• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hutan rakyat sampai saat ini masih didefinisikan secara beragam. Undang- Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 mendefinisikan hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakan dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh diatas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Selanjutnya di dalam bab penjelas disebutkan bahwa hutan milik tersebut lazimnya disebut hutan rakyat . Pengertian hutan rakyat secara sederhana adalah hutan yang tumbuh di atas lahan milik rakyat, baik perorangan, kelompok ataupun lembaga.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-11/1997 mendefiniskan hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0.25 ha dengan penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan (lebih dari 50%), dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang. Menurut Raharjo (2007) hutan rakyat diartikan sebagai kelompok pohon-pohonan yang didominasi oleh tumbuhan berkayu, luas dan kerapatannya cukup sehingga dapat menciptakan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan di luarnya, dikelola dan dikuasai oleh rakyat. Sementara Haryono (1996) mendefinisikan hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik yang terdiri dari pohon-pohon berkayu yang diusahakan secara monokultur atau campuran, baik yang ditanam atas usaha sendiri maupun dengan bantuan pemerintah.

Menurut Suharjito et al. (2000), definisi hutan rakyat tersebut kurang mengutamakan rakyat sebagai pelaku pengelolaan dan membiarkan kemungkinan adanya hutan diatas tanah milik yang tidak dikelola oleh rakyat, melainkan oleh perusahaan swasta. Penekanan pada kata ‘rakyat” seyogyanya lebih ditunjukan kepada pengelola yaitu “rakyat kebanyakan”, bukan pada status kepemilikan tanahnya. Apabila istilah hutan rakyat yang berlaku saat ini akan dipertahankan, maka diperlukan penegasan kebijakan yang menutup peluang perusahaan swasta (sedang dan besar) menguasai tanah milik untuk pengusahaan hutan. Namun tidak menutup kemungkinan rakyat pemilik tanah berkoperasi mengusahakan hutan rakyat.

Kartodihardjo (1996) menjelaskan bahwa apabila hutan rakyat dipandang dari sudut kepemilikan dan bentuk pengambilan keputusan dapat memberikan paling tidak empat tipe kondisi, yaitu (1) pemilikan komunal, pengambilan keputusan komunal, (2) pemilikan komunal pengambilan keputusan individual, (3) pemilikan individual, pengambilan keputusan komunal, dan (4) pemilikan individual, pengambilan keputusan individual.

Istilah hutan rakyat berkaitan dengan pemilikan (property) dari suatu kawasan hutan yang dimiliki oleh rakyat. Istilah hutan rakyat digunakan untuk membedakan dengan hutan yang tumbuh di atas lahan/kawasan yang dikuasai oleh negara. Awang et al. (2007) menyebutkan bahwa terminologi pemerintah dan lembaga perguruan tinggi di Indonesia menyebut semua pohon dan pohon buah-buahan yang ditanam di lahan milik yang memiliki fungsi ekonomi, lingkungan dan sosial budaya disebut hutan rakyat yang berarti sumberdaya hutan berupa pekarangan, tegalan dan “wono” yang secara penuh dimiliki oleh masyarakat.

Awang et al. (2007) menyebutkan bahwa karakteristik hutan rakyat adalah bersifat individual, berbasis keluarga, organisasi petani komunal, tidak memiliki manajemen formal, tidak responsif, subsisten dan hanya sebagai tabungan bagi keluarga pemilik. Karakteristik seperti ini di dalam perkembangannya ke depan dinilai kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dengan pedagang dan industri dan tidak dapat menjamin adanya sinkronisasi konservasi dan kelestarian hutan.

Wijayanto (2006) menyatakan bahwa pada umumnya permasalahan yang sering dihadapi dalam pengelolaan hutan rakyat antara lain adalah, pertama

keterbatasan masyarakat dalam pengetahuan teknik silvikultur, kedua keterbatasan modal masyarakat dalam mengembangkan usaha hutan rakyat, ketiga luas pemilikan lahan yang relatif sempit dan terpencar sehingga menyulitkan pengelolaan dalam satu manajemen, keempat pembinaan yang tidak berkelanjutan dan hanya berorientasi pada proyek, kelima kualitas sumberdaya manusia (masyarakat) masih rendah, keenam kurang adanya koordinasi dari berbagai pihak baik pemerintah maupun pihak lainnya untuk mendukung pengelolaan hutan rakyat, dan ketujuh belum mantapnya tata niaga dan informasi pasar kayu rakyat sehingga peranan tengkulak masih sangat dominan dalam menentukan harga kayu hutan rakyat.

