• Tidak ada hasil yang ditemukan

Social Capital In Sustainable Private Forest Management In Wonogiri District, Central Jawa Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Social Capital In Sustainable Private Forest Management In Wonogiri District, Central Jawa Province"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

DI KABUPATEN WONOGIRI PROVINSI JAWA TENGAH

NENGSIH ANEN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI

TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis yang berjudul : Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah adalah gagasan saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka.

Bogor, Juli 2012

(4)
(5)

ABSTRACT

NENGSIH ANEN. Social Capital in Sustainable Private Forest Management in Wonogiri District, Central Jawa Province. Under direction of DIDIK SUHARJITO and IIN ICHWANDI.

Some researchs on the private forest have been done across continents with various themes. This study aimed to measure the level of social capital in the management of private forest, and analyze their effects on the private forest performance. The research was conducted by using survey method. Two villages in two district were purposively selected. Respondents were randomly selected from each villages with total number of 60 respondents. The results showed that the level of social capital in two communities in the management of private forest is high, based on strongly rules and solidarity. High social capital has facilitated the awakening of the good private forest performance, characterized by good levels of high private forest productivity, as well as the on going sustainable management of private forest, benefits in the rules of fair management and efficient cost of private forest management. Strong social capital encouraged better performance. This study concludes that social capital of Wonogiri community is still strong. Considering the high social capital in the community, the authors suggest a need to increase the parties, especially the government to support forest management through the enhancement of the role, facilitating the expansion of social networks, and strengthening to aplicate the rules to the public.

(6)
(7)

RINGKASAN

NENGSIH ANEN. Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh DIDIK SUHARJITO dan IIN ICHWANDI.

Kajian-kajian tentang hutan rakyat telah banyak dilakukan di berbagai wilayah di Jawa, luar Jawa, dan wilayah lainnya dengan fokus kajian mencakup berbagai topik. Kajian-kajian tersebut belum memberikan perhatian terhadap modal sosial. Modal sosial (social capital) sebagai salah satu konsep yang dapat digunakan untuk mengukur kapasitas masyarakat (Serageldin and Grootaert 2000), memiliki peranan yang cukup penting dalam memelihara dan membangun integrasi dalam masyarakat dan merupakan faktor penting yang mendorong percepatan pembangunan.

Kajian keterkaitan antara modal sosial dan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat atau hutan rakyat belum banyak diteliti. Sistem pengelolaan hutan rakyat tidak terlepas dari peran modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat modal sosial dalam pengelolaan hutan rakyat lestari di Kabupaten Wonogiri dan menjelaskan hubungan modal sosial terhadap performansi hutan rakyat.

Konsep modal sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang dikembangkan oleh Uphoff (2000). Mengacu Uphoff (2000) modal sosial dirinci menjadi dua kategori, yaitu struktural dan kognitif. Pada kategori struktural, unsur yang dikaji ditekankan pada peranan (roles), aturan (rules), dan jaringan (networks). Sedangkan pada kategori kognitif, unsur yang dikaji ditekankan pada kepercayaan (trust) dan solidaritas (solidarity), kedua unsur tersebut datang dari norma (norms), nilai (value), sikap (attitudes), kepercayaan (belief) yang menciptakan dan memperkuat kesalingtergantungan positif dan mendorong peningkatan aliran manfaat yang dapat dirasakan oleh komunitas pengelola hutan rakyat lestari.

(8)

sosial dalam pengelolaan hutan rakyat. Unsur-unsur dari modal sosial yang dideskripsikan adalah peranan (roles), aturan (rules), dan jaringan (networks), kepercayaan (trust) dan solidaritas (solidarity). Performansi hutan diukur dari produktivitas, keberlanjutan, keadilan dan efisiensi pengelolaan hutan rakyat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat modal sosial komunitas hutan rakyat di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip Kecamatan Batuwarno dan Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri secara umum tergolong tinggi.

Apabila kedua lokasi tersebut dibandingkankan, maka tingkat modal sosial Kelurahan Selopuro lebih tinggi dibanding modal sosial di Desa Belikurip.

Performansi hutan rakyat di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip Kecamatan Batuwarno dan Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri secara umum tergolong tinggi. Apabila kedua lokasi tersebut dibandingkankan, maka tingkat performansi hutan rakyat di Kelurahan Selopuro lebih tinggi dibanding di Desa Belikurip.

Pengaruh modal sosial terhadap performansi hutan rakyat pada Komunitas petani hutan rakyat di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa modal sosial masyarakat Kelurahan Selopuro baik modal sosial struktural maupun modal sosial kognitif berpengaruh sangat nyata terhadap performansi hutan rakyat. Dengan demikian, maka hipotesis pertama diterima yaitu, bahwa performansi hutan rakyat secara sangat nyata dipengaruhi oleh modal sosial struktural dan modal sosial kognitif. Namun, modal sosial masyarakat Desa Belikurip baik modal sosial struktural maupun modal sosial kognitif tidak berpengaruh terhadap performansi hutan rakyat. Modal sosial yang kuat akan mendorong performansi yang lebih baik.

(9)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

MODAL SOSIAL

DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT LESTARI

DI KABUPATEN WONOGIRI PROVINSI JAWA TENGAH

NENGSIH ANEN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)
(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah modal sosial, dengan judul “Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah”. Tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus terutama kepada Dr. Ir. Didik Suharjito, MS dan Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc.F sebagai pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, kritik, dan saran dalam penulisan tesis ini, serta kepada Dr. Ir. Saharuddin, MSi selaku penguji luar komisi pada ujian tesis yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada mah, abah, kakak-kakak dan adik tercinta, serta seluruh keluarga atas doa, dukungan dan kasih sayangnya. Kepada rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Juli 2012

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 12 Juni 1975 dari Bapak Nana Suadna dan Ibu Oneng. Penulis merupakan putri keempat dari lima bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Bandung, yaitu SD Negeri Cijawa II Bandung lulus tahun 1987, SMP Negeri 17 Bandung lulus tahun 1990, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Rancaekek di Kabupaten Bandung, lulus tahun 1993. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan dari Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti lulus pada tahun 1998.

(17)
(18)

4.4 Organisasi dan Struktur sosial masyarakat Kelurahan

Selopuro dan Desa Belikurip ... 51

4.4.1 Sistem Kekerabatan ... 51

4.4.2 Budaya ... 51

4.4.3 Struktur Komunitas ... 52

4.4.4 Lembaga-Lembaga Sosial Masyarakat ... 53

4.5 Sejarah Hutan Rakyat Wonogiri ... 60

4.5.1 Sejarah Hutan Rakyat Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip ... 63

4.5.2 Sistem Pengelolaaan Hutan Rakyat di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip ... 65

V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 69

5.1 Modal Sosial dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari ... 69

5.1.1 Modal Sosial Struktural ... 69

5.1.1.1 Unsur Peranan ... 69

5.1.1.2 Unsur Aturan ... 78

5.1.1.3 Unsur Jaringan ... 85

5.1.2 Modal Sosial Kognitif ... 89

5.1.2.1 Unsur Kepercayaan ... 89

5.1.2.2 Unsur Solidaritas ... 96

5.2 Performansi Hutan Rakyat ... 100

5.2.1 Produktivitas Hutan Rakyat ... 100

5.2.2 Keberlanjutan ... 101

5.2.3 Keadilan ... 102

5.2.4 Efisiensi ... 103

5.3 Pengaruh Modal Sosial terhadap Performansi Hutan Rakyat di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip ... 105

VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 109

6.1 Simpulan ... 109

6.2 Saran ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 111

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Dimensi social capital dalam tipologi bounding dan bridging ... 9

2 Kategori Modal Sosial ... 15

3 Analisis tingkat modal sosial pada komunitas kelompok tani hutan rakyat ... 34

4 Analisis tingkat performansi hutan rakyat ... 37

5 Letak dan Luas Wilayah di Lokasi Penelitian ... 41

6 Keberadaan Iklim di Lokasi Penelitian ... 43

7 Tata lahan di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip Menurut Penggunaannya ... 44

8 Jumlah dan kepadatan penduduk di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip ... 45

9 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur ... 46

10 Jumlah penduduk di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip berdasarkan mata pencaharian ... 46

11 Jumlah penduduk di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip berdasarkan tingkat pendidikan ... 48

12 Jumlah penduduk di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip berdasarkan tingkat agama ... 49

13 Ketersediaan Sarana dan prasarana di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip ... 50

14 Nama Komunitas Petani Sertifikasi/Kelompok Tani, Jumlah Anggota dan Luas Lahan Hutan Rakyat di Kelurahan Selopuro dan Belikurip ... 54

15 Peranan para pihak dalam pengelolaan hutan rakyat di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip ... 71

16 Distribusi responden menurut tingkat peranan para pihak dalam pengelolaan hutan rakyat ... 72

17 Tingkat intensitas pertemuan/komunikasi dan koordinasi yang terlibat dalam mendukung pengelolaan hutan rakyat ... 75

(20)

