• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA KAJIAN PUSTAKA

8. Para pendatang yang menikah dengan wanita setempat

2.8 Pengertian Pergeseran Bahasa

2.8.1 Konsep Pergeseran Bahasa

Pergeseran bahasa merupakan dua istilah yang mengacu kepada pilihan yang diambil masyarakat tentang bahasa mana yang akan digunakan untuk fungsi tertentu. Pilihan ini bisa mengakibatkan kematian bahasa lainnya secara total, tanpa menyisakan pemakai bahasa, atau kematian bahasa hanya di dalam komunitas tertentu.

Ada diidentifikasi beberapa kondisi yang akan menimbulkan pergeseran bahasa. Kondisi ini meliputi bilingualisme masyarakat, migrasi, industrialisasi, pemakaian bahasa di sekolah dan di pemerintahan, urbanisasi dan bahasa dalam hubungan tingkat prestise.

Seperti yang dinyatakan oleh Aitchison (1981) dan Day (1985) : “Societal bilingualism must exist at some point for language shift to occur. A monolingual society may inevitably remain monolingual unless an additional language is introduced that will affect the economic or power balance achieved through the languages”. Bilingualisme masyarakat harus ada sampai tingkat tertentu agar pergeseran bahasa terjadi. Masyarakat yang monolingual selalu bisa tetap monolingual kecuali masuk bahasa tambahan yang akan mempengaruhi keseimbangan ekonomi

atau kekuasaan yang dicapai melalui bahasa. Pernyataan ini diperkuat oleh para ahli lainnya seperti Fasold (1984), Dressler (1984), Aitchison (1981), dan Fishman (1991) sebagai berikut: “Bilingualism can ultimately lead to language shift in a society and is often marked by intergenerational switching of the languages”. Bilingualisme pada akhirnya bisa menyebabkan pergeseran bahasa pada masyarakat dan sering ditandai dengan peralihan bahasa antar-generasi.

Faktor lainnya yang terkait dengan pergeseran bahasa adalah faktor migrasi. Seperti yang sering diamati dalam pendudukan militer, sejumlah besar pemakai bahasa lain bisa bermigrasi atau masuk ke suatu masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Fasold (1984) dan Lieberson (1982): “ At times these speakers may in fact outnumber the native population of the area, creating an environment propitious for language shift”. (Kadang-kadang si pemakai bahasa ini ternyata bisa lebih banyak jumlahnya dari jumlah penduduk setempat, yang menciptakan lingkungan yang mendukung pergeseran bahasa) (terjemahan penulis).

Walaupun bilingualisme masyarakat dan jumlah pemakai bahasa lain merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran bahasa, faktor-faktor tersebut sering merupakan akibat dari kondisi yang ada lainnya. Faktor yang satu ini didukung oleh para ahli sosiolinguistik seperti Fasold (1984), dan Fishman (1977, 1991) seperti yang dinyatakan oleh mereka bahwa: ”One of the conditions is industrialization”. (Salah satu kondisi adalah industrialisasi) (terjemahan penulis). Industrialisasi dan atau modernisasi sering menimbulkan perlunya bahasa lain atau

populasi yang menggunakan bahasa lain yang lebih bisa beradaptasi dengan lingkungan teknologi yang dihasilkan akibat oleh proses ini.

Lieberson (1984) juga menyatakan bahwa: “The association of a language with modern transportation and communication may lead to a shift towards that language”. (Hubungan bahasa dengan transportasi dan komunikasi modern bisa menyebabkan pergeseran ke arah bahasa tersebut) (terjemahan penulis).

Selanjutnya Day (1985), Beer dan Jacob (1985), Fasold (1984), dan Fishman (1977, 1991) berpendapat bahwa: “ The society in which it occurs may then find that only through the learning of an additional language will the people have access to social mobility via the power and resources that industrialization brings”. (Masyarakat di mana pergeseran bahasa itu terjadi bisa mendapati bahwa hanya melalui belajar bahasa tambahan orang mendapat akses ke mobilitas sosial melalui kekuasaan dan sumberdaya yang dibawa industrialisasi) (terjemahan penulis). Fishman (1977: 115) selanjutnya menyatakan:

“These resources include access to better job opportunities, specialized knowledge needed for progress and in general, to higher prestige and privileges associated with this language. "In those settings in which either the myth or reality of social mobility is widespread, bilingualism is repeatedly skewed in favor of the more powerful being acquired and used much more frequently than that of the lesser power".

(Sumberdaya ini meliputi akses ke peluang kerja yang lebih baik, pengetahuan khusus yang dibutuhkan untuk kemajuan dan pada umumnya, prestise yang lebih tinggi dan keistimewaan yang terkait dengan bahasa ini. ”Di lingkungan di mana mitos atau realitas mobilitas sosial tersebar luas, bilingualisme berulang kali condong

mendukung bahasa yang lebih kuat daripada yang kurang kuat”. Karena itu walaupun bilingualisme diperlukan untuk pergeseran bahasa, mungkin serangan gencar industrialisasi dan penyangkalan akses selanjutnya ke sumberdaya oleh orang yang tidak menggunakan bahasa tertentu yang menjadi daya dorong terhadap pergeseran bahasa) (terjemahan penulis).