Hutan rakyat di Jawa mempunyai karakteristik yang berbeda baik dari segi budidaya maupun status kepemilikannya dibandingkan dengan di luar Jawa. Budidaya dan manajemen pengelolaan hutan rakyat di Jawa relatif lebih intensif dan lebih baik dibandingkan dengan di luar Jawa. Disamping itu juga status kepemilikan lahan dengan tata-batas yang lebih jelas serta kondisi-kondisi lain seperti pasar, informasi dan aksessibilitas yang relatif lebih baik. Hutan rakyat di Jawa pada umumnya sangat sempit, sehingga mendorong pemiliknya untuk memanfaatkan secara optimal. Secara umum masyarakat membudidayakan tanaman yang bernilai tinggi, cepat menghasilkan dan tanaman konsumsi sehari- hari (Darusman dan Hardjanto 2006). Menurut Jariyah dan Wahyuningrum (2008), karakteristik hutan rakyat di Jawa dapat terbagi dalam hutan rakyat murni yang ditanami kayu-kayuan, hutan rakyat yang ditanam kayu dan tanaman buah- buahan serta tanaman rakyat yang ditanami kayu, buah-buahan dan empon-empon seperti kebanyakan hutan-hutan rakyat di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Menurut Awang et al. (2007), pada suatu hamparan lahan masyarakat Jawa, ditemukan adanya simbiosis antara tanaman pangan, tanaman pakan ternak dan tanaman pohon-pohonan. Ini merupakan hasil kebudayaan masyarakat yang mampu membentuk ekologi tersendiri. Tanaman keras yang ditanam hanya terfokus pada tanaman tertentu, yaitu pada pohon-pohon yang sudah terdomestifikasi(sudah dibudidayakan oleh masyarakat).

Selanjutnya Awang et al. (2007) menjelaskan bahwa hasil utama hutan rakyat dapat berupa : (a) kayu, seperti sengon (Paraserianthes falcataria), jati (Tectona grandis), akasia (Acacia sp.), mahoni (Swetenia mahagoni), surian/suren (Toona sureni) dan lain-lain; (b) getah, seperti kemenyan (Styrax benzoin) dan damar (Shorea javanica); dan (c) berupa buah, seperti kemiri (Aleurites moluccana), durian (Durio zibethinus), tengkawang (Shorea spp.) dan kelapa (Cocos nucifera). Keberadaan pohon-pohon pada lahan pertanian masyarakat dapat berperan : (a) memelihara dan memperbaiki lingkungan fisik dalam rangka melestarikan tanaman pertanian dengan cara memperbaiki asupan nutrisi lahan dan energi; (b) melestarikan sumber-sumber ekonomi keluarga. Semua pohon- pohon yang ditanam di lahan milik, memiliki fungsi ekonomi, lingkungan dan sosial budaya.

Hutan rakyat dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu: (1) Hutan rakyat tradisional, yaitu hutan rakyat yang ditanam di atas tanah milik dan atas inisiatif pemiliknya sendiri tanpa adanya subsidi atau bantuan dari pemerintah, (2) Hutan rakyat inpres, yaitu hutan rakyat yang dibangun melalui kegiatan atau program bantuan penghijauan (LP IPB 1990). Berdasarkan jenis tanaman dan pola penanamannya hutan rakyat digolongkan kedalam tiga bentuk (Haryono 1996), yaitu:

1. Hutan rakyat murni, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahan secara homogen atau monokultur.

2. Hutan rakyat campuran, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.

3. Hutan rakyat sistem agroforestry atau tumpangsari, yaitu hutan rakyat yang mempunyai bentuk usaha kombinasi antara kehutanan dengan usahatani lainnya, seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan lain-lain secara terpadu pada satu lokasi.