19 Distribusi responden menurut tingkat pengetahuan, pemahaman, kepatuhan, pelanggaran dan sanksi terhadap aturan dalam

pengelolaan hutan rakyat ... 80 20 Distribusi tingkat jaringan responden dengan para pihak yang

mendukung pengelolaan hutan rakyat ... 85 21 Distribusi responden menurut tingkat kepercayaan kepada para

pihak, aturan dan jaringan ... 90 22 Distribusi responden menurut tingkat solidaritas dalam pengelolaan

hutan rakyat ... 97 23 Perbandingan tingkat modal sosial komunitas petani hutan rakyat

lestari di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip ... 99 24 Kerapatan pohon (pohon/ha) hutan rakyat di Kelurahan Selopuro

dan Desa Belikurip ... 100 25 Volume pohon (m3/ha) hutan rakyat hutan rakyat di Kelurahan

Selopuro dan Desa Belikurip ... 101 26 Tingkat keadilan manfaat menurut jenis aturan dalam pengelolaan

hutan rakyat ... 102 27 Perbandingan tingkat performansi hutan rakyat di Kelurahan

Selopuro dan Desa Belikurip ... 105 28 Persamaan regresi pengaruh modal sosial terhadap performansi

hutan rakyat di Kelurahan Selopuro ... 105 29 Persamaan regresi pengaruh modal sosial terhadap performansi

(21)

DAFTAR GAMBAR

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Variabel pengukuran modal sosial dan performansi hutan rakyat

berdasarkan definisi operasional ... 117 2 Rekapitulasi Data Responden pada Kelurahan Selopuro ... 123 3 Rekapitulasi Data Responden pada Desa Belikurip ... 125 4 Hasil Analisis Linier Berganda, Pengaruh Modal Sosial terhadap

(23)

1.1. Latar Belakang

Kajian-kajian tentang hutan rakyat telah banyak dilakukan di berbagai wilayah di Jawa, luar Jawa, dan wilayah lainnya. Fokus kajiannya mencakup berbagai topik, antara lain tentang karakteristik hutan rakyat (Bismark et. al 2007; Jariyah dan Wahyuningrum 2008); konsep pengelolaan (Awang 2007a, 2007b), peran ekonomi hutan rakyat (Suharjito 2000; Darusman dan Harjanto 2006; Muslich dan Krisdianto 2006; Winarno dan Waluyo 2007), pengelolaan tanaman (Widiarti dan Prajadinata 2008), kelembagaan (Hakim 2010, Nugroho 2010, Prihadi et.al 2010), insentif (Diniyati dan Awang 2010), tata usaha kayu (Sahadat dan Sabarudi 2007) dan potensi karbon hutan rakyat (BKPH-XI & MFP-II 2009). Kajian-kajian tersebut belum memberikan perhatian terhadap modal sosial. Modal sosial (social capital) sebagai salah satu konsep yang dapat digunakan untuk mengukur kapasitas masyarakat (Serageldin and Grootaert 2000), memiliki peranan yang cukup penting dalam memelihara dan membangun integrasi serta sebagai perekat sosial (social glue) dalam masyarakat yang dapat menjaga kesatuan anggota masyarakat, bahkan secara tidak langsung mampu mencegah terjadinya konflik horizontal dalam masyarakat (Hermawanti dan Rinandri 2003; Siregar 2004; Flora 2007; Vemuri 2011; Supriono et al. 2012). Selain itu, modal sosial merupakan faktor penting yang mendorong percepatan pembangunan (Fadli 2007). Penelitian keterkaitan antara modal sosial dan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat belum banyak diteliti, terutama pengelolaan sumberdaya hutan pada hutan rakyat.

(24)

Berdasarkan uraian di atas, maka fokus penelitian ini adalah menjelaskan hubungan modal sosial masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat dan performansi hutan rakyat. Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Selopuro dan Desa Belikurip Kecamatan Batuwarno dan Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah. Pada kedua desa/kelurahan tersebut masyarakatnya eksis mengelola hutan rakyat dan sudah mendapatkan sertifikasi dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) pada tanggal 18 Oktober 2004 untuk kategori Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Lestari (PHBML).

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, penelitian ini akan menjelaskan bagaimana peran modal sosial masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat yang ada di Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah hingga berhasil mengelola hutan secara lestari. Pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Seberapa besar tingkat modal sosial masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat lestari di Kabupaten Wonogiri?

2. Bagaimana hubungan modal sosial dan performansi usaha hutan rakyat? Modal sosial yang dimaksud adalah aturan, peranan, jaringan, kepercayaan dan solidaritas yang ada dan berkembang di masyarakat yang merupakan tradisi dalam mengatur sistem pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Wonogiri. Performansi hutan rakyat yang dimaksud adalah produktivitas, keberlanjutan, keadilan dan efesiensi dalam pengelolaan usaha hutan rakyat.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengukur tingkat modal sosial masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat lestari di Kabupaten Wonogiri.

2. Menjelaskan hubungan modal sosial dan performansi usaha hutan rakyat.

1.4. Manfaat Penelitian

(25)

1.5. Hipotesis Penelitian

(26)
(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Modal Sosial

Konsep modal sosial telah sedemikian luas diterima di kalangan komunitas professional pembangunan. Akan tetapi, masih saja menjadi konsep yang sulit dipahami. Perhatian terhadap konsep ini didorong oleh masalah yang sama, sebab banyak pengalaman di dunia yang menunjukkan bahwa inisiatif pembangunan yang tidak mempertimbangkan dimensi manusia termasuk faktor-faktor seperti nilai, norma, budaya, motivasi, solidaritas, akan cenderung kurang berhasil dibanding dengan yang mempertimbangkan dimensi manusia. Sehingga bukan hal yang aneh kalau model pembangunan yang mengabaikan semua itu akan berujung pada kegagalan. Saat ini, konsep modal sosial lebih menarik, karena jika berhasil memahaminya, maka dapat berinvestasi di dalamnya untuk menciptakan aliran manfaat yang lebih besar (Uphoff 2000).

Konsep modal sosial memiliki pengertian yang beragam di kalangan pakar ilmu ekonomi dan ilmu sosial. Pengertian modal sosial yang berkembang selama ini banyak didasarkan pada pandangan Coleman dan Putnam, karena yang paling awal dan terkenal merumuskan konsep sosial. Coleman (1988) mendefinisikan

modal sosial adalah suatu keragaman entitas yang mempunyai dua kharakter umum, yaitu kesemuanya mengandung aspek-aspek struktur sosial, dan memfasilitasi aksi individu dalam struktur tersebut, …modal sosial dalam hal ini merupakan struktur hubungan antar individu dan diantara individu-individunya. Modal sosial tersebut didefinisikan berdasarkan fungsinya, bukanlah suatu entitas tunggal tetapi terdiri dari sejumlah entitas dengan dua elemen yang sama yaitu (1) semua terdiri dari aspek struktur-struktur sosial dan (2) memfasilitasi tindakan-tindakan antara orang perorang dalam struktur. Dalam hal ini, Coleman (1988) memandang modal sosial dari sudut pandang struktur sosial yang memiliki berbagai tindakan dan aturan yang dapat dimanfaatkan bersama.

(28)

koordinasi yang saling menguntungkan untuk manfaat bersama bagi anggota organisasi tersebut. Jaringan dan norma secara empirik saling berhubungan dan memiliki konsekuensi ekonomi yang penting.

Rumusan dua konsep modal sosial tersebut dipandang kurang operasional (Uphoff, Serageldin dan Grootaert 2000). Uphoff (2000) menyatakan banyak definisi yang diberikan oleh para ahli masih membutuhkan validasi. Sehingga

perlu lebih fokus pada komponen-komponen, hubungan-hubungan dan hasil-hasil yang dapat dievaluasi dalam praktek pembangunan secara nyata. Modal sosial membutuhkan penekanan pada hal-hal seperti apa unsur-unsur yang menyusunnya, apa yang menghubungkan mereka, serta konsekuensi apa yang dapat dikaitkan dengan unsur-unsur dan interaksi tersebut.

Lebih lanjut Uphoff (2000) menjelaskan bahwa selain definisi, berbagai pembahasan pada literatur tentang modal sosial selama ini belum sampai pada kesimpulan yang benar-benar jelas, sebab mereka lebih banyak hanya mencontohkan apa itu modal sosial, akan tetapi kurang menjelaskan secara spesifik apa saja yang dapat menumbuhkannya. Sehingga dibutuhkan analisis yang lebih mendalam, tidak hanya yang bersifat deskriptif agar kita memperoleh kemajuan baik secara teoritis maupun praktis.