”Still another factor promoting language shift and discussed extensively by sociolinguists is the language used in schools and by the government. In order for language shift to occur, the spreading language must allow access to power and resources, and this is achieved primarily through the educational process. It is education that will allow people access to better positions, specialized knowledge and control over human and material resources. "For language spread, schools have long been the major formal (organized) mechanisms involved..." (Fishman, 1977).

(Faktor lain yang mendorong pergeseran bahasa dan dibahas secara panjang lebar oleh kalangan ahli sosiolinguistik bahwa bahasa yang digunakan di sekolah-sekolah dan oleh pemerintah. Agar pergeseran bahasa terjadi, bahasa yang sedang mengalami penyebaran harus memungkinkan akses ke kekuasaan dan sumberdaya, dan ini pada pokoknya dicapai melalui proses pendidikan. Pendidikan yang akan memungkinkan akses ke posisi yang lebih baik, pengetahuan khusus dan pengendalian atas sumberdaya manusia dan material) (terjemahan penulis). ”Untuk penyebaran bahasa, sekolah sudah lama menjadi mekanisme formal (terorganisir) utama yang terlibat...”. Fishman (1991) , dan Day (1985) turut mendukung faktor pergeseran ini seperti pernyataannya berikut ini: ” The school policy may also include the promotion of the cultural characteristics related to a particular language and a deemphasis on cultural aspects of the natives including in some cases the prohibition of vernacular

use on school grounds”. (Kebijakan sekolah juga bisa mencakup peningkatan ciri-ciri budaya yang terkait dengan bahasa tertentu dan penekanan pada aspek budaya penduduk pribumi yang dalam sebagian kasus mencakup larangan atas penggunaan bahasa penduduk pribumi di sekolah) (terjemahan penulis).

Fasold (1984), Dressler (1984), Beer dan Jacob (1985), Lewis (1982), dan Fishman (1991) berpendapat: ” The language used in other government agencies is also of some importance in that institutional (governmental) support of a language can be essential in spread or maintenance”. (Bahasa yang digunakan di lembaga pemerintah lainnya juga penting di mana dukungan institusional (pemerintah) atas suatu bahasa bisa penting dalam penyebaran bahasa) (terjemahan penulis). Selanjutnya Fasold (1984: 253) menguatkan bahwa:” The language that governments use for legislative debate and the language in which laws are written and government documents are issued are also means that can be used to promote a selected language or language variety". (Bahasa yang digunakan pemerintah untuk perdebatan legislatif dan bahasa yang digunakan di dalam undang-undang dan dokumen pemerintah yang dikeluarkan juga berarti itu bisa dipakai untuk meningkatkan bahasa tertentu atau keanekaragaman bahasa) (terjemahan penulis). Kemudian, tampak bahwa bahasa yang dipilih pemerintah untuk sekolah dan untuk berkomunikasi dengan rakyatnya juga bisa meningkatkan pergeseran bahasa jika tidak ada pendukung terhadap pemeliharaan bahasa asli.

Selanjutnya Fishman (1977), dan Fasold (1985) menyatakan bahwa faktor-faktor lainnya yang menyebabkan pergeseran bahasa adalah seperti pernyataan berikut ini: ”Urbanization and prestige are two other factors that have been identified as influential in language spread and shift. Along with industrialization, there is often a move away from rural life and migration toward urban areas. These urban areas are often the focal points of spread”. (Urbanisasi dan prestise merupakan dua faktor lain yang diidentifikasi sebagai berpengaruh pada pergeseran bahasa. Bersama-sama dengan industrialisasi, sering terjadi perpindahan dari kehidupan pedesaan dan migrasi ke daerah perkotaan. Daerah perkotaan ini sering menjadi titik fokus pengeseran bahasa) (terjemahan penulis). Selanjutnya Beer dan Jacob (1985), dan Fishman (1972) menyatakan:

“Probably because they are also the focal points of economic growth in industrialized societies. However, it is in these urban areas, that the people may also come in contact with the major part of the educated sector of the society that will promote or create organized resistance to the spread of the new language and the prestige associated with it”.

(Mungkin karena daerah perkotaan ini juga merupakan titik fokus pertumbuhan ekonomi pada masyarakat industri. Akan tetapi, di daerah perkotaan inilah orang juga bisa berkontak dengan sebagian besar sektor masyarakat berpendidikan yang akan meningkatkan atau menimbulkan resistansi teorganisir terhadap penyebaran bahasa baru dan prestise yang terkait dengannya) (terjemahan penulis). Kemudian Dressler (1984) menguatkan dengan pernyataannya sebagai berikut :

“ The process of raising the prestige level of the spreading language as the native language slowly loses prestige "social subordination". This is the first step in

language decay according to Dressler. As the native language loses prestige and is used less in social functions, this social subordination leads to a "negative sociopsychological evaluation" of the language. Native speakers of a language may "voluntarily" shift to another more prestigious language”.

