBD memiliki kelemahan diantaranya adalah : (1) sumber dana yang dimiliki sangat tergantung pada alokasi anggaran dari pemerintah; (2) terlalu menitikberatkan pada pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pencapaian tujuan program. Sementara itu kualitas dari partisipasi warga komunitas itu sendiri nyaris tidak mendapatkan perhatian. Pada konteks inilah perlu pemahaman akan pentingnya memasukkan variabel seleksi, sebagai unsur penentu dalam pencapai tujuan program pemberdayaan masyarakat, maupun dalam pengembangan hasil yang telah dicapai. Dengan demikian, dalam mengimplementasikan CBD, harus melibatkan pemerintah lokal dalam bentuk local government policies, maupun pihak swasta. Partisipasi dari pihak pemerintah lokal dalam hal ini, antara lain memberikan kemudahan dalam mendapatkan akses terhadap sumberdaya yang dimiliki. Sementara partisipasi dari pihak swasta

dibawah kebijakan pemerintah lokal sangat diperlukan, utamanya dalam bentuk pendanaan bagi pengembangan masyarakat (Tonny, 2006).

2.2.2. Konsep CSR (Corporate Social Responsibility) Sebagai Strategi

Dokumen terkait