Uphoff (2000) mendefinisikan modal sosial adalah akumulasi dari beragam tipe sosial, psikologis, budaya, kognitif, kelembagaan, dan aset-aset yang terkait yang dapat meningkatkan kemungkinan manfaat bersama dari perilaku kerjasama. Aset disini diartikan segala sesuatu yang dapat mengalirkan manfaat untuk membuat proses produktif di masa mendatang lebih efisien, efektif, inovatif dan dapat diperluas atau disebarkan dengan mudah. Sedangkan perilaku bermakna sama positifnya antara apa yang dilakukan untuk orang lain dengan perilaku untuk diri sendiri. Artinya, perilaku tersebut bermanfaat untuk orang lain dan tidak hanya diri sendiri. Dalam hal ini, Uphoff (2000) menghubungkan konsep modal sosial dengan proposisi bahwa hasil dari interaksi sosial haruslah dapat

mendorong lahirnya “manfaat bersama” (Mutually Beneficial Collective Action/MBCA).

(29)

memahami perbedaan dari keduanya akan memudahkan dalam memahami modal sosial. Secara abstrak/teoritis, kedua kategori itu seolah-olah bisa hadir sendiri-sendiri, namun dalam kenyataannya akan sangat sulit modal sosial itu terbentuk tanpa kehadiran kedua-duanya, karena secara intrinsik saling terkait. Aset modal sosial struktural bersifat ekstrinsik dan dapat diamati, sementara aspek kognitif tidak dapat diamati, namun keduanya saling terkait di dalam praktik, aset

struktural datang dari hasil proses kognitif.

Lebih jauh Uphoff (2000), menegaskan bahwa kedua kategori modal sosial ini memiliki ketergantungan yang sangat kuat, bentuk yang satu mempengaruhi bentuk yang lain dan keduanya mempengaruhi perilaku individu hingga mekanisme terbentuknya harapan (ekspektasi). Keduanya terkondisikan oleh pengalaman dan diperkuat oleh budaya, semangat pada masa tertentu (zeitgeist), dan pengaruh-pengaruh lainnya.

Konseptualisasi ini konsisten dengan pemikiran tentang modal sosial dari Coleman (1988), Putnam (1993). Coleman maupun Putnam memasukkan elemen struktural dan kognitif itu ke dalam definisi dan analisisnya, namun mereka lebih mendekati modal sosial secara deskriptif, bukan analitis. Dengan mengelompokkan faktor-faktor yang membangun dua kategori/elemen tersebut akan membuatnya lebih kongkrit dan dapat dipelajari, termasuk untuk tujuan pengukuran dan evaluasi.

(30)

Organisasi formal maupun informal dengan segala peran-peran, aturan, preseden, dan prosedur bersama dengan interaksi jaringan formal maupun informal serta nilai, norma, dan keyakinan yang tersebar di dalam populasi/komunitas/masyarakat dapat memberikan energi dan memperkuat modal sosial, sekaligus dapat menunjukkan bagaimana seseorang dapat memperoleh hasil dan manfaat darinya. Dimensi struktural dan kognitif yang kondusif bagi

terciptanya MBCA inilah hal spesifik yang dapat diidentifikasi, meskipun mereka lebih bersifat mental bukan material, sehingga dapat memberikan contoh nyata bagi konsep modal sosial yang abstrak (Uphoff 2000).

Merujuk pada konsep Uphoff (2000) di atas, penelitian di Srilanka menunjukkan bagaimana dua bentuk modal sosial tersebut dapat menghasilkan keuntungan material secara substantif. Organisasi petani yang dibentuk dari proyek bantuan pada awal 1980-an ternyata dapat menghasilkan panen padi di luar perkiraan pada saat terjadi kelangkaan air di tahun 1997. Padahal insinyur dari pemerintah telah menggambarkan bahwa tidak akan ada padi yang mungkin bisa tumbuh. Namun, dengan kerjasama yang efektif, khususnya dalam hal berbagi air yang langka itu, petani justru mendapatkan hasil yang lebih baik daripada panen normal/biasanya.

Kasus lain yang dilakukan oleh Suharjito dan Saputro (2008) memberikan gambaran bagaimana modal sosial yang dibangun oleh masyarakat Kasepuhan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam (pertanian dan hutan) telah diterapkan dan ditegakkan. Hasil kajian mampu menunjukkan secara tegas bahwa tatanan masyarakat hukum adat terikat kuat pada identitasnya, yakni Kasepuhan, dan membentuk pola tatanan sosial yang didasarkan pada norma, nilai, kepercayaan dan aturan-aturan yang dipegang kuat.

Kedua kajian tersebut, menunjukkan bahwa peranan modal sosial sangat berpengaruh terhadap kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya. Peranan tersebut antara lain tercermin dari pelaksanaan nilai-nilai, norma, aturan, sikap,

(31)

2.2. Dimensi dan Tipologi Modal Sosial

Dimensi modal sosial cukup luas, menurut Nan (2004) dan Coleman (2010), fokus teori social capital adalah sumberdaya yang tertambat (embedded) pada jaringan sosial dari aksi individu-individu untuk menggunakan dan memanfaatkan sumberdaya. Modal sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antar individu dan antar kelompok (Lawang

2005; Hasbullah 2006; Aribowo 2007).

Coleman (2010) mengklasifikasikan modal kedalam dua tipe yaitu modal manusia (human capital) dan modal sosial (social capital). Modal manusia dan modal sosial seringkali saling melengkapi.

Dimensi lain dari modal sosial adalah yang berkaitan dengan tipologinya. Bagaimana pola-pola interelasi berikut konsekuensinya antara modal sosial yang membentuk terikat (bounding) atau menjembatani (bridging). Modal sosial terikat cenderung bersifat eksklusif dan lebih berorientasi ke dalam daripada ke luar. Hubungan sosial yang tercipta memiliki tingkat kohesi yang kuat dan memiliki kekuatan untuk menjalin kerjasama antara anggota tetapi tidak merefleksikan kemampuan masyarakat untuk menciptakan/memiliki modal sosial yang kuat juga. Sedangkan pada modal sosial menjembatani, biasanya keanggotaan kelompok heterogen dari berbagai ragam unsur latar belakang budaya dan suku. Pertukaran ide tidak hanya datang dari luar tetapi dari keanggotaan yang bervariasi dengan mengembangkan prinsip kemanusiaan, persamaan dan kebersamaan (Hasbullah 2006). Secara lebih rinci social capital

dalam bentuk bounding dan bridging adalah sebagaimana pada Tabel 1. Tabel 1. Dimensi social capital dalam tipologi bounding dan bridging

Tipologi Social Capital

Bounding Bridging

• Terikat/ketat, jaringan yang eksklusif

• Pembedaan yang kuat antara “orang

kami” dan “orang luar”

• Hanya ada satu alternatif jawaban

• Sulit menerima arus perubahan

• Kurang akomodatif terhadap pihak luar

• Mengutamakan kepentingan kelompok

• Mengutamakan solidaritas kelompok

• Terbuka

• Memiliki jaringan yang lebih fleksibel

• Toleran

• Memungkinkan untuk memiliki banyak

alternatif jawaban dan penyelesaian masalah

• Akomodatif untuk menerima perubahan

• Cenderung memiliki sikap yang altruistik,

humanitarianistik dan universal

(32)

Woolcock (1998) membedakan tiga tipe modal sosial, yaitu: bounding, bridging dan linking sebagai berikut: 1) Tipe ‘bounding’ dicirikan dengan ikatan yang kuat (atau ‘social glue’), seperti antar anggota atau anggota keluarga dalam grup etnik yang sama; 2) Tipe ‘Bridging’ dicirikan dengan ikatan yang lemah (social oil), seperti asosiasi lokal, hubungan teman dari grup etnik berbeda; 3) tipe

‘linking’ dicirikan dengan hubungan antara kelompok yang berbeda level kekuasaanya atau status sosialnya, seperti hubungan antara elit politik dengan masyarakat umum, atau antara individu-individu dari klas sosial yang berbeda.

Ketiga pandangan tersebut sebenarnya merupakan prinsip yang menjadi dasar pengelompokan modal sosial. Social bounding (perekat sosial), merupakan modal sosial yang lebih banyak bekerja secara internal dan solidaritas yang dibangun karenanya menimbulkan kohesi sosial yang lebih bersifat mikro dan komunal karena itu hubungan yang terjalin di dalamnya lebih bersifat eksklusif (nilai, kultur, persepsi, tradisi dan adat istiadat). Sedangkan social bridging

(jembatan sosial) timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompoknya dan lebih banyak menjalin jaringan dengan potensi eksternal yang melekat. Social linking merupakan hubungan sosial di antara beberapa level dari kekuatan sosial atau status sosial dalam masyarakat tanpa membedakan kelas dan status sosial tersebut (Ramli 2007; LP UNPAD 2008).