(Mengacu kepada proses peningkatan tingkat prestise bahasa yang sedang menyebar karena bahasa asli perlahan-lahan kehilangan prestise ”subordinasi sosial”. Ini merupakan langkah pertama dalam pembusukan bahasa menurut Dressler. Begitu bahasa asli kehilangan prestise dan semakin sedikit digunakan dalam fungsi-fungsi sosial, subordinasi sosial ini mendorong ”evaluasi sosiopsikologis negatif” atas bahasa. Pembicara asli suatu bahasa bisa ’dengan sukarela” beralih ke bahasa yang lebih prestisius lainnya) (terjemahan penulis). Peranan nasionalisme dalam menciptakan dukungan institusional tampak jelas, tetapi fungsinya dalam meningkatkan pergeseran bisa dikaji lebih lanjut dari sudut pandang paparan sebelumnya.

Keberadaan gerakan nasionalis mungkin juga merupakan salah satu alasan atas kondisi-kondisi untuk pergeseran bahasa yang terjadi. Tidak diragukan lagi, dukungan institusional terhadap bahasa asli tidak akan dimungkinkan. Kalangan nasionalis juga menciptakan atau memperluas terjadinya pergeseran bahasa. Mereka membentuk hubungan etnis dan ideologis dengan bahasa asli; akan tetapi, dengan menegaskan keunikan kelompok ini dibandingkan dengan kelompok lainnya, hubungan etnis dan ideologis bisa dibentuk untuk kelompok lainnya dan juga bahasanya. "Ethnic and ideological encumberedness can pose problems for the spread of LWC" [a language

of wider communication, in this case English] (Fishman, 1977). Muatan etnis dan ideologi bisa menimbulkan masalah untuk penyebaran LWC [bahasa komunikasi yang lebih luas, dalam kasus ini bahasa Inggris](terjemahan penulis). Kalangan nasionalis, sambil meningkatkan keunikan etnokulturalnya sendiri yang dilambangkan oleh bahasa asli, dalam waktu yang bersamaan, bisa menciptakan identifikasi etnis dan ideologis untuk bahasa Inggris yang menahan penyebaran dan pergeseran ke bahasa ini (Dressler, 1982; Fishman, 1977; Lewis, 1985). Terakhir, tampaknya dorongan kalangan nasionalis ke arah kebijakan perencanaan bahasa yang memungkinkan pilihan akan ada dan adaptasi dari bahasa asli melalui rekayasa bahasa atau cara lainnya yang memungkinkan akses ke kemajuan ekonomi dan sosial dengan menggunakan bahasa ini. Bila motivasi instrumental untuk mempelajari bahasa tambahan tidak lagi ada atau telah berkurang, maka pergeseran bahasa juga lebih kecil kemungkinannya terjadi.

Penekanan nasionalisme ternyata memegang peranan dalam pergeseran ke bahasa lain dalam sebagian kasus. Kajian tentang gerakan bahasa nasional, kondisi-kondisi untuk pergeseran dan usaha-usaha perencanaan bahasa di Guam, Filipina dan Puerto Rico termasuk di Indonesia - seperti yang dijabarkan oleh Gunarwan (2006:109), bisa memberikan informasi relevan tentang nasionalisme dan pengaruhnya di negara-negara tersebut.

Menurut Romaine (1989) faktor-faktor pergeseran bahasa itu juga dapat berupa kekuatan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, kelas sosial, latar belakang agama dan pendidikan, hubungan dengan tanah leluhur atau asal, tingkat kemiripan antara bahasa mayoritas dengan bahasa minoritas, sikap kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, perkawinan campur, kebijakan politik pemerintah terhadap bahasa dan pendidikan kelompok minoritas, serta pola pemakaian bahasa (nama-nama para ahli tersebut dapat dilihat dalam http://ponce.inter.edu/vl/tesis/sharon/chap2.html diakses pada tanggal 2 Januari 2011) .

Gejala-gejala yang menunjukkan terjadinya pergeseran bahasa dapat diamati. Contohnya, ketika ada gejala yang menunjukkan bahwa penutur suatu komunitas bahasa mulai memilih menggunakan bahasa baru dalam domain-domain tertentu yang menggantikan bahasa lama, hal ini memberikan sinyal bahwa proses pergeseran bahasa sedang berlangsung.

Terdapat kemungkinan bahwa pergeseran bahasa dapat diperkirakan. Sebagai contoh, pergeseran bahasa hanya dapat terjadi jika suatu komunitas tidak lagi berkemauan untuk mempertahankan identitasnya sebagai kelompok sosiokultural yang dikenal dan lebih memilih untuk mengganti identitasnya menjadi bagian dari komunitas lain.

Namun, paparan di atas bukan satu-satunya hal yang menjadi dasar dapat diprediksinya pergeseran bahasa. Hal terpenting justru seharusnya dapat diprediksi kapan suatu komunitas mulai berganti identitas.