2.3. Unsur-Unsur Pembentuk Modal Sosial

Secara umum modal sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota masyarakat/kelompok secara bersama-sama. Menurut Ridell (1997), dalam Suharto (2007) dan Putnam (1993), menyebutkan tiga parameter modal sosial yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan jaringan-jaringan (networks). Dimana modal ini mempunyai komponen penting yaitu keterlibatan aktif dalam pengembangan jaringan sosial, norma-norma yang

(33)

Modal sosial mempunyai tiga pilar utama, yaitu: 1. Trust (kepercayaan)

Trust atau kepercayaan bagi sebagian analis disebut sebagai bagian tak terpisahkan dari modal sosial dalam pembangunan yang menjadi “ruh” dari modal sosial (Dharmawan, 2002a: 2002b). Kepercayaan terbagi atas tiga klasifikasi aras (Dharmawan, 2002a: 2002b), yaitu:

a. Kepercayaan pada aras individu dimana kepercayaan merupakan bagian dari moralitas dan adab yang selalu melekat pada karakter setiap individu. Kepercayaan pada aras ini terbentuk bila seseorang dapat memenuhi harapan orang lain sesuai janji (promise keeping) sesuai yang telah disepakati. Hal ini menunjukkan adanya nilai mengemban amanah.

b. Kepercayaan pada aras kelompok dan kelembagaan yang menjadi karakter moral kelompok dan institusi. Kepercayaan pada aras ini termasuk regulasi dan beragam bentuk agreed institutional agreement yang digunakan dalam rangka menjaga amanah di tingkat group sosial secara efektif.

c. Kepercayaan pada sistem yang abstrak seperti ideologi dan religi yang membantu setiap individu dalam mengoperasionalisasikan kepercayaan dalam hubungan bermasyarakat.

Fedderke et al. (1999) menjelaskan bahwa modal sosial mencakup kepercayaan sosial yang memfasilitasi adanya koordinasi dan komunikasi. Koordinasi dan komunikasi yang terjalin ini akan mempengaruhi terhadap tindakan kolektif yang dilakukan dalam rangka mencapai keuntungan kolektif juga. Coleman (1998) juga menyebutkan bahwa kelangsungan setiap transaksi dan hubungan sosial dalam masyarakat dimungkinkan dan ditentukan oleh terpeliharanya “trust” atau kepercayaan dari pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan sosial tersebut.

(34)

2. Networking (Jaringan)

Menurut Coleman (1998) jaringan sosial merupakan sebuah hubungan sosial yang terpola atau disebut juga pengorganisasian sosial. Jaringan sosial juga menggambarkan jaring-jaring hubungan antara sekumpulan orang yang saling terkait baik langsung maupun tidak langsung. Membahas jaringan sosial, tentu saja tidak bisa terlepas dari komunikasi yang terjalin antar

individu (interpersonal communication) sebagai unit analisis dan perubahan prilaku yang disebabkannya. Hal ini menunjukkan bahwa jaringan sosial terbangun dari komunikasi antar individu (interpersonal communication) yang memfokuskan pada pertukaran informasi sebagai sebuah proses untuk mencapai tindakan bersama, kesepakatan bersama dan pengertian bersama (Rogers & Kincaid 1980).

Jaringan sosial dilihat dengan menggunakan beberapa ukuran yaitu: (a) ikatan informal yang dikarakteristikan dengan adanya kepercayaan dan hubngan timbale balik yang lebih familiar dan bersifat personal seperti pada ikatan pada keluarga, pertemanan, pertetanggaan; (b) ikatan yang sifatnya lebih umum; dan (c) ikatan kelembagaan yang dikarakteristikkan dengan adanya kepercayaan dalam kelembagaan yang ada. Misalnya pada ikatan dalam system kelembagaan dan hubungan kekuasaan (Stone dan Hughes 2002).

(35)

Coleman (1998) sebagai salah satu seorang penggagas konsep modal sosial, melihat bahwa jaringan (networks) dalam modal sosial merupakan konsekuensi yang telah ada ketika kepercayaan diterapkan secara meluas dan didalamnya terdapat hubungan timbale balik yang terjalin dalam masyarakat dengan adanya harapan-harapan dalam masyarakat.

3. Norm (Norma-norma/aturan)

Norma masyarakat merupakan elemen penting untuk menjaga agar hubungan sosial dalam suatu sistem sosial (masyarakat) dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. Fukuyama (2007) berpendapat bahwa modal sosial dibentuk dari norma-norma informal berupa aturan-aturan yang sengaja dibuat untuk mendukung terjadinya kerjasama diantara dua atau lebih individu. Norma-norma yang membentuk modal sosial dapat bervariasi dari hubungan timbal balik antara dua teman sampai pada hubungan kompleks dan kemudian terelaborasi menjadi doktrin. Selain dibentuk oleh aturan-aturan tertulis misalnya dalam organisasi sosial, dalam menjalin kerjasama dalam sebuah interaksi sosial juga terkait dengan nilai-nilai tradisional. Nilai-nilai yang dimaksud misalnya kejujuran, sikap menjaga komitmen, pemenuhan kewajiban, ikatan timbale balik dan yang lainnya. Nilai-nilai sosial seperti ini sebenarnya merupakan aturan tidak tertulis dalam sebuah sistem sosial yang mengatur masyarakat untuk berprilaku dalam interaksinya dengan orang lain.

Norma sebagai elemen penting modal sosial juga diutarakan oleh Fedderke

et al. (1999) yang menyatakan bahwa sebuah asosiasi sosial (organisasi sosial) di dalamnya mengandung norma-norma berupa aturan-aturan informal dan nilai-nilai yang memfasilitasi adanya koordinasi di antara anggota dalam sebuah sistem sosial. Hal ini menurutnya memungkinkan adanya tindakan-tindakan kerjasama untuk memudahkan pekerjaan guna mencapai keuntungan kolektif yang dirasakan bersama.

Uphoff (2000) menjelaskan unsur-unsur modal sosial dirinci menjadi dua

(36)

sumberdaya, komunikasi dan koordinasi, dan resolusi konflik. Hubungan-hubungan sosial membangun pertukaran (exchange) dan kerjasama (cooperation) yang melibatkan barang material maupun non material. Hubungan-hubungan sosial membentuk jejaring (networks). Peranan, aturan, dan jejaring memfasilitasi tindakan kolektif yang saling menguntungkan (mutually beneficial collective action/MBCA).

Kategori kognitif datang dari proses mental yang menghasilkan gagasan/pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi. Norma, nilai, sikap, dan kepercayaan memunculkan dan menguatkan saling ketergantungan positif dari fungsi manfaat dan mendukung MBCA. Terdapat dua orientasi, yaitu orientasi ke arah pihak/orang lain dan orientasi mewujudkan tindakan. Orientasi pertama, yaitu norma, nilai, sikap, dan kepercayaan yang diorientasikan kepada pihak lain, bagaimana seseorang harus berfikir dan bertindak ke arah orang lain. Kepercayaan (trust) dan pembalasan (reciprocation) merupakan cara membangun hubungan dengan orang lain. Sedangkan tujuan membangun hubungan sosial adalah solidaritas. Kepercayaan (trust) dilandasi oleh norma, nilai, sikap, dan kepercayaan (belief) untuk membuat kerjasama dan kedermawanan efektif. Solidaritas juga dibangun berdasarkan norma, nilai, sikap, dan kepercayaan untuk membuat kerjasama dan kedermawanan bergairah.

(37)

Tabel 2. Kategori Modal Sosial

Kategori Struktural Kognitif Sumber dan

perwujudannya/manifestasi

Peran dan aturan

Jaringan dan hubungan antar pribadi lainnya

Domain/ranah Organisasi sosial Budaya sipil/kewargaan

Faktor-faktor dinamis Hubungan horisontal

Hubungan vertikal

Kepercayaan, solidaritas, kerjasama, kemurahan hati/kedermawanan

Elemen umum Harapan yang mengarah pada perilaku kerjasama, yang akan

menghasilkan manfaat bersama

Sumber: Uphoff (2000)

Dua kategori pembentuk unsur modal sosial tersebut secara intrinsik saling terkait. Walaupun peran, aturan, jaringan preseden dan prosedur dapat diamati di dalamnya, itu semua tetap datang dari hasil proses kognitif. Aset modal sosial

struktural bersifat ekstrinsik dan dapat diamati, sementara aspek kognitif tidak dapat diamati, namun keduanya saling terkait di dalam praktik (Uphoff 2000).

2.4. Pengukuran Modal Sosial

Metode pengukuran modal sosial yang dapat disesuaikan dengan kondisi lokal cukup beragam. Model-model tersebut antara lain adalah:

1. Index of National Civic Health

Indeks ini dikembangkan oleh Pemerintah Amerika Serikat untuk merespon penurunan partisipasi masyarakat. Pengukuran dilakukan dengan

menggunakan 5 (lima) indikator, yakni: (a) keterlibatan politik; (b) kepercayaan; (c) keanggotaan dalam asosiasi; (d) keamanan dan

(38)

2. Integrated Questionnaire for The Measurement of Social Capital (SC-IQ) Model ini dikembangkan oleh Grootaert et al. (2004) dengan penekanan fokus pada negara-negara berkembang. Model ini bertujuan memperoleh data kuantitatif pada berbagai dimensi modal sosial dengan unit analisis pada tingkat rumah tangga. Pada model ini, digunakan 6 (enam) indikator, yakni: (a) kelompok dan jejaring kerja; (b) kepercayaan dan solidaritas; (c)

aksi kolektif dan kerjasama (cooperation); (d) informasi dan komunikasi; (e) kohesi dan inklusivitas sosial; serta (f) pemberdayaan dan tindakan politik.

3. Social Capital Assesment Tool

Model ini dikembangkan oleh Krishna dan Shrader (1999) yang mencoba menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif untuk menciptakan pengukuran komplementer dan kompleksitas dimensi sosial. Unit analisa SCAT adalah pada rumah tangga dan komunitas, dengan variabel yang berhubungan dengan modal sosial yang mungkin diciptakan dan diakses oleh individu, rumah tangga dan institusi lokal. SCAT mengukur modal sosial pada tiga level yaitu profil komunitas, profil rumah tangga dan profil organisasi. SCAT walaupun mengkat kajian pada level makro dan mikro tetapi untuk level makro dapat dilakukan wawancara untuk informan kunci pada institusi yang terkait. Pada SCAT diperolah gambaran profil masyarakat melalui serangkaian wawancara. Beberapa metode partisipatif digunakan untuk mengembangkan profil masyarakat. Selain format kelompok fokus, pengumpulan data mencakup pemetaan masyarakat diikuti diagram kelembagaan.

4. Mapping and Measuring Social Capital

Model ini dikembangkan oleh Krishna dan Uphoff (1999) yang mencoba menggunakan metode kuantitatif untuk pemetaan dan mengukur modal sosial pada sebuah studi konseptual dan empiris pada tindakan bersama

(39)

kuantitatif pada unsur modal sosial dengan unit analisis pada tingkat individu rumah tangga dipilih secara acak di setiap desa. Selain wawancara pada individu rumah tangga, juga dilakukan wawancara kelompok fokus dengan para pemimpin desa. Pada model ini digunakan 6 (enam) unsur modal sosial dari kategori struktural dan kognitif. Unsur modal sosial kategori struktural berhubungan dengan hubungan sosial yakni: (a) peran;

(b) jaringan; dan (c) aturan. Unsur modal sosial kategori kognitif berhubungan dengan norma, nilai, sikap, dan kepercayaan yang diorientasikan kepada pihak lain, yakni: (a) kepercayaan; (b) timbal balik; dan (c) solidaritas. Analisis yang digunakan adalah menggunakan analisis korelasi dan regresi.

2.5. Konsep Hutan Rakyat

Hutan rakyat sampai saat ini masih didefinisikan secara beragam. Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 mendefinisikan hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakan dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh diatas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Selanjutnya di dalam bab penjelas disebutkan bahwa hutan milik tersebut lazimnya disebut hutan rakyat . Pengertian hutan rakyat secara sederhana adalah hutan yang tumbuh di atas lahan milik rakyat, baik perorangan, kelompok ataupun lembaga.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-11/1997 mendefiniskan hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0.25 ha dengan penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan (lebih dari 50%), dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang. Menurut Raharjo (2007) hutan rakyat diartikan sebagai kelompok pohon-pohonan yang didominasi oleh tumbuhan berkayu, luas dan kerapatannya cukup sehingga dapat menciptakan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan di luarnya, dikelola dan dikuasai oleh rakyat. Sementara Haryono (1996) mendefinisikan hutan rakyat

(40)

Menurut Suharjito et al. (2000), definisi hutan rakyat tersebut kurang mengutamakan rakyat sebagai pelaku pengelolaan dan membiarkan kemungkinan adanya hutan diatas tanah milik yang tidak dikelola oleh rakyat, melainkan oleh perusahaan swasta. Penekanan pada kata ‘rakyat” seyogyanya lebih ditunjukan kepada pengelola yaitu “rakyat kebanyakan”, bukan pada status kepemilikan tanahnya. Apabila istilah hutan rakyat yang berlaku saat ini akan dipertahankan,

maka diperlukan penegasan kebijakan yang menutup peluang perusahaan swasta (sedang dan besar) menguasai tanah milik untuk pengusahaan hutan. Namun tidak menutup kemungkinan rakyat pemilik tanah berkoperasi mengusahakan hutan rakyat.

Kartodihardjo (1996) menjelaskan bahwa apabila hutan rakyat dipandang dari sudut kepemilikan dan bentuk pengambilan keputusan dapat memberikan paling tidak empat tipe kondisi, yaitu (1) pemilikan komunal, pengambilan keputusan komunal, (2) pemilikan komunal pengambilan keputusan individual, (3) pemilikan individual, pengambilan keputusan komunal, dan (4) pemilikan individual, pengambilan keputusan individual.

Istilah hutan rakyat berkaitan dengan pemilikan (property) dari suatu kawasan hutan yang dimiliki oleh rakyat. Istilah hutan rakyat digunakan untuk membedakan dengan hutan yang tumbuh di atas lahan/kawasan yang dikuasai oleh negara. Awang et al. (2007) menyebutkan bahwa terminologi pemerintah dan lembaga perguruan tinggi di Indonesia menyebut semua pohon dan pohon buah-buahan yang ditanam di lahan milik yang memiliki fungsi ekonomi, lingkungan dan sosial budaya disebut hutan rakyat yang berarti sumberdaya hutan berupa pekarangan, tegalan dan “wono” yang secara penuh dimiliki oleh masyarakat.

Awang et al. (2007) menyebutkan bahwa karakteristik hutan rakyat adalah bersifat individual, berbasis keluarga, organisasi petani komunal, tidak memiliki manajemen formal, tidak responsif, subsisten dan hanya sebagai tabungan bagi

(41)

Wijayanto (2006) menyatakan bahwa pada umumnya permasalahan yang sering dihadapi dalam pengelolaan hutan rakyat antara lain adalah, pertama

keterbatasan masyarakat dalam pengetahuan teknik silvikultur, kedua keterbatasan modal masyarakat dalam mengembangkan usaha hutan rakyat, ketiga luas pemilikan lahan yang relatif sempit dan terpencar sehingga menyulitkan pengelolaan dalam satu manajemen, keempat pembinaan yang tidak berkelanjutan dan hanya berorientasi pada proyek, kelima kualitas sumberdaya manusia (masyarakat) masih rendah, keenam kurang adanya koordinasi dari berbagai pihak baik pemerintah maupun pihak lainnya untuk mendukung pengelolaan hutan rakyat, dan ketujuh belum mantapnya tata niaga dan informasi pasar kayu rakyat sehingga peranan tengkulak masih sangat dominan dalam menentukan harga kayu hutan rakyat.

Hutan rakyat di Jawa mempunyai karakteristik yang berbeda baik dari segi budidaya maupun status kepemilikannya dibandingkan dengan di luar Jawa. Budidaya dan manajemen pengelolaan hutan rakyat di Jawa relatif lebih intensif dan lebih baik dibandingkan dengan di luar Jawa. Disamping itu juga status kepemilikan lahan dengan tata-batas yang lebih jelas serta kondisi-kondisi lain seperti pasar, informasi dan aksessibilitas yang relatif lebih baik. Hutan rakyat di Jawa pada umumnya sangat sempit, sehingga mendorong pemiliknya untuk memanfaatkan secara optimal. Secara umum masyarakat membudidayakan tanaman yang bernilai tinggi, cepat menghasilkan dan tanaman konsumsi sehari-hari (Darusman dan Hardjanto 2006). Menurut Jariyah dan Wahyuningrum (2008), karakteristik hutan rakyat di Jawa dapat terbagi dalam hutan rakyat murni yang ditanami kayu-kayuan, hutan rakyat yang ditanam kayu dan tanaman buah-buahan serta tanaman rakyat yang ditanami kayu, buah-buah-buahan dan empon-empon seperti kebanyakan hutan-hutan rakyat di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Menurut Awang et al. (2007), pada suatu hamparan lahan masyarakat Jawa, ditemukan adanya simbiosis antara tanaman pangan, tanaman pakan ternak

(42)

Selanjutnya Awang et al. (2007) menjelaskan bahwa hasil utama hutan rakyat dapat berupa : (a) kayu, seperti sengon (Paraserianthes falcataria), jati (Tectona grandis), akasia (Acacia sp.), mahoni (Swetenia mahagoni), surian/suren (Toona sureni) dan lain-lain; (b) getah, seperti kemenyan (Styrax benzoin) dan damar (Shorea javanica); dan (c) berupa buah, seperti kemiri (Aleurites moluccana), durian (Durio zibethinus), tengkawang (Shorea spp.) dan kelapa (Cocos nucifera). Keberadaan pohon-pohon pada lahan pertanian masyarakat dapat berperan : (a) memelihara dan memperbaiki lingkungan fisik dalam rangka melestarikan tanaman pertanian dengan cara memperbaiki asupan nutrisi lahan dan energi; (b) melestarikan sumber-sumber ekonomi keluarga. Semua pohon-pohon yang ditanam di lahan milik, memiliki fungsi ekonomi, lingkungan dan sosial budaya.

Hutan rakyat dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu: (1) Hutan rakyat tradisional, yaitu hutan rakyat yang ditanam di atas tanah milik dan atas inisiatif pemiliknya sendiri tanpa adanya subsidi atau bantuan dari pemerintah, (2) Hutan rakyat inpres, yaitu hutan rakyat yang dibangun melalui kegiatan atau program bantuan penghijauan (LP IPB 1990). Berdasarkan jenis tanaman dan pola penanamannya hutan rakyat digolongkan kedalam tiga bentuk (Haryono 1996), yaitu:

1. Hutan rakyat murni, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahan secara homogen atau monokultur.

2. Hutan rakyat campuran, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.

3. Hutan rakyat sistem agroforestry atau tumpangsari, yaitu hutan rakyat yang mempunyai bentuk usaha kombinasi antara kehutanan dengan usahatani lainnya, seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan lain-lain secara terpadu pada satu lokasi.

2.6. Pengelolaan Hutan Rakyat

(43)

bahan baku industri tanpa mengabaikan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan pemilik lahan khususnya (Sukadaryati 2006).

Tujuan pengelolaan hutan rakyat menurut Lembaga penelitian IPB (1990) antara lain: (1) adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap peningkatan pendapatan; (2) adanya peningkatan peran dari hutan rakyat terhadap kualitas lingkungan secara berkesinambungan; dan (3) adanya peningkatan peran dari

hutan rakyat terhadap pendapatan pemerintah daerah secara berkesinambungan. Sedangkan menurut Sumitro (1985), dalam Setyawan (2002), menyatakan bahwa tujuan pembangunan hutan rakyat antara lain: (1) memanfaatkan secara maksimal dan lestari lahan yang tidak produktif atau yang karena keadaan lapangan dan tanahnya tidak sesuai untuk pertanian tanaman pangan; (2) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya petani akan kebutuhan kayu bakar maupun kayu perkakas serta jenis hasil hutan lainnya; (3) meningkatkan pendapatan masyarakat petani sekaligus meningkatkan kesejahteraan dan (4) memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya lahan hutan yang ada di kawasan perlindungan daerah aliran sungai.

Menurut Lembaga Penelitian IPB (1990) ada tiga sub sistem yang saling terkait dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat, yaitu sub sistem produksi, sub sistem pengolahan hasil dan sub sistem pemasaran hasilnya. Perincian komponen yang terdapat pada setiap sub sistem adalah sebagai berikut:

1. Sub sistem produksi adalah tercapainya kesimbangan produksi dalam jumlah jenis dan kualitas tertentu serta tercapainya kelestarian usaha dari para pemilik lahan hutan rakyat. Sub sistem ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan.

2. Sub sistem pengolahan hasil adalah proses sampai menghasilkan bentuk, produk akhir yang dijual oleh para petani hutan rakyat atau dipakai sendiri. 3. Sub sistem pemasaran hasil adalah tercapainya tingkat penjualan yang

optimal, dimana semua produk yang dihasilkan dari hutan rakyat terjual

dipasaran.

(44)

pelaksanaan kegiatan produksi, pengolahan hasil dan pemasaran secara terencana dan berkesinambungan. Tujuan akhir dari pengelolaan hutan rakyat ini adalah peran kayu rakyat terhadap peningkatan pendapatan pemilik/pengusahanya secara terus menerus selama daur.

Satuan periode waktu terbesar yang dipakai dalam mengukur kesinambungan hasil adalah jangka waktu 1 tahun. Hal ini dimaksudkan agar

pendapatan dari hutan rakyat dapat memberikan tambahan terhadap pendapatannya pada setiap periode waktu yang relative pendek, maksimum untuk setiap periode 1 tahun sepanjang daur (Lembaga Penelitian IPB 1990).

Selanjutnya lembaga penelitian IPB (1990) menjelaskan bahwa. Pengaturan hasil pada hutan rakyat menggunakan metode jumlah batang atau manajemen pohon, yaitu pengelolaan pohon demi pohon dari berbagai struktur tanaman yang terdapat pada lahan milik yang bertujuan untuk kelestarian pendapatan bagi setiap petani hutan rakyat.

Sistem pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh masyarakat memiliki performansi atau kinerja. Performansi hutan rakyat yang dimaksud adalah produktivitas, keberlanjutan, keadilan dan efesiensi. Mengacu pada Conway (1987) dalam Suharjito et al. (2000) produktivitas didefinisikan sebagai out-put produk bernilai perunit sumber daya. Keberlanjutan didefinisikan sebagai kemampuan suatu agroekosistem untuk menjaga produktivitas dari waktu ke waktu. Keadilan didefinisikan sebagai pemerataan distribusi produk dari agroekosistem diantara yang berhak menerima manfaat dan dengan terdefinisinya

property rights dengan baik maka akan tercapai efesiensi.

Menurut Suharjito et al. (2000) performansi tersebut antara lain dipengaruhi oleh : (1) sistem pengelolaan, yaitu sistem penguasaan dan pengambilan keputusan apakah secara individual atau komunal. Sistem penguasaan dan pengambilan keputusan pengelolaan mempengaruhi responsibilitas terhadap ekonomi pasar dan model ekonomi sosialnya; (2) Orientasi usaha, apakah

(45)

Performansi praktik-praktik pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat tradisional di Indonesia, seperti dikenal istilah hutan rakyat; hutan desa; hutan kebun; wanatani; atau menggunakan istilah daerah seperti mamar di Nusa Tenggara Timur, limbo di Kalimantan Timur, tembawang di Kalimantan Barat, repong di Lampung, dan tombak di Tapanuli Utara sebagai bukti kongkrit keberhasilan pengelolaan sumber daya alam berupa hutan dan lahan dengan

berbasiskan pada masyarakat (Suharjito et al. 2000).

Hutan rakyat pada umumnya dilakukan secara individu (perorangan) pada lahan miliknya sehingga cenderung menyebar berdasarkan letak, luas kepemilikan lahan dan keragaman pola usaha taninya. Petani hutan rakyat biasanya tergabung dalam suatu wadah kelompok tani. Kelompok tani ini bisa dibentuk oleh pemerintah, bisa dibentuk oleh lembaga swadaya masyarakat dan bisa juga terbentuk berdasarkan atas kebutuhan dan kepentingan bersama dari beberapa anggota masyarakat. Kelompok tani ini akan berjalan sesuai dengan kebutuhan dan melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat seperti penanaman, pemeliharaan, penebangan dan pemasaran. Untuk menjamin kelestarian hasil hutan rakyat, maka diperlukan penguatan kelembagaan yang akan membentuk aturan internal yang mengatur sistem dalam pengelolaan hutan rakyat (Hindra 2006).

Perkembangan hutan rakyat di setiap tempat dipengaruhi oleh kebiasaan budaya dan pengetahuan lokal. Suharjito et al. (2000) menyebutkan keberadaan hutan rakyat tidaklah semata-mata akibat interaksi alami antara komponen botani, mikroorganisme, mineral tanah, air, udara, melainkan adanya peran manusia dan kebudayaannya. Kreasi budaya yang dikembangkan dalam interaksinya dengan hutan ini berbeda-beda antara kelompok masyarakat. Hasil budaya ini terwujud dalam pola tanam yang bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya, dari suatu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya.

Paradigma pembangunan kehutanan yang terjadi di Indonesia mengalami

(46)

paradigma baru ini pemerintah semakin memperhatikan pembangunan hutan rakyat, hal ini didorong karena hutan rakyat sangat menguntungkan ditinjau dari aspek ekonomi, ekologi maupun sosial budaya.

Hutan rakyat sebagai model pengelolaan hutan yang lebih bersifat individual harus dikembangkan dengan jalan membangun jejaring kerja secara kolektif. Pola jejaring kerja yang dikembangkan oleh petani hutan rakyat adalah

membangun hubungan kemitraan antara petani dengan petani, petani dengan kelompok tani, petani dengan lembaga penyedia modal dan petani dengan pedagang. Selain itu yang menunjukkan kesejahteraan sosial petani hutan rakyat adalah tidak adanya konflik antar petani menyangkut batas-batas lahan hutan rakyat. Batas-batas lahan yang jelas dan tata aturan serta norma hubungan yang sudah melembaga dalam kaitan dengan pengelolaan hutan rakyat merupakan modal sosial yang menjaga keharmonisan hubungan antar petani (Awang et al.

(47)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini menggunakan konsep modal sosial dari Uphoff (2000). Pertimbangan menggunakan konsep ini adalah bahwa konsep modal sosial dari Uphoff (2000) lebih operasional dan terperinci unsur-unsurnya yang dicirikan adanya pembagian kategori sehingga lebih jelas untuk bisa melihat kapasitas masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat lestari.

Uphoff (2000) mengartikan modal sosial adalah akumulasi dari beragam tipe sosial, psikologis, budaya, kognitif, kelembagaan, dan aset-aset yang terkait yang dapat meningkatkan kemungkinan manfaat bersama dari perilaku kerjasama. Lebih lanjut Uphoff (2000), menegaskan bahwa modal sosial dirinci menjadi dua kategori, yaitu struktural dan kognitif. Kategori struktural berkaitan dengan beragam bentuk organisasi sosial, khususnya terkait peran-peran, aturan-aturan, preseden, prosedur-prosedur, serta beragam jaringan-jaringan yang mendukung kerjasama yang memberikan manfaat bersama dari Collective Action (Mutually Beneficial Collective Action/MBCA). Sedangkan kategori kognitif datang dari proses mental yang menghasilkan gagasan/pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi masyarakat, meliputi norma, nilai, sikap, keyakinan yang berkontribusi pada terciptanya perilaku kerjasama dan MBCA.

Dalam penelitian ini, unsur-unsur modal sosial yang dikaji pada

(48)

pemanfaatan sumberdaya hutan diharapkan mampu memberikan manfaat secara produktif, lestari, adil dan efisien. Menurut Suharjito (2000) performansi pengelolaan sumberdaya hutan meliputi produktivitas, keberlanjutan, keadilan dan efisiensi.

Dalam menjaga mempertahankan performasi hutan rakyat tersebut antara lain dipengaruhi oleh: (1) Sub sistem produksi yaitu sistem penguasaan dan

pengambilan keputusan apakah secara individual atau komunal. Sistem penguasaan dan pengambilan keputusan pengelolaan mempengaruhi

responsibilitas terhadap ekonomi pasar dan model ekonomi sosialnya; (2) Sub sistem pengolahan hasil (orientasi usaha), apakan subsisten atau komunal.

Tingkat subsistensi dan komersialisasi merupakan ukuran responsibilitas terhadap ekonomi pasar; (3) Sub sistem pemasaran hasil, jenis dan keragaman produk yang dikonsumsi atau dipasarkan merupakan responsibilitas terhadap kebutuhan dan pasar yang sekaligus mempengaruhi performasi pengelolaannya.

Kerangka pemikiran yang diuraikan tersebut dapat digambarkan sebagaimana disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

Modal Sosial Pengelolaan Hutan Rakyat

Kognitif Struktural

Peranan (X1)

Performansi Hutan Rakyat

(Y)

ƒ Produktivitas ƒ Keberlanjutan ƒ Keadilan ƒ Efisiensi Kepercayaan (X4)

Aturan (X2)

Jaringan (X3)

Solidaritas (X5)

Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat

(49)

3.2. Definisi Operasional

Definisi operasional pada variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Peranan yaitu perihal atau tindakan spesifik yang dilakukan oleh para pihak yang terlibat baik baik formal maupun informal dalam struktur sosial dalam mendukung sistem pengelolaan hutan rakyat. Peranan diukur dari tingkat peranan para pihak (formal maupun informal) melalui ada tidaknya peran para pihak, intensitas pertemuan, jelas/sesuai tidaknya peran dan posisi para pihak dalam pembagian peran dalam sistem pengelolaan hutan rakyat.

2. Aturan yaitu segala ketentuan yang ada dalam kelompok masyarakat baik tertulis maupun tidak tertulis, yang berfungsi sebagai pengontrol dan pengatur prilaku masyarakat. Aturan diukur dari tingkat pengetahuan, pemahaman, kepatuhan, pelanggaran, sangsi responden, dan pandangan responden terhadap tingkat pengetahuan, pemahaman, kepatuhan, pelanggaran, sangsi yang dilakukan oleh anggota masyarakat lain dalam pengelolaan hutan rakyat.

3. Jaringan sosial yaitu pola pertukaran dan interaksi sosial yang menggambarkan hubungan antar masyarakat, baik dengan internal kelompok (sesama kelompok) maupun eksternal kelompok (di luar kelompok, diluar desa dan dengan para pihak (pemerintah daerah, pemerintah pusat, dinas terkait, Penyuluh, LSM dan pedagang/ tengkulak) dalam mendukung pengelolaan hutan rakyat. Jaringan diukur dari ada tidaknya menjalin hubungan baik dengan internal kelompok maupun eksternal kelompok, tingkat intensitas kunjungan/pertemuan, dan tingkat kepadatan organisasi yang diikuti.

4. Kepercayaan yaitu rasa percaya dalam berhubungan dengan orang lain yang dimiliki petani dalam mempersepsikan seseorang berdasarkan perasaan dan kondisi yang dialami. Kepercayaan diukur dari kepercayaan terhadap pengetahuan petani tentang (a) peran dan posisi para pihak; (b) fungsi aturan yang ada; dan (c) kepercayaan terhadap kemampuan hubungan sosial petani untuk mengelola hutan rakyat.

(50)

dalam kegiatan pengelolaan hutan (pengadaan benih, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pemasaran hasil hutan rakyat, modal, pengamanan dan lainnya) dan intensitasnya.

6. Sistem pengelolaan hutan rakyat yaitu upaya menyeluruh dari kegiatan-kegiatan merencanakan, membina, mengembangkan dan menilai serta mengawasi pelaksanaan kegiatan produksi, pengolahan hasil dan pemasaran

secara terencana dan berkesinambungan. Sistem pengelolaan hutan rakyat diukur dari tingkat sub sistem produksi, tingkat sub sistem pengolahan hasil dan tingkat sub sistem pemasaran.

4. Sub sistem produksi yaitu tercapainya kesimbangan produksi dalam jumlah jenis dan kualitas tertentu serta tercapainya kelestarian usaha dari para pemilik lahan hutan rakyat. Sub sistem produksi diukur dari tingkat pengambilan keputusan penguasaan lahan dan hasil hutan (individu/komunal).

5. Sub sistem pengolahan hasil yaitu proses sampai menghasilkan bentuk, produk akhir yang dijual oleh para petani hutan rakyat atau dipakai sendiri. Sub sistem pengolahan hasil diukur dari tingkat orientasi produksi (subsisten/komersial)

7. Sub sistem pemasaran hasil yaitu tercapainya tingkat penjualan yang optimal, dimana semua produk yang dihasilkan dari hutan rakyat terjual dipasaran. Sub sistem pemasaran hasil diukur dari tingkat keragaman produksi (monokultur/agroforestri kompleks)

8. Performansi hutan rakyat yaitu kondisi atau keadaan (performa) hutan yang dikelola oleh masyarakat pemilik hutan. Performansi hutan diukur dari tingkat produktivitas, tingkat keberlanjutan, tingkat keadilan, dan tingkat efisiensi.

9. Produktivitas hutan rakyat yaitu kemampuan hutan rakyat menghasilkan keluaran (output) produk yang bernilai. Produktivitas hutan rakyat diukur dari tingkat potensi jumlah pohon yang ada di lapangan yang dimiliki oleh petani

hutan rakyat.

(51)

mempertahankan keberadaan pohon (jumlah dan jenis tanaman yang di tanam sama dengan jumlah tanaman yang ditebang).

11. Keadilan yaitu pemerataan manfaat (keuntungan) dari keberadaan usaha hutan rakyat bagi anggota kelompok yang bekerjasama dan berhak menerima manfaat sesuai aturan yang ada. Keadilan diukur berdasarkan kesesuaian pelaksanaan aturan tertulis dan aturan tidak tertulis terhadap manfaat yang

dirasakan oleh petani dalam kerjasama pengelolaan hutan rakyat lestari. 12. Efisiensi yaitu minimalisasi biaya dalam proses pengelolaan usaha hutan

rakyat hingga menghasilkan produk kayu. Efisiensi diukur berdasarkan tingkat unit usaha hutan rakyat yang dihitung berdasarkan input-output produksi (keuntungan dari pendapatan usaha hutan rakyat dikurangi modal yang dikeluarkan).

Pengukuran terhadap variabel-variabel berdasarkan definisi operasional dalam penelitian ini disajikan pada Lampiran 1.

3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kelurahan Selopuro (Komunitas Petani Sertifikasi) Kecamatan Batuwarno dan di Desa Belikurip (Komunitas Petani Hutan Rakyat) Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah. Penentuan dua lokasi tersebut dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kelurahan Selopuro adalah kelurahan yang masyarakatnya mengelola hutan rakyat dan sudah mendapat sertifikasi LEI pada tahun 2004, sedangkan Desa Belikurip adalah desa yang masyarakatnya mengelola hutan rakyat dan belum mendapat sertifikasi. Masyarakat di dua lokasi tersebut mengelola hutan rakyat secara lestari. Selain itu berdasarkan pada hasil wawancara dan diskusi dengan staf, baik dari Dinas Kehutanan dan Perkebunanan Kabupaten Wonogiri maupun LSM PERSEPSI di Wonogiri, bahwa keberadaan hutan rakyat di dua lokasi tersebut menarik untuk diteliti karena masyarakat di dua lokasi tersebut mengelola hutan rakyat secara lestari.

(52)

3.4. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif dalam penelitian sosial lebih mengacu kepada keakuratan deskripsi setiap variabel dan keakuratan hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya, serta dilandasi pada suatu asumsi bahwa suatu gejala itu dapat diklasifikasikan, dan hubungan gejala bersifat kausal (sebab akibat), maka peneliti dapat melakukan

penelitian dengan memfokuskan pada beberapa variabel saja (Irawan 2007; Singarimbun 2008). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 5 variabel modal sosial yaitu peranan, aturan, jaringan, kepercayaan dan solidaritas.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survai. Metode survai adalah metode penelitian yang menggunakan kuesioner sebagai instrumen utama dalam mengumpulkan data. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan kuesioner terstruktur kepada responden (Irawan 2007; Singarimbun 2008). Responden dalam penelitian ini yaitu komunitas petani yang memiliki/mengelola lahan baik pekarangan maupun tegalan (hutan rakyat) yang ditanami tanaman kehutanan/keras.

3.4.1. Jenis Data

Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data-data tersebut meliputi: data kondisi umum lokasi penelitian, data unsur modal sosial masyarakat pemilik/pengelola hutan rakyat dan data performansi usaha hutan rakyat terdiri dari data produktivitas hutan rakyat, data keberlanjutan hutan rakyat, data keadilan usaha hutan rakyat dan data efisiensi usaha hutan rakyat.

3.4.2.Teknik Penentuan Responden

Penentuan responden ditentukan secara acak dari masyarakat yang memiliki/mengelola hutan rakyat di dua lokasi penelitian yaitu Komunitas Petani Sertifikasi di Kelurahan Selopuro Kecamatan Batuwarno dan Komunitas Petani Hutan Rakyat di Desa Belikurip Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri

(53)

populasi yang tinggi dan jumlah tersebut dianggap cukup karena untuk data yang akan dianalisis dengan teknik statistika parametrik dapat menggunakan data minimal 30 (Usman dan Akbar 2008).

3.5. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara melalui kuesioner terstruktur

kepada responden (masyarakat Kelompok Tani Hutan Rakyat Sertifikasi dan masyarakat Kelompok Tani Hutan Rakyat), pengukuran dan pengamatan (observation) lapangan pada lokasi hutan rakyat di dua lokasi dilakukan untuk menambah dan menunjang data dan informasi. Data sekunder diperoleh dari studi literatur dan data-data laporan (dokumentasi) dari berbagai sumber serta instansi terkait, untuk mendukung penelitian ini berupa: laporan dari instansi terkait, laporan hasil penelitian, peraturan perundangan, gambar, peta, data pendukung yang ada di tingkat kelompok tani, tingkat desa, tingkat kecamatan maupun tingkat kabupaten serta dokumen-dokumen terkait dari instansi lainnya.

3.5.1. Pengukuran Lapangan di Lahan Hutan Rakyat

Pengukuran lapangan dimaksudkan untuk mendapatkan data mengenai potensi hutan rakyat pada masing-masing lahan (pekarangan dan tegalan) dan menguatkan data hasil wawancara dengan responden terkait jumlah pohon yang dimiliki oleh petani hutan rakyat. Data pengukuran ini merupakan salah satu bentuk identifikasi vegetasi yang dapat menjelaskan kondisi tegakan hutan rakyat yaitu pohon dan permudaannya serta tumbuhan bawah (Soerianegara dan Indrawan 2002).

Metode inventarisasi tegakan yang digunakan bersumber pada Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan Nomor 143/Kpts/DJ/I/1974 tentang Peraturan Inventarisasi Hutan Jati dan Peraturan Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH), Perum Perhutani. Penggunaan metode ini dengan mempertimbangkan kerapatan pohon yang tinggi dan jarak tanam yang tidak

beraturan serta memperhatikan keterbatasan tenaga, waktu, dan biaya.

(54)

a. Diameter lingkaran 7,94 m (luas 0,02 ha) untuk tegakan dominan umur muda/pancang (tinggi >1,5 m; diameter 2-10 cm);

b. Diameter lingkaran 11,28 m (luas 0,04 ha) untuk tegakan dominan umur sedang/tiang (diameter >10-20 cm); dan

c. Diameter lingkaran 17,8 m (luas 0,1 ha) untuk tegakan dominan umur tua/pohon (diameter > 20 cm).

c 17,8 M 

b

11,28 M 

a

7,94 M 

Gambar 2. Metode Inventarisasi Tegakan pada Hutan Rakyat

Penentuan jumlah plot berdasarkan intensitas sampling 0,3% dari luas lahan (pekarangan dan tegalan) yang dimiliki/dikelola responden dimasing-masing lokasi. Luas lahan di Kelurahan Selopuro adalah 262.77 Ha terdiri atas luas lahan pekarangan 96,22 Ha dan luas lahan tegalan 166,55 Ha. Jumlah plot contoh yang dibuat di Kelurahan Selopuro sebanyak 8 plot (3 plot di pekarangan dan 5 plot di tegalan) dengan luas 0,8 ha. Sedangkan luas lahan di Desa Belikurip adalah 395 Ha terdiri atas luas lahan pekarangan 145 Ha dan luas lahan tegalan 250 Ha. Jumlah plot contoh yang dibuat di Desa Belikurip sebanyak 12 plot (4 plot di pekarangan dan 8 plot di tegalan) dengan luas 1,2 ha.

(55)

plot adalah pohon terluar/tepi dari batas lingkaran yang berjarak/jari-jari 17,8 meter dari pohon tengah. Batas tepi plot ditandai dengan lingkaran gelang menggunakan kapur warna putih dibuat minimal 4 buah secara bersilangan utara selatan dan barat timur. Selanjutnya pengukuran dan penandaan pohon dalam plot dilakukan secara berurutan yang dimulai dari pohon tengah sebagai pohon pertama, kemudian bergerak kearah barat laut searah jarum jam dan kembali menuju ke pusat/pohon tengah. Pengukuran diameter batang dilakukan setinggi dada (DBH : 1,30 m dari permukaan tanah) pada semua pohon yang masuk dalam plot. Pengukuran tinggi pohon dilakukan dengan menggunakan galah/bambu/kayu yang sudah diberi tanda (ukuran panjang), namun pada pohon dengan percabangan besar, pengukuran dilakukan pada percabangan tertinggi batas pandangan mata. Data hasil pengukuran yang dicatat dalam tally sheet/blanko meliputi : luas lahan (pekarangan dan tegalan), jenis pohon, umur pohon, diameter/keliling pohon dan tinggi total pohon.

3.6. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul, diolah dan dianalisis. Analisis data penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap, yaitu: (1) analisis tingkat modal sosial, (2) analisis performansi hutan rakyat dan (3) analisis pengaruh modal sosial terhadap performansi hutan rakyat. Data dan informasi disajikan dalam bentuk tabulasi dan dijelaskan secara deskriptif. Masing-masing tahap dijelaskan sebagai berikut.

3.6.1. Analisis Tingkat Modal Sosial

Analisis tingkat modal sosial dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan besarnya tingkat modal sosial komunitas petani hutan rakyat dalam mendukung pengelolaan hutan rakyat lestari. Adapun jumlah kelas disesuaikan dengan kategori tingkatan yang diinginkan yaitu 3 kelas, untuk besarnya tingkat modal sosial (rendah, sedang dan tinggi). Untuk mengukur tingkat modal sosial dilakukan dengan menggunakan persamaan:

kelas

(56)

Tabel 3. Analisis tingkat modal sosial pada komunitas kelompok tani hutan rakyat

No. Modal Sosial Jumlah Pertanyaan

Jawaban

Responden Total Nilai Komunitas (30 Responden)

Selang Kelas

Tingkat Modal Sosial Komunitas Kategori Nilai Kelas Ukuran

(Total Nilai)

MS Struktural 47+23+39 = 109 (30x109x1) s/d (30x109x3) (9.810-3.270)/3 Rendah 3.270 – 5.450 3.270 s/d 9.810 = 2.180 Sedang 5.451 – 7.630

Modal Sosial 109+64 =

173 (30x173x1) s/d (30x173x3) (15.570-5.190)/3 Rendah 5.190 – 8.650 5.190 s/d 15.570 = 3.460 Sedang 8.651 – 12.110

Tinggi 12.111 – 15.570

3.6.2. Analisis Performansi Hutan Rakyat

Analisis performansi meliputi: produktivitas hutan rakyat, keberlanjutan hutan rakyat, keadilan usaha hutan rakyat dan efisiensi usaha hutan rakyat.

Gambar

Gambar 1.  Kerangka Pikir Penelitian
Tabel 3. Analisis tingkat modal sosial pada komunitas kelompok tani hutan rakyat
Tabel 4. Analisis tingkat performansi hutan rakyat
Tabel 5. Letak dan Luas Wilayah di Lokasi